4 Kemampuan  organisasi  masyarakat  dalam  pengelolaan  APL –BM
X4
adalah  persepsi  responden  terhadap  seberapa  besartinggi kemampuan  teknis,  manajerial  dan  sosial  yang  dimiliki  oleh  organisasi
masyarakat  yang  membuatnya  mampu  berpartisipasi    secara  aktif  dalam mengelola program APL
–BM  Tabel 4 Tabel 4. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran
Tingkat Kemampuan  Organisasi Masyarakat
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
X
4.1
Kemampuan teknis
Tingkat pengetahuan dan keterampilan teknis
organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL
– BM
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden Interval
X
4.2
Kemampuan manajerial
Tingkat pengetahuan dan keterampilan manajerial
organisasi masyarakat dalam mengalokasikan
sumberdaya organisasi untuk kegiatan pengelolaan
APL
–BM Diukur berdasarkan
skor persepsi responden
Interval
X
4..3
Kemampuan sosial
Tingkat pengetahuan dan keterampilan sosial
organisasi masyarakat dalam  membangun
hubungan dan jaringan kerjasama kemitraan pada
kegiatan pengelolaan APL
–BM . Diukur berdasarkan
skor persepsi responden
Interval
5 Motivasi  masyarakat  untuk  berpartisipasi  dalam  pengelolaan  APL –
BM  X4 adalah  persepsi  responden  terhadap  seberapa  kuat  keinginan-
keinginan dalam dirinya yang mendorong untuk terlibat atau berpartisipasi dalam pengelolaan
APL –BM
Tabel 5. Tabel  5.  Indikator,  Definisi  Operasional,  Parameter  dan  Skala  Pengukuran
Tingkat Motivasi Masyarakat
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
X
5.1
Keinginan untuk meningkatkan
pendapatan Kemauan responden untuk
meraih pendapatan tambahan dari manfaat
program yang mendorongnya untuk
berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan APL
– BM
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden Interval
Tabel 5. Lanjutan.
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
X
5.2
Keinginan untuk mendapat
pengakuan atas kredibilitas
dalam mengelola sumberdaya
Kemauan responden untuk mendapatkan kepercayaan
dan dianggap mampu dalam mengelola
sumberdaya secara lestari yang mendorongnya untuk
berpartisipasi secara aktif pengelolaan APL
–BM Diukur berdasarkan
skor persepsiperasaan responden
Interval
X
5.3
Keinginan melestarikan
sumberdaya Kemauan responden atas
dasar kesadaran sendiri untuk menjaga kelestarian
sumberdaya sehingga mendorongnya untuk
berpartisipasi secara aktif pengelolaan APL
–BM Diukur berdasarkan
skor persepsiperasaan responden
Interval
6 Tingkat  partisipasi  masyarakat  dalam  pengelolaan  APL –BM    Y1
adalah  persepsi  responden  terhadap  seberapa  jauh  keterlibatan  dirinya dalam  penerapan  kegiatan-kegiatan  pengelolaan  APL
–BM    yang  telah dilakukan Tabel 6.
Tabel  6.  Indikator,  Definisi  Operasional,  Parameter  dan  Skala  Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL
–BM.
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
Y
1..1
Merencanakan kegiatan
pengelolaan APL
–BM Intensitas keterlibatan
responden dalam merencanakan berbagai
kegiatan pengelolaan APL
–BM, baik secara bersama maupun mandiri.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden Interval
Y
1..2
Melaksanakan kegiatan
pengelolaan APL
–BM Intensitas keterlibatan
responden dalam melaksanakan kegiatan
pengelolaan APL –BM,
baik secara bersama maupun mandiri.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden Interval
Y
.1.3
Menikmati hasil pengelolaan
APL –BM
Intensitas keterlibatan responden dalam
menikmati hasil kegiatan penggelolaan APL
–BM. Diukur berdasarkan
skor persepsi responden
Interval
Y
.1.4
Mengevaluasi kegiatan
pengelolaan APL
–BM Intensitas keterlibatan
responden dalam melakukan pengawasan
dan penilaian  evaluasi terhadap kinerja kegiatan
pengelolaan APL
–BM. Diukur berdasarkan
skor persepsi responden
Interval
7 Sikap  masyarakat  dalam  pengelolaan  APL –BM saat ini  Y2 adalah
kecenderungan  menyetujui    mendukung  atau  tidak  terhadap  pengelolaan sumberdaya  melalui  program  proses  pengelolaan  sumberdaya  perikanan
– kelautan  melalui penerapan program APL
–BM yang diterapkan Tabel 7. Tabel 7. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Sikap
Masyarakat terhadap Pengelolaan APL –BM Saat Ini
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Skala Pengukuran
Y
2.1
Sikap terhadap status ekosistem
Penilaian obyektif individu terhadap perubahan status
ekosistem saat ini sebagai dampak penerapan
program APL
– BM Diukur berdasarkan
skor sikap responden Interval
Y
2.2
Sikap terhadap konsep
pengelolaan APL
–BM Kecenderungan untuk
menyetujui  mendukung atau menolak konsep
pengelolaan APL –BM
yang diterapkan saat ini Diukur berdasarkan
skor sikap responden Interval
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Partisipasi Masyarakat
\
Partisipasi  telah  menjadi  lintasan  sejarah  yang  panjang  bagi  berbagai pembangunan  di  berbagai  negara  di  dunia  Pretty,  1995.    Hal  ini  berarti  bahwa
pemerintah  dari  berbagai  negara  telah  menyadari  pentingnya  keterlibatan  rakyat atau  masyarakat  dalam  kegiatan  pembangunan  negaranya.  Secara  etimologis
partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris participation yang berarti take part in ambil  bagian.  Dengan  demikian  partisipasi  dalam  pembangunan  berarti  ambil
bagian  dalam  suatu  tahap  atau  lebih  dalam  suatu  proses  atau  kegiatan pembangunan.
Mubyarto  1992  memberikan  pengertian  partisipasi  sebagai  kesediaan untuk  membantu  berhasilnya  setiap  program  sesuai  kemampuan  setiap  orang
tanpa  berarti  mengorbankan  kepentingan  diri  sendiri.  Kesediaan  berarti  adanya unsur  kerelaan  yang  melibatkan  aspek  emosional  dan  mental  dari  orang  yang
terlibat.  Unsur  kemampuan  sebagaimana  yang  dinyatakan  oleh  Mubyarto  lebih ditekankan  untuk  menghargai  adanya  perbedaan  individu.  Artinya,  setiap  orang
akan  berbeda-beda  bentuk  partisipasinya  disesuaikan  dengan  kemampuan  dan kepentingan masing-masing orang tersebut.
