107
6.2 Penggunaan Indeks dalam Pengelolaan Terumbu Karang
Tersedianya rumus indeks resiliensi akan mempermudah pengelola terumbu karang dalam mengambil kebijakan dan tindakan pengelolaan. Arah kebijakan
pengelolaan dapat lebih difokuskan untuk meningkatkan resiliensi terumbu karang dengan meningkatkan nilai peubah indikator yang bersifat positif dan mengurangi
nilai peubah indikator yang bersifat negatif terhadap nilai indeks. Peubah yang bersifat positif atau meningkatkan indeks adalah tutupan karang COC, jumlah
kelompok fungsional atau bentuk tumbuh karang CFG, kualitas habitat CHQ, dan jumlah koloni karang ukuran kecil CSN. Dua peubah lainnya, USS substrat
tidak stabil dan AOF tutupan biota alternatif, bersifat negatif terhadap nilai indeks.
Kabupaten Sikka, misalnya, memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi paling rendah di kawasan timur Indonesia. Dengan melihat nilai peubah
indicator indeks dapat diketahui bahwa terumbu karang di Sikka mempunyai rata- rata COC, CFG, dan CSN yang rendah. Tutupan USS juga rendah, sedangkan
tutupan AOF sangat tinggi, yaitu rata-rata ±SD 65.351±25.134. Kebijakan yang dapat diambil untuk meningkatkan indeks sebaiknya difokuskan untuk
mengurangi nilai tutupan AOF serta meningkatkan nilai COC, CFG, dan CSN. Pengkajian lebih lanjut pada data transek garis menunjukkan bahwa komponen
AOF yang paling besar adalah tutupan algae berfilamen turf algae, yaitu rata- rata 53.036±25.826, disusul oleh tutupan fauna lain OTF dengan rata-rata
sebesar 11.464±13.737. Rendahnya tutupan makroalgae merupakan indikasi bahwa terumbu karang di Sikka memiliki lingkungan perairan yang belum banyak
tercemar nutrient oligotrofik. Tingginya tutupan algae berfilamen menunjukkan perairan tersebut kekurangan hewan herbivora. Hewan herbivora yang utama
adalah ikan-ikan herbivora, disamping hewan Echinoidea. Dengan melihat nilai rata-rata peubah indikator indeks resiliensi tersebut
pengelola terumbu karang di Sikka dapat mengambil kebijakan yang lebih tepat. Kebijakan pengelolaan terumbu karang di Sikka sebaiknya diarahkan untuk
mengurangi penangkapan ikan. Penangkapan ikan herbivora yang berlebihan biasanya menunjukkan kondisi perikanan yang sudah mengalami tangkap lebih
overfishing. Pada kondisi perikanan yang baik, target penangkapan ikan yang
108 utama adalah ikan karninova karena kelompok ikan tersebut mempunyai harga
jual tinggi, misalnya ikan kerapu dan ikan kakap. Setelah kelimpahan ikan karnivora tidak lagi ekonomis dalam penangkapan, maka target penangkapan
menurun ke tingkatan trofik di bawahnya yaitu ikan herbivora, misalnya ikan baronang dan ikan kakatua. Rendahnya kelimpahan ikan herbivora biasanya
merupakan petunjuk bahwa perikanan di kawasan tersebut tidak lagi berkelanjutan sustainable. Pengurangan penangkapan ikan herbivora dan penambahan
kelimpahan hewan herbivora yang lain Diadema sp. dapat mengurangi kelimpahan algae berfilamen.
Di kawasan barat Indonesia, Kabupaten Nias Selatan mempunyai terumbu karang dengan indeks resiliensi yang paling rendah. Sebagaimana di Sikka,
terumbu karang di Nias juga memiliki nilai COC, CFG, dan CSN yang rendah. Berbeda dengan Sikka, nilai kualitas habitat CHQ terumbu karang juga rendah.
Di Nias Selatan, nilai USS lebih tinggi daripada di Sikka dengan rata-rata ±SD 12.081±14.214. Nilai AOF di Nias Selatan lebih rendah dengan rata-rata
23.825±26.376, yang sebagian besar berasal dari tutupan algae berfilamen 17.483±24.005. Nias Selatan juga mempunyai tutupan karang mati DC, dead
coral dan karang mati yang sudah tertutup algae DCA, dead coral algae yang
tinggi dengan rata-rata 34.661±28.664. Tutupan makroalgae dan algae berfilamen yang rendah menunjukkan perairan di Nias Selatan mempunyai
nutrient yang rendah dengan kelimpahan hewan herbivora yang cukup untuk mengendalikan tutupan algae. Rendahnya COC, CFG, dan CSN merupakan akibat
dari kematian karang secara masal, yang ditunjukkan oleh DC dan DCA yang tinggi. Rendahnya nilai CHQ yang disebabkan rendahnya tutupan karang
Acroporidae 0.919 menunjukkan bahwa kematian masal tersebut bersifat selektif yang menyerang karang Acroporidae.
