53
Gambar 11 Perbandingan rata-rata +1SE tiga peubah indikator indeks resiliensi COC, USS, AOF antar kabupaten, di kawasan timur dan barat
Indonesia.
3.4 Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi yang dirumuskan pada bab 2 sebelumnya terbukti dapat membedakan tingkat resiliensi terumbu
karang antar kawasan, antar fisiografi laut, dan antar kabupaten. Hasil ini memiliki implikasi bahwa indeks resiliensi tersebut juga dapat digunakan untuk
membedakan resiliensi terumbu karang dalam skala yang lebih kecil, misalnya
54 antar stasiun pengamatan yang mempunyai skala puluhan atau ratusan meter.
Dengan demikian indeks ini dapat digunakan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang dengan bermacam-macam skala spasial, dari puluhan meter
hingga puluhan ribu kilometer. Membandingkan indeks resiliensi antar terumbu karang yang tersebar pada
kawasan seluas Indonesia membutuhkan kehati-hatian di dalam membuat interpretasinya. Di dalam skala ribuan kilometer, gangguan alami terumbu karang
dapat sangat berbeda jenis, intensitas, dan siklus kemunculannya. Adanya gangguan insani yang bekerja sinergis dengan gangguan alami akibat kurang
efektifnya pengelolaan merupakan hal yang mudah dijumpai di kawasan Indonesia.
Perbandingan indeks resiliensi di dalam penelitian ini juga perlu melihat informasi tentang pengambilan datanya. Penelitian ini menggunakan data yang
diambil oleh orang lain dengan tujuan yang berbeda. Data yang digunakan dirancang untuk pemantauan kondisi terumbu karang antar waktu. Pengambilan
data tidak dirancang untuk perbandingan secara spasial, sehingga kedalaman transek kadang diubah jika tidak sesuai dengan kondisi lokasi. Perbedaan
kedalaman transek tersebut dapat menyebabkan bias dalam perbandingan indeks secara spasial.
Dua peubah indikator yang ditemukan selalu dalam kondisi tinggi pada lokasi terumbu karang yang indeksnya tinggi, adalah tutupan karang COC dan
jumlah kelompok fungsional CFG. Kedua peubah indikator tersebut dijumpai tinggi di Kabupaten Wakatobi, Natuna, dan Bintan, serta tiga kabupaten lain di
Paparan Sunda. Peubah CHQ yang tinggi juga berkaitan dengan terumbu karang yang indeks resiliensinya tinggi di Natuna dan Bintan.
Tingginya peubah AOF, khususnya turf algae atau algae berfilamen, di Sikka membutuhkan pengamatan lebih mendalam. Kelimpahan algae berfilamen
yang tinggi 50 menunjukkan kondisi terumbu karang yang mengalami pergantian fase Bruno et al. 2009. Terumbu karang dengan kondisi tutupan algae
berfilamen tinggi biasanya mempunyai kualitas air yang baik atau kandungan nutrien rendah dan kegiatan herbivori rendah akibat penangkapan ikan yang
berlebih Littler et al. 2006. Algae berfilamen merupakan pesaing karang yang
55 penting Jompa McCook 2003a, 2003b, dan dapat berpengaruh pada
rekruitmen karang Birrel et al. 2005. Tingginya indeks resiliensi di Paparan Sunda membutuhkan penjelasan
khusus, karena terumbu karang di paparan ini merupakan terumbu karang yang paling muda di Indonesia. Secara fisiografis laut, Pulau Bintan, Batam, Natuna
dan Lingga merupakan bagian dari Paparan Sunda Sunda Shelf. Terumbu karang di Paparan Sunda merupakan terumbu yang masih baru dari usia geologis.
Paparan ini menjadi lautan sekitar 8000 tahun yang lalu Tomascik et al. 1997, 603, sehingga terumbu di sini termasuk kategori terumbu Holosin Holocene
reef . Terumbu karang di Tapanuli Tengah, Nias, Nias Selatan, dan Mentawai,
merupakan terumbu karang oseanis di Samudra Hindia, yang berumur jauh lebih tua. Veron 2000, 37 membuat peta yang menunjukkan bahwa di selatan Pulau
Sumatra telah ada terumbu karang sejak Era Jurasic, atau 206-144 juta yang lalu. Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi, dan Flores merupakan pulau tua yang
bergerak menjauhi Antartika dan berada di kawasan tropis sekitar 30 juta tahun yang lalu, bersamaan dengan bergesernya Paparan Sahul ke utara. Usia 30 juta
tahun tersebut sama dengan rata-rata usia genus karang di Indonesia Veron 2000, 42. Terumbu karang yang lebih tua diharapkan memiliki indeks resiliensi yang
lebih baik. Ditemukannya indeks resiliensi terumbu karang yang tinggi di Paparan
Sunda setidaknya ada dua penjelasan. Pertama, penilaian indeks resiliensi di Paparan Sunda selain Natuna tidak dilakukan pada kedalaman yang sama
dengan di lokasi lainnya. Hal ini disebabkan karena tujuan pengumpulan data transek garis bukan untuk perbandingan spasial, melainkan untuk perbandingan
temporal. Kedua, di Paparan Sunda terumbu karang memiliki kedalaman maksimum pertumbuhan karang rendah, sehingga kelimpahan ikan target tidak
cukup tinggi untuk menarik nelayan melakukan eksploitasi secara destruktif. Kurangnya kegiatan nelayan yang destruktif menyebabkan resiliensi terumbu
karang di kawasan ini terpelihara dengan baik. Laporan CRITC-COREMAP menunjukkan bahwa di Kabupaten-kabupaten
Bintan, Batam, dan Lingga Paparan Sunda, sebagian besar transek permanen tersebut dibuat pada kedalaman 3 tiga dan 4 empat meter CRITC 2007;
56 Cappenberg Djuwariah 2008; Cappenberg Salatalohi 2008; Cappenberg
Souhoka 2009. Penempatan transek yang baku adalah pada kedalaman 5 lima meter. Penempatan transek yang lebih dangkal ini disebabkan pada kedalaman 5
lima meter terumbu karang sudah tertutup sedimen pasir dan lumpur. Jika dilakukan penilaian pada kedalaman yang sama 5 meter, maka akan ditemukan
indeks resiliensi yang sangat rendah di Paparan Sunda. Di kawasan timur Indonesia, kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Buton. Tingginya indeks
resiliensi di Buton, yang menjadi nomor dua setelah Wakatobii, juga memiliki bias pada kedalaman transek.