The World Bank  Pretty, 1995 mendefinisikan partisipasi sebagai sebuah proses stakeholder-stakeholder mempengaruhi dan ambil bagian atas pengelolaan
inisiatif  dan  keputusan-keputusan  pembangunan  dan  sumberdaya  yang mempengaruhi  mereka.  Pretty  1995  mengemukakan  tipologi  partisipasi
masyarakat dalam program dan proyek pembangunan yaitu:
1 Partisipasi  pasif  passive  participation :  masyarakat  berpartisipasi  secara ikut
–  ikutan,  pemberitahuan  sepihak  dari  pengelola  proyek  tanpa mendengarkan tanggapan masyarakat.
2 Partisipasi  dalam  pemberian  informasi  participation  in  information giving  :  masyarakat  berpartisipasi  dengan  menjawab  atau  memberi
informasi. Masyarakat tidak mempunyai pilihan untuk mempengaruhi cara kerja.
3 Partisipasi  dengan konsultasi  participation by consultation : masyarakat berpartisipasi  dengan  konsultasi,  sedangkan  agen  luar  menetapkan
masalah  dan  jalan  keluarnya  serta  memodifikasinya.  Pengambilan keputusan oleh profesional.
4 Partisipasi untuk memperoleh insentif material participation for material incentive  :  masyarakat  berpartisipasi  dengan  menyediakan  sumberdaya,
seperti tenaga kerja, untuk memperoleh insentif material. 5 Partisipasi  fungsional  funcional  participation;  masyarakat  berpartisipasi
dengan pembentukan kelompok – kelompok yang dikaitkan dengan tujuan
proyek. Masyarakat tidak dilibatkan pada tahapan awal atau perencanaan, pengarahan dilakukan oleh pihak luar.
6 Partisipasi interaktif interactive participation : masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, membuat rencana aksi dan pembentukan lembaga
lokal  baru  atau  penguatan  yang  lain.  Masyarakat  menentukan  keputusan dan mempunyai tanggung-jawab dalam pemeliharaan struktur dan praktik.
7 Pengembangan  diri  self-mobilization  :  masyarakat  berpartisipasi  dengan mengambil  kebebasan  inisiatif  dari  lembaga  eksternal  untuk  mengubah
sistem.  Masyarakat  membangun  hubungan  dengan  lembaga  eksternal untuk  sumberdaya  dan  bantuan  teknis  yang  diperlukan,  tetapi  tetap
menguasai sumberdaya yang digunakan. Sejalan  dengan  pendapat  Hoofsteede,  Uphoff  dan  Cohen  Ndraha,  1990
memberikan empat tahapan partisipasi, yaitu: 1 Partisipasi  dalam  perencanaan  pembangunan,  termasuk  pembuatan
keputusan. 2 Partisipasi dalam melaksanakan operasional pembangunan.
3 Partisipasi  dalam  menerima,  memelihara,  dan  mengembangkan  hasil pembangunan.
4 Partisipasi dalam menilai pembangunan. Apabila  partisipasi  tidak  melibatkan  semua  tahapan  tersebut,  maka  dikatakan
bahwa  partisipasi  hanya  bersifat  parsial.  Partisipasi  yang  sesungguhnya  harus meliputi keempat tahapan tersebut.
Oakley  dkk.  Ife,  2006  menyajikan  analisis  perbandingan  antara partisipasi sebagai cara dan sebagai tujuan  Tabel 8.
Tabel 8. Perbandingan Partisipasi sebagai Cara dan Tujuan
Partisipasi sebagai cara Partisipasi sebagai tujuan
Berimplikasi pada penggunaan partisipasi sebagai cara untuk mencapai
tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya
Berupaya memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan mereka sendiri secara lebih berarti
Merupakan suatu upaya pemanfaatan sumberdaya yang ada untuk mencapai
tujuan program atau proyek Berupaya menjamin peningkatan peran
rakyat dalam inisiatif –inisiatif
pembangunan Penekanan pada pencapaian tujuan dan
tidak terlalu memperhatikan pada aktivitas partisipasi itu sendiri
Fokus pada peningkatan kemampuan rakyat untuk berpartisipasi, bukan
sekedar pencapaian tujuan proyek
Lebih umum dalam program –program
pemerintah, yang pertimbangan utamanya adalah untuk menggerakkan
masyarakat dalam meningkatkan efisiensi sistem penyampaian
Pandangan ini relatif kurang disukai oleh badan
– badan pemerintah
Partisipasi umumnya dipandang sebagai program jangka pendek
Partisipasi dipandang sebagai tujuan jangka panjang
Partisipasi sebagai cara merupakan bentuk pasif dari partisipasi
Partisipasi sebagai tujuan relatif lebih aktif dan dinamis
Oakley  dkk.  Khaerudin,  1992  mencatat  sejumlah  keuntungan  utama partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu:
1 Efisiensi  efficiency:  Partisipasi  dapat  menjamin  penggunaan  secara efisien sumberdaya yang tersedia. Masyarakat lokal mengambil tanggung-
jawab dalam berbagai aktivitas sehingga meningkatkan efisiensi
2 Efektivitas Effectiveness: Partisipasi masyarakat dapat membuat proyek - proyek lebih efektif melalui pengambilan keputusan mengenai tujuan dan
strategi, partisipasi dalam pelaksanaan, sehingga memastikan penggunaan sumberdaya secara efektif
3 Kemandirian  Self-reliance:  Melalui  partisipasi  aktif  masyarakat  lokal, tidak  hanya  dapat  mengatasi  mentalitas  ketergantungan,  tetapi  juga  dapat
meningkatkan  kesadaran,  kepercayaan  diri  dan  pengawasan  atas  proses pembangunan
4 Jaminan  Coverage:  Partisipasi  masyarakat  dapat  menjadi  sebuah  usaha keras sebagai jaminan atas manfaat yang diperoleh kelompok sasaran
5 Keberlanjutan  Sustainability:  Partisipasi  masyarakat  dianggap  sebagai sebuah prasyarat bagi keberlanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukung-
nya  yaitu  kemauan,  kemampuan  dan  kesempatan  bagi  masyarakat  untuk berpartisipasi  Slamet,  2003.  Masyarakat  perlu  mengalami  proses  belajar  untuk
mampu  mengetahui  kesempatan –kesempatan  untuk  memperbaiki  kehidupan.
