PROFIL WILAYAH DAN KARAKTERISTIK SOSIAL –

Tabel 10. Sebaran Organisasi Masyarakat Pengelola APL –BM No Nama Kelompok Lokasi Kelurahan Tahun Terbentuk Jumlah pengurus Orang Luasan Areal Inti Ha Dasar Hukum 1 APL Panggang Lestari P. Panggang 2004 11 11 SK. Bupati No. 3572004 2 APL Anemon P. Kelapa 2006 23 7 - 3 APL Bahari Indah P. Harapan 2005 19 12 - 4 APL Pari Indah P. Pari 2005 18 12 - 5 APL Lestari Indah P. Tidung 2005 20 10 - Sumber : data primer, diolah Pada saat dilakukan penelitian, kualitas ekosistem terumbu karang di areal inti perlindungan menunjukkan kondisi yang beragam. Kualitas ekosistem terumbu karang terbaik terdapat di lokasi APL –BM Kelurahan Pulau Tidung, diindikasikan dengan persentase penutupan karang keras paling tinggi dan indeks kematian karang paling rendah. Kondisi kualitas ekosistem terumbu karang di Kelurahan Pulau Tidung tersebut tergolong dalam kategori baik Tabel 11. Tabel 11. Sebaran Kualitas Ekosistem Terumbu Karang di Areal Inti APL –BM Kriteria Kualitas Ekosistem Lokasi APL –BM Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari Tutupan karang keras 40,67 24,33 39,50 61,56 42,58 Indeks kematian karang 0 –1 0,44 0,63 0,64 0,19 0,34 Sumber : Laporan Monitoring –Evaluasi Ekosistem Laut Kepulauan Seribu, 2011 Selain menerapkan program APL –BM dengan areal perlindungan khususnya, Pemda melalui Suku Dinas Kelautan –Pertanian sejak tahun 2005 juga melakukan program rehabilitasi sumberdaya laut khususnya ekosistem terumbu karang di areal pemanfaatan melalui aktivitas penenggelaman terumbu buatan fish shelter. Fish shelter adalah struktur benda padat buatan manusia yang ditenggelamkan di perairan dengan tujuan dijadikan tempat perlindungan dan berkumpulnya ikan di dalam atau di sekitar struktur tersebut. Fish shelter ditenggelamkan di sejumlah lokasi yang terumbu karangnya mengalami kerusakan atau yang perairannya ditengarai mengalami kelangkaan ikan. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang dapat menanggulangi dan memperbaiki sumberdaya perikanan dan kelautan secara lestari di wilayah Kepulauan Seribu. Sejauh ini, indikator pemulihan produktivitas sumberdaya pada fish shelter di Kelurahan Pulau Tidung menunjukkan indikasi kualitas paling baik berdasarkan sebaran jenis ikan dan jumlah ikan yang teramati dibandingkan dengan empat fish shelter lainnya. Keragaan pemulihan produktivitas sumberdaya perikanan pada fish shelter di Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 12. Sebaran lokasi APL –BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Gambar 3. Tabel 12. Sebaran Komunitas Ikan Terumbu Karang pada Fish Shelter Kriteria Lokasi Fish Shelter Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari Distribusi jenis ikan 13 famili, 16 spesies 10 famili, 33 spesies 5 famili, 12 spesies 12 famili, 35 spesies 14 famili, 26 spesies Jumlah total pengamatan 240 585 237 702 530 Sumber : Laporan Monitoring –Evaluasi Ekosistem Laut Kepulauan Seribu, 2011 Sejarah Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Wilayah Kepulauan Seribu secara administrasi pada awalnya berstatus sebagai Kecamatan Pulau Seribu yang merupakan bagian dari wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara. Untuk meningkatkan perkembangan di wilayah Kepulauan Seribu dalam segala aspek terutama kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya alam serta pemberdayaan ekonomi, sosial budaya dan kesejahteraan rakyat, maka kemudian Kecamatan Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Ketentuan ini diatur dalam Undang –Undang Nomor 34 tahun 1999 tanggal 31 Agustus 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2001 tanggal 3 Juli 2001 tentang Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peningkatan status menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu diikuti dengan pemekaran kecamatan dari 1 menjadi 2 kecamatan dan dari 4 kelurahan menjadi 6 kelurahan. Pulau Pramuka ditetapkan sebagai ibukota kabupaten. Berkaitan dengan aspek penataan ruang kemudian disusun Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang mengacu pada RTRW Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 19862000 tanggal 27 Juli 2000, secara administrasi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki luas wilayah 8,76 Km 2 875,55 Ha daratan dan dan luas lautan 6.997,5 Km 2 . Wilayah ini terdiri atas dua kecamatan dan enam kelurahan di mana semua kelurahannya merupakan kelurahan pesisir pantai dengan jumlah Rukun Tetangga sebanyak 122 unit. Posisi geografisnya terletak di antara 05°1000 –05°5700 Lintang Selatan dan 106°1930 – 106°4450 Bujur Timur, dengan batas geografis :  Sebelah Timur dengan Laut Jawa  sebelah Barat dengan Laut JawaSelat Sunda  Sebelah Utara dengan Laut JawaSelat Sunda  Sebelah Selatan dengan Kota Administrasi Jakarta Utara, Kota Administrasi Jakarta Barat dan Kabupaten Tangerang. Gambar 3. Sebaran lokasi APL –BM di Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tipe iklim di wilayah Kepulauan Seribu adalah tropika panas dengan suhu maksimum 32°C dan suhu minimum 21°C. Kelembapan udaranya tergolong sistem musim equator yang cenderung dipengaruhi oleh variasi tekanan udara. Pada bulan November hingga April berlangsung musim hujan dengan hari hujan berkisar antara 10 –20 haribulan. Sementara musim kemarau terjadi pada bulan Mei hingga Oktober dengan 4 –10 hari hujanbulan. Curah hujan bulanan tercatat rata –rata 142,5 dengan curah hujan terendah pada bulan Juni 0 mm dan tertinggi pada September 307 mm. Gambaran umum keadaan iklim di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut Tabel 13. Tabel 13 . Keadaan Iklim Tahunan Uraian 2011 Rata-rata Suhu Udara °C 28,40 Rata-rata Kelembaban Udara 78,25 Rata-rata Tekanan Udara mbs 1.009,7 Rata-rata Kecepatan Angin knots 4,5 Hujan hari 175 Sumber: Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011 Keadaan pasang surut di Kepulauan Seribu dapat digolongkan sebagai pola harian tunggal. Kedudukan air tertinggi adalah 0,6 meter dan terendah adalah 0,5 meter di bawah duduk tengah. Rata –rata ketinggian air pada pasang perbani adalah 0,9 meter dan rata –rata ketinggian air pada pasang mati adalah 0,2 m di mana ketinggian air tahunan terbesar mencapai 1,10 meter. Kecepatan arus di Kepulauan Seribu berkisar antara 0,6 cmdetik-77,3cmdetik. Kecepatan arus dipengaruhi kuat oleh angin dan sedikit pasang surut. Arus permukaan pada musim barat berkecepatan maksimum 0,5 mdetik dengan arah ke timur sampai tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya 0,5 mdetik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian pada 0,5 –1,175 meter dan musim timur 0,5 –1,0 meter Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011. Berdasarkan hasil pendataan penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah 21.071 orang yang terdiri atas 10.695 laki-laki dan 10.376 perempuan yang tergabung dalam 4871 Kepala Keluarga. Berdasarkan hasil sensus tersebut tampak penyebaran penduduk masih terkonsentrasi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dibandingkan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, yaitu memiliki jumlah penduduk sebesar 12.742 orang di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan 8.329 orang di kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Sex rasio atau perbandingan laki-laki dengan perempuan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebesar 103,07 persen. Untuk sex rasio menurut kecamatan masing-masing 101,87 persen di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan 103,87 persen untuk Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebesar 2,02 persen per tahun. Laju pertumbuhan penduduk yang terjadi di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan adalah sebesar 2,76 persen per tahun dan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebesar 1,57 persen per tahun. Dari rata –rata satu orang wanita usia subur 15 –49 tahun dapat melahirkan 1–2 orang anak selama masa reproduksinya dan dalam 1000 kelahiran hidup terdapat 13 –14 orang bayi di bawah usia satu tahun yang meninggal. Usia harapan hidup penduduk mencapai hingga 75 tahun. Pembagian wilayah kecamatan, kelurahan dan luasan pulau pemukiman di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Pembagian Wilayah Administrasi dan Luasan Pulau Berpenghuni Nama Kecamatan Nama Kelurahan Nama Pulau Berpenghuni Luas Wilayah Pulau Berpenghuni Ha 1. Kepulauan Seribu Utara jumlah pulau : 79 a. Kel. Pulau Panggang jumlah pulau : 13 b. Kel. Pulau Kelapa jumlah pulau : 30 c. Kel. Pulau Harapan jumlah pulau : 36 1. Pulau Pramuka 2. Pulau Panggang 1. Pulau Kelapa 2. Pulau Kelapa Dua 1. Pulau Harapan 2. Pulau Sebira 9,00 16,00 6,70 8,82 1,9 13,09 2. Kepulauan Seribu Selatan jumlah pulau : 31 a. Kel. Pulau Tidung jumlah pulau : 15 b. Kel. Pulau Pari jumlah pulau : 6 c. Kel. Pulau Untung Jawa jumlah pulau : 10 1. Pulau Tidung Besar 2. Pulau Payung Besar 1. Pulau Pari 2. Pulau Lancang Besar 1. Pulau Untung Jawa 50,13 20,86 41,32 15,13 40,10 Total : 2 Kecamatan 6 Kelurahan, 110 pulau 11 pulau berpenghuni 223,05 Ha luasan pulau berpenghuni Sumber : Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011 Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang sebagian besar merupakan lautan memiliki luas wilayah sebesar 8,76 kilo meter persegi yang dihuni 21.071 orang, maka rata –rata tingkat kepadatan penduduk adalah 2.422 orangkilometer 2 . Rincian keragaan demografi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Keragaan Demografis : Uraian Satuan 2011 Jumlah Penduduk Jiwa 21.071  Laki-laki Jiwa 10.711  Perempuan Jiwa 10.300  Kec. Kep. Seribu Utara Jiwa 12.750  Kec. Kep. Seribu Selatan Jiwa 8.321 Kepadatan Penduduk Jiwakm² 2.422 Sex Ratio LP 103,99 Penduduk menurut Umur Ketergantungan  0 – 14 tahun Jiwa 6.736  15 – 64 tahun Jiwa 13.762  65+ tahun Jiwa 573 Dependency Ratio Ratio 53,11 Sumber : Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011 Kemajuan pembangunan manusia secara umum ditunjukkan oleh angka indeks pembangunan manusia IPM yang ditinjau dari 3 aspek yaitu : 1 aspek pendidikan diwakili oleh indeks rata –rata lama sekolah dan angka melek huruf, 2 aspek kesehatan diwakili oleh angka harapan hidup dan 3 aspek ekonomi diwakili oleh kemampuandaya beli. IPM Kepulauan Seribu selama 3 tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang selalu meningkat sehingga dapat dikatakan pembangunan manusia di Kepulauan Seribu mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Peningkatan ini terutama dipicu oleh semakin membaiknya mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan secara umum. Secara makro, kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan GK. GK adalah sejumlah rupiah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimal makanan dan bukan makanan agar tetap hidup. Ukuran GK adalah rata-rata pengeluaran per kapita per bulan. Penduduk yang tingkat pengeluarannya di bawah GK termasuk dalam penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin menurun dari 15,12 pada tahun 2010 menjadi 13,58 pada tahun 2011. Keragaan karakteristik pembentuk IPM dan kemiskinan di Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Karakteristik Pembentuk IPM dan Kemiskinan Karakteristik 2009 2010 2011 Angka Harapan Hidup tahun 70,32 70,44 70,55 Angka Melek Huruf 97,25 97,47 98,36 Rata-rata Lama Sekolah tahun 7,8 7,92 7,96 Pengeluaran per Kapita Disesuaikan Rp.000 588,04 590,25 590,55 IPM indeks 70,14 70,5 70,82 Penduduk miskin 13,6 15,12 13,58 Garis Kemiskinan Rp kapita bulan 314.358 292.173 314.358 Sumber : Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011 Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Salah satu sasaran pembangunan adalah terciptanya lapangan kerja baru dari tahun ke tahun sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat pengangguran. Tingkat partisipasi angkatan kerja TPAK pada tahun 2011 sebesar 71,43 dan mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi keterlibatan penduduk dalam pasar kerja, baik yang mencari pekerjaan maupun yang sedang bekerja semakin baik. Tingkat pengangguran pada tahun 2011 sebesar 9,89 persen menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan perbandingan menurut tiga sektor utama pertanian, manufaktur dan jasa, pilihan bekerja pada tahun 2011 didominasi oleh sektor pertanianperikanan 89,93 . Sedangkan dari status pekerjaan dapat dilihat penduduk yang bekerja di sektor informal 52,40 selalu lebih besar dibandingkan sektor formal 47,60 pada tahun 2011 Tabel 17. Tabel 17. Statistik Ketenagakerjaan Uraian 2009 2010 2011 Angkatan Kerja orang 8358 10165 10178 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja 61,28 64,47 71,43 Pekerja formal 37,20 37,90 47,60 Pekerja informal 62,80 62,10 52,40 Tingkat Pengangguran Terbuka 11,57 11,38 9,89 UMP Rp. 000 972,60 1.069,70 1.118,01 Sumber : Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka Kemampuan baca tulis merupakan pengetahuan minimum yang dibutuhkan oleh penduduk untuk mencapai hidup sejahtera. Angka melek huruf dari tahun ke tahun semakin meningkat dan tahun 2011 telah mencapai 98,36 , artinya sebanyak 98,36 penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya. Angka rata-rata lama sekolah dari tahun ke tahun semakin panjang dan pada tahun 2010 mencapai 7,96 tahun, artinya rata-rata lamanya penduduk berusia 15 tahun keatas untuk menempuh pendidikan formal yang pernah dijalani hampir 8 tahun atau setara kelas 2 SLTP. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah, yaitu perbandingan antara penduduk yang sekolah pada usia tertentu dengan banyaknya penduduk pada usia yang sama. Tahun 2011 angka partisipasi sekolah paling tinggi usia SD mencapai 99,51 , kemudian usia SLTP mencapai 95,22 dan usia SLTA sebesar 75,34. Rasio murid-guru adalah salah satu ukuran yang dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Semakin kecil rasio murid-guru, maka beban seorang guru semakin kecil. Rasio murid-guru di masing-masing tingkat pendidikan hampir merata yaitu berkisar antara 9 sampai 14, artinya 1 guru memiliki beban tanggung jawab terhadap 9 sampai 14 murid Tabel 18. Tabel 18. Jumlah Sekolah dan Rasio Murid –Guru Tingkat Pendidikan Sekolah Murid Guru Rasio Murid-Guru TK 14 653 71 9 SD 14 2787 208 13 SLTP 7 1096 91 12 SLTA 1 417 30 14 SMK 1 262 24 11 Sumber : Kepulauan Seribu Dalam Angka, 2011 Sebagai wilayah kepulauan dengan luas laut sebesar 6.997,5 Km 2 maka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Terdapat sebanyak 1.367 armada kapal perikanan yang masih didominasi spesifikasi tekonologi dengan ukuran relatif kecil dan perlengkapan sederhana, seperti alat tangkap pancing, bubu dan jaring dengan jumlah nelayan tangkap sebanyak 4.880 orang di tahun 2011. Pada tahun 2011 tangkapan ikan laut sebanyak 2838,8 ton dan dari budidaya ikan laut sebesar 964 ton. Jenis ikan tangkapan yang mendominasi adalah tongkol, ekor kuning dan bawal. Sementara ikan lain yang juga tertangkap adalah layang, kembung, selar dan lain –lain. Produksi ikan laut dapat ditingkatkan terutama dari hasil budidaya. Hal ini dapat dicapai karena meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengembangan produk perikanan dan kelautan. Hasil lain dari penangkapan ikan laut yaitu ikan hias laut sebanyak 631.219 ekor. Produksi budidaya rumput laut semakin menurun, hingga di tahun 2011 sebesar 370,32 ton kering. Hal ini karena kurang baik pengelolaannya dan kualitas air laut yang semakin rendah karena sering tercemar buangan limbah. Salah satu kendala pengembangan potensi sektor perikanan laut disebabkan minimnya pelabuhan pendaratan ikan PPI dan hanya ada 1 tempat pelelangan ikan di Pulau Pramuka, dua tempat pengumpul palele di Pulau Panggang dan Pulau Kelapa, sehingga nelayan lebih memilih mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Muara Angke Tabel 19. Tabel 19. Statistik Kelautan dan Pertanian Kab. Adm. Kepulauan Seribu Uraian 2010 2011 Nelayan Budidaya Ikan Laut dan Rumput Laut orang 521 250 Nelayan Penangkap Ikan Laut orang 4.880 4.880 Jumlah Fish Shelter buah 362 527 Jumlah Kapal Perikanan kapal 1.367 1.367 Tutupan Terumbu Karang persen 33,60 40,00 Transplantasi Karang buah 5.476 8.119 Sumber : Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka Karakteristik Masyarakat Pemanfaat Sumberdaya Perikanan –Kelautan Karakteristik Individu Karakteristik individu responden secara umum adalah berusia dewasa muda rataan usia 37,8 tahun, memiliki tingkat pendidikan formal tingkat menengah rataan durasi pendidikan formal 7,4 tahun dan tingkat pendidikan non formal rendah rataan durasi pendidikan non formal setara 7,6 jam pelatihan. Mayoritas responden juga tergolong berpenghasilan rendah rataan pendapatan Rp. 1.893.470, memiliki tanggungan keluarga rendah rataan tanggungan keluarga 2,9 jiwa, memiliki pengalaman rendah rataan pengalaman 18,5 tahun, bekerja sebagai nelayan dengan alat tangkap pancing 31,1 , berstatus sebagai pekerja dalam struktur relasi kerja 65 serta memiliki pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan 47,4. Sebaran karakteristik individu responden selengkapnya disajikan pada Tabel 20. Jenis kelamin responden secara keseluruhan adalah pria. Hal ini berkaitan dengan pembagian peran gender yang masih berlaku kuat pada masyarakat di Kepulauan Seribu bahwa yang pantas melakukan pekerjaan nelayan yang mencari ikan atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan aktivitas di laut adalah para laki –laki saja. Jenis pekerjaan baru yang tumbuh dalam sepuluh tahun terakhir yaitu budidaya karang komersial dan pemanduan kegiatan ekowisata bahari juga secara keseluruhan digeluti oleh para laki –laki. Hal ini disebabkan karena kedua pekerjaan tersebut memerlukan kemampuan menyelam dan bekerja di bawah air yang dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan fisik laki –laki. Tabel 20. Sebaran Karakteristik Individu Responden X.1. Karakteristik Individu Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari X. 1.1. Umur rentang kelas : umur 17 –70 tahun Dewasa muda 18 –40 65,5 52,4 86,4 57,9 69,8 66,4 Dewasa madya 41 –65 32,7 42,9 13,6 36,8 30,2 31,2 Dewasa akhir 65 1,8 4,8 0,0 5,3 0,0 2,4 Rataan umur tahun 37,3 39,1 31,9 42,3 38,5 37,8 X.1.2. Pendidikan formal rentang kelas : durasi 1 –17 tahun Dasar 1 –6 tahun 47,3 52,4 31,8 47,4 9,6 38,4 Menengah 7 –12 tahun 52,7 47,6 68,2 31,6 90,5 58,1 Tinggi 12 tahun 0,0 0,0 0,0 21,1 0,0 4,2 Rataan pendidikan formal tahun 7,4 7,2 7,8 9,4 5,1 7,4 X.1.3. Pendidikan non formal rentang kelas : durasi 0 –90 jam Rendah –29 jam 74,5 100 100 89,5 100 92,0 Sedang 30 –60 jam 14,5 0,0 0,0 10,5 0,0 5,0 Tinggi 61 –90 jam 10,9 0,0 0,0 0,0 0,0 3,0 Rataan pendidikan non formal jam 25,8 0,6 0,0 5,3 0,0 7,6 X.1.4. Tingkat pendapatan rentang kelas : pendapatan Rp. 500.000 –Rp. 5.000.000 per bulan Rendah 500.000 – 1.999.999 45,5 89,6 88,6 21,1 93,7 69,1 Sedang 2.000.000- 3.499.999 52,7 10,4 11,4 73,7 6,3 29,5 Tinggi 3.500.000- 5.000.000 1,8 0,0 0,0 5,3 0,0 1,4 Rataan pendapatan rupiah 1.911.900 1.802.600 1.876.140 2.252.700 1.775.400 1.893.470 X.1.5. Jumlah tanggungan batas kelas : tanggungan 1 –8 jiwa Rendah 1 –3 76,4 52,4 56,8 92,1 47,4 65,0 Sedang 4 –5 23,6 42,9 43,2 7,9 52,6 34,0 Tinggi 6 –8 0,0 4,8 0,0 0,0 0,0 1,0 Rataan tanggungan jiwa 2,9 3,5 3,1 2,2 3,6 2,9 Tabel 20. Lanjutan X.1. Karakteristik Individu Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari X.1.6. Pengalaman mengelola usaha perikanan kelautan batas kelas : durasi pengalaman 1 –60 tahun Rendah 1 –19 tahun 60,0 42,9 84,1 52,6 33,3 54,5 Sedang 20 –39 tahun 25,5 47,6 15,9 31,6 57,1 35,5 tinggi 40 –60 tahun 14,5 9,5 0,0 15,8 9,5 9,9 Rataan pengalaman tahun 19,1 19,6 12,1 21,0 19.6 18,5 X.1.7. Jenis pekerjaan Nelayan jaring payang 5,2 58,7 58,1 0,0 10,6 26,5 Nelayan jaring ikan hias 10,0 0,0 0,0 7,2 0,0 3,4 Nelayan muroami 20,9 0,0 0,0 0,0 0,0 6,2 Nelayan bubu 29,5 25,3 21,5 0,0 43,4 23,9 Nelayan pancing 18,9 16,0 20,4 74,0 46,0 31,1 Pemandu wisata 11,9 0,0 0,0 18,8 0,0 6,2 Budidaya karang 3,5 0,0 0,0 0,00 0,0 0,7 X.1.8. Status kepemilikan alat produksi Pekerja 60,0 66,6 72,7 52,6 73,1 65,0 Pemilik 40,0 33,4 27,3 47,4 26,9 35,0 X.1.9. Pengetahuan dalam mengelola usaha perikanan kelautan rentang kelas : skor pengetahuan 11 –22 Rendah skor 11 –14 14,5 9,5 6,8 5,3 11,1 9,4 Sedang skor 15 –18 45,5 52,4 54,6 10,5 52,4 47,4 tinggi skor 19 –22 40 38,1 38,6 84,2 36,5 43,2 Rataan pengetahuan skor 18,1 18,0 18,1 20,2 17,4 18,1 Sumber : data primer, diolah Usia Responden Secara mayoritas responden berada pada kelompok usia dewasa muda 18 –40 tahun dengan rentang usia berkisar antara 17 tahun sampai dengan 70 tahun dan rataan usia 37,8 tahun. Kelompok usia ini merupakan kelompok yang tergolong dalam usia produktif dengan ciri kemampuan fisik yang prima. Selain berhubungan dengan kemampuan fisik, menurut Klausmeier dan Goodwin 1975, usia merupakan salah satu karakteristik penting dalam perkembangan kapasitas individu karena juga berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas belajar. Hal ini berarti bahwa individu yang berada pada usia produktif secara potensial akan lebih mudah menjalani proses belajar dalam menerima perubahan dan ide –ide baru. Berdasarkan pandangan ini, dilihat dari faktor usia maka para individu yang bekerja di bidang perikanan dan kelautan di wilayah Kepulauan Seribu merupakan aset sumberdaya manusia SDM yang potensial untuk diberdayakan. Secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata pada variabel usia di antara lima kelurahan yang diamati. Tingkat Pendidikan Formal Responden Pendidikan merupakan salah satu faktor dasar yang berpengaruh bagi perkembangan kualitas pribadi dan kemajuan masyarakat. Kekuatan suatu bangsa atau masyarakat tidak ditentukan secara mutlak oleh akumulasi sumberdaya alam yang berlimpah, melainkan sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia dan masyarakat. Dengan kata lain, upaya untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dapat ditempuh melalui proses peningkatan pendidikan masyarakat. Melalui pendidikan, individu dan masyarakat akan mampu untuk memikirkan masa depannya dan akan berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya. Mayoritas responden 58,1 pernah mengikuti pendidikan formal pada tingkat menengah dengan rentang pendidikan 1 tahun sampai 17 tahun dan rataan durasi pendidikan formal selama 7,4 tahun atau setara dengan kelas II SLTP. Tingkat pendidikan ini belum memenuhi standar ideal program wajib belajar sembilan tahun sebagai mana yang telah ditetapkan secara nasional oleh pemerintah. Tingkat pendidikan yang belum memadai dapat menimbulkan hambatan atau implikasi lain yang bersifat mengurangi respons dalam proses belajar untuk menerima dan melakukan perubahan serta dalam proses mengolah informasi. Masih rendahnya tingkat pendidikan formal responden ini dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya kemampuan mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan. Rendahnya tingkat pendidikan responden mengindikasikan perlunya peningkatan kualitas layanan pendidikan formal sesuai dengan program wajib belajar sembilan tahun yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, perlu diadakan penambahan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, baik pada tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Saat ini pada setiap desa telah terdapat satu buah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, sedangkan untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas harus menempuh jarak yang cukup jauh karena berada di ibukota Kecamatan. Terdapat masing – masing 14 SD Negeri, 7 SLTP Negeri, 1 SLTA Negeri dan 1 SMK Negeri jurusan administrasi dan nautika. Terdapat perbedaan nyata antara tingkat pendidikan formal di Kelurahan Pulau Pari dengan keempat kelurahan lainnya, di mana rataan tingkat pendidikan formal di kelurahan tersebut paling rendah yaitu 5,1 tahun. Hal ini berkaitan dengan permasalahan konflik status kepemilikan lahan yang terjadi di pulau tersebut yang telah berjalan sejak tahun 1980 –an , sehingga pemerintah tidak banyak membangun fasilitas layanan publik di wilayah Pulau Pari. Pendidikan Non Formal Responden Salah satu upaya mengembangkan kualitas sumberdaya manusia dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat agar mampu memerankan tugas sosialnya dengan baik adalah melalui pelatihan. Pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan menduduki tempat yang penting dalam proses pengembangan sumberdaya manusia. Hampir keseluruhan responden 92 tergolong pada kategori pendidikan non formal rendah atau hanya pernah mendapat 0 –30 jam pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan, bahkan dari jumlah tersebut sebanyak 79,7 responden belum pernah sama sekali mengikuti pendidikan non formal atau pelatihan. Rendahnya tingkat pendidikan non formal ini bukan berarti responden tidak ingin mengikuti pelatihan yang diadakan, namun lebih disebabkan karena kurangnya kesempatan atau sangat terbatasnya jangkauan informasi tentang pelatihan yang diadakan sesuai dengan kebutuhan responden dalam mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan yang selama ini digelutinya. Salah satu upaya mengembangkan kualitas sumberdaya manusia dan kapasitas organisasi agar mampu melaksanakan tugas tugas sosialnya dengan baik adalah melalui pelatihan Mangkuprawira, 2003. Pendapat tersebut tidak berhenti pada organisasi formal semata, tetapi juga relevan untuk diperluas maknanya pada lingkup masyarakat nelayan. Pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan dengan demikian menjadi instrumen penting dalam upaya meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia nelayan dari aspek pengetahuan, sikap maupun ketrampilan yang pada akhirnya diharapkan akan mengembangkan kemampuan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan – kelautan secara bijak. Pelatihan yang selama ini pernah diselenggarakan oleh pemerintah, swasta maupun organisasi non pemerintah adalah pelatihan selam snorkeling dan scuba diving, pelatihan transplantasi karang untuk perdagangan dan konservasi, pelatihan desain dan konstruksi alat tangkap ramah lingkungan, pelatihan pemanduan ekowisata bahari, pelatihan sistematika administrasi dan penguatan dinamika kelompok, pelatihan perencaan pembangunan partisipatif dengan metode PRA dan pelatihan metode monitoring –evaluasi sumberdaya. Terdapat perbedaan nyata antara durasi pendidikan non formal yang diterima responden dari kelurahan Pulau Panggang dengan empat kelurahan yang lain. Rataan tingkat pendidikan non formal di Kelurahan Pulau Panggang adalah 25,8 jam pelajaran yang jauh di atas rataan durasi secara keseluruhan sebesar 7,6 jam pelajaran. Bahkan pada Kelurahan Pulau Kelapa, keseluruhan responden belum pernah mendapat pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pelatihan yang terpusat di Kelurahan Pulau Panggang yang berstatus ibukota kabupaten sehingga akses untuk mengikuti pelatihan tersebut tidak menjangkau penduduk di wilayah kelurahan yang lain. Beberapa responden di Kelurahan Pulau Panggang juga menyebutkan bahwa informasi tentang penyelenggaraan pelatihan tidak tersebar dengan merata dan transparan. Tingkat Pendapatan Responden Rentang pendapatan responden pada penelitian ini berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 5.000.000 per bulan dengan rataan pendapatan sebesar Rp. 1.893.470 per bulan, di mana keseluruhan pendapatan tersebut berasal dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan –kelautan. Sebanyak 69,1 responden tergolong dalam tingkat pendapatan yang rendah dalam persepsi masyarakat. Jika rataan pendapatan dibagi dengan rataan jiwa yang berada dalam satu rumah tangga yaitu 4 orang, maka besaran pendapatan per kapita per bulan di lokasi penelitian adalah sebesar Rp. 478.367,5. Angka ini masih berada di atas garis kemiskinan sebesar Rp. 314.358 yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, tetapi masih berada di bawah