39
3 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM PENILAIAN SPASIAL RESILIENSI TERUMBU KARANG
3.1 Pendahuluan
Mengenali ekosistem merupakan tahapan pertama sebelum kita menyusun rencana pengelolaan terhadap ekosistem tersebut. Resiliensi suatu ekosistem atau
resiliensi ekologis merupakan kualitas ekosistem yang sangat penting di dalam pengelolaan. Banyak peneliti telah mencoba menggunakan suatu pengukuran
resiliensi ekosistem, terutama ekosistem hutan, dan memberikan saran pengelolaan berdasarkan tingkatan resiliensi ekosistem tersebut di antaranya
Moretti et al. 2006; Fischer et al. 2007. Semua peneliti tersebut menggunakan metode penilaian resiliensi yang berbeda-beda, sehingga hasil penelitian tidak
dapat diperbandingkan jika penelitinya berbeda. Pada ekosistem terumbu karang, penilaian resiliensi ekologis belum banyak
dilakukan karena metode atau cara pengukuran masih dalam pengembangan. Pada awalnya peneliti masih menggunakan kembalinya tutupan karang sebagai ukuran
resiliensi Berumen Pratchett 2006; Ledlie et al. 2007; Smith et al. 2008. Metode tersebut tidak dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi sebelum
datangnya gangguan. Pada akhir tahun 2009, IUCN telah mengembangkan suatu protokol pengukuran resiliensi terumbu karang yang melibatkan 61 peubah
indikator, yang sebagian besar merupakan peubah ekologis dan sebagian lainnya merupakan peubah oseanografis fisik, sosial, dan manajemen Obura
Grimsditch 2009. Tetapi, protokol tersebut tidak memberikan prosedur baku dalam analisis data sehingga setiap peneliti dapat menggunakan alat analisis yang
berbeda. Jika hal ini yang terjadi maka tujuan utama untuk dapat membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial tidak tercapai. Maynard et al. 2010
memberikan cara pengukuran resiliensi yang melibatkan bukan hanya komponen ekologis, melainkan juga oseanografi fisik dan manajemen. Metode Maynard et
al. memberikan sebuah angka akhir sebagai ukuran resiliensi. Penelitian di dalam
bab ini berbeda dari keduanya karena memberikan penilaian yang lebih rinci tentang faktor resiliensi ekologis yang ada pada komunitas karang.
40 Sebuah indikator ekologis sebaiknya berupa sebuah angka, yang mudah
diinterpretasikan oleh pengelola sumberdaya dan pembuat kebijakan. Indeks- indeks ekologis yang lain, misalnya indeks keanekaragaman, indeks kesamaan
dan indeks dominansi, merupakan indikator-indikator ekologis yang mudah digunakan dan diperbandingkan. Indeks-indeks tersebut telah banyak sekali
bermanfaat di dalam mengidentifikasi status atau kondisi sumberdaya dan ekosistem yang dikelola. Penilaian resiliensi terumbu karang juga sebaiknya
didasarkan pada sebuah angka indeks yang dihitung berdasarkan data dari banyak peubah multifaktor.
Penilaian indikator ekologis terumbu karang yang melibatkan banyak peubah yang diintegrasikan menjadi sebuah angka telah dilakukan oleh
Conservation International CI, yang dinamakan Reef Condition Index RCI. Nilai RCI dihitung berdasarkan faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang
dan tutupan karang. Penilaian semua peubah tersebut dilakukan dengan 4 empat kategori dan masing-masing diberi bobot, sebagai penambahan bonus atau
pengurangan penalty Mckenna et al. 2002, 68. Penghitungan ini menghasilkan sebuah angka yang dianggap mencerminkan kondisi umum terumbu karang. Pada
saat ini, penggunaan RCI masih terbatas di dalam kalangan CI. Penelitian yang disajikan sebelumnya bab 2 telah menghasilkan sebuah
indeks yang dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi terumbu karang. Dengan menggunakan indeks tersebut, tingkat resiliensi terumbu karang
seharusnya dapat diperbandingkan secara spasial. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji coba penggunaan indeks dalam penilaian resiliensi terumbu karang
antar kawasan dan antar kabupaten. Terumbu karang dengan tingkat resiliensi yang tinggi seharusnya mendapat prioritas pengelolaan.
Terumbu karang di Indonesia memiliki sejarah geologis yang sangat kompleks, sehingga menghasilkan tipe terumbu yang sangat banyak. Semua
tipologi terumbu karang yang sekarang ada bahkan tidak cukup untuk mengklasifikasikan semua terumbu karang di Indonesia Tomascik et al. 1997.
Proses geologis yang tidak sama juga membuat perbedaan dalam usia terumbu karang di Indonesia. Terumbu karang di Samudra Hindia, di bagian utara Biak-
Raja Ampat dan Sulawesi terbentuk jauh lebih lama dibandingkan dengan di
41 Paparan Sunda. Paparan Sunda baru menjadi laut sekitar 8000 tahun yang lalu.
Perbedaan dalam oseanografi dan fisiografi laut diperkirakan mempengaruhi ekologi terumbu karang, termasuk diantaranya tingkat resiliensi terumbu karang.