Setelah  mengetahui,  kemampuan  atau  ketrampilan  perlu  ditingkatkan  agar  dapat memanfaatkan kesempatan
–kesempatan itu. Diperlukan upaya khusus untuk membuat masyarakat mau memanfaatkan
kesempatan  memperbaiki  kehidupannya.  Kemampuan  menunjukkan  kualitas manusia dalam mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan
masyarakat  untuk  berpartisipasi  dalam  pembangunan  harus  didahului  oleh  suatu poses  belajar.  Ketersediaan  sumberdaya  material  atau  teknologi  erat  kaitannya
dengan  kemampuan  atau  kualitas  diri  dalam  mengembangkan  potensi  yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan
sumberdaya,  teknologi  dan  kesempatan  belajar  tidak  mampu  diakses  oleh masyarakat sehingga perlu ada pihak luar yang bersedia memfasilitasi masyarakat
berpartisipasi dalam pembangunan Slamet, 2003.
Faktor Penentu Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya
Partisipasi  masyarakat  dalam  pembangunan  mutlak  diperlukan  karena pada prinsipnya masyarakat  yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan
pembangunan.  Namun  demikan  pada  kenyataannya  menggerakkan,  mendorong serta mempertahankan partisipasi masyarakat yang telah berjalan tidaklah mudah.
Demikian pula dalam mempertahankan dan meningkatkan partisipasi masyarakat Terdapat  banyak  faktor  yang  terlibat  agar  para  masyarakat  dapat  tetap  konsisten
dan antusias dengan partisipasi yang selama ini telah dilaksanakannya.
Motivasi Nelayan
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Slamet 2003 bahwa salah satu syarat untuk  tumbuhnya  partisipasi  adalah  kemauan  dari  masyarakat.  Kemauan  atau
keinginan dalam bahasa Inggris identik dengan kata wishwillwant. Thoha 1999 menyebutkan  bahwa  istilah  motivasi  dipakai  silih  berganti  dengan  istilah
kebutuhan  need,  keinginan  wantwishwill,  dorongan  drive,  desakan  urge atau impuls.  Selain terletak pada kemampuannya, orang bekerja juga tergantung
pada keinginan mereka untuk bekerja atau tergantung pada motivasinya.
Sardiman 2000  menjelaskan  bahwa  kata  “motif  motive”  diartikan
sebagai  daya  yang  mendorong  seseorang  untuk  melakukan  sesuatu.  Motif  dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di luar subjek untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai su atu tujuan. Berawal dari kata “motif”
itu, maka motivasi motivation dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan
untuk mencapai tujuan sangat dirasakanmendesak.
Seseorang yang sangat termotivasi adalah orang yang melaksanakan upaya substansial,  guna  mendukung  tujuan-tujuan  produksinya.  Seseorang  yang  tidak
termotivasi,  hanya  memberikan  upaya  minimum  dalam  hal  bekerja.  Konsep motivasi merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individual
Maslow  berpendapat  bahwa  terdapat  kebutuhan-kebutuhan  atau  keinginan –
keinginan yang memotivasi individu untuk berupaya memenuhi atau memuaskan kebutuhan  tersebut.  Seseorang  akan  termotivasi  selama  kebutuhan-kebutuhan
tersebut  belum  terpenuhi.  Kebutuhan-kebutuhan  tersebut  adalah  fisiologis,  rasa aman, sosial atau afiliasi, prestasi atau rasa dihargai, dan aktualisasi diri Winardi,
2002.
Maslow  juga  mengemukakan  bahwa  motivasi  setiap  individu  akan  saling berbeda, sesuai  dengan tingkat  pendidikan dan kondisi  ekonominya.  Orang  yang
semakin  terdidik  dan  semakin  independen  secara  ekonomi,  maka  sumber motivasinyapun  akan  berbeda,  tidak  lagi  semata-mata  ditentukan  oleh  sarana
motivasi tradisional, seperti formal authorithy dan financial incentives, melainkan juga  dipengaruhi  oleh  faktor-faktor  kebutuhan  akan  growth  dan  achievement.
Para individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat prepoten atau  yang  paling  kuat  pada  saat  tertentu.  Prepotensi  suatu  kebutuhan  tergantung
pada situasi individual yang berlaku dan pengalaman-pengalaman yang baru saja dialami Winardi, 2002.
Berbagai  pengertian di  atas dapat  dinyatakan bahwa motivasi  masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya merupakan refleksi kesadaran
dan  kemauan  atau  keinginan  yang  ada  pada  diri  anggota  masyarakat.  Keinginan atau  kemauan  ini  yang  mendorong  nelayan  dan  kelompok  masyarakat  pesisir
lainnya untuk terlibat aktif dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang meliputi:
1.  Motivasi untuk Meningkatkan Pendapatan
Masyarakat  pesisir  pada  umumnya  adalah  nelayan  yang  sangat mengharapkan adanya perubahan dalam tingkat kesejahteraan hidupnya. Indikator
dari terjadinya perubahan positip dalam kesejahteraan hidup adalah meningkatnya pendapatan rumah tangga. Kartasapoetra 1991 menyatakan bahwa setiap petani
dan  keluarganya  ingin  meningkatkan  produksi  dalam  usaha  taninya  untuk mendapatkan  income  yang  sebesar-besarnya.  Sebelumnya  juga  dikemukakan
bahwa  untuk  dapat  hidup  sejahtera,  para  nelayan  harus  berusaha  meningkatkan pendapatannya, yang berarti harus menjalankan usaha perikanannya dengan lebih
produktif, sehingga lebih menguntungkan.
Kontribusi  suatu  sumber  pendapatan  akan  menentukan  keputusan masyarakat  dalam  berpartisipasi  mengelola  sumberdaya  pesisir.  Semakin  besar
sumbangan  suatu  sumber  pendapatan  terhadap  total  pendapatan  rumah  tangga akan  mendorong  untuk  lebih  mengoptimalkan  sumberdaya  yang  dimilikinya
untuk  kegiatan  tersebut.  Disamping  itu,  bagi  masyarakat  kesinambungan
perekonomian  keluarga  kadangkala  lebih  penting  dibandingkan  dengan keuntungan yang tinggi tetapi dalam waktu yang singkat.