angka pengeluaran per kapita per bulan disesuaikan sebesar Rp. 591.810. Terdapat perbedaan rata-rata pendapatan yang diterima responden di kelima lokasi di mana rata-rata pendapatan responden di Kelurahan Pulau Tidung merupakan yang tertinggi dan berbeda secara signifikan dengan rata-rata pendapatan responden di empat wilayah kelurahan lainnya. Perbedaan ini disebabkan karena responden di Pulau Tidung memperoleh penghasilan yang lebih tinggi karena kondisi sumberdaya yang relatif lebih baik kualitasnya. Mayoritas responden di Pulau Tidung bekerja sebagai nelayan pancing yang bersifat ramah lingkungan sehingga tekanan lingkungan yang diberikan tidak sebesar alat tangkap lainnya. Tren perkembangan kunjungan wisata yang menggembirakan juga bisa dimanfaatkan oleh responden di Pulau Tidung dengan bekerja sebagai pemandu wisata pancing maupun pemandu wisata olahraga air. Tanggungan Keluarga Sebagian besar responden 65 memiliki tanggungan jiwa yang tergolong rendah 1 –3 orang, di mana rataan jumlah tanggungan jiwa dalam satu keluarga adalah 2.9 jiwa. Jika dilihat dari aspek ketersediaan tenaga kerja maka menurut pandangan responden, anggota keluarga adalah sumber tenaga kerja yang berguna karena biasanya tidak diperhitungkan sebagai biaya produksi. Jika dipandang dari sudut manajemen finansial keluarga, kondisi tersebut juga merupakan beban karena kebutuhan hidup yang dirasakan semakin meningkat dan kadang tidak mampu terkejar oleh jumlah pendapatan diperoleh. Kondisi ini menuntut kepala keluarga untuk bekerja lebih keras dan jika memungkinkan akan melakukan strategi diversifikasi pekerjaan. Terdapat perbedaan signifikan pada jumlah tanggungan responden di Kelurahan Pulau Pari dibandingkan dengan keempat pulau yang lain, di mana rataan jumlah tanggungan tersebut 3,6 paling tinggi dari ke empat kelurahan lainnya dan nilainya lebih besar dari nilai rataan. Pengalaman Mengelola Usaha Perikanan –Kelautan Pengalaman responden mengelola usaha perikanan – kelautan berkisar antara 1 –60 tahun, di mana mayoritas responden 54,5 tergolong memiliki pengalaman dalam selang rendah 1 –19 tahun. Rataan durasi pengalaman responden adalah selama 18,5 tahun di mana rentang waktu tersebut merupakan proses yang cukup lama dalam membentuk perilaku dan kemampuan petani dalam mengelola sumberdaya perikanan –kelautan. Sarwono 2002 menyatakan bahwa pengalaman memiliki pengaruh terhadap perilaku individu, artinya apa yang dialami oleh individu akan menjadi bekal dalam membentuk kondisi psikologis seseorang untuk merespons berbagai stimulus yang diterima. Semakin berpengalaman individu dalam mengelola usaha perikanan –kelautan maka perilakunya semakin cermat dalam memahami permasalahan yang dihadapi. Kondisi tersebut dapat menjadi faktor penunjang dalam upaya peningkatan kemampuan individu dalam mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Terdapat perbedaan signifikan pada durasi pengalaman pada Kelurahan Pulau Kelapa dibandingkan dengan keempat kelurahan lainnya di mana nilai rataan pengalaman tersebut 12,1 tahun merupakan nilai terendah dan lebih kecil dari nilai rataan pengalaman secara keseluruhan. Jenis Pekerjaan dan Alat Tangkap Keseluruhan responden bekerja di bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan –kelautan. Mayoritas responden bekerja dalam bidang yang secara tradisional berkembang secara turun temurun sebagai nelayan dengan alat tangkap pancing 31,1 , jaring payang 26,9 , bubu 23,9 , muroami 6,2 , jaring ikan hias 3,4 atau bekerja pada yang jenis pekerjaan yang baru berkembang dalam sepuluh tahun terakhir yaitu sebagai pemandu ekowisata bahari 6,2 dan budidaya karang komersial 0,7 . Dalam penilaian responden secara umum, jenis aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan –kelautan yang paling ramah lingkungan di Kepulauan Seribu adalah penangkapan ikan dengan pancing, yang diikuti secara berturut – turut oleh penangkapan ikan dengan bubu, penangkapan ikan dengan jaring payang, kegiatan pemanduan ekowisata bahari, kegiatan budidaya karang komersial, penangkapan dengan jaring ikan hias dan yang terakhir adalah kegiatan penangkapan ikan dengan jaring muroami. Jenis alat tangkap pancing yang paling banyak digunakan oleh nelayan di Kepulauan Seribu adalah pancing tangan hand line sederhana karena mudah dioperasikan dibandingkan dengan jenis peralatan tangkap lainnya pada kedalaman perairan sekitar 100 meter. Jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain bambangan kakap merah, snapper, ekor kuning Caesio Sp., ikan putih Caranx Sp. dan lain sebagainya. Jenis pancing lain yang juga banyak digunakan adalah pancing gurita yang ditujukan untuk menangkap gurita. Desain pancing gurita ini sangat spesifik, karena pada badan alat pancingnya terdapat sekian banyak mata kail yang melengkung dan mencuat ke atas. Melalui tali pancing yang panjang, maka alat pancing yang bermata banyak tersebut diturunkan pada lokasi yang diduga banyak dihuni gurita, yang umumnya pada karang bergua-gua batu. Pada bagian sedikit di sebelah atas mata pancing tersebut ditautkan beberapa ikan umpan pada tali pancing. Pancing tangan yang memiliki sekaligus banyak mata pancing juga digunakan oleh nelayan Kepulauan Seribu, terutama digunakan pada musim ikan tongkol. Pada umumnya nelayan pancing di Kepulauan Seribu beroperasi dalam kelompok yang terdiri dari 2 –3 orang dengan tujuan menghemat penggunaan bahan bakar, meskipun ada pula nelayan pancing yang beroperasi sendirian. Kelompok nelayan pancing ini biasanya dipimpin oleh pemilik kapal yang ikut melaut. Bubu adalah alat tangkap berukuran cukup kecil yang banyak digunakan oleh nelayan tradisional di Kepulauan Seribu untuk menangkap udang, ikan demersal, ikan karang dan ikan hias. Pengoperasian bubu cukup mudah dan bersifat pasif yaitu dengan menunggu ikan masuk dan terperangkap di dalam bubu. Sifat ini membuat bubu ramah terhadap lingkungan karena tidak merusak terumbu karang sebagai habitat ikan. Selain itu, di dalam bubu terdapat cukup ruang untuk bergerak ikan dan posisi bubu yang sepenuhnya terendam di dalam air menjamin ikan tangkapan berada dalam kondisi yang segar. Konstruksi bubu yang umum digunakan oleh nelayan di Kepulauan Seribu berbentuk mata panah dengan dasar sehingga memudahkan pemasangannya di dasar perairan atau di sela –sela terumbu karang yang berlawanan dengan arus. Bahan yang digunakan untuk membuat bubu umumnya berasal dari kayu, bambu, jaring dan kawat. Tindakan dalam mengoperasikan bubu yang masih berpotensi merusak terumbu karang adalah nelayan terkadang mengambil karang sebagai pemberat agar tidak terbawa arus. Nelayan bubu umumnya beroperasi dalam kelompok yang terdiri dari 2 –3 orang dengan tujuan menghemat bahan bakar. Kelompok nelayan bubu ini dipimpin oleh nelayan pemilik kapal dan alat tangkap yang ikut langsung melaut, namun ada juga nelayan bubu yang beroperasi secara sendirian. Jaring payang adalah alat penangkap ikan yang cukup lama dikenal nelayan di Kepulauan Seribu. Jaring payang adalah pukat kantong yang digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan pelagic fish, terutama jenis –jenis pelagis kecil seperti tongkol, ekor kuning, layang, selar, kembung, lemuru, tembang dan lain-lain. Prinsip umum pengoperasiannya adalah dengan melingkari gerombolan ikan dan kemudian pukat kantong tersebut ditarik ke arah kapal. Kedua sayapnya berguna untuk mengejutkan dan menggiring ikan untuk masuk ke dalam kantong. Penangkapan dengan payang dilakukan dengan kapal motor. Penggunaan tenaga kerja berkisar antara 7 orang untuk payang berukuran kecil dan 14 orang untuk payang besar. Daerah penangkapan jaring payang ini pada perairan yang tidak terlalu jauh dari pantai atau daerah subur di sekitar karang. Jaring ikan hias adalah alat tangkap dengan target ikan hias yang banyak hidup di sekitar terumbu karang. Jaring ini dioperasikan secara berkelompok antara 2 –3 orang nelayan karena pengoperasiannya memang memerlukan tenaga penyelam untuk menggiring ikan hias. Dimensi jaring adalah lebar antara 10 –25 meter dan tinggi 1 –1,5 meter dengan bukaan mata jaring 2–3 inchi. Jaring ikan hias ini biasanya dioperasikan pada daerah terumbu karang dengan kedalaman sampai dengan 5 meter sehingga para penyelam tidak menggunakan kompresor sebagai alat bantu pernafasan. Kelompok nelayan ikan hias ini biasanya dipimpin oleh seorang pemilik kapal yang ikut melaut. Muroami atau di Kepulauan Seribu dikenal sebagai jaring kongsi atau jaring kincring merupakan salah satu alat penangkap ikan yang efektif dalam menangkap ikan karang. Desain muroami terdiri atas sayap dan kantong atau dapat juga berupa jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan kantong. Pengoperasian unit penangkapan muroami saat ini ditengarai sebagai salah satu penyebab kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu. Dari segi konstruksi alat tangkap, ukuran mata jaring muroami yang terlalu kecil menyebabkan ikan karang yang berukuran kecil pun dapat tertangkap sehingga mengancam keberlangsungan hidup populasi ikan karang karena belum sempat bereproduksi. Dari metode pengoperasiannya, pemasangan alat tangkap dan penggiringan ikan yang dilakukan nelayan penyelam dengan menginjak –injak terumbu karang. Penggunaan kompresor pada penyelam juga berbahaya. Tak sedikit nelayan penyelam diserang penyakit dekompresi yang menyebabkan lumpuh permanen atau kehilangan nyawa. Bila terjadi kecelakaan kerja, pengobatan atas nelayan hanya didasarkan kebijakan pemilik. Pada umumnya nelayan muroami bekerja dalam satu kelompok yang terdiri dari 15 –20 orang yang dipimpin oleh seorang kepala nelayan sebagai wakil dari pemilik kapal yang tidak ikut melaut. Kegiatan ekowisata bahari sudah berkembang sejak lama di wilayah Kepulauan Seribu, hanya saja kegiatan tersebut masih berkembang secara ekslusif pada resort –resort di gugus kepulauan tertentu yang tidak dihuni oleh masyarakat. Kegiatan ekowisata bahari yang bersifat massal dan dijalankan oleh masyarakat baru mulai berkembang pada awal tahun 2000 –an. Pada tahun 2003, Yayasan Terangi bersama pemerintah daerah mendorong kelompok masyarakat untuk mendirikan perkumpulan Elang Ekowisata yang berkedudukan di Pulau Pramuka sebagai perintis operator ekowisata bahari di Kepulauan Seribu. Saat ini destinasi utama wisata massal di Kepulauan Seribu adalah Pulau Tidung dan Pulau Pramuka yang meliputi kegiatan wisata pemandangan, wisata kuliner, kegiatan menyelam dasar diving dan permukaaan snorkeling, olah raga air maupun wisata pemancingan. Pulau –pulau berpenghuni lainnya juga mulai didatangi oleh wisatawan tetapi dalam jumlah yang tidak terlalu ramai. Letak geografis Indonesia yang berada di daerah tropis, memungkinkan Indonesia memiliki keanekaragaman karang yang tinggi dengan warna-warni yang menarik untuk diperdagangkan sebagai karang hias yang memiliki nilai ekspor yang tinggi. Berdasarkan CITES The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, karang masuk ke dalam daftar Appendix II yang artinya walaupun dalam perdagangan internasionalnya adalah legal, namun perdagangannya harus dikontrol secara ketat untuk mencegah kemungkinan terjadinya eksploitasi berlebihan yang dapat mengakibatkan punahnya jenis-jenis karang tersebut. Transplantasi karang merupakan upaya pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain yang bertujuan untuk pembentukan terumbu karang secara alami. Pada awalnya teknik transplantasi karang dimaksudkan untuk merehabilitasi suatu lokasi yang kondisi terumbu karangnya rusak, tetapi kemudian teknik ini juga dikembangkan sebagai upaya budidaya karang untuk diperdagangkan sebagai karang hias. Tingginya permintaan dan harga pasar karang hias di perdagangan internasional menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Kepulauan Seribu, terutama yang telah memperoleh pelatihan tentang transplantasi karang dari instansi terkait antara lain PHKA –Kementrian Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Asosiasi Koral, Kerang dan Ikan Hias Indonesia AKKII serta Yayasan Terangi. Perdagangan karang hias di Kepulauan Seribu mulai dirintis pada awal tahun 2000 dan terus berkembang sampai sekarang. Pada umumnya, karang yang dipakai untuk transplantasi adalah karang yang memiliki bentuk pertumbuhan bercabang di antaranya jenis Seriatopora hystrix, S. caliendrum, Porites cylindrica, Acropora tenuis, A. austera, A. formosa, A. hyacinthus, A. divaricata, A. nasuta, A. yongei, A. aspera, A. digitifera, Avalida dan A. glauca. Status Kepemilikan Alat Produksi Sesuai dengan karakter lingkungan dan sumberdayanya, umumnya kehidupan para nelayan di Kepulauan Seribu tidak bersifat individual, tetapi berkelompok dalam ikatan komunal. Basis utama ikatan komunalnya adalah pola relasi kerja dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan –kelautan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Basis pola kerja ini kemudian menempatkan faktor kepemilikan alat produksi sebagai faktor utama pembentuk struktur sosial. Pada masyarakat nelayan di Kepulauan Seribu, pelapisan sosial yang terbentuk terdiri atas tiga strata, yaitu : 1 Juragan Darat atau nelayan pemodal sebagai strata pertama dengan status sosial yang paling tinggi. Juragan darat merupakan nelayan dengan kepemilikan modal finansial skala besar dan alat produksi yang lengkap. Juragan darat ini menyediakan modal finansial untuk kebutuhan operasional penangkapan dan jika diperlukan juga menyediakan kapal dan alat tangkap yang dibutuhkan oleh nelayan yang bekerja sama dengannya. Juragan darat juga merangkap fungsi sebagai pedagang pengumpul yang membeli ikan hasil tangkapan dan kemudian menjualnya kembali melalui proses pelelangan di TPI ataupun melalui jaringan pemasaran sendiri ke luar pulau. 