Kelimpahan ikan terumbu target lebih sulit diperbandingkan antar terumbu karang untuk mendukung penjelasan kedua. Kelimpahan yang tercatat dalam
sensus visual bawah air merupakan kelimpahan ikan terumbu dengan kondisi tereksploitasi, bukan merupakan kelimpahan alami. Di dalam laporan pemantauan
terumbu karang yang tersedia, kelimpahan ikan ditemukan tidak konsisten berkaitan dengan kedalaman maksimal pertumbuhan karang. Sebagai alternatif,
keanekaragaman ikan terumbu karang berkaitan dengan kedalaman maksimal pertumbuhan karang. Di perairan Kabupaten Natuna yang memiliki kedalaman
maksimal pertumbuhan karang 15 meter, keanekaragaman ikan terumbu adalah 204 spesies 26 suku per 16 lokasi di Ranai dan Kelarik Budiyanto
Cappenberg 2009, dan 133 spesies 22 suku per 8 lokasi di Bungaran Barat Cappenberg et al. 2009.. Ukuran transek sabuk pada sensus visual ikan adalah
350 m
2
, atau 70 x 5 m
2
, di setiap lokasi stasiun pengamatan. Keanekaragaman ikan terumbu di Natuna tersebut jauh lebih tinggi daripada di Paparan Sunda
lainnya selain Natuna yang kedalaman maksimal pertumbuhan karang dangkal 3-4 meter, misalnya 99 spesies 21 suku per 6 lokasi di Bintan Timur dan
Numbing Tuti Salatalohi 2009, 157 spesies 23 suku per 12 lokasi di Tambelan Cappenberg Djuwariah 2009, dan 72 spesies 18 suku per 8 lokasi
di Lingga Utara Cappenberg Salatalohi 2008. Keanekaragaman ikan terumbu di Biak lebih tinggi lagi, yaitu 212 spesies 25 suku per 5 lokasi di Biak Timur
dan 260 spesies 30 suku per 7 lokasi di Padaido Hukom Suyarso 2009. Jika kaenekaragaman ikan terumbu tersebut dapat menunjukkan proporsi kelimpahan
ikan misal Wakatobi dalam kondisi tanpa eksploitasi, maka eksploitasi yang
57 menguntungkan terjadi pada terumbu karang yang mempunyai kedalaman
maksimal pertumbuhan karang tinggi lebih dalam. Pada terumbu karang yang subur dengan kelimpahan ikan, maka eksploitasi nelayan juga akan tumbuh subur
di sini. Pengelolaan terumbu karang yang lemah memungkinkan nelayan yang serakah menggunakan alat tangkap yang merusak, sehingga dalam kondisi
eksploitasi tinggi peluang terjadinya kerusakan terumbu karang insani juga tinggi. Kerusakan terumbu karang menurunkan nilai indeks resiliensi akibat
berkurangnya tutupan karang COC, jumlah kelompok fungsional karang CFG, atau peubah indikator yang lainnya.
Kepulauan Wakatobi yang mewakili terumbu karang dengan resiliensi tertinggi di Indonesia Timur dapat menjadi referensi tentang terumbu karang yang
ideal. Keempat pulau yang disurvei COREMAP memiliki rata-rata batas kedalaman pertumbuhan karang 30 meter. Di Pulau Wanci, Pulau Kadelupa,
Pulau Tomia, dan Karang Terumbu Kapota masing-masing mempunyai batas kedalaman pertumbuhan karang secara berurutan 40, 30, 25, dan 30 meter
Budiyanto et al. 2009. Batas kedalaman pertumbuhan karang ini jauh melebihi batas kedalaman pada terumbu karang di seluruh Paparan Sunda. Kelimpahan
ikan target 6000 ekor per 15 lokasi Budiyanto et al. 2009. Kelimpahan ini sangat jauh melebihi kelimpahan ikan target di Bintan yang sekitar 3000 ekor per 24
lokasi Tuti Salatalohi 2009; Cappenberg Salatalohi 2009; Cappenberg Djuwariah 2009.
Hasil penggunaan indeks resiliensi juga menunjukkan bahwa Kepulauan Raja Ampat memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi yang sedang,
setara dengan Pangkep dan Selayar. Rendahnya indeks resiliensi terumbu karang di Raja Ampat dapat mengkonfirmasi tentang kemampuan indeks dalam
membedakan terumbu karang yang resiliensinya baik dengan yang kurang baik. Kepulauan Raja Ampat sudah sangat terkenal sebagai salah satu kawasan yang
memiliki terumbu karang terbaik di dunia. Kekayaan spesies karang, ikan terumbu karang dan molluska yang menakjubkan outstanding juga sering dikaitkan
dengan kawasan ini McKenna et al. 2002a, 20. Allen dan Erdman 2009 juga melaporkan bahwa terdapat 1320 spesies ikan terumbu di Raja Ampat. Sedangkan
di kawasan laut terdekatnya, yaitu Pantai Fakfak-Kaimana dan Teluk