Masyarakat  cenderung  memilih  aman  baik  dari  dimensi  waktu  maupun besaran  resiko  dalam  pengelolaan  sumberdaya  perikanan  dan  kelautan.  Dengan
kata  lain,  lebih  baik  memilih  usaha  yang  hasilnya  kecil  tetapi  aman  serta berkesinambungan  dibandingkan  dengan  hasil  besar  penuh  resiko  dan
ketidakpastian.  Jaminan  keamanan  bagi  perekonomian  keluarga  merupakan prioritas  utama,  terutama  bagi  nelayan  subsisten.  Dalam  kesimpulannya,  Sahidu
1998 mengemukakan bahwa pedapatan usaha merupakan sumber motivasi bagi nelayan  dan  merupakan  faktor  kuat  yang  mendorong  timbulnya  kemauan,
timbulnya kemampuan serta terwujudnya kinerja partisipasi masyarakat.
2.  Motivasi untuk Mendapatkan Pengakuan atas Kredibilitas
Paradigma  pembangunan  perikanan  dan  kelautan  masa  lalu  memandang keberadaan  masyarakat  sebagai  eksternalitas.  Masyarakat  pesisir  yang
kebanyakan nelayan kerap dianggap sebagai ancaman dan resiko, sehingga akses mereka  terhadap  sumberdaya  dibatasi,  bahkan  ditutup.  Faktanya  menurut
Nikijuluw  2002  bahwa  di  beberapa  daerah  terdapat  praktek  pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang dilakukan masyarakat telah menerapkan
kearifan  dan  pengetahuan  lokal  yang  memperhatikan  kelestariannya.  Pergeseran paradigma  pembangunan  perikanan  dan  kelautan  yang  terjadi  adalah  masyarakat
diposisikan sebagai  pelaku utama dan pemerintah mendorong masyarakat  pesisir untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa mereka memiliki kemampuan dan
dapat dipercaya untuk mengelola sumberdaya.
3.  Motivasi untuk Melestarikan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan
Kehidupan  perekonomian  dan  budaya  masyarakat  pesisir  sangat bergantung  pada  keberadaan  sumberdaya  perikanan  dan  kelautan  Nikijuluw,
2002.  Masyarakat  pesisir  memiliki  kearifan  dan  pengetahuan  lokal  dan menyadari  pentingnya  keberadaan  sumberdaya  yang  ada  di  sekitar  mereka  bagi
generasi berikutnya. Pengetahuan dan kearifan yang dimiliki telah mendorong dan mengarahkan  mereka  untuk  selalu  berusaha  menjaga  eksistensi  dan  kelestarian
sumberdaya.
Kemampuan Masyarakat Mengelola Sumberdaya
Kemampuan  ability  merupakan  kapasitas  individu  yang  memungkinkan individu  tersebut  dapat  melakukan  tugas-tugas  yang  bersifat  mental  dan  fisik.
Kemampuan  berkembang  sepanjang  waktu  melalui  interaksi  bakatbawaan  dan pengalaman,  serta  bersifat  menetappermanen  atau  bertahan  lama  dalam  diri
individu  Desimone  dkk,  2002.  Robin  2003  mendefinisikan  kemampuan sebagai  kapasitas  individu  untuk  mengerjakan  berbagai  tugas  dalam  suatu
pekerjaan,  yang  meliputi  kemampuan  intelektual  dan  kemampuan  fisik. Kemampuan  intelektual  adalah  kapasitas  untuk  melaksanakan  kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dengan kerja mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kapasitas untuk melaksanakan tugas-tugas yang menuntut adanya stamina, ketangkasan atau
keterampilan, dan kekuatan.
Kemampuan ability merupakan konsep yang sering disandingkan dengan konsep  kompetensi  competencycompetence  bahkan  terkadang  dipertukarkan
penggunaannya.  Sebagaimana  tercantum  dalam  Oxford Learner’s  Pocket
Dictionary  bahwa  competence  diartikan  sama  dengan  being  competent,  ability.
Definisi  tentang  kompetensi  yang  sering  dipakai  adalah  karakteristik  yang mendasari  individu  untuk  mencapai  hasil  kerja  yang  superior.  Kompetensi  juga
merupakan  pengetahuan,  keterampilan,  dan  kemampuan  yang  berhubungan dengan  pekerjaan,  serta  kemampuan  yang  dibutuhkan  untuk  pekerjaan-pekerjaan
non rutin Susanto, 2003.
Kemampuan, menurut Robert dan Kinicki 1991 adalah karakteristik yang luas dan mapan yang bertanggungjawab atas kinerja maksimum seseorang dalam
melaksanakan  tugas-tugas  yang  berkaitan  dengan  mental  dan  fisik  yang diklasifikasikan menjadi dua tingkatan yaitu:
1 Kemampuan ambang batas threshold competency : Kemampuan minimal yang  harus  dimiliki  oleh  seseorang  agar  dapat  melakukan  pekerjaannya
dengan  baik.  Dikatakan  minimal  karena  sekedar  terpenuhinya  standar kerja  minimal  yang  dipersyaratkan,  tidak  lebih,  sehingga  pekerjaan  dapat
terselesaikan dengan baik.
2 Kemampuan yang membedakan differentiating competency Kemampuan  unggul  yaitu  kemampuan  yang  dapat  membedakan  antara
seseorang  yang  memiliki  kinerja  superior  dengan  yang  tidak  memiliki kinerja  superior.  Dikatakan  superior,  apabila  kinerja  seseorang  berada  di
atas  rata-rata  kebanyakan  orang,  dengan  kata  lain  mampu  melakukan pekerjaan  dengan  lebih  baik  dibandingkan  dengan  orang  lain  yang
melakukan pekerjaan yang sama. Soesarsono 2002 menyatakan secara umum kemampuan individu dibagi
menjadi tiga macam, yaitu: 1 kemampuan  personal  yaitu  kemampuan  seseorang  yang  dihubungkan
dengan kepribadian, sifat-sifat atau karakter yang dimilikinya. 2 kemampuan  sosial  yaitu  kemampuan  seseorang  dalam  berkomunikasi,
berinteraksi dan membangun hubungan dan jaringan dengan orang lain. 3 kemampuan  profesional  yaitu  seperangkat  kemampuan  khusus  yang
dimiliki  seseorang  dalam  melaksanakan  profesinya  atau  melaksanakan tugas tertentu.