Penelitian di dalam bab 3 ini bertujuan untuk menguji kegunaan indeks resiliensi di dalam menjawab pertanyaan: 1 Apakah ada perbedaan indeks
resiliensi terumbu karang antar kawasan, antar fisiografi laut, dan antar kabupaten? 2 Terumbu karang dimanakah yang memiliki indeks resiliensi tinggi?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memvalidasi kegunaan indeks resiliensi dalam perbandingan spasial.
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Pengumpulan data
Data yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan data transek garis LIT terumbu karang, sepanjang 10 meter. Data tersebut telah dikoleksi oleh P2O
LIPI di dalam program CRITC-COREMAP, sebagaimana dijelaskan di dalam bab 2. Data yang digunakan di dalam validasi kegunaan indeks tersebut merupakan
data dari COREMAP tahun 2009. Di setiap kabupaten wilayah COREMAP telah dipilih sejumlah stasiun atau lokasi pemantauan untuk dibuat transek permanen.
Di setiap stasiun pemantauan dibuat 3 tiga buah transek sepanjang 10 meter dari roll-meter
yang sama, sehingga ketiga transek tidak sepenuhnya merupakan unit sampel yang bebas independent. Modifikasi semacam ini boleh saja digunakan
untuk keperluan pengelolaan sumberdaya, walaupun secara statistik hal ini merupakan replikasi atau ulangan semu pseudoreplication.
Di dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana perbedaan tingkat resiliensi terumbu karang setiap kabupaten wilayah COREMAP, baik yang di kawasan
Indonesia Barat maupun di Indonesia Timur. Pembandingan indeks resiliensi secara nasional tersebut untuk melihat sebaran spasial terumbu karang yang
memiliki indeks resiliensi tinggi, sebagai kawasan yang perlu mendapat perhatian lebih di dalam pengelolaan terumbu karang. Klasifikasi indeks resiliensi
dilakukan dengan menggunakan interval kelas sebagaimana dideskripsikan pada bab sebelumnya, Tabel 8 halaman 35.
42 3.2.2 Analisis data
Indeks resiliensi akan dibandingkan secara spasial dalam tiga skala yang berbeda. Perbandingan antar kawasan di Indonesia timur dan barat untuk melihat
perbedaan nilai indeks resiliensi dengan skala ribuan kilometer. Pembagian wilayah Indonesia menjadi dua kawasan menggunakan batas Selat Makasar dan
Selat Lombok, karena kedua selat tersebut merupakan lokasi Garis Wallace dan juga salah satu lintasan utama Arlindo Arus Lintas Indonesia, Indonesian
Throughflow Murray Arief 1988; Gordon et al. 1999. Masing-masing
kawasan mewakili dua fisiografi laut, yaitu Biak-Raja Ampat Samudra Pasifik dan Sulawesi-Flores Indonesia Timur, serta Paparan Sunda dan Samudra Hindia
Indonesia Barat. Perbandingan antar fisiografi laut sub-kawasan akan menunjukkan perbedaan indeks resiliensi terumbu karang dalam skala ratusan
kilometer. Skala perbandingan yang terkecil adalah antar kabupaten, dimana nilai indeks resiliensi terumbu karang yang diperbandingkan mempunyai skala puluhan
kilometer. Pembandingan indeks resiliensi antar fisiografi laut dilakukan karena
terdapat pola pengelompokan lokasi yang khusus, terutama di kawasan Indonesia Barat. Fisiografi laut mempengaruhi perkembangan terumbu karang. Di antara
fisiografi laut yang menjadi wilayah COREMAP, Paparan Sunda Sunda Shelf merupakan formasi yang paling muda, dengan usia sekitar 8000 tahun, ketika Laut
Natuna mulai terendam air laut. Untuk keperluan tersebut, distribusi lokasi pengambilan data dibagi menjadi empat sub-kawasan berdasarkan fisiografi
lautnya: a
Samudra Pasifik Biak-Raja Ampat b
Sulawesi-Flores Pangkep, Selayar, Buton, Wakatobi, Sikka c
Paparan Sunda Natuna, Bintan, Batam, Lingga d
Samudra Hindia Tapanuli Tengah, Nias, Nias Selatan, Mentawai. Data yang digunakan di dalam penelitian ini tidak dirancang untuk
perbandingan kualitas terumbu karang secara spasial. Data tersebut dirancang untuk membandingkan kualitas terumbu karang antar waktu di masing-masing
lokasi, sebagai dampak dari kegiatan proyek. Karena itu, jumlah kabupaten dan lokasi tidak sama dalam setiap kawasan. Jumlah kabupaten di kawasan barat dan