Prinsip Non Refoulement Sebagai Jus Cogens

75 mengajukan permohonan suaka. Pencari suaka ini tidak boleh dikembalikan ke negara manapun dimana dia menghadapi risiko penganiayaan persekusi.

B. Prinsip Non Refoulement Sebagai Jus Cogens

Prinsip jus cogens dalam hukum internasional adalah serangkaian prinsip atau norma hukum internasional yang berlakunya tidak dapat diubah dan tidak boleh diabaikan, dan karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu perjanjian antar negara-negara dalam hal perjanjian itu tidak sesuai dengan salah satu prinsip atau norma tersebut. Dalam Pasal 64 Konvensi Wina tentang hukum perjanjian internasional ditentukan bahwa, jus cogens merupakan salah satu dari kebiasaan hukum internasional. 90 Pada awalnya tujuan Konvensi Wina 1969 mengadakan suatu kodifikasi dari semua masalah-masalah hukum yang dapat timbul dari diadakannya suatu perjanjian internasional antar negara telah menghabiskan waktu yang cukup. International Law Commission ILC sebagai suatu badan yang ditunjuk oleh PBB untuk menyelenggarakan tugas pengkodifikasian hukum perjanjian telah mendapat bantuan dari pada para ahli hukum terkenal yang ditugaskan sebagai special reporter dalam penyusunan draft naskah perjanjian. Namun ternyata isi dari beberapa ketentuan konvensi masih menimbulkan pengertian yang samar-samar seperti misalnya beberapa ketentuan bagian V, khususnya tentang pengertian jus cogens. Namun beberapa prinsip atau asas sebagai suatu dasar permulaan bagi terwujudnya pembentukan suatu perjanjian agar para pihak 90 Yudha Bhakti. Pengertian Jus Cogens dalam Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian internasional, Majalah Padjajaran No.1 1981 Universitas Sumatera Utara 76 terikat olehnya telah diletakkan oleh konvensi, seperti Asas kesepakatan, itikad baik, dan pacta sun servanda. 91 1 Suy, memberikan batasan terhadap jus cogens sebagai berikut : Ketiga asas ini yang telah lama dikenal dan diakui secara umum. Dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, pengertian jus cogens terdapat dalam bagian V yang mengatur perihal pembatalan, berhenti berlaku dan penundaan berlakunya perjanjian. Dalam bagian ke V Konvensi Wina 1969 memiliki beberapa alasan dapat diajukan, misalnya untuk pembatalan suatu perjanjian dengan adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dari hukum nasional dengan peserta yang berkenaan dengan kuasa penuh dari negara pengirim Pasal 46 dan 47 konvensi, adanya unsur kesalahan Pasal 48, adanya unsur penipuan Pasal 49, dan unsur kelicikan Pasal 50. Pada rumusan Pasal 53 dinyatakan sebagai berikut : “…. A premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as norm form modified only by a subsequent norm a general international law having the same character”. Maksud nya adalah sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. Beberapa pendapat ahli tentang jus cogens sebagai berikut : 92 91 Asas Pacta Sunt Servanda adalah perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak yang menyelenggarakan 92 Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2003. Hukum Internasional Bunga Rampai. Bandung: PT. Alumni. Hlm. 53 Universitas Sumatera Utara 77 “…the body of those general rules of law whose non observance may effect the very essence of the legal system to which they belong to such an extent that the subject of law may not, under paid of absolute nullity defart from them in virtue of particular agreements…” Dari definisi Suy ini dapat dilihat bahwa konsep jus cogens sangat umum dikenal bukan hanya dalam sistem hukum perdata, tetapi juga sistem hukum internasional publik. 2 Lord Mc Nair, 93 dalam hal ini memberikan komentarnya walaupun tidak menggunakan istilah jus cogens, ia menegaskan adanya ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional yang berada dalam suatu kategori hukum yang “lebih tinggi” dan ketentuan- ketentuan mana tidak dapat dikesampingkan atau diubah oleh negara-negara yang membuat suatu perjanjian. Ia pun menegaskan bahwa adalah lebih baik memberikan contoh-contoh illustration dari ketentuan jus cogens itu daripada memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan jus cogens. Lord Mc Nair memberi contoh ketentuan-ketentuan yang telah diterima baik secara tegas maupun secara diam-diam dalam hukum kebiasaan internasional dan aturan mana yang lebih penting untuk melindungi kepentingan umum masyarakat internasional. Misalnya ketentuan-ketentuan yang melarang digunakannya perang agresi, hukum mengenai genocide larangan untuk membunuh massal, ketentuan-ketentuan mengenai perbudakan, pembajakan dan lain-lain tindakan kriminal terhadap kemanusiaan, juga ketentuan mengenai prinsip penentuan nasib sendiri dan juga hak-hak asasi manusia. 