UNESCO  2005  mengkategorikan  kemampuan  yang  perlu  dimiliki  oleh
individu secara lebih mendasar dengan mengaitkannya pada proses perkembangan manusia dan proses belajar yang dialami oleh manusia. Menurut UNESCO bahwa
terdapat  empat  kemampuan  dasar  yang  perlu  dimiliki  oleh  individu  untuk menghadapi tantangan yang muncul di dalam hidupnya dan yang muncul di dalam
masyarakatnya. Empat kemampuan tersebut adalah:
1 Learning to be, dapat dinyatakan sebagai kemampuan personal. Kemampuan  personal  merupakan  potensi  individu  yang  terkait  dengan
konsep  diri,  yaitu  cara  bagaimana  individu  memandang  dirinya  sendiri. Kemampuan  personal  membuat  setiap  individu  berbeda  satu  dengan
lainnya.  Dengan  kemampuan  personal,  seseorang  dapat  dan  sanggup melakukan sesuatu yang berbeda dari individu lainnya.
2 Learning to live together, identik dengan  kemampuan sosialrelasional. Kemampuan yang memungkinkan individu membangun hubungan dengan
orang  lain  interpersonal  competency  dan  masyarakat  lainnya  social competency.
3 Learning to know, dapat dinyatakan sebagai kemampuan kognitif. Kemampuan  dalam  menggunakan,  meningkatkan  dan  mendayagunakan
intelektual.  Terdapat  tiga  instrumen  untuk  mengembangkan  kemampuan ini  yaitu  belajar  tentang  cara  belajar  learning  how  ton  learn,  mengajar
tentang  cara  mengajar  teaching  how  to  teach,  dan  mengetahui  tentang cara mengetahui knowing how to know.
4 Learning to do, dapat dinyatakan sebagai kemampuan produktif Kemampuan  yang  terkait  dengan  upaya  individu  membangun  dirinya
menjadi  individu  yang  produktif,  kreatif,  dan  inovatif.  Kemampuan produktif terekspresi  dalam  bentuk  kemampuan  mengarahkan directing,
mengelola  managing,  koordinasikerjasama  coordinating,  pengawasan dan  evaluasi  terhadap  produksi  sendiri  self-management,  produksi
kelompok  sendiri  co-management,  atau  produksi  kelompok  lain  group management.  Kemampuan  ini  dapat  menciptakan  ruang  enterpreneur
bagi individu.
Pengertian Sikap
Definisi  sikap  sebagai  suatu  gejala  psikologis  memiliki  berbagai  definisi dengan  berbagai  tinjauan  dari  para  ahli.  Allport
Mar’at, 1984 mendefinisikan sikap  sebagai  keadaan  dan  kesiapan  mental  yang  terorganisasi  melalui
pengalaman  yang  secara  langsung  dan  dinamis  mempengaruhi  respon  seseorang terhadap  semua  obyek  atau  situasi  yang  mempunyai  hubungan  dengan  dirinya.
Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, setuju, tidak setuju dan sebagainya.
Mar’at  1984  membuat  rangkuman  mengenai  pengertian  sikap berdasarkan berbagai definisi yang dirumuskan Allport, yaitu :
1  Attitudes  are  learned,  yang  berarti  sikap  tidaklah  merupakan  sistem fisiologis  ataupun  diturunkan,  akan  tetapi  sikap  sebagai  hasil  belajar
diperoleh  melalui  pengalaman  dan  interaksi  yang  terus  menerus  dengan lingkungan.
2  Attitudes  have  referent,  yang  berarti  bahwa  sikap  selalu  dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide.
3  Attitudes  are  social  learning,  yang  berarti  bahwa  sikap  diperoleh  dalam berinteraksi dengan manusia lain.
4  Attitudes  have  readiness  to  respond,  yang  berarti  adanya  kesiapan  untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
5  Attitudes are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian  dan  sikap,  akan  tampak  pada  pilihan  yang  bersangkutan,  apakah
positif, negatif atau ragu. 6 Attitudes  are  very  intensive,  yang  berarti  bahwa  tingkat  intensitas  sikap
terhadap obyek tertentu kuat atau juga lemah. 7  Attitudes  have  a  time  dimension,  yang  berarti  bahwa  sikap  tersebut
mungkin  hanya  cocok  pada  situasi  yang  sedang  berlangsung,  akan  tetapi belum tentu sesuai pada saat lainnya
8 Attitudes  have  a  duration  factor,  yang  berarti  bahwa  sikap  dapat  bersifat relatif konsisten dalam sejarah hidup individu.
9  Attitudes  are  complex,  yang  berarti  bahwa  sikap  merupakan  bagian  dan konteks persepsi ataupun kognisi individu.
10   Attitudes are evaluations, yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian terhadap  sesuatu  yang  mungkin  mempunyai  konsekuensi  tertentu  bagi
yang bersangkutan. 11   Attitudes  are  inferred,  yang  berarti  bahwa  sikap  merupakan  penafsiran
dan  tingkah  laku  yang  mungkin  menjadi  indikator  yang  sempurna,  atau bahkan yang tidak memadai.
Suatu sikap mempunyai komponen, yaitu Mar’at, 1984 : 1 komponen kognitif,  yaitu  seseorang  yang  bersikap  perlu  memiliki  pengetahuan  mengenai
obyek  sikapnya,  terlepas  dan  apakah  pengetahuannya  tersebut  benar,  salah, lengkap,  tidak  lengkap  dan  sebagainya;  2  komponen  afektif,  komponen  ini
merupakan  komponen  yang  paling  penting.  Seseorang  yang  bersikap  akan mempunyai  pemaknaan  sebagai  hasil  evaluasi  emosional  setuju,  tidak  setuju
mengenai  obyek  sikapnya  dan  3  komponen  konatif,  bahwa  suatu  sikap  tidak lengkap  hanya  dengan  pengetahuan  dan  evaluasi  emosional  tetapi  juga  memiliki
kecenderungan  individu  dalam  bertingkah  laku    merespon  yang  bersifat  lebih permanen.    Dari  uraian  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  sikap  adalah  perasaan,
pikiran dan kecenderungan individu bertingkah laku  merespon yang kurang lebih bersikap  permanen  terhadap  sesuatu  yang  dinyatakan  dengan  persetujuan  atau
ketidaksetujuan, perasaan senang atau tidak senang dan sejenisnya.