Upaya peningkatan resiliensi terumbu karang di Nias Selatan lebih tepat dimaksudkan untuk meningkatkan nilai COC, CFG, dan CSN. Dengan melihat
kondisi yang ada, yaitu nutrient rendah, kelimpahan ikan herbivora cukup, serta tutupan pasir dan lumpur yang sedang; maka pemulihan terumbu karang secara
alami masih dapat diharapkan di Nias Selatan. Rendahnya nilai CSN di Nias Selatan tidak berarti bahwa suplai larva karang atau rekruitmen karang rendah,
109 melainkan lebih disebabkan oleh kematian masal karang yang baru saja terjadi
DC dan DCA tinggi. Pengelolaan terumbu karang sebaiknya lebih banyak diarahkan untuk menjaga terumbu karang dari penyebab kerusakan yang insani,
agar resiliensi terumbu karang dapat pulih kembali secara alami. Intervensi atau kebijakan pengelolaan yang dapat diperoleh dari indeks
sangat tergantung dari kondisi terumbu karang. Terumbu karang yang indeks resiliensinya rendah, dengan tutupan karang COC yang rendah, dapat memiliki
USS yang tinggi atau AOF yang tinggi. Kedua kondisi tersebut membutuhkan kebijakan yang berbeda Tabel 13. Pada terumbu karang yang memiliki USS
tinggi, penambahan susbtrat atau terumbu buatan dapat meningkatkan CSN, CFG, dan CHQ sekaligus mengurangi USS. Reef Ball
TM
telah dibuktikan dapat meningkatkan tutupan dan rekruitmen karang Bachtiar Prayogo 2010. Hasil
yang sama juga dilaporkan pada penggunaan terumbu buatan yang lain, misalnya Eco-block Maekouchi et al. 2008, atau balok beton biasa Bachtiar 2003a.
Tabel 13 Kebijakan pengelolaan untuk meningkatkan indeks resiliensi terumbu karang.
Persoalan Kondisi
Intervensi kebijakan 1 AOF tinggi
Turf algae tinggi herbivori ditingkatkan
Makroalgae tinggi nutrien dikurangi,
herbivori ditingkatkan Karang lunak tinggi
pembersihan karang lunak 2 USS tinggi
Pasir dan lumpur tinggi terumbu buatan
3 COC rendah AOF dan USS rendah transplantasi karang
AOF dan USS tinggi Lihat 1 dan 2.
4 CHQ rendah Acroporidae rendah
pengurangan sumber sedimen Karang masif submasif
rendah terumbu buatan
5 CFG rendah Acroporidae rendah
Lihat 4. Karang masif submasif
rendah Lihat 4.