93 Syahmin A.K. SH. 1985. Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969. Bandung: Armico. Hal. 53 Universitas Sumatera Utara 78 3 Christos L. Rozakis, memberikan pengertian jus cogens sebagai berikut : 94 “in all major systems subject are free, it is true, to contract out of rules of law in their interse relations, that freedom, however, is conditional. There are general rules of law which exclude the conclusion of particular contractual arrengenents conflicting with them by actually prohibiting derogating from their content and by threatening with invalidity any attempt of violation of that prohibition. These rules are usually called jus cogens.” Dari pengertian ini ditegaskan bahwa meskipun negara-negara memiliki kebebasan untuk membentuk hukum, bebas untuk mengatur tingkah laku mereka sendiri, namun kebebasan itu ada batasnya. Terdapat kaidah hukum yang membatasi kehendak negara. Kaidah hukum yang mengancam dengan invaliditas setiap persetujuan-persetujuan yang dibuat oleh negara-negara yang bertentangan dengannya. Kaidah hukum ini disebut dengan jus cogens. Dalam sistem hukum internasional, konsep jus cogens atau yang sering disebut juga sebagai norma pemaksa dalam hukum internasional peremptory norm of international law adalah suatu ketentuan hukum yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional dan ketentuan hukum tersebut tidak dapat disimpangi atau dikalahkan oleh ketentuan hukum lain. Dalam wacana hukum internasional klasik, dapat dikemukakan bahwa konsep jus cogens ini telah diperkenalkan oleh beberapa ahli hukum internasional seperti ahli hukum asal Belanda Hugo Grotius 1583-1645 dan juga de Vattel pada abad XVI. Pada tahun 1953, Hersch Lauterpacht dalam kapasitasnya sebagai special rapporteur dari Komisi Hukum Internasional International Law Commission juga memasukkan konsep jus cogens ke dalam rancangan konvensi tentang perjanjian internasional sebagai suatu prinsip 94 F.A. Whisnu Suteni. 1989. Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. Bandung: Cv.Mandar Maju. Hlm. 100 Universitas Sumatera Utara 79 dalam tertib hukum internasional l’ordre public international. Pada akhirnya, konsep jus cogens ini diterima oleh masyarakat internasional dan dilembagakan dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional 1969 Vienna Convention to the Law of Treaties of 1969. Penerimaan jus cogens dalam pranata hukum internasional modern sebagaimana tercermin dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional 1969 menunjukkan bahwa dalam sistem hukum internasional masyarakat internasional mengenal dua macam karakter norma hukum yang berlaku, yakni : jus cogens dan jus dispositivum. jus dispositivum adalah norma hukum internasional dimana negara sebagai anggota masyarakat internasional berdasarkan situasi dan syarat-syarat tertentu dimungkinkan untuk menyimpangi atau melakukan modifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum tersebut. Sebaliknya, jus cogens atau norma hukum pemaksa merupakan norma hukum internasional yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat internasional yang tidak dapat disampingi, dimodifikasi, danatau dikalahkan oleh ketentuan hukum lainnya. Jus cogens dikategorikan sebagai norma hukum yang lebih tinggi kedudukannya dari norma jus dispositivum. Negara sebagai anggota masyarakat internasional, dengan alasan apapun tidak dapat menyimpangi norma hukum internasional yang memiliki karakter sebagai jus cogens ini. Jus cogens dianggap sebagai norma yang esensial bagi sistem hukum internasional, sehingga pelanggaran terhadap norma yang esensial sifatnya ini dapat mengancam kelangsungan sistem hukum internasional yang berlaku dalam masyarakat internasional. Pelembagaan norma hukum pemaksa ke dalam Konvensi Wina 1969 merupakan pengakuan dan penegasan masyarakat internasional khususnya negara-negara terhadap fakta Universitas Sumatera Utara 80 bahwa dalam sistem hukum internasional, negara tidak dapat merumuskan aturan yang menyimpang dengan jus cogens, baik dalam hubungannya dengan negara lain maupun dalam kerangka hukum nasional masing-masing negara. Dalam hal ini perlu dikemukakan juga bahwa penerapan jus cogens adalah tidak terbatas pada Konvensi Wina 1969, tetapi berlaku dalam seluruh sistem hukum internasional secara umum. Sifat pemaksa dan tidak dapat disimpangi dari jus cogens merupakan prinsip yang berlaku terhadap setiap tindakan negara sebagai anggota masyarakat internasional dalam kerangka hukum internasional. Dengan demikian jus cogens membatasi tindakan dan interaksi negara dalam kerangka sistem internasional. Dalam praktik pengelolaan masalah pengungsi dan pencari suaka oleh negara-negara, diakui bahwa didapati tindakan pelanggaran terhadap prinsip non refoulement ini. Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi terhadap hak-hak pengungsi yang telah diakui oleh masyarakat internasional, termasuk pelanggaran terhadap prinsip non refoulement merupakan praktik yang sangat mengganggu bahkan dapat merusak sistem perlindungan internasional terhadap pengungsi dan pencari suaka. Secara konseptual, jus cogens memiliki tiga fungsi, yaitu : Fungsi Jus Cogens 95 1. Sebagai pembatasan atas kehendak bebas negara 2. Sebagai pengakuan atas pranata ilegalitas obyektif 3. Sebagai pembentuk sistem hukum internasional vertikal 95 Ibid., Hlm. 102 Universitas Sumatera Utara 81 Fungsi pertama muncul berdasarkan pemikiran bahwa negara-negara dalam hubungan internasional selalu berpegangan pada ideologi dan kepentingan nasional mereka yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga dapat menimbulkan pertentangan yang menjurus pada pelanggaran hukum internasional. Namun walaupun melakukan pelanggaran hukum, negara dapat menjustifikasi tindakan mereka, yaitu dengan membentuk ketentuan hukum yang membenarkan tindakan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena negara mempunyai kebebasan untuk membentuk hukum. Disamping itu negara juga mempunyai kebebasan untuk mengakui atau tidak mengakui suatu ketentuan hukum, sehingga kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan dalam hukum internasional boleh tidak ditaati oleh suatu negara, apabila negara tersebut memang tidak menyetujui ketentuan yang dimaksud. Maka dalam masyarakat internasional dibutuhkan hukum yang membatasi kehendak bebas negara, agar negara-negara tidak membentuk hukum yang bertentangan dengan keadilan dan ketertiban internasional, dan mengharuskan mentaati hukum tersebut. Hukum itu bersifat memaksa, yang walaupun pada awalnya dibentuk oleh negara-negara, tetapi hukum itu membatasi kehendak bebas negara. Sebagai konsekuensi fungsi diatas dan sesuai dengan sifatnya yang tidak boleh dikesampingkan, maka apabila terdapat negara-negara yang bertindak secara unilateral atau membentuk hukum yang tidak sesuai dengan hukum memaksa tersebut jus cogens, maka tindakan itu tidak sah berdasarkan hukum illegal. Ketidaksahan tersebut adalah ketidaksahan yang otomatis atau disebut ilegalitas obyektif. Brownlie memberikan beberapa contoh aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens, misalnya perang agresi, pelanggaran terhadap hukum genocide, perdagangan Universitas Sumatera Utara 82 perbudakan, pembajakan, kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak menentukan nasib sendiri, UN Convention Racial Discrimination dan UN Declaration on Permanent Soverreignity Over Natural Resources. 96 Mengenai tindakan negara yang tidak sesuai dengan jus cogens yang disebut ilegalitas obyektif berbeda dengan ilegalitas subyektif. Ilegalitas subyektif yaitu suatu tindakan hukum dianggap ilegal setelah terdapat protes dari negara yang terkena akibat tindakan ilegal tersebut dan memang terbukti. Sedangkan ilegalitas obyektif berarti pengakuan secara obyektif terhadap suatu yang ilegal. Maksudnya begitu suatu tindakan atau perjanjian yang melawan hukum terjadi, maka tindakan atau perjanjian tersebut otomatis dianggap ilegal, karenanya menjadi tidak sah atau batal. 97 Dengan adanya kaidah hukum yang membatasi kehendak negara dan mengancam dengan ilegalitas obyektif disatu pihak, dan adanya kaidah hukum yang tidak memiliki karakteristik seperti diatas dilain pihak, menciptakan dua tipe kaidah hukum, yaitu norma superior dan norma inferior. Jus cogens sebagai kaidah memaksa merupakan kaidah hukum yang superior, dan jus dispositivum sebagai kaidah mengatur merupakan kaidah hukum yang inferior. Akibatnya kedua hukum tersebut membentuk hierarki hukum, yang menciptakan sistem hukum vertikal, disamping sistem hukum horizontal, dalam latar internasional. Dengan demikian hierarki dalam hukum internasional tidak ditentukan berdasarkan bentuk hukum, melainkan berdasarkan jenis atau tipe hukum. 96 Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Op Cit. Hlm.170 97 Whisnu Suteni. Op Cit. Hlm. 103 Universitas Sumatera Utara 83

C. Pengecualian Penerapan Prinsip Non Refoulement