Proses Penyuluhan Pembangunan
Slamet  2003  menguraikan  bahwa  istilah  penyuluhan  pada  awalnya dikenal  sebagai  “agricultural  extention.”  Karena  penggunaannya  di  bidang  lain,
maka  sebutannya  berubah  menjadi  extention  education  dan  development communication.
Istilah  “penyuluhan”  pertama  kali  dikemukakan  oleh  James  Stuart  dari Trinity  College  Cambridge  tahun  1967,  sehingga  Stuart  dikenal  sebagai  bapak
Penyuluhan van Den Ban dan Hawkins, 1999. Berbagai istilah digunakan untuk mengambarkan  proses  belajar  penyuluhan,  seperti:  1  voorlichting  Belanda
yang  berarti  memberi  penerangan  untuk  menolong  seseorang  menemukan jalannya,  2  beratung  Inggris  dan  Jerman  yang  mengandung  makna  sebagai
seorang  pakar  memberikan  petunjuk  kepada  seseorang  tetapi  seseorang  tersebut berhak menentukan pilihannya, 3 erziehung mirip artinya dengan pendidikan di
Amerika Serikat yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga  dapat  memecahkan  sendiri  masalahnya,  4  forderung  Austria  yang
diartikan  sebagai  menggiring  seseorang  ke  arah  yang  diingikan,  dan  5 fulgarisation  Perancis  menekankan  penyederhanaan  pesan  bagi  orang  awam
Van Den Ban dan Hawkins, 1999.
Secara  harafiah  penyuluhan  berasal  dari  kata  suluh  yang  berarti  obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dengan demikian, penyuluhan
dapat  diartikan  sebagai  proses  memberikan  penerangan  tentang  sesuatu  yang belum  “diketahui.”  Namun,  penerangan  yang  dilakukan  harus  terus  menerus
sampai  segala  sesuatu  yang  diterangkan  benar-benar  dipahami,  dihayati  dan dilaksanakan  oleh  masyarakat  Mardikanto,  1993.  Van  Den  Ban  dan  Hawkins
1999  mengartikan  penyuluhan  sebagai  keterlibatan  seseorang  melakukan komunikasi  secara  sadar  untuk  membantu  sesamanya  berbagi  pendapat  sehingga
bisa membuat keputusan yang benar.
Asngari 2003 mengartikan penyuluhan sebagai kegiatan mendidik orang dengan  tujuan  mengubah  perilaku  klien  sesuai  yang  dikehendaki.  Ini  merupakan
usaha  memberdayakan  potensi  individu  klien  agar  lebih  berdaya  dan  mandiri. Berdasarkan  pandangan  tersebut  disimpulkan  bahwa  kegiatan  penyuluhan  selalu
berorientasi  pada  perubahan  perilaku  serta  penemuan  baru  dan  mampu meningkatkan kesadaran dan rasa percaya diri individu. Karena itu Asngari 2008
lebih lanjut menekankan pentingnya mengembangkan falsafah penyuluhan antara lain:  1 falsafah mendidik, 2 falsafah pentingnya  pribadi  individu,  3  falsafah
demokrasi,  4  falsafah  bekerja  bersama  antara  penyuluhagen  pembaharuan dengan  klien,  5  falsafah  membantu  klien  agar  mereka  mampu  membantu  diri
sendiri    6  falsafah  membakar  sampah  secara  tradisional  dan  7  falsafah berkelanjutan.
Sumardjo  2008  mengemukakan  bahwa  kemampuan  rakyat  untuk berpartisipasi  dalam  pembangunan  adalah  sejalan  dengan  efektivitas  proses
belajar sosial    yang dialaminya. Proses belajar  menyebabkan  rakyat  memperoleh dan  memahami  informasi,  kemudian  secara  kognitif  memprosesnya  menjadi
pengetahuan tentang adanya kesempatan dan melatih dirinya agar mampu berbuat konatif serta secara intrinsik termotivasi untuk mau afektif bertindak atas dasar
manfaat yang akan dapat diraihnya. Dikemukakan lebih lanjut bahwa keseluruhan proses  ini  merupakan  ruang  lingkup  penyuluhan  pembangunan  dan  menjadi
bagian utama yang harus dikembangkan dalam ilmu penyuluhan pembangunan.
Sumardjo  2008  mengemukakan  bahwa  pada  falsafah  penyuluhan terdapa
t makna “menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan  yang  ditujukan  untuk  meningkatkan  kesejahteraannya”  Helping
people  to  help  themselves  through  educational  means  to  improve  their  level  of living.    Menyangkut  falsafah  ini,  Asngari  2008  mengutip  pikiran  Tomson
Repley  Bryant  sebagai  berikut  :
“The whole extention philosophy is built on the idea of helping people to help themselves and getting them to realize that is their
interest to help them selves. It is essential that they will not get real help until they do it themselves.”
Falsafah  penyuluhan  tersebut  juga  sejalan  dengan  prinsip  pemberdayaan Empowerment  yang  dikemukakan  oleh  Ife  2006
:  “Empowerment  means providing  people  with  the  resources,  knowledge  and  skill  to  increase  their
community. ”  Maknanya  adalah  bahwa  menyiapkan  komunitas  atau  individu
dengan  sumberdaya,  kesempatan,  keahlian  dan  pengetahuan  agar  kapasitas komunitas  meningkat  sehingga  dapat  berpartisipasi  menentukan  masa  depan.
Lebih  lanjut  Ife  mengemukakan  bahwa  pemberdayaan  bertujuan  membangun kemandirian  self  reliance  artinya,  komunitas  mencari  atau  berusaha
menggunakan sumberdaya lokal sendiri dari pada bantuan luar, baik SDM, SDA, keuangan dan teknik. Prinsip kemandirian bukan berarti tanpa bantuan orang lain
tetapi  justru  mendorong  masyarakat  untuk  bekerjasama,  berkontribusi partisipasi, bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan sesuatu.
Mardikanto  1993  mengatakan  bahwa  materi  penyuluhan  pada hakekatnya  merupakan  segala  pesan  yang  ingin  dikomunikasikan  penyuluh
kepada masyarakat sasarannya. Dengan kata lain, materi penyuluhan adalah pesan yang  ingin  disampaikan  dalam  proses  komunikasi  pembangunan.  Dengan
demikian,  materi  penyuluhan  adalah  sgala  sesuatu  yang  di  sampaikan  oleh penyuluh kepada individu atau masyarakat sasaran.