Penggunaan indeks resiliensi untuk penentuan prioritas pengelolaan terumbu karang perlu dilengkapi dengan informasi tentang batas kedalaman
pertumbuhan karang. Batas kedalaman karang tersebut memang tidak berkaitan langsung dengan resiliensi terumbu karang, sehingga tidak dapat dimasukkan ke
110 dalam rumus indeks resiliensi. Batas kedalaman tersebut merupakan faktor
penting yang sering dilupakan di dalam banyak survei terumbu karang. Batas kedalaman pertumbuhan karang dapat menunjukkan kondisi perairan dan masa
depan terumbu karang. Di kawasan perairan Kepulauan Riau, misalnya, banyak terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi tinggi dan tutupan karang yang
tinggi pula. Sebagian besar terumbu karang di kawasan ini memiliki batas kedalaman maksimal pertumbuhan karang kurang dari 5 lima meter. Hal ini
sangat berbeda dengan terumbu karang di Wakatobi yang mempunyai batas kedalaman maksimum pertumbuhan karang sekitar 30 meter. Jika indeks resiliensi
tersebut digunakan bersama-sama dengan faktor batas kedalaman pertumbuhan karang, maka akan dapat diperoleh informasi yang lebih lengkap untuk membuat
prioritas pengelolaan yang lebih tepat. Solusi dari perbedaan indeks resiliensi pada kedalaman yang berbeda adalah
dengan menetapkan sebuah kedalaman baku untuk penilaian indkes resiliensi terumbu karang. Jika penilaian indeks resiliensi dilakukan pada kedalaman 10
meter, maka sebagian besar transek di kabupaten Bintan dan Batam akan memiliki indeks yang sangat rendah, karena pada kedalaman tersebut sebagian besar lokasi
memiliki tutupan pasir dan lumpur USS yang sangat tinggi. Dengan menggunakan kedalaman baku ini, akan terlihat bahwa Paparan Sunda yang
memiliki terumbu karang paling muda juga memiliki indeks resiliensi yang lebih rendah daripada terumbu karang yang lebih tua, misalnya Wakatobi dan Raja
Ampat. Solusi ini hanya untuk membedakan nilai konservasi antara terumbu karang dengan menggunakan indeks resiliensi, bukan metode baku penilaian
indeks. Penilaian indeks resiliensi sendiri dapat dilakukan pada semua kedalaman. Faktor sosial dan pengelolaan juga sangat penting untuk melengkapi indeks
resiliensi ekologis yang dikembangkan di dalam penelitian ini. Metode penilaian resiliensi terumbu karang yang dikembangkan oleh Maynard et al. 2010 dapat
melengkapi indeks resiliensi ekologis ini. Obura dan Grimsditch 2009 juga memasukkan faktor efektivitas pengelolaan dan tekanan penduduk di dalam
pengukuran resiliensi terumbu karang. Metode analisis data yang diberikan oleh Maynard et al. jauh lebih praktis daripada statistik multifaktor yang diberikan oleh
Obura dan Grimsditch. Penyusunan indeks ini memang untuk mengenali kondisi
111 ekologis ekosistem terumbu karang. Penggunaan indeks untuk pengelolaan
membutuhkan juga faktor sosial, sehingga indeks ini perlu disinergikan dengan indeks yang lainnya.
Indeks resiliensi ini mempunyai potensi atau kemungkinan untuk dapat digunakan di seluruh dunia. Indeks resiliensi tersebut dibuat dengan referensi
kondisi ideal terumbu karang di Indonesia. Perairan laut Indonesia merupakan salah satu kawasan dengan terumbu karang terbaik di dunia. Kawasan Raja Ampat
dan Wakatobi, misalnya, memiliki keanekaragaman spesies karang yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Papua New Guinea dan the Great Barrier Reef
Pet-Soede Erdman 2003, 36. Veron 2002 juga memperkirakan bahwa seluruh wilayah Indonesia dan Filipina merupakan pusat keanekaragaman spesies
karang tertinggi di dunia, dengan kisaran 500-564 spesies. Dengan asumsi bahwa referensi dari indeks resiliensi ini adalah terumbu karang yang terbaik di dunia,
maka indeks tersebut semestinya dapat juga diaplikasikan di semua terumbu karang seluruh dunia. Walaupun demikian, spekulasi ini masih perlu dibuktikan
dengan data dari negara-negara yang memiliki terumbu karang terbaik di wilayah tropis, terutama dari negara Filipina.
Jika indeks tersebut digunakan utuk membandingkan terumbu karang di perairan Karibia dengan di perairan Indo-Pasifik, misalnya, maka indeks resiliensi
terumbu karang di kawasan Karibia akan jauh lebih kecil daripada yang di Indo- Pasifik. Tutupan karang umumnya kecil di kawasan Karibia, pada tahun 2001-
2005 tutupan karang di bawah 30 kecuali Teluk Mexico 58 Schutte et al. 2010. Jumlah kelompok fungsional karang di kawasan ini juga lebih rendah
daripada di Indo-Pasifik Bellwood et al. 2004. Perbedaan kondisi terumbu karang ini menimbulkan pertanyaan tentang perlunya setiap kawasan
menggunakan referensi indeks tersendiri. Perbandingan tingkat resiliensi terumbu karang antar kawasan membutuhkan referensi yang sama. Dengan menggunakan
indeks resiliensi ini, yang disusun dengan referensi kondisi terumbu karang Indonesia, perbandingan antara kedua kawasan dengan kondisi lingkungan yang
berbeda tersebut dapat dilakukan. Jika ternyata kedua kawasan memiliki pola perubahan temporal indeks yang berbeda, maka perlu dilakukan perbedaan di