Hubungan Indonesia dan Konvensi 1951 Tentang Status Pengungsi

96 BAB IV HAMBATAN YANG DIALAMI INDONESIA DALAM MENANGANI PENGUNGSI

A. Hubungan Indonesia dan Konvensi 1951 Tentang Status Pengungsi

Konvensi 1951 United Nations Convention for Refugees Status 1951 konvensi ini merupakan istilah yang biasanya dipakai bagi instrumen resmi yang berkarakter multilateral. Istilah konvensi juga mencakup instrumen-instrumen yang dibuat oleh organ-organ lembaga- lembaga internasional 113 Dalam Konvensi 1951 sendiri mengatur antara lain sebagai berikut : . Konvensi 1951, yaitu Konvensi PBB tentang pengungsi telah ditandatangani untuk pertama kalinya di Jenewa, Swiss pada tanggal 28 Juli 1951 oleh 27 negara. 114 113 J.G. Starke. 2007. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 2. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm. 586 Bab I mengenai ketentuan umum dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 11 yang berisi Definisi istilah pengungsi, kewajiban umum, non-diskriminasi, agama, hak yang diberikan yang terpisah dari konvensi ini, istilah dalam keadaan yang sama, pembebasan dari resiprositas, pembebasan dari tindakan luar biasa, tindakan sementara, kesinambungan tempat tinggal dan pelaut pengungsi. Bab II mengenai status hukum dari Pasal 12 sampai dengan Pasal 16, yang berisi status pribadi, milik bergerak dan tidak bergerak, hak karya seni perindustrian, hak berserikat dan akses ke pengadilan. 114 http:www.unhcr.or.idDataKonfensidanProtokol.pdf diakses pada hari Selasa 30 Juni 2015 pukul 11.00 WIB Universitas Sumatera Utara 97 Bab III mengenai pekerjaan yang member penghasilan dari Pasal 17 sampai dengan pasal 19 yang berisi pekerjaan yang menghasilkan upah, swakarya dan profesi bebas. Bab IV mengenai kesejahteraan dari Pasal 20 sampai dengan 24, berisi pencatutan, perumahan, pendidikan umum, pertolongan publik serta peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan jaminan sosial. Bab V mengenai tindakan administratif dari Pasal 25 sampai dengan Pasal 34, yang berisi bantuan administratif, kebebasan berpindah tempat, surat identitas, dokumen perjalanan, pungutan fiskal, pemindahan asset, pengungsi yang berada secara tidak sah di negara pengungsian, larangan pengusiran atau pengembalian refoulement dan pewarganegaraan, Bab VI mengenai ketentuan pelaksanaan dan peralihan dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, yang berisi kerjasama instansi nasional dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, informasi tentang peraturan perundang-undangan nasional dan hubungan dengan konvensi- konvensi sebelumnya. Bab VII mengenai ketentuan dari Pasal 38 sampai dengan 46, yang berisi penyelesaian perselisihan, penandatanganan, ratifikasi dan aksesi, ketentuan pemberlakuan toritorial, klausul federal, reservasi, mulai berlaku, pembatalan, revisi dan notifikasi oleh sekretaris jenderal PBB. Dewasa ini perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka dalam mengatur berbagai kegiatan serta menyelesaikan masalah. Perjanjian internasional merupakan instrumen yuridis oleh karenanya mengikat para Universitas Sumatera Utara 98 pihak 115 . Mengikat disini adalah melahirkan hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya. Seperti yang ditegaskan oleh Oppenheim-Lauterpacht. 116 Dari uraian yang dikemukakan diatas, perjanjian internasional dapat pula diuraikan sebagai kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional “International treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal rights and obligations between the parties”. perjanjian adalah suatu persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. 117 . Subjek-subjek hukum yang dimaksud disini adalah negara. Seperti halnya dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja “perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”. 118 Dalam perkembangannya, perjanjian internasional dibagi atas 2 golongan berdasarkan proses pembentukan dan pembuatannya. Pertama perjanjian internasional yang diadakan dengan tiga tahap, yaitu: perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi pengesahan. Biasanya perjanjian semacam ini diadakan untuk hal-hal yang dianggap sangat penting vital sehingga memerlukan persetujuan badan-badan yang berwenang treaty-making power. Kedua perjanjian internasional yang diadakan hanya melalui dua tahap, yaitu : perundingan dan penandatanganan tanpa ratifikasi. Biasanya perjanjian ini kurang begitu penting vital, sederhana, dan 115 Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung : P.T Alumni. Hlm.82 116 Oppenheim-Lauterpacht, dalam bukunya C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2002. Modul Hukum Internasional. Jakarta : Djambatan. Hlm. 105 117 I Wayan Partiana. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bag 1. Bandung : Mandar Maju. Hlm. 12 118 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni. Hlm. 117 Universitas Sumatera Utara 99 memerlukan penyelesaian yang cepat. Misalnya perjanjian perdagangan yang berjangka pendek. 119

B. Upaya Indonesia Dalam Menerapkan Prinsip Non Refoulement Berkaitan Dengan Pengungsi di Indonesia