Dalam  kaitan  dengan  materi  penyuluhan,  Mardikanto  Margono,  2003 mengatakan  beberapa  hal  yang    perlu  diperhatikan,    yaitu:  1  pentingnya
pengembangan kebiasaan untuk mengkritisi setiap materi belajar, terutama setiap inovasi yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat; 2 selalu mengacu
kepada  kebutuhan  calon  penerima  manfaat;  3  materi  belajar  tidak  harus  benar- benar baru tetapi dapat berupa praktek lama, kebiasaan atau teknologi  yang telah
dikembangkan  masyarakat  setempat  dan  4  sumber  materi  belajar  tidak  selalu berasal  dari  pakar,  orang  lain  atau  texbook  atau  surat  kabar,  majalah,  radio,  TV
akan  tetapi  lebih  diutamakan  dari  pelaku-pelaku  setempat  yang  telah berpengalaman  yang  disampaikan  secara  lisan  dalam  diskusi,  pertemuan-
pertemuan, percakapan informal dan lain
–lain. Metode  penyuluhan  menurut  Ibrahim  dkk.  2003  adalah  cara-cara
penyampaian  materi  penyuluhan  secara  sistematis  sehingga  materi  penyuluhan tersebut  dapat  dimengerti  dan  diterima  oleh  masyarakat  sasaran.  Pengalaman
menunjukan  bahwa  metode  penyuluhan  sangat  berperan  dalam  menunjang keberhasilan program  penyuluhan karena sebaik  apapun materi penyuluhan  yang
disampaikan  tidak  akan  mampu  merubah  perilaku  sasaran  yang  diinginkan  bila metode peyuluhan yang digunakan kurang tepat.
Beberapa  hal  yang  perlu  dipertimbangkan  dalam  memilih  metode
penyuluhan  menurut  Slamet  dan  Asngari  Sumardjo  2008,  yaitu  sebanyak banyaknya  sasaran  yang  harus  dilayani,  sesering-seringnya  berinteraksi  dengan
sasaran  dan  semurah-murahnya  tetapi  menjadi  media  pengalaman  yang  efektif. Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan metode-metode penyuluhan harus didasarkan
pada  persyaratan  sebagai  berikut:  1  sesuai  keadaan  sasaran,  2  cukup  dalam jumlah dan mutu, 3 tepat  sasaran dan pada  waktunya,  4 amanat  harus mudah
diterima  dimengerti dan 5 murah pembiayaannya atau efisien.
Setiap  metode  pasti  memiliki  kelebihan  dan  kekurangan  masing-masing. Sumardjo  2008  mengemukakan  bahwa  pada  prinsipnya,  makin  sedikit  sasaran
belajar  dengan  menggunakan  suatu  metode  yang  sama  cenderung  makin  efektif, tetapi  sebaliknya  cenderung  makin  tidak  efisien.  Dalam  pelaksanannya,  kegiatan
tersebut  dapat  dilakukan  secara  langsung  face  to  face  atau  misalnya  dengan telepon dapat pula dilakukan secara tidak langsung yaitu menggunakan surat dan
media massa tetapi um;pan balik tidak dapat terjadi secara spontan.
Mardikanto  1993  menyarankan  untuk  menerapkan  beragam  metode secara  simultan  yang  saling  menunjang  dan  melengkapi.    Secara  umum  terdapat
banyak sekali metode yang dapat dipergunakan dalam setiap kegiatan penyuluhan antara  lain:  metode  ceramah,  diskusi,  kunjungan  lapang,  magang,  studi  banding,
temu  lapang  dan  lain-lain.  Dengan  demikian,  setiap  penyuluh  setelah memperhatikan
kondisi keragaman
baik masyarakat
sasaran maupun
lingkungannya  harus  memahami  dan  mampu  memilih  atau  mengkombinasikan metode  penyuluhan  yang  paling  sesuai  untuk  kegiatan  penyuluhan  yang  akan
dijalaninya di masyarakat yang bersangkutan.
Dalam penjabaran yang cukup rinci berkaitan dengan metode, Mardikanto 1993  menyebutkan  beberapa  hal  penting  dalam  penyuluhan,  yaitu  1
pentingnya  meninggalkan  proses  pendidikan  yang  menggurui,  2  penting membangun  kebiasaan  dan  semangat  belajar  seumur  hidup,  3  mendorong
kebiasaan sasaran untuk  mengkritisi  setiap materi belajar terutama setiap inovasi yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat, 4 penggunaan alat bantu
dan  atau  alat  peraga  tidak  harus  menggantungkan  peralatanteknologi  tertentu, tetapi dapat dimanfaatkan benda dari keadaan lapang dan 5 keadaan nara sumber
atau  fasilitator  bukan  penentu  atau  pengambil  keputusan  tetapi  cukup  sebagai pemberi  pertimbangan  yang  harus  dicermati  sesuai  dengan  kemampuan  dan
sumberdaya yang dimiliki.
Mardikanto 1993 membagi media penyuluhan atas lima golongan yaitu: 1  bahan  cetakan  atau  bacaan  suplementary  material  seperti  buku,  komik,
koran,  majalah,  buletin,  folder,  pamflet,  dan  lain-lain;  2  alat-alat  audio  visual yang terdiri dari media tanpa proyeksi papan tulis, bagan, diagram, grafik, poster,
kartun,  media  tiga  dimensi  model,  benda  asli,  benda  tiruan,  diodrama,  boneka, peta, globe, museum, media dengan alat masinal slide film, film strip, rekaman,
radio,  televisi,  komputer  dan  lain
–lain;  3  sumber-sumber  masyarakat  berupa objek-objek:  peninggalan  sejarah,  dokumentasi,  bahan-bahan  dan  masalah-
masalah  dari  bebagai  bidang  daerah,  penduduk,  sejarah,  idustri,  kebudayaan, politik dan lain lain; 4 kumpulan benda material collection, berupa benda yang
dibawa  oleh  masyarakat  seperti:  daun  yang  terserang  penyakit,  bibit  unggul  dan lain-lain;  dan  5  contoh  berupa  tingkah  laku  yang  diperbuat  penyuluh  seperti:
melakukan gerakan tertentu menggunakan tangan dan lain-lain.
