Indeks resiliensi dan tutupan karang

37 koloni ukuran kecil, walaupun peluang tersebut sangat kecil yaitu lebih kecil dari 0.00185 atau 0.185. Di masa depan indeks ini diharapkan dapat diujicoba penggunaannya di kawasan Indo-Pasifik oleh para peneliti terumbu karang di kawasan tersebut. Indeks resiliensi yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan indeks resiliensi ekologis yang sangat praktis dan dapat digunakan oleh pengelola terumbu karang hampir di seluruh kabupaten di Indonesia. Pengukuran indeks resiliensi dilakukan dengan metode transek garis atau LIT line intercept transect yang diperkenalkan oleh Loya 1972, 1978, dan dibakukan sebagai metode standar penilaian kondisi terumbu karang di kawasan ASEAN dan Australia English et al. 1994, 1997. Di Indonesia, terdapat 727 orang yang telah mendapat pelatihan Metode Penilaian Kondisi Terumbu Karang MPTK yang menggunakan metode transek garis melalui COREMAP Suharsono 2008. Ratusan atau ribuan mahasiswa juga diperkirakan telah mendapat pelatihan semacam MPTK di bangku kuliah. Dengan bekal ketrampilan tersebut ditambah ketrampilan dasar mengoperasikan perangkat lunak MS Excell atau Lotus untuk menghitung rumus indeks, setiap kabupaten wilayah COREMAP memiliki kemampuan melakukan penilaian indeks resiliensi terumbu karang di wilayahnya masing-masing. Protokol penggunaan indeks disajikan pada Lampiran 3. Penelitian ini juga menyediakan klasifikasi resiliensi terumbu karang yang diharapkan dapat membantu para pengelola terumbu karang. Pembagian indeks resiliensi ke dalam lima kategori tersebut masih belum memberikan makna penting di dalam pengelolaan, selain menyatakan bahwa terumbu ini lebih resiliens daripada terumbu yang lain. Klasifikasi indeks resiliensi membutuhkan interpretasi yang lebih kongkrit berkaitan dengan waktu pemulihan terumbu karang. Misalnya, jika suatu terumbu karang mempunyai indeks resiliensi baik 0.594 maka terumbu tersebut dapat pulih kembali ke tingkat resiliensi awal dalam waktu X tahun ketika terjadi penurunan indeks sebesar Y. Interpretasi semacam itu akan sangat penting bagi pengelola terumbu karang di dalam pengambilan keputusan. Interpretasi indeks tersebut membutuhkan data runut waktu yang lama sekitar 15 tahun yang di dalamnya terjadi kematian masal, 38 dengan jumlah sampel yang cukup. Sayangnya, data yang dibutuhkan tersebut belum tersedia saat ini di Indonesia. Penggunaan peubah indikator USS, AOF, dan CHQ kualitas habitat ini diduga merupakan yang pertama di dalam pemantauan dan penilaian kondisi terumbu karang. Banyak pemantauan terumbu karang tidak membedakan antara substrat yang berupa pasir dan lumpur, atau substrat yang tertutup oleh algae atau terbuka, misalnya pemantauan terumbu karang di kawasan Florida dan Karibia. Program pemantauan yang mengambil data tutupan pasir dan lumpur juga tidak memasukkan peubah tersebut ke dalam analisisnya sebagai bagian dari kualitas terumbu karang. Tingginya tutupan karang Acropora serta tutupan karang masif dan submasif umumnya juga tidak mendapat perhatian dan interpretasi di dalam analisis kondisi terumbu karang. Kedua peubah tersebut menjadi bagian yang terpadu dari indeks resiliensi.

2.5 Kesimpulan

Modifikasi indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle 2004 menghasilkan indeks resiliensi terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang tersebut diukur berdasarkan enam peubah indikator, yang dapat secara praktis digunakan di dalam pengelolaan. Indeks resiliensi terumbu karang bertambah dengan meningkatnya tutupan karang, dan atau menurunnya tutupan makroalgae dan fauna lain. Nilai indeks tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu baik sekali, baik, sedang, kurang, dan buruk; walaupun interpretasi kategori tersebut masih belum dikembangkan. Penilaian indeks resiliensi terumbu karang tidak dapat dilakukan dengan satu transek, melainkan membutuhkan banyak transek dengan rancangan pengambilan cuplikan yang baik. Indeks resiliensi terumbu karang mempunyai nilai maksimum 2.130 dan minimum 0.000. Sangat sedikit transek 0.403 yang mempunyai indeks 1.000. Di Indonesia, rata-rata indeks resiliensi di suatu lokasi atau terumbu karang 1.000. Berdasarkan data yang ada, rata-rata ±SD indeks resiliensi di suatu lokasi pengamatan antara 0.067±0.032 sampai 0.976±0.107. Uji coba penggunaan indeks secara spasial dan temporal masih diperlukan untuk menilai reliabilitas indeks. 39 3 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM PENILAIAN SPASIAL RESILIENSI TERUMBU KARANG

3.1 Pendahuluan

Mengenali ekosistem merupakan tahapan pertama sebelum kita menyusun rencana pengelolaan terhadap ekosistem tersebut. Resiliensi suatu ekosistem atau resiliensi ekologis merupakan kualitas ekosistem yang sangat penting di dalam pengelolaan. Banyak peneliti telah mencoba menggunakan suatu pengukuran resiliensi ekosistem, terutama ekosistem hutan, dan memberikan saran pengelolaan berdasarkan tingkatan resiliensi ekosistem tersebut di antaranya Moretti et al. 2006; Fischer et al. 2007. Semua peneliti tersebut menggunakan metode penilaian resiliensi yang berbeda-beda, sehingga hasil penelitian tidak dapat diperbandingkan jika penelitinya berbeda. Pada ekosistem terumbu karang, penilaian resiliensi ekologis belum banyak dilakukan karena metode atau cara pengukuran masih dalam pengembangan. Pada awalnya peneliti masih menggunakan kembalinya tutupan karang sebagai ukuran resiliensi Berumen Pratchett 2006; Ledlie et al. 2007; Smith et al. 2008. Metode tersebut tidak dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi sebelum datangnya gangguan. Pada akhir tahun 2009, IUCN telah mengembangkan suatu protokol pengukuran resiliensi terumbu karang yang melibatkan 61 peubah indikator, yang sebagian besar merupakan peubah ekologis dan sebagian lainnya merupakan peubah oseanografis fisik, sosial, dan manajemen Obura Grimsditch 2009. Tetapi, protokol tersebut tidak memberikan prosedur baku dalam analisis data sehingga setiap peneliti dapat menggunakan alat analisis yang berbeda. Jika hal ini yang terjadi maka tujuan utama untuk dapat membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial tidak tercapai. Maynard et al. 2010 memberikan cara pengukuran resiliensi yang melibatkan bukan hanya komponen ekologis, melainkan juga oseanografi fisik dan manajemen. Metode Maynard et al. memberikan sebuah angka akhir sebagai ukuran resiliensi. Penelitian di dalam bab ini berbeda dari keduanya karena memberikan penilaian yang lebih rinci tentang faktor resiliensi ekologis yang ada pada komunitas karang.