Dalam  kaitan  media  dengan  metode  penyuluhan,  Sumardjo  2008, menguraikan  media  penyuluhan  ke  dalam  empat  kategori,  yaitu:  1  lisan,  2
tertulis  atau  tercetak,  3  terlihat  atau  terproyeksi  dan  4  terperaga.  Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada prinsipnya makin banyak indera sasaran belajar dilibatkan
dalam suatu proses belajar maka cenderung makin efektif.
Beberapa alasan penting mendasari urgensi penggunaan media penyuluhan menurut  Ibrahim  dkk  2003  yaitu:  1  menjadi  sarana  penyampaian  pesan  yang
tidak sepenuhnya
dapat dijelaskan
dengan menggunakan
kata-kata, 2  memperkuat  penjelasan  yang  tidak  dapat  ditirukan  oleh  penyuluh  dan
3  pesan-pesan  yang  disampaikan  dengan  menggunakan  media  tidak  mudah hilang dari ingatan penerima dalam proses penyuluhan.
Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
Terumbu karang memiliki nilai sumberdaya yang penting bagi masyarakat sekaligus sangat rentan terhadap gangguan.  Polusi, penambangan karang, tangkap
lebih, penggunaan bahan peledak, racun potas dan sianida, pukat harimau dan cara tangkap  lain  yang  tidak  ramah  lingkungan  merupakan  anacaman  umum  yang
dapat mengganggu kondisi lingkungan pesisir dan laut.  Kegiatan –kegiatan di atas
mengganggu dan merusak fungsi, kesehatan dan keseimbangan ekologis terumbu karang.    Kegiatan  yang  tidak  bertangggung  jawab  ini,  selain  merusak  ekosistem
dan  lingkungan  pesisir  juga  akan  memberikan  dampak  negatif  terhadap kesejahteraan  masyarakat  pesisir  yang  menggantungkan  hidupnya  pada
keseimbangan  dan  produktivitas  ekosistem  sumberdaya  pesisir  dan  laut Coremap, 2008.
Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat DPL –BM adalah daerah
pesisir  dan  laut  yang  dipilih  dan  ditetapkan  untuk  ditutup  secara  permanen  dari kegiatan  perikanan  dan  pengambilan  sumberdaya  serta  dikelola  oleh  masyarakat
setempat.  Kegiatan  perikanan  dan  pengambilan  sumberdaya  merupakan  hal terlarang  di  dalam  kawasan  DPL
–BM.    Demikian  pula  akses  manusia  di  dalam kawasan  tersebut  diatur  dan  sedapat  mungkin  dibatasi.    Pengaturan,  pembatasan
dan  larangan  aktivitas  tersebut  ditetapkan  oleh  masyarakat  dan  pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa Tulungen dkk., 2002
DPL –BM  merupakan  salah  satu  metode  yang  efektif  untuk  mengatur
kegiatan  perikanan,  melindungi  tempat  ikan  bertelur  dan  membesarkan  larva, sebagai  daerah  asuhan  juvenil,  melindungi  suatu  wilayah  dari  kegiatan
penangkapan  ikan  yang  berlebihan  dan  menjamin  ketersediaan  stok  perikanan secara berkelanjutan.  Secara khusus, tujuan penetapan Daerah Perlindungan laut
Berbasis Masyarakat adalah :
1 Mempertahankan  dan  meningkatkan  produksi  perikanan  di  sekitar  daerah perlindungan.
2 Menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut. 3 Dapat  dikembangkan  sebagai  tempat  yang  cocok  untuk  daerah  tujuan
wisata. 4 Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
5 Memperkuat  kesadaran  masyarakat  sehingga  dapat  meningkatkan tanggung  jawab  untuk  mengambil  peran  dalam  mengelola  sumberdaya
secara lestari. 6 Sebagai  lokasi  penelitian  dan  pendidikan  keanekaragaman  hayati  pesisir
dan laut bagi masyarakat luas. Pembentukan  dan  pengelolaan  DPL
–BM harus dilakukan bersama antara masyarakat,  pemerintah  dan  para  pemangku  kepentingan  lain.  Pemerintah
setempat  harus  bekerja  sama  dengan  masyarakat  dalam  proses  penentuan  lokasi dan  aturan  DPL
–BM,  penyelenggaraan  pendampingan  bagi  masyarakat  serta bantuan teknis dan dukungan pendanaan.  Masyarakat dan pemerintah juga dapat
membangun  kerja  sama  dengan  pihak  lain  seperti  LSM  dan  swasta  untuk membentuk dan mengelola DPL
–BM Coremap, 2008. DPL
–BM secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktivitas perikanannya  sudah  berlangsung  lama  dan  habitat  terumbu  karangnya  mungkin
mulai  rusak  oleh  aktivitas  manusia.  Perlindungan  terhadap  ekosistem  terumbu karang  dari  kegiatan  penangkapan  ikan  dan  kegiatan  manusia  lainnya  akan
memberikan  kesempatan  bagi  terumbu  karang  yang  sudah  rusak  untuk  kembali hidup  dan  berkembang  biak.    Bibit  dari  organisme  hidup  yang  dibawa  oleh  arus
dari  daerah  sekitar  DPL
–BM  akan  menetap  dan  menjadi  besar  dalam  kawasan yang  dilindungi  tersebut.  Kawasan  terumbu  karang  yang  kaya  akan  nutrien  dan
tempat  hidup  akan  menyediakan  kebutuhan  bagi  ikan  untuk  tumbuh  dan berkembang biak.
Pada  dasarnya  DPL –BM  juga  akan  menarik  ikan  dari  daerah  yang
berdekatan  sebagai  tempat  mencari  makan  dan  berkembang  biak.    Ikan –  ikan
kecil juvenil akan terbawa arus dan selanjutnya akan menetap di dalam kawasan DPL
–BM.  Seiring  dengan  berjalannya  waktu,  juvenil  tersebut  akan  membesar sehingga  jumlah  ikan  yang  menetap  di  DPL
–BM  akan  semakin  padat.    Hal  ini menyebabkan ikan
– ikan yang berkembang di wilayah DPL–BM akan berenang dan  menetap  di  sekitar  kawasan  luar  DPL
–BM.    Nelayan  dapat  terus  menerus menangkap  ikan  di  luar  kawasan  DPL
–BM  karena  adanya  suplai  ikan  yang konsisten  dari  kawasan.    Dengan  demikian,  DPL
–BM  merupakan  ”bank  ikan” yang membantu menambah jumlah ikan di luar kawasan DPL
–BM.