2 Nelayan pemilik kapal atau juragan laut sebagai strata kedua dengan status sosial sedangdi tengah. Nelayan ini memiliki alat produksi berupa kapal dan alat tangkap, tetapi biasanya tidak memiliki cukup modal finansial untuk kebutuhan operasional melaut sehingga masih memerlukan bantuan pinjaman modal maupun input produksi dalam bentuk natura dari juragan darat. Nelayan pemilik ini masih terlibat langsung melakukan operasi penangkapan di laut dengan dibantu oleh nelayan buruh. 3 Nelayan buruh sebagai strata ketiga dengan status sosial paling rendah. Nelayan buruh ini memiliki modal tenaga sebagai sumbangan dalam struktur kerja kelompok, tetapi tidak memiliki modal finansial, kapal atau alat tangkap. Pola pelapisan ini sesuai dengan pendapat Poloma 2003 yang menjelaskan bahwa dalam hubungan antar manusia terdapat kecendrungan sistem stratifikasi yang membuat penjenjangan kelompok berdasarkan atas kepemilikan modal kerja dan pendapatan. Seseorang yang berstatus tinggi akan lebih banyak menyediakan barang-barang yang langka dalam hubungannya dengan permintaan dan dalam mempertukarkan sumber langka yang demikian itu si pemberi dianggap memperoleh status dan otoritas yang lebih tinggi oleh para anggota kelompok yang lain. Otoritas dari juragan darat ini merupakan sumber utama penentuan keputusan teknis dalam operasi penangkapan ikan, menyangkut penentuan lokasi dan waktu penangkapan serta keputusan yang menyangkut pemasaran hasil tangkapan. Pola relasi kerja yang terbentuk seiring pelapisan sosial yang terbentuk pada masyarakat nelayan di Kepulauan Seribu secara garis besar dapat digolongkan menjadi pola patron –client dan pola kerja sama usaha yang lebih egaliter. Meskipun menunjukkan pola relasi kerja yang berbeda, tetapi dua pola ini sama –sama menempatkan juragan darat sebagai lapisan elit dengan status sosial paling tinggi, yang diikuti dengan lapisan nelayan pemilik kapal dan buruh nelayan. Pada sistem operasi jaring muroami yang skalanya usahanya lebih besar dan menghabiskan waktu yang lebih lama di laut, pola relasi kerja yang terbentuk adalah pola patron –client. Pada usaha perikanan pancing, jaring dan bubu yang memiliki struktur kerja yang lebih sederhana maka pola yang umum digunakan adalah pola kerjasama usaha yang lebih egaliter, demikian pula pola relasi kerja yang terbentuk pada bidang pekerjaan pemandu ekowisata bahari dan budidaya karang. Faktor pembeda dasarnya adalah kewajiban sosial yang dibebankan pada juragan darat terhadap anak buahnya sebagai konsekwensi akumulasi modal dan otoritas yang dimilikinya. Pengetahuan Tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan –Kelautan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan responden dalam pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan secara lestari tergolong kategori sedang menuju tinggi. Hal ini diindikasikan oleh fakta penelitian bahwa terdapat 47,4 tergolong dalam tingkat pengetahuan sedang dan 43,2 tergolong dalam tingkat pengetahuan tinggi. Kelompok responden tersebut memahami bahwa meskipun ikan selalu tersedia sepanjang waktu, tetapi keberadaannya dipengaruhi oleh cara –cara dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya. Keterkaitan antara keberadaan dan kualitas terumbu karang berhubungan dengan ketersediaan ikan juga dipahami dengan baik sehingga praktek –praktek pemanfaatan sumberdaya dengan cara pengeboman, penggunaan potas dan sianida serta pengambilan terumbu karang untuk keperluan bangunan dianggap sebagai tindakan yang salah. Mayoritas responden juga mengetahui bahwa kegiatan ekowisata bahari juga memiliki potensi dalam menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang. Responden memahami bahwa upaya menjaga kelestarian terumbu karang adalah juga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa sekarang maupun yang akan datang. Hanya saja, sebagian responden masih belum terlalu mengetahui secara pasti yang berlaku berkaitan dengan aturan zonasi dan aktivitas yang diijinkan pada masing –masing zona pada program APL–BM yang berlaku di wilayah Kepulauan Seribu. Berkaitan dengan pengetahuan tentang pengaruh pengambilan pasir laut, mayoritas responden 54,9 menganggap bahwa tindakan tersebut bukan sebagai tindakan yang berpengaruh negatif bagi kualitas lingkungan karena dianggap tidak mengganggu ekosistem terumbu karang. Kelompok responden ini beralasan bahwa praktek pengambilan pasir laut selama ini juga dilakukan jauh dari lokasi terumbu karang dan volume pengambilannya pun tidak besar. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat pengetahuan di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan pengetahuan responden di Kelurahan Pulau Tidung merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Hal ini merupakan hasil kerja intensif dari para pemangku kebijakan di wilayah tersebut dalam menyebarluaskan pengetahuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya secara umum maupun pengetahuan khusus tentang program APL –BM. Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Secara umum, mayoritas responden tergolong sebagai individu dengan tingkat kekosmoplitan rendah 76,1 dan tingkat keterdedahan media massa yang rendah pula 64,3 . Hasil penelitian juga menunjukkan mayoritas responden 57,3 berpenilaian dukungan kearifan lokal berpengaruh rendah terhadap pengelolaan program APL –BM. Ditemukan sebanyak 50,4 responden menilai dukungan tokoh masyarakat informal dikategorikan rendah, 60,5 responden menilai bahwa dukungan aparat pemerintah tokoh masyarakat formal rendah serta 68,1 menilai bahwa dukungan organisasi non pemerintah dan swasta adalah rendah dalam pengelolaan APL –BM di wilayah Kepulauan Seribu Tabel 20. Tingkat Kekosmopolitan Responden Tingkat kekosmopolitas responden adalah keterbukaan anggota –anggota masyarakat terhadap informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi di luar lingkungan komunitasnya. Berdasarkan kajian Rogers 2003, individu yang lebih kosmopolit berpeluang lebih maju dibandingkan individu yang kurang melakukan kontak dengan pihak di luar lingkungan komunitasnya. Tingkat kosmopolitan responden di Kepulauan Seribu tergolong rendah yang terlihat dari dua indikator yang diamati. Sebanyak 76,1 responden tergolong memiliki frekwensi rendah pada perilaku komunikasi kontak dengan sumber informasi di luar desa dengan rataan frekwensi 14,4 kali kontak dalam setahun. Sumber informasi dari luar desa atau pulau yang paling sering dihubungi adalah rekanan dalam jaringan pemasaran hasil perikanan atau pihak penyedia sarana produksi. Sedangkan pada indikator frekwensi perjalanan ke luar desa, 85,7 responden tergolong memiliki frekwensi rendah dengan rataan frekwensi perjalanan 12,4 kali dalam setahun. Tabel 21. Sebaran Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pengelolaan APL – BM di Kepulauan Seribu X.2. Dinamika Sosbud Masyarakat Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari X. 2.1.1 Kekosmopolitan : Frekwensi kontak dengan sumber informasi dari luar desa rentang kelas : frekwensi 0 –60 kali dalam setahun Rendah –20 kali 60,3 85,2 84,1 58,4 72,7 72,1 Sedang 21-40 kali 34,9 14,8 11,4 36,3 23,6 24,3 Tinggi 41 –60 kali 4,8 0,0 4,5 5,3 3,6 3,6 Rataan frekwensi kontak tahun 16,1 11,3 11,3 17,1 11,5 14,4 X.2.1.2 Kekosmopolitan : Frekwensi perjalanan ke luar desa rentang kelas : frekwensi 0 –48 kali dalam setahun Rendah –16 kali 77,3 85,2 87,7 79,5 68,7 79,7 Sedang 17 –32 kali 20,9 14,8 12,3 20,5 26,5 19,0 Tinggi 33 –48 kali 1,8 0,0 0,0 0,0 4,8 1,3 Rataan frekwensi perjalanantahun 12,8 12,2 12,3 12,6 12,6 12,2 X. 2.2. Durasi keterdedahan media rentang kelas : durasi 0 –38 jam dalam seminggu Rendah –11 jam 64,5 67,7 71,8 67,4 73,1 68,9 Sedang 12 –23 jam 25,5 19,0 16,8 16,8 16,5 18,9 Tinggi 24 –38 jam 10,0 13,3 11,4 15,8 10,4 12,2 Rataan durasi keterdedahan jamminggu 13,7 12,2 12,5 14,2 11,3 12,7 Tabel 21. Lanjutan. X.2. Dinamika Sosbud Masyarakat Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari X. 2.3. Dukungan kearifan lokal dalam mengelola APL –BM rentang kelas : skor 5 –16 Rendah skor 5 –8 56,4 52,4 51,8 43,7 72,1 55,3 Sedang skor 9 –12 25,4 37,6 38,2 40,0 21,6 32,6 Tinggi skor 13 –16 18,2 10,0 10,0 16,3 6,3 12,1 Rataan skor dukungan kearifan lokal 7,4 7,3 7,0 9,3 7,1 7,6 X. 2.4. Dukungan tokoh masyarakat informal dalam pengelolaan APL –BM rentang kelas : skor 5 –20 Rendah skor 5 –10 60,9 67,6 64,1 31,6 67,6 53,4 Sedang skor 11 –15 21,8 19,1 20,0 47,9 21,7 26,1 Tinggi skor 16 –20 17,3 13,3 15,9 20,5 10,6 15,5 Rataan skor dukungan tomas informal 10,8 10,8 10,5 13,4 10,0 10,3 X. 2.4. Dukungan aparat pemerintah tokoh masyarakat formal dalam pengelolaan APL –BM batas kelas : skor 5 –20 Rendah skor 5 –10 69,1 68,1 70,9 31,6 73,0 62,5 Sedang skor 11 –15 25,5 23,3 19,1 53,2 14,2 27,1 Tinggi skor 16 –20 5,5 8,6 10,0 15,3 12,7 10,4 Rataan skor dukungan aparat pemerintah 12,9 12,1 12,3 15,1 12,8 12,9 X. 2.6. Dukungan swasta dan organisasi non pemerintah dalam pengelolaan APL –BM rentang kelas : skor 2–8 Rendah skor 2 –3 49,1 71,4 72,7 49,1 98,4 68,1 Sedang skor 4 –5 40,0 28,6 27,3 40,0 1,6 27,5 Tinggi skor 6 –8 10,9 0,0 0,0 10,9 0,0 4,4 Rataan skor dukungan ornop dan swasta 3,4 2,0 2,1 2,8 2,6 2,6 Sumber : data primer, diolah Keterdedahan Media Keterdedahan berkaitan dengan aktifitas memanfaatkan informasi berupa aktifitas mendengarkan, melihat, membaca atau secara lebih umum mengalami dengan sedikitnya sejumlah perhatian minimal pada pesan media yang diterima. Jahi 1993 mengemukakan bahwa keterdedahan khalayak pada media massa akan memberikan kontribusi terhadap perubahan perilakunya. Mayoritas responden 64,3 memiliki tingkat keterdedahan media massa yang tergolong rendah dengan rataan keterdedahan media massa adalah 12,7 jam per minggu atau setara dengan 2,1 jam per hari. Keseluruhan responden tidak ada yang berlangganan surat kabar atau media cetak lain dengan spektrum pemberitaan umum atau khusus di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan yang memang sangat sulit diperoleh. Responden jarang memanfaatkan media televisi karena pada saat penelitian dilakukan di wilayah Kepulauan Seribu sumber energi listrik hanya tersedia pada malam hari yang sering bersamaan dengan waktu nelayan melaut. Apabila menonton televisi, responden lebih banyak menonton acara hiburan. Siaran radio yang dapat ditangkap belum banyak menyiarkan pemberitaan yang secara spesifik memuat informasi di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan. Tidak terdapat perbedaan signifikan keterdedahan media massa dari kelima kelurahan yang diamati dalam penelitian. Dukungan Kearifan Lokal Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama berkenaan dengan model –model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut memuat anggapan masyarakat yang bersangkutan dengan hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan- tindakan manusia dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia masyarakat dan lingkungan alamnya. Selanjutnya Mitchell et al. 2000 menjelaskan bahwa bentuk –bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan dan aturan-aturan khusus yang dapat berfungsi sebagai instrumen konservasi dan pelestarian sumberdaya alam serta pengembangan sumberdaya manusia, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan –kelautan di Kepulauan Seribu dibentuk oleh perjalanan budaya kerja yang telah berlangsung turun temurun. Dalam aspek sosial budaya, masyarakat Kepulauan Seribu mengidentifikasi diri mereka sebagai ”Orang Pulo” dengan ciri kebudayaan khas masyarakat pulau sebagai hasil akulturasi kebudayaan yang berasal dari budaya suku Banten, Betawi, Tidung Kalimantan serta Bugis dan Mandar Sulawesi. Pada saat dilakukan penelitian, dukungan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan tergolong rendah. Hal ini dicirikan dengan 57,3 responden tergolong mempersepsi bahwa kearifan lokal tidak berpengaruh terhadap pola pengelolaan sumberdaya yang lestari dan menjaga harmonisasi antar kelompok pemanfaat dengan kepentingan yang berbeda. Pada saat penelitian dilakukan, tidak ditemukan nilai –nilai kearifan lokal yang dimanifestasikan dalam kelembagaan lokal dengan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam dan sanksi yang mengikat. Pada masyarakat di lima kelurahan yang diamati juga tidak ditemukan forum pertemuan reguler yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh warga sebagai forum komunikasi sosial untuk berbagi informasi dan permasalahan yang berkaitan dengan situasi pemanfaatan sumberdaya perikanan –kelautan maupun situasi masyarakat secara umum. Pertemuan masyarakat biasanya bersifat insidental jika terdapat permasalahan yang berkembang di luar situasi normal. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara dukungan kearifan lokal di Kelurahan Pulau Tidung dengan empat kelurahan lainnya. Meskipun belum berjalan secara reguler dan memiliki agenda pembahasan yang tersusun dengan sistematis, pada masyarakat di Kelurahan Pulau Tidung sudah berjalan pertemuan masyarakat yang berjalan secara informal yang digagas oleh beberapa warga dan tokoh masyarakat untuk membahas permasalahan sosial dan sumberberdaya alam yang berkembang. Antroposentris adalah paham yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia dan tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Etika lingkungan hidup yang mayoritas dianut oleh responden adalah antroposentris. Hal ini diindikasikan oleh temuan bahwa sebanyak 90,17 responden berpandangan bahwa tumbuhan dan hewan yang ada di lingkungan sekeliling tidak memiliki hak hidup yang sama atau perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya jika tidak diketahui kegunaannya secara ekonomis. Dukungan Tokoh Masyarakat Informal Terdapat sebanyak 54,4 responden beranggapan bahwa dukungan tokoh masyarakat memiliki pengaruh yang rendah pada program APL –BM di Kepulauan Seribu. Meskipun dinilai masih memiliki pengaruh sosial yang cukup besar dan memiliki hubungan yang baik dengan anggota masyarakat, peran tokoh masyarakat informal masih dinilai rendah dalam mendukung pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tokoh masyarakat dianggap belum mengambil peran aktif dalam memberi contoh dalam perilaku pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan atau secara tegas memberikan peringatan bila menemukan pelanggaran pada praktek pengelolaan sumberdaya. Tokoh masyarakat juga dinilai pasif dalam mencarikan alternatif penyelesaian bila terjadi permasalahan di antara kelompok pemanfaat dengan kepentingan yang berbeda. Penyebab rendahnya dukungan tokoh masyarakat informal ini adalah karena program pengelolaan sumberdaya secara umum atau pun melalui program khusus APL –BM belum melibatkan secara optimal pengaruh sosial yang dimiliki oleh para tokoh tersebut sebagai instrumen pemelihara harmoni sosial dalam masyarakat. Beberapa responden bahkan menilai bahwa program pembangunan mengabaikan peran tokoh masyarakat informal dan baru dilibatkan jika terjadi permasalahankonflik di dalam masyarakat. Tokoh masyarakat informal yang masih dianggap memiliki pengaruh kuat dalam pandangan responden adalah tokoh sesepuh masyarakat nelayan, tokoh agama dan pejabat Rukun Warga – Rukun Tetangga RW –RT yang dianggap sebagai perwakilan warga dalam mengelola kepentingan bersama. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat dukungan tokoh masyarakat informal di Kelurahan Pulau Tidung dengan empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Tokoh masyarakat di Kelurahan Pulau Tidung memang menunjukkan peran yang cukup aktif dalam menjaga harmonisasi sosial dan perilaku pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan. Dukungan Aparat Pemerintah Temuan penelitian juga menunjukkan terdapat kecenderungan yang relatif rendah pada penilaian dukungan aparat pemerintahtokoh masyarakat formal dalam mendukung pengelolaan sumberdaya secara lestari melalui implementasi program APL –BM. Terdapat sebanyak 60,4 responden beranggapan bahwa aparat menunjukkan dukungan yang rendah meskipun memiliki wewenang formal dan pengaruh sosial yang di dalam pandangan masyarakat. Hubungan antara anggota masyarakat dengan aparat pemerintah berjalan dengan cukup baik, tetapi perannya masih dinilai belum optimal karena baru bertindak dalam bentuk memberi larangan serta belum ikut aktif dalam membantu mencarikan penyelesaian bila terjadi permasalahan praktek pengelolaan sumberdaya. Beberapa responden bahkan menyebutkan bahwa masih sering terlihat beberapa oknum aparat pemerintahan justru melakukan pelanggaran terhadap aturan pengelolaan yang telah disepakati, seperti memesan batu karang dan pasir laut untuk bahan bangunan atau membawa pihak lain memasuki zona inti tanpa berkoordinasi dengan pengurus organisasi masyarakat pengelola APL –BM. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat dukungan tokoh masyarakat di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Dukungan Organisasi Non Pemerintah dan Swasta Organisasi non pemerintah dan swasta diharapkan dapat memainkan peran fasilitasi pembangunan yang belum mampu diisi oleh pemerintah dalam membimbing, mendampingi dan memberdayakan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden 68,1 menganggap dukungan organisasi non pemerintah dan swasta masih rendah dalam mendukung penerapan program APL –BM. Skor rataan dukungan yang dipersepsikan sebagian besar responden mendekati batas minimal, hal ini menunjukkan bahwa peran dan dukungan yang diberikan masih sangat minim baik dari segi jenis, frekwensi, intensitas maupun jangkauan kegiatan terkait implementasi program APL –BM. Lembaga non pemerintah yang berasal dari luar wilayah di Kepulauan Seribu dan selama ini dianggap beberapa responden banyak berkiprah dalam mendampingi masyarakat antara lain adalah Yayasan Terangi dan Asosiasi Koral, Kerang dan Ikan Hias AKKII. Sedangkan lembaga swasta yang dianggap telah memulai kerja sama dalam memberdayakan masyarakat antara lain adalah perusahaan China National Offshore Oil Corporation CNOOC dan Sharp Indonesia melalui skema kerja pemenuhan kewajiban sosial perusahaan. Kegiatan kerja sama yang dilakukan antara lain adalah transplantasi dan adopsi karang, kegiatan kerja sama penelitian serta kegiatan restocking ikan. Terdapat perbedaan nyata pada dukungan pihak swasta dan organisasi non pemerintah yang dipersepsikan responden dari kelurahan Pulau Panggang dengan empat kelurahan yang lain. Pengamatan penelitian menunjukkan bahwa kegiatan untuk mendukung program APL –BM oleh pihak swasta dan organisasi non pemerintah baru berkembang di Kelurahan Pulau Panggang. Kualitas Program Pengelolaan APL –BM Mayoritas responden beranggapan bahwa kualitas program pengelolaan Areal Perlindungan Laut –Berbasis Masyarakat berada pada kategori rendah pada tiga indikator penilaian dan kategori sedang pada satu indikator lainnya. Terdapat sebanyak 67,7 responden menilai rendah pada indikator kualitas pendekatan komunikasi program, 85,6 responden menilai rendah pada indikator kualitas inisiatif dan kontinuitas program serta 68,4 responden menilai rendah pada indikator kualitas kesesuaian konsep program. Pada penilaian berkaitan dengan aspek dampak intensitas peran penyuluhan terhadap kualitas program pengelolaan APL –BM, sebagian besar responden memberikan penilaian sedang. Ditemukan sebanyak 49,3 responden memberikan penilaian sedang pada indikator intensitas peran penyuluh sebagai advokator, sebanyak 46,7 responden memberikan penilaian sedang pada indikator intensitas peran sebagai edukator dan 53,1 responden memberikan penilaian sedang pada intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator Tabel 22. Tabel 22. Sebaran Kualitas Program Pengelolaan APL –BM X.3. Kualitas Program Pengelolaan APL –BM Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari X. 3.1. Kualitas pendekatan komunikasi program rentang kelas : skor 11 –44 Rendah skor 11 –21 65,5 77,1 76,4 47,9 71,9 67,7 Sedang skor 22-32 20,0 13,8 12,3 31,6 17,5 19,0 Tinggi skor 33 –44 14,5 9,0 11,4 20,5 10,6 13,3 Rataan skor kualitas komunikasi program 20,4 20,5 20,3 23,6 20,4 20,7 X. 3.2. Kualitas inisiatif dan kontinuitas program batas kelas : skor 4 –16 Rendah skor 4 –7 80,0 91,0 95,4 69,5 92,1 85,6 Sedang skor 8 –11 16,4 7,2 3,3 20,5 6,3 10,7 Tinggi skor 12 –16 3,6 1,8 1,3 10,0 1,6 3,7 Rataan skor kualitas inisiatif dan kontinuitas program 5,5 5,2 5,3 6,1 5,0 5,4 Tabel 22. Lanjutan X.3. Kualitas Program Pengelolaan APL –BM Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari X. 3.3. Kesesuaian konsep program batas kelas : skor 5 –20 Rendah skor 5 –9 70,9 77,9 80,0 37,9 75,3 68,4 Sedang skor 10-14 18,2 13,8 20,0 42,1 15,8 24,0 Tinggi skor 15 –20 10,9 8,3 0,0 10,0 8,9 7,6 Rataan skor kesesuaian konsep program 8,7 8,5 8,4 12,6 8,1 8,6 X. 3.4.1. Intensitas peran penyuluh sebagai advokator batas kelas : skor 4 –16 Rendah skor 4 –7 10,9 4,8 2,3 0,0 7,9 25,9 Sedang skor 8 –11 43,6 57,1 61,4 36,8 47,6 49,3 Tinggi skor 12 –16 45,5 38,1 36,4 63,2 44,4 24,8 Rataan skor intensitas peran sbg advokator 9,9 10,0 9,7 11,5 9,8 10,0 X. 3.4.2. Intensitas peran penyuluh sebagai edukator batas kelas : skor 4 –16 Rendah skor 4 –7 12,7 14,3 12,3 15,3 18,1 14,6 Sedang skor 8 –11 45,5 52,4 54,1 35,8 46,0 46,7 Tinggi skor 12 –16 41,8 33,3 33,6 48,9 35,9 38,7 Rataan skor intensitas peran sbg edukator 9,6 10,4 10,3 11,7 9,8 10,1 X. 3.4.3. Intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator batas kelas : skor 4 –16 Rendah skor 4 –7 12,7 14,3 18,2 10,0 17,9 14,6 Sedang skor 8 –11 54,5 61,9 56,8 46,3 46,0 53,1 Tinggi skor 12 –16 32,7 23,8 25,0 43,7 36,0 32,37 Rataan skor peran sbg fasilitator 10,0 9,8 9,5 12,8 9,8 10,0 Sumber : data primer, diolah Kualitas Pendekatan Komunikasi Program Pengelolaan APL –BM Komunikasi pembangunan umumnya bertujuan untuk menyampaikan pesan pembangunan kepada khalayaknya. Wilson et al. 1986 mengemukakan bahwa secara umum tujuan komunikasi pembangunan adalah untuk memberikan informasi kepada sejumlah orang mengenai kebijakan dan strategi program pembangunan, menjalin hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dan memberikan hiburan kepada sejumlah orang. Tujuan akhir dari pemberian informasi kepada masyarakat bertujuan untuk mengubah sikap masyarakat menjadi sikap yang lebih positif terhadap program yang diluncurkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, keterdedahan masyarakat sasaran perlu mendapatkan perhatian pemerintah atau agen pembangunan melalui pemilihan model dan aktivitas komunikasi yang tepat, baik dengan melalui media massa maupun melalui komunikasi kelompok atau interpersonal. Pada umumnya responden mempersepsikan kualitas pendekatan komunikasi program pengelolaan APL –BM pada tingkat rendah. Responden mempersoalkan proses komunikasi yang tidak berjalan dengan baik pada kegiatan sosialisasi dan konsultasi publik saat program diluncurkan. Responden merasa bahwa kedudukan antara para pemangku pementingan dalam forum –forum komunikasi tersebut tidak setara dan pihak pemerintah dianggap mendominasi proses pengambilan keputusan. Proses komunikasi juga dianggap belum sepenuhnya memperhatikan etika dan budaya yang berlaku di masyarakat. Setelah program pengelolaan APL –BM berjalan beberapa tahun kemudian, mayoritas responden juga menganggap proses komunikasi tidak banyak mengalami perbaikan. Responden merasa kesulitan dalam dalam memperoleh informasi tentang situasi pengelolaan sumberdaya secara umum maupun informasi spesifik tentang program APL –BM, termasuk perkembangan situasi terbaru yang terjadi di masyarakat. Responden menilai bahwa informasi yang tersedia banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka serta tidak terlalu diyakini kebenaran pesannya. Pada aspek penggunaan bahasa dan media, responden menganggap bahwa lembaga –lembaga yang berkecimpung dalam pengelolaan APL–BM belum menyampaikan informasi dalam bahasa yang mudah dipahami dan dikemas dalam media komunikasi yang beragam. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara penilaian kualitas pendekatan komunikasi di Kelurahan Pulau Tidung dengan empat kelurahan lainnya dengan nilai rataan yang lebih tinggi. Meskipun memiliki banyak keterbatasan, responden beranggapan bahwa para pengelola program APL –BM dan tokoh masyarakat telah mengoptimalkan strategi komunikasi kelompok dan interpersonal dengan masyarakat dalam menyampaikan informasi –informasi terkait dengan penyelenggaraan program. Inisiasi dan Kontinuitas Program Pengelolaan APL –BM Indikator inisiasi dan kontinuitas program adalah indikator kualitas program penyelenggaraan APL –BM yang paling rendah nilainya dalam persepsi responden. Pada prinsipnya masyarakat tidak mempermasalahkan prakarsa dari program APL –BM, tetapi yang menjadi kritik secara umum adalah tidak adanya pembahasan yang memadai menyangkut strategi operasional dan strategi jangka panjang dalam memelihara kelancaran dan keberlanjutan program di masa yang akan datang. Hal ini dicirikan oleh penilaian rendah pada aspek kejelasan konsep pembagian peran dan tanggung jawab para pihak dalam pengelolaan APL –BM, termasuk isu tanggung jawab pembiayaan program yang menjadi isu kritis bagi kelompok –kelompok pemanfaat sumberdaya di dalam masyarakat. Secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan dalam penilaian pada aspek kualitas inisiasi dan kontinuitas program pengelolaan APL –BM pada kelima kelurahan yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi situasi yang hampir seragam rendah dalam aspek pembinaan strategi –strategi untuk mencapai keberlanjutan program di masa yang akan datang Kualitas Kesesuaian Program Pengelolaan APL –BM Sebagian besar responden mempersepsikan kualitas kesesuaian konsep pengelolaan APL –BM pada tingkat rendah. Responden menilai bahwa pertimbangan –pertimbangan pokok yang mendasari penerapan program APL–BM sebagai upaya pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan secara lestari di Kepulauan Seribu sudah tepat, tetapi implementasi teknisnya dinilai tidak konsisten dan tidak memenuhi rasa keadilan pada beberapa kelompok pemanfaat tradisional yang juga merupakan kelompok mayoritas. Isu utama yang menjadi pokok persoalan adalah ketaatan atau perbedaan penafsiran terhadap peraturan tentang zonasi APL –BM dan aktivitas yang diperbolehkandilarang di dalamnya. Secara normatif berdasarkan peraturan SK Bupati Kepulauan Seribu tentang zonasi APL –BM di Kelurahan Pulau Panggang, maka pada zona areal inti tidak diperkenankan melakukan aktivitas apapun selain untuk kepentingan konservasi. Tetapi situasi lapangan yang berkembang dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa areal inti tidak steril dari aktivitas selain upaya konservasi. Isu lain yang berkembang adalah permasalahan pembagian dan penggunaan ruang di areal pemanfaatan. Dengan mulai maraknya usaha budidaya karang komersial, kelompok nelayan dan pemandu wisata merasa sudah diperlukan adanya kesepakatan bersama yang mengatur bagaimana kelompok – kelompok pemanfaat sumberdaya yang ada dapat terus menjalankan aktivitasnya tanpa saling mengganggu ruang usaha masing –masing. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara penilaian kesesuaian konsep di Kelurahan Pulau Tidung dengan keempat kelurahan lainnya dengan nilai rataan yang lebih tinggi. Responden di kelurahan Pulau Tidung menilai peraturan zonasi APL –BM dan aktivitas pemanfaatan sumberdaya secara ramah lingkungan di wilayah kelurahan mereka telah ditegakkan secara tegas dan adil bagi semua kelompok pemanfaat. Intensitas Peran Penyuluhan Petugas penyuluh perikanan –kelautan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mendampingi, membimbing, mendidik dan mengajak masyarakat pemanfaat agar mau dan mampu berperan serta secara aktif dalam pengelolaan dan pemeliharaan sumberdaya. Salah satu indikator keberhasilan kegiatan penyuluhan tersebut ditentukan oleh intensitas peran yang ditunjukkan oleh petugas penyuluh. Pada saat dilakukan penelitian terdapat 3 orang tenaga penyuluh kontrak untuk 5 kelurahan di Kepulauan Seribu yang memiliki program APL –BM, dengan perincian satu orang tenaga penyuluh bertugas di Kelurahan Pulau Panggang, satu orang bertugas di Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Kelapa dan satu orang bertugas di Kelurahan Pulau Tidung dan Kelurahan Pulau Pari. Para petugas tersebut adalah penyuluh monovalen di bidang perikanan –kelautan. Dua petugas penyuluh memiliki pendidikan sebagai ahli madya sosial ekonomi perikanan dan satu orang lainnya merupakan tenaga ahli madya di bidang penyuluhan perikanan. Meskipun memiliki tanggung jawab kerja yang cukup berat mengingat kondisi bentang alam wilayah dampingannya, indikator intensitas peran penyuluhan menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan ketiga indikator lain pada peubah kualitas program pengelolaan APL –BM. Faktor utama yang berperan membentuk penilaian ini adalah bahwa keberadaan petugas penyuluh di lapangan dinilai lebih intens bila dibandingkan dengan keberadaan parat pemerintah di bidang yang lain. Mayoritas responden memberikan penilaian pada tingkat sedang pada kinerja penyuluhan yang dilaksanakan di Kepulauan Seribu. Pada indikator peran penyuluh sebagai fasilitator, sebagian besar responden menganggap bahwa petugas penyuluh telah menunjukkan kinerja yang cukup baik yang dicirikan oleh intensitas semangat penyuluh dalam memotivasi masyarakat untuk terlibat aktif pada pengelolaan APL –BM. Petugas penyuluh dinilai sebagai fasilitator kegiatan yang berperan postif dalam memperlancar proses diskusi pada pertemuan yang diadakan. Demikian pula pada peran sebagai edukator, petugas penyuluh dianggap memiliki kemampuan teknis yang cukup memadai di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan. Serupa dengan itu, petugas penyuluh juga dinilai mampu menjadi jembatan komunikasi dan pendamping yang baik dalam upaya menyampaikan aspirasi kelompok pemanfaat dengan para pemangku kepentingan lain. Responden menganggap para petugas penyuluh memberikan saran dan pertimbangan yang logis ketika masyarakat menghadapi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Lionberger dan Gwin 1982 bahwa salah satu faktor yang mendorong keberhasilan penyuluhan terletak pada kemampuan penyuluh dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh klien. Secara statistik, pada indikator peran penyuluh sebagai advokator dan edukator tidak terdapat perbedaan intensitas yang signifikan pada ke lima kelurahan yang diteliti. Pada indikator intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator, intensitas peran penyuluh di Kelurahan Pulau Tidung berbeda secara signifikan dengan ke empat kelurahan lainnya dan memiliki nilai rataan yang tertinggi. Hal ini disebabkan karena kinerja petugas penyuluhan di kelurahan tersebut dinilai baik oleh kelompok masyarakat dengan aktifnya penyuluh dalam membenahi struktur kelompok dan mendampingi kelompok dalam pertemuan – pertemuan yang diselenggarakan di tingkat kelurahan maupun kabupaten. Kemampuan Organisasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Kemampuan merupakan sekumpulan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki seseorang atau kelompok yang berkaitan satu sama lain dan memainkan peran penting bagi pencapaian hasil kerja. Kegiatan pengelolaan sumberdaya melalui program APL –BM akan mencapai hasil yang baik jika kelompok masyarakat pemanfaat tersebut memiliki kemampuan yang memadai. Organisasi masyarakat pada program APL –BM berperan sebagai fasilitator bagi proses peningkatan partisipasi masyarakat dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam pola kerja kolaboratif Tabel 23. Tabel 23. Sebaran Tingkat Kemampuan Organisasi Masyarakat Pengelola APL –BM X.4. Kemampuan Organisasi Masyarakat Mengelola APL –BM Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari X. 4.1. Kemampuan teknis rentang kelas : skor 6 –24 Rendah skor 6 –11 14,5 33,3 31,4 15,2 24,0 23,7 Sedang skor 12 –17 67,3 52,9 54,1 57,4 58,5 58,0 Tinggi skor 18 –24 18,2 13,8 14,5 27,4 17,5 18,3 Rataan skor kemampuan teknis 14,7 11,8 11,9 16,0 12,4 13,6 X. 4.2. Kemampuan manajerial rentang kelas : skor 10 –40 Rendah skor 10 –19 56,4 52,4 81,8 27,9 57,9 55,3 Sedang skor 20 – 29 27,2 28,6 15,9 58,3 26,3 31,7 Tinggi skor 30 –40 16,4 19,0 2,3 13,8 15,8 13,0 Rataan skor kemampuan manajerial 18,5 17,3 17,8 21,8 18,6 18,5 X. 4.1. Kemampuan sosial rentang kelas : skor 5 –20 Rendah skor 5 –9 69,1 53,8 65,5 22,1 59,7 54,0 Sedang skor 10 –14 14,5 33,3 22,3 62,1 28,6 32,2 Tinggi skor 15 –20 16,4 12,9 12,3 15,8 11,7 13,8 Rataan skor kemampuan sosial 8,8 8,4 8,0 12,2 8,2 8,9 Sumber : data primer diolah Tingkat kemampuan organisasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan –kelautan secara lestari melalui penerapan program APL–BM dinilai responden cenderung berada dalam tingkat rendah menuju sedang yang dicirikan oleh indikator kemampuan teknis yang dipersepsikan pada tingkat sedang oleh 58,0 responden, indikator tingkat kemampuan manajerial dipersepsikan rendah oleh 55,3 responden dan aspek kemampuan sosial yang juga dipersepsikan rendah oleh 50,4 responden. Kemampuan Teknis Temuan penelitian menunjukkan mayoritas responden meyakini organisasi masyarakat pengelola program APL –BM sudah memiliki kemampuan teknis yang cukup memadai dalam melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator program. Kemampuan teknis tersebut meliputi kemampuan untuk melakukan survei potensi dan penentuan status sumberdaya, pemilihan lokasi dan pelaksanaan tranplantasi karang serta kemampuan teknis dasar lainnya. Hal yang dianggap sebagai faktor penghalang optimalisasi kemampuan teknis adalah organisasi masyarakat belum didukung oleh sarana dan prasarana kerja yang memadai. Kemampuan teknis yang dimiliki pengurus organisasi masyakat pengelola APL –BM di Kepulauan Seribu diperoleh melalui proses alih pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan non formal berupa pelatihan yang diadakan oleh pemerintah daerah, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi maupun melalui upaya belajar mandiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjo 2010 bahwa pendidikan, termasuk pendidikan non formal, merupakan salah satu pilar utama bagi pengembangan kemandirian masyarakat. Kemandirian merupakan suatu prasyarat bagi masyarakat untuk berdaya dalam mengelola sumberdaya dan beradaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan yang terus terjadi. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat kemampuan teknis organisasi masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang dan Kelurahan Pulau Tidung dengan ke tiga kelurahan lainnya. Rataan penilaian kemampuan teknis pada dua kelurahan tersebut juga lebih tinggi daripada tiga kelurahan lain yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Pada Kelurahan Panggang, hal ini disebabkan kedudukannya sebagai sebagai ibukota yang berimplikasi lebih sering dijadikan sebagai lokasi pelatihan yang diselenggarakan pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah. Sementara pada Kelurahan Pulau Tidung, kemampuan teknis organisasi masyarakat banyak diperoleh dari pelatihan yang diadakan oleh perguruan tinggi dan upaya belajar mandiri dari individu pengurus organisasi. Kemampuan Manajerial Pada aspek kemampuan manajerial, terdapat 55,3 responden yang menilai organisasi masyarakat pengelola program APL –BM memiliki kemampuan manajerial yang rendah dalam melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator program. Aspek kemampuan manajerial yang dinilai meliputi kemampuan untuk melakukan identifikasi potensi masalah konsep pengelolaan yang dihadapi, kemampuan identifikasi modal sosial yang dimiliki komunitas dan lembaga lain di luar komunitas, kemampuan alokasi sumberdaya organisasi, kemampuan pengambilan keputusan yang sistematis serta kemampuan untuk melakukan pendokumentasian dan pengadministrasian program kerja organisasi yang telah dilaksanakan. Pengamatan selama penelitian menemukan tidak ada organisasi masyarakat pengelola APL –BM kelengkapan dasar organisasi berupa Anggaran Dasar –Anggaran Rumah tangga ADART maupun kelengkapan administrasi dasar lainnya. Demikian pula tidak ada organisasi masyarakat pengelola yang melakukan inventarisasi sarana kerja yang dimiliki serta mendokumentasikan rangkaian proses kerja organisasi dalam bentuk laporan tertulis. Hanya organisasi masyarakat pengelola APL –BM Kelurahan Pulau Panggang yang memiliki dasar legalisasi formal penetapan sebagai organisasi masyarakat pengelola APL –BM dalam bentuk surat keputusan Bupati Kepulauan Seribu. Secara statistik tidak ditemukan perbedaan signifikan pada kemampuan manajerial organisasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan –kelautan melalui penerapan program APL –BM. Kemampuan Sosial Serupa dengan aspek kemampuan manajerial, kemampuan sosial organisasi masyarakat pengelola program APL –BM dinilai rendah dalam melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator program oleh mayoritas responden 54,0 . Aspek kemampuan sosial tersebut meliputi kemampuan untuk manyampaikan aspirasi masyarakat pemanfaat sumberdaya, kemampuan untuk mendorong kerja sama dan memediasi konflik serta kemampuan untuk menegakkan peraturan dalam pengelolaan APL –BM. Susunan pengurus kelompok organisasi masyarakat pengelola APL –BM juga dianggap terpilih melalui proses yang kurang demokratis sehingga tidak sepenuhnya mewakili kepentingan kelompok masyarakat pemanfaat. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara penilaian kemampuan sosial organisasi masyarakat di Kelurahan Pulau Tidung dengan keempat kelurahan lainnya. Responden di kelurahan Pulau Tidung menganggap bahwa susunan pengurus terpilih melalui proses yang cukup demokratis sehingga mampu memahami situasi sosial yang sesungguhnya berkembang terkait dengan pola pemanfaatan sumberdaya. Selain faktor tersebut, responden juga menganggap bahwa pengurus telah bekerja dengan baik dalam menegakkan aturan dan memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi secara adil dan tegas. Motivasi Masyarakat untuk Berpartisipasi dalam Pengelolaan APL –BM Motif merupakan sumber dari tindakan yang bertujuan. Motif yang menjadi aktif disebut dengan motivasi. Motif yang menjadi aktif digerakkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, yang kemudian menjadi tujuan yang hendak dicapai Sarwono, 2002. Begitu pula motif dengan nelayan dan kelompok pemanfaat lainnya di Kepulauan Seribu dalam berpartisipasi mengelola sumberdaya perikanan –kelautan melalui program APL–BM. Secara umum, mayoritas responden tergolong memiliki tingkat motivasi sedang pada tiga indikator yang digunakan untuk mengukur motivasi yaitu motivasi untuk meningkatkan pendapatan, mendapatkan pengakuan atas kredibilitas dan melestarikan sumberdaya Tabel 24. Motivasi untuk Meningkatkan Pendapatan Peningkatan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumahtangga dan meningkatkan kesejahteraan merupakan tujuan akhir dari setiap pilihan tindakan individu. Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa sebagian besar responden 58,9 tergolong memiliki motivasi meningkatkan pedapatan pada tingkat sedang dalam berpartisipasi pada pengelolaan APL –BM. Pada umumnya responden beranggapan bahwa pengelolaan sumberdaya melalui implementasi program APL –BM baru akan memberikan dampak pada produktivitas perairan dalam jangka panjang, dengan asumsi bahwa zona inti perlindungan benar –benar terlindungi dari aktivitas apapun kecuali untuk kepentingan penelitian dan pengawasan. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat motivasi untuk meningkatkan pendapatan adalah meskipun terdapat keinginan yang besar untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga, umumnya usaha perikanan tangkap dijalankan masih berorientasi subsisten dan belum diartikulasikan melalui rencana pengembangan usaha yang baik. Berbeda dengan hal tersebut, kelompok responden yang berusaha di bidang pemanduan ekowisata bahari dan budidaya karang secara komersial menunjukkan motivasi yang lebih tinggi untuk memajukan usaha dan meningkatkan pendapatannya. Hal ini disebabkan karena perkembangan usaha pada kedua bidang pekerjaan tersebut dianggap prospektif untuk terus dikembangkan pada masa yang akan datang. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat motivasi meningkatkan pendapatan di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Hal ini berhubungan dengan keyakinan responden bahwa program APL –BM berfungsi efektif dalam menjaga produktivitas perairan dan menjadi daya tarik yang tinggi dalam usaha ekowisata bahari. Tabel 24. Sebaran Tingkat Motivasi Masyarakat untuk Berpartisipasi dalam Pengelolaan APL –BM. X.5. Motivasi Masyarakat Mengelola APL –BM Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari X. 5.1. Motivasi meningkatkan pendapatan rentang kelas : skor 4 –16 Rendah skor 4 –7 37,2 43,8 44,1 17,4 38,8 36,3 Sedang skor 8 –11 56,4 49,4 55,9 77,4 53,3 58,9 Tinggi skor 12 –16 6,4 6,8 0,0 5,2 7,9 4,8 Rataan skor motivasi pendapatan 8,0 8,0 8,2 9,6 8,6 8,4 X. 5.2. Motivasi mendapatkan pengakuan atas kredibilitas rentang kelas : skor 1 –4 Rendah skor 1 41,8 42,8 43,6 26,3 48,9 40,7 Sedang skor 2 –3 56,4 52,4 56,4 73,7 44,8 56,9 Tinggi skor 4 1,8 4,8 0,0 0,0 6,3 2,4 Rataan skor motivasi pengakuan kredibilitas 2,5 2,4 2,5 3,0 2,4 2,7 X. 5.3. Motivasi untuk melestarikan sumberdaya rentang kelas : skor 2 –8 Rendah skor 2 –3 34,5 42,7 45,2 23,3 40,5 37,2 Sedang skor 4 –5 48,2 46,8 45,1 67,2 50,4 51,5 Tinggi skor 6 –8 17,3 10,5 9,7 9,5 9,1 11,3 Rataan skor motivasi melestarikan 4,5 4,2 4,2 5,2 4,0 4,3 Sumber : data primer, diolah Motivasi untuk Mendapatkan Pengakuan atas Kredibilitas Pada umumnya motivasi responden untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitasnya dalam mengelola sumberdaya perikanan –kelautan secara lestari melalui program APL –BM berada dalam level sedang. Temuan ini menunjukkan bahwa kelompok –kelompok pemanfaat memiliki keinginan dan keyakinan diri yang cukup besar untuk membuktikan peran mereka sebagai mitra pembangunan yang sejajar dan mampu membangun sinergi dengan pemerintah dan agen pembangunan lainnya. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Hal ini tidak lepas dari peran intensif penyuluh, tokoh masyarakat informal dan aparat pemerintah dalam membangun sistem kerja kelompok pengelola APL –BM sehingga terbentuk situasi kerja yang kondisuif yang pada akhirnye berdampak pada tumbuhnya kesadaran dan kepercayaan diri masyarakat. Motivasi untuk Melestarikan Sumberdaya Sebagian besar responden menunjukkan motivasi untuk melestarikan sumberdaya dengan tingkat sedang dalam berpartisipasi. Motivasi ini dipengaruhi oleh faktor historis bahwa hanpir keseluruhan masyarakat di Kepulauan Seribu sangat bergantung kepada keberadaan sumberdaya perikanan –kelautan secara turun temurun sebagai nelayan tangkap sehingga secara psikologis terbentuk keterikatan yang kuat antara masyarakat dan sumberdaya alam dan lingkungannya. Meskipun ditemukan beberapa ketidakselarasan antara motivasi pelestarian sumberdaya dengan praktek –praktek pemanfaatan yang mengganggu keseimbangan ekosistem, pada dasarnya responden dari kelompok nelayan memiliki keinginan untuk memberi warisan penghidupan yang lebih baik kepada anak cucunya. Pemahaman ini juga ditemukan pada bidang pekerjaan pemanduan ekowisata bahari dan budidaya karang yang baru berkembang. Berdasarkan pemikiran tersebut maka tidak ada pilihan lain bagi masyarakat di Kepulauan Seribu kecuali memulai upaya pemulihan kualitas sumberdaya sedini mungkin melalui kepatuhan atas aturan pengelolaan yang disepakati bersama. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat motivasi untuk melestarikan sumberdaya di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Tumbuhnya motivasi untuk menjaga kelestarian sumberdaya merupakan hasil kerja intensif penyuluh, tokoh masyarakat informal dan aparat pemerintah dalam membangun kesadaran masyarakat. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mendapatkan penguatan kesadaran karena pengalaman menunjukkan upaya perlindungan akan menjaga dan meningkatkan produktivitas sumberdaya dalam jangka panjang. SIMPULAN Program Areal Perlindungan Laut –Berbasis Masyarakat APL–BM di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 357 Tahun 2004 sebagai program kolaboratif dan memuat pengaturan tiga zona pengelolaan, yaitu areal inti hanya digunakan untuk aktivitas konservasi, areal penyangga dapat dimanfaatkan secara terbatas sesuai dengan kesepakatan masyarakat dan areal pemanfaatan dapat dimanfaatkan dengan alat tangkap yang tidak merusak. Karakteristik individu responden secara mayoritas adalah berusia dewasa muda dengan rataan usia 37,8 tahun, memiliki tingkat pendidikan formal tingkat menengah dengan rataan durasi pendidikan formal 7,4 tahun dan tingkat pendidikan non formal adalah rendah dengan rataan durasi pendidikan non formal setara 7,6 jam pelatihan. Mayoritas responden tergolong berpenghasilan rendah dengan rataan pendapatan Rp. 1.893.470, memiliki rataan tanggungan keluarga 2,9 jiwa, memiliki rataan pengalaman 18,5 tahun, bekerja sebagai nelayan dengan alat tangkap pancing 31,1 , berstatus sebagai pekerja dalam struktur relasi kerja 65 serta memiliki pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan 47,4. Pada aspek dinamika sosial budaya, mayoritas responden tergolong sebagai individu dengan tingkat kekosmoplitan rendah 76,1 dan tingkat keterdedahan media massa yang rendah pula 64,3 . Mayoritas responden 57,3 berpenilaian dukungan kearifan lokal berpengaruh rendah terhadap pengelolaan program APL –BM dan hampir keseluruhan responden 90,17 tergolong manganut etika lingkungan antroposentris. Terdapat sebanyak 50,4 responden menilai dukungan tokoh masyarakat informal dikategorikan rendah, 60,5 responden menilai bahwa dukungan tokoh masyarakat rendah serta 68,1 responden menilai bahwa dukungan organisasi non pemerintah dan swasta rendah dalam pengelolaan APL –BM di wilayah Kepulauan Seribu. Pada penilaian aspek kualitas program pengelolaan APL –BM, terdapat 67,7 responden menilai rendah pada indikator kualitas pendekatan komunikasi, 85,6 responden menilai rendah pada indikator kualitas inisiatif dan kontinuitas program serta 68,4 responden menilai rendah pada indikator kualitas kesesuaian konsep program. Sementara pada penilaian berkaitan dengan aspek dampak intensitas peran penyuluhan terhadap kualitas program pengelolaan APL – BM, sebagian besar responden memberikan penilaian sedang. Ditemukan sebanyak 49,3 responden memberikan penilaian sedang pada indikator intensitas peran penyuluh sebagai advokator, sebanyak 46,7 responden memberikan penilaian sedang pada indikator intensitas peran sebagai edukator dan 53,1 responden memberikan penilaian sedang pada intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator. Tingkat kemampuan organisasi masyarakat dalam mengelola program APL –BM dinilai responden cenderung berada dalam tingkat rendah menuju sedang yang dicirikan oleh indikator kemampuan teknis yang dipersepsikan pada tingkat sedang oleh 58,0 responden, indikator tingkat kemampuan manajerial dipersepsikan rendah oleh 55,3 responden dan aspek kemampuan sosial yang juga dipersepsikan rendah oleh 50,4 responden. Mayoritas responden tergolong memiliki tingkat motivasi sedang pada tiga indikator motivasi dalam pengelolaan program APL –BM yaitu motivasi untuk meningkatkan pendapatan 58,9 , motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas 56,9 dan motivasi untuk melestarikan sumberdaya 51,5 . 75

BAB IV. FAKTOR –FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN AREAL PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT APL –BM DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA ABSTRACT In the last two decades, the coral reef ecosystem in Kepulauan Seribu has shown a significant degradation. Considered this, in 2004 the government of Kepulauan Seribu District initiated collaborative program in five villages and the program called as community based –marine protected area. The research objectiv es were: 1 to analyze community’s participation level in managing marine protected area in Kepulauan Seribu District and 2 to analyze the determinant factors that influence the community’s participation. The data were collected from June 2011 – May 2012 by using questionnare, observation and reviewing existing documents. Units of analizing were 202 respondents of primary stakeholders that utilize fisheries –marine resources directly. The data were analyzed using descriptive and inferential statistics based on structural equation modelling SEM. The conclusions of the study are: 1 the level of community’s participation in managing marine protected is low and 2 this condition is influenced by community organisation’s ability and community’s motivation . Community organisation’s ability and motivation are in low level. The factors which influence community organisation’s’ ability and community’s motivation are communication approaches, the compatibility of program conception and intensity of extention agents roles. Key words: participation level, marine protected area ABSTRAK Pada dua dekade terakhir, kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu telah menunjukkan degradasi yang mengkawatirkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mulai tahun 2004 Pemda Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu bersama masyarakat menerapkan program Areal Perlindungan Laut –Berbasis Masyarakat APL–BM di lima kelurahan. Tujuan penelitian adalah : 1 menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM dan 2 menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat. Pengumpulan data dilakukan selama periode Juni 2011 –Mei 2012 dengan menggunakan kuesioner, pengamatan dan kajian pustaka. Populasi pada penelitian ini adalah individu pemanfaat utama sumberdaya alam berbasis ekosistem terumbu karang secara langsung. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah acak berproporsi sehingga terpilih 202 responden. Data dianalisis dengan menggunakan statistika deskriptif dan inferensia dengan model persamaan struktural SEM. Hasil penelitian menunjukkan : 1 tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM pada keseluruhan tahapan kegiatan adalah rendah dan 2 faktor – faktor yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat adalah kemampuan organisasi dan motivasi masyarakat. Kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh indikator pendekatan komunikasi, kesesuaian konsepsi program dan intensitas peran penyuluhan. Kata kunci : tingkat partisipasi, daerah perlindungan laut PENDAHULUAN Pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan tidak dapat dilepaskan dari filosofi keterkaitan antara ekosistem, sumberdaya dan manusia yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Praktek pengelolaan tersebut tidak akan pernah ada apabila ekosistem dan sumberdaya perikanan sebagai salah satu ”produk” ekosistem alam mengalami degradasi atau punah. Dalam konteks ini, interaksi yang ada dalam sistem alam ekosistem perairan dan sistem manusia agen sosial serta prinsip –prinsip yang melatarbelakangi bagaimana kedua sistem ini bekerja perlu diketahui dengan baik. Pemahaman ini meletakkan pentingnya keseimbangan antara kualitas ekosistem, sumberdaya perikanan dan kualitas sosial ekonomi masyarakat Hartoto dkk., 2009. Diperlukan suatu konsep pengelolaan yang tepat untuk mengatasi permasalahan kerusakan sumberdaya perikanan –kelautan dan upaya menjaga ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Salah satu upaya memperkuat inisiatif masyarakat agar mengambil peran yang lebih besar dalam mengelola sumberdaya pesisir adalah dengan mengembangkan daerah perlindungan laut – berbasis masyarakat co –management yang dikelola bersama oleh masyarakat, pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya. Konsep ini berangkat dari pemahaman bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sehingga yang diperlukan adalah dukungan untuk mengelola sumberdaya sesuai dengan kebutuhannya Coremap, 2008. Mempertimbangkan laju kerusakan sumberdaya perikanan –kelautan yang terus terjadi di wilayah perairan Kepulauan Seribu, pada tahun 2004 pemerintah daerah setempat melalui Suku Dinas Kelautan –Perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan masyarakat sepakat untuk menerapkan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat APL –BM di Kelurahan Pulau Panggang. Program ini kemudian juga diterapkan pada empat kelurahan lainnya yaitu Kelurahan Pulau Harapan, Pulau Kelapa, Pulau Tidung dan Pulau Pari. Konsep dasar dari program APL –BM adalah membebaskan kawasan tertentu dari aktivitas yang dapat mempengaruhi kemampuan ekosistem perairan laut untuk memulihkan diri secara alamiah. Pengelolaan kawasan APL –BM dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan partisipasi antara masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Hasil penelitian Fauzi dan Buchary 2002 menunjukkan adanya persoalan kesenjangan komunikasi antara pemangku kepentingan dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan yang diinisiasi oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Sejalan dengan temuan tersebut, hasil penelitian Yayasan Terangi 2007 menyatakan bahwa lembaga masyarakat pengelola APL –BM di Kelurahan Pulau Panggang belum berfungsi optimal sebagai fasilitator utama program karena memiliki keterbatasan kemampuan dalam berbagai aspek mendasar pada sistem organisasinya. Pendapat Faiza 2011 memperkuat kedua temuan tersebut dengan menyebutkan bahwa lembaga masyarakat pengelola APL –BM di Kelurahan Pulau Harapan belum mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan sebagai fasilitator utama program karena hambatan manajerial organisasi yang dihadapinya. Belum optimalnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan program APL –BM dalam pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan di wilayah Kepulauan Seribu saat ini merupakan akibat dari interaksi berbagai faktor. Faktor partisipasi masyarakat adalah satu di antara faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan program daerah perlindungan laut, sehingga penting untuk dilakukan kajian yang menganalisa kinerja partisipasi masyarakat dalam implementasi program. Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1 menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan APL –BM di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan 2 menganalis faktor –faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah survei eksplanatori yang bersifat menjelaskan suatu fenomena, fakta –fakta dan gejala yang ada pada suatu tempat serta mencari keterangan secara faktual tentang berbagai hal tersebut dengan menguji model teoritiknya Nazir, 1985; Singarimbun dan Effendi, 2006. Penelitian dilaksanakan di lima kelurahan yang memiliki program APL –BM, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Populasi penelitian ini adalah seluruh individu yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis ekosistem terumbu karang sebagai sumber utama penghidupannya pimary stakeholders di lokasi penelitian. Responden ditentukan dengan tehnik acak proporsional proportional random sampling sehingga terpilih 206 orang responden. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dibuat berdasarkan skala Likert dengan empat pilihan jawaban. Data sekunder dikumpulkan melalui analisis dokumen serta publikasi dari lembaga terkait. Untuk melihat sejauh mana peubah –peubah saling berbeda pada masing–masing lokasi penelitian digunakan analisis uji beda Tuckey, sementara untuk menganalisa hubungan peubah –peubah serta melihat kecocokan model empirik penelitian digunakan analisis SEM Structural Equation Modelling. Kerangka Berpikir Penelitian Pretty 1995 mendefinisikan partisipasi sebagai sebuah proses di mana para pemangku kepentingan stakeholders ambil bagian atas inisiatif dan mempengaruhi pengelolaan dan keputusan-keputusan pembangunan dan sumberdaya yang mempengaruhi mereka. Hal ini sejalan dengan paradigma baru pembangunan perikanan –kelautan yang merupakan koreksi terhadap paradigma lama yang kurang memperhatikan keberadaan dan peran masyarakat sekitar pesisir. Paradigma baru ini berupaya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai obyek pembangunan, melainkan dilihat sebagai subyek yang aktif yang memiliki inisiatif, kemauan dan kemampuan dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya perikanan –kelautan. Paradigma ini telah memberikan peluang dan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat pesisir untuk ikut terlibat atau berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dengan partisipasi seperti ini maka akan timbul rasa memiliki sense of belonging dan rasa tanggung jawab sense of responsibility atas keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya. Partisipasi masyarakat yang utuh dan menyeluruh adalah jaminan keberlanjutan program pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukung- nya yaitu kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi Slamet, 2003. Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mampu mengetahui kesempatan –kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Setelah mengetahui, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan –kesempatan itu Partisipasi masyarakat dalam pembangunan memerlukan persyaratan kemampuan tertentu dalam pelaksanaannya Alpizar, 2006; Pomeroy dan Rivera – Guieb, 2006. Partisipasi dalam mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan melalui program APL –BM tidak dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan apabila kelompok –kelompok masyarakat pemanfaat yang terlibat tidak memiliki kemampuan yang memadai. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan pada dasarnya didorong oleh adanya motivasi untuk memperoleh sesuatu dari partisipasi tersebut Zanettel dan Knuth, 2004. Motivasi bersifat fluktuatif serta mengalami modifikasi karena pengaruh pengalaman dan pola perkembangan kepribadiannya. Proses belajar dalam diri seseorang pada umumnya dipengaruhi faktor internal yang bersifat fungsional dan faktor eksternal yang bersifat struktural Amanah, 2006; Aldon et al., 2011. Gambar 4 menampilkan kerangka berpikir penelitian. Hipotesis Penelitian Berdasarkan tujuan dan kerangka pemikiran disusun hipotesis penelitian : 1 Kemampuan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan APL –BM dipengaruhi secara nyata oleh faktor karakteristik individu, dinamika sosial budaya masyarakat dan kualitas program pengelolaan sumberdaya 2 Motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan APL –BM dipengaruhi secara nyata oleh faktor karakteristik individu, dinamika sosial budaya masyarakat dan kualitas program pengelolaan sumberdaya 3 Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan areal perlindungan laut berbasis masyarakat dipengaruhi secara nyata oleh kemampuan organisasi masyarakat dan motivasi masyarakat Berdasarkan diagram jalur dari model hipotetik penelitian diidentifikasikan tiga model yang menjadi dasar analisis data. Ketiga model tersebut dapat dijabarkan menjadi persamaan struktural sebagaimana berikut: 1 Model X 4 : Model Kemampuan Organisasi Masyarakat X 4 = 1.1 X 1 + 1.2 X 2 + 1.3 X 3 + ζ 1 2 Model X 5 : Model Motivasi Masyarakat X 5 = 2.1 X 1 + 2.2 X 2 + 2.3 X 3 + ζ 2 3 Model Y1 : Model Partisipasi Masyarakat Y 1 = 3.1 X 4 + 3. 2 X 5 + ζ 3 Gambar 4. Kerangka Berpikir Penelitian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Areal Perlindungan Laut –Berbasis Masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta PEMBAHASAN Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM tergolong rendah pada semua tahapan partisipasi. Terdapat 67,2 responden yang menunjukkan tingkat partisipasi rendah pada tahapan merencanakan kegiatan, 58,6 responden berpartisipasi rendah pada tahapan melaksanakan kegiatan, 62,8 responden berpartisipasi rendah pada tahapan menikmati hasil kegiatan dan 52,1 berpartisipasi rendah pada tahapan mengevaluasi kegiatan Tabel 25. Tabel 25. Sebaran Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Tingkat Partisipasi Masyarakat Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari Tingkat partisipasi dalam merencanakan kegiatan rentang skor : 6 –24 Rendah skor 6 –11 63,6 78,6 71,0 53,2 69,5 67,2 Sedang skor 12 –17 20,0 13,3 14,5 26,3 17,0 18,2 Tinggi skor 18 –24 16,4 8,1 14,5 20,5 13,5 14,6 Rataan skor 10,5 10,5 10,0 12,0 10,1 10,8 Tingkat partisipasi dalam melaksanakan kegiatan rentang skor : 7 –28 Rendah skor 7 –13 67,3 67,1 75,5 13,2 69,8 58,6 Sedang skor 14 –20 23,6 20,6 24,5 76,8 20,2 33,1 Tinggi skor 21 –28 9,1 12,3 0,0 10,0 10,0 8,3 Rataan skor 12,6 12,1 12,0 16,2 12,3 12,4 Tingkat partisipasi dalam menikmati kegiatan rentang skor : 2 –8 Rendah skor 2 –3 67,3 62,8 79,6 36,8 67,6 62,8 Sedang skor 4 –5 20,0 28,6 15,9 43,2 25,4 26,6 Tinggi skor 6 –8 12,7 8,6 4,5 20,0 7,0 10,6 Rataan skor 2,2 2,4 2,1 4,3 2,5 2,4 Tingkat partisipasi dalam mengevaluasi kegiatan rentang skor : 6 –24 Rendah skor 6 –11 47,3 62,9 55,4 36,2 58,7 52,1 Sedang skor 12 –17 32,7 33,3 32,3 43,2 28,6 34,0 Tinggi skor 18 –24 20,0 13,8 12,3 20,5 12,7 13,9 Rataan skor 12,6 10,3 10,0 14,3 10,5 10,7 Sumber : data primer, diolah. Partisipasi pada Tahapan Merencanakan Kegiatan Perencanaan merupakan langkah awal yang penting bagi keberhasilan suatu kegiatan. Perencanaan yang baik dan sistematis dapat memberikan arah dan menjadi pedoman bagi berlangsungnya suatu kegiatan. Secara umum, tingkat partisipasi resnponden dalam tahapan perencanaan kegiatan APL –BM di lima kelurahan Kepulauan Seribu tergolong rendah. Sebagian besar responden jarang menghadiri pertemuan yang diadakan dalam rangka membuat perencanaan program kerja APL –BM karena merasa tidak diundang. Pada saat menghadiri pertemuan, responden cukup aktif dalam memberikan kontribusi pemikiran berupa masukan atau sanggahan, tetapi responden merasa tidak mendapat apresiasi yang memuaskan. Hambatan ini berdampak pada susunan program kerja yang juga dianggap tidak sesuai dengan situasi dan kebutuhan yang sesungguhnya berkembang di lapangan dalam pandangan responden. Secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan pada tingkat partisipasi dalam merencanakan kegiatan APL –BM di lima kelurahan yang diteliti. Partisipasi pada Tahapan Melaksanakan Kegiatan Secara umum, tingkat partisipasi resnponden dalam tahapan pelaksanaan kegiatan APL –BM di wilayah Kepulauan Seribu tergolong dalam tingkat rendah. Sebagian besar responden tidak pernah ikut berkontribusi menyumbangkan uang dan alat –bahan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penglolaan APL– BM, meskipun responden tidak berkeberatan jika diminta memberikan kontribusi tenaga kerja. Alasan responden terhadap keberatan untuk berkontibusi dalam bentuk uang dan barang adalah karena selama ini tidak ada penjelasan yang memuaskan tentang skema kebutuhan dana dan sarana –prasarana kerja dalam pengelolaan APL –BM serta bagaimana proporsi kontribusi dari para pemangku kepentingan yang ada. Rendahnya partisipasi pada tahap pelaksanaan kegiatan pengelolaan APL – BM juga diindikasikan oleh rendahnya kepatuhan dalam mentaati peraturan tentang aktivitas yang diijinkan pada zonasi APL –BM. Pelanggaran yang paling sering terjadi adalah dilakukannya dilakukannya aktivitas pemanfaatanekstraktif di areal inti perlindungan. Responden tidak menegur dan melaporkan tindakan pelanggaran dari pihak lain yang mereka lihat karena tidak memahami prosedur penertiban yang berlaku dalam sistem kerja APL –BM di wilayah kelurahannya sendiri maupun di wilayah kelurahan lain. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan pada tingkat partisipasi dalam melaksakan kegiatan APL –BM di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya yang diteliti. Hal ini berhubungan dengan ketegasan organisasi pengelola dan anggota masyarakat dalam menegakkan peraturan yang berlaku, baik terhadap warga dari kelurahannya sendiri maupun dari kelurahan lain yang datang ke wilayah mereka. Partisipasi Pada Tahapan Menikmati Hasil Kegiatan Sebagian besar responden menunjukkan tingkat partisipasi rendah dalam tahapan menikmati hasil kegiatan APL –BM di wilayah Kepulauan Seribu. Sebagian besar responden yang bekerja sebagai nelayan tradisional tidak merasakan adanya peningkatan hasil tangkapan dan pendapatan yang signifikan sebagai dampak positif dari kegiatan pengelolaan APL –BM. Sementara itu, minoritas responden dari bidang kerja ekowisata dan budidaya karang komersial merasakan manfaat positif dari kegiatan APL –BM karena pekerjaan tersebut adalah alternatif pekerjaan baru yang tumbuh terkait dengan implementasi program APL –BM baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan pada tingkat partisipasi dalam melaksakan kegiatan APL –BM di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Hal ini disebabkan karena responden di Kelurahan Pulau Tidung merasakan manfaat nyata dari penerapan program APL –BM di kelurahannya. Mayoritas responden di Kelurahan Pulau Tidung bekerja sebagai nelayan pancing dan pemandu wisata. Responden beranggapan kualitas terumbu karang di wilayahnya terjaga dengan baik sehingga meningkatkan produktivitas berupa ikan hasil tangkapan yang memadai serta pada saat yang bersamaan usaha ekowisata berkembang dengan pesat adalah dua faktor utama yang bekerja secara simultan dalam meningkatkan manfaat dari pengelolaan APL –BM. Periode hari kerja dimanfaatkan nelayan pancing di Pulau Tidung untuk kegiatan penangkapan ikan yang hasilnya dijual pada pengelola usaha ekowisata untuk kemudian disimpan guna memenuhi pesanan konsumsi wisatawan pada akhir pekan. Pada akhir pekan para nelayan pancing akan dilibatkan oleh para operator wisata sebagai mitra pemandu bagi wisatawan yang ingin merasakan wisata pemancingan di Kepulauan Seribu. Partisipasi pada Tahapan Mengevaluasi Kegiatan Tahapan mengevaluasi kegiatan merupakan langkah akhir dari siklus kegiatan, di mana pada tahap tersebut dilakukan penilaian terhadap rangkaian kegiatan sebelumnya sebagai bahan untuk perbaikan pada siklus kegiatan selanjutnya. Tingkat partisipasi responden dalam tahapan mengevaluasi kegiatan APL –BM di Kepulauan Seribu tergolong rendah. Mayoritas responden jarang menghadiri pertemuan yang diadakan dalam rangka mengevaluasi kinerja program kerja APL –BM yang sudah dan sedang berjalan karena tidak diundang. Pada saat menghadiri pertemuan, responden juga jarang menanyakan atau meminta penjelasan dari para pihak terkait bila merasa ada situasi yang tidak berjalan sesuai harapan. Demikian pula responden jarang memberikan masukan sebagai upaya perbaikan kegiatan. Jika mengajukan pertanyaan atau masukan, responden juga merasa tidak mendapat apresiasi yang memuaskan. Secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan pada tingkat partisipasi dalam mengevaluasi kegiatan APL – BM di pada lima kelurahan yang diamati. Faktor –Faktor Penentu Partisipasi Masyarakat Faktor –faktor penentu tingkat partisipasi masyarakat pada pengelolaan APL –BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dianalisis dengan menggunakan pendekatan SEM sehingga diperoleh hasil akhir model struktural dalam bentuk diagram lintasan sebagaimana Gambar 5. Pembahasan faktor –faktor penentu partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dilakukan dengan merujuk pada temuan penelitian yang telah disimulasikan secara statistik Gambar 5, ditambah dengan informasi yang diperoleh dari lokasi penelitian serta dukungan teori dan hasil penelitian yang relevan untuk memperkuat pembahasan. C chi- Square = 152,00, df = 78, p –value = 0,032, RMSEA = 0,069, CFI = 0,99, GFI = 0,91 Keterangan : X3 = Kualitas Program Pengelolaan APL –BM X4 = Kemampuan Organisasi Masyarakat Pengelola APL –BM X5 = Motivasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Y1 = Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Gambar 5. Model Struktural Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Standardized Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Organisasi Masyarakat X4 Dari hasil analisis SEM diperoleh persamaan struktural dan diagram jalur faktor yang mempengaruhi peubah X4 sebagai berikut : X4 = 0.82Xγ ; R² = 0.67………Persamaan 1. Keterangan : X3 = Kualitas Program Pengelolaan APL –BM X4 = Kemampuan Organisasi Masyarakat Pengelola APL –BM Gambar 6. Diagram Jalur Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Organisasi Masyarakat Pengelola APL –BM Dari Persamaan 1 dan Gambar 6 tersebut diperoleh informasi obyektif R² = 0,67 yang menandakan bahwa pengaruh peubah X3 terhadap X4 adalah sebesar 0,67 atau 67 dan sisanya 33 dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Semula diduga peubah Kemampuan Organisasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM X4 dipengaruhi oleh peubah Karakteristik Individu X1, Dinamika Sosial Budaya Masyarakat X2 dan Kualitas Program Pengelolaan APL –BM X3, namun temuan penelitian menunjukkan bahwa tidak semua peubah bebas yang diusung memiliki pengaruh nyata terhadap peubah Kemampuan Organisasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM X4. Oleh karena itu, hipotesis 1 tidak semuanya diterima, hanya terdapat satu peubah yang terbukti berpengaruh positip terhadap kemampuan organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM, yaitu peubah Kualitas Program Pengelola APL –BM X3. Dari temuan di atas, dapat dinyatakan bahwa kualitas program merupakan faktor paling penting yang mempengaruhi kemampuan organisasi masyarakat dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator utama pengelolaan APL –BM di Kepulauan Seribu. Semakin tinggi kualitas program pengelolaan yang meliputi indikator pendekatan komunikasi program, kesesuaian konsep program, intensitas peran penyuluhan maka akan meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM yang meliputi kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial. Indikator kualitas program pengelolaan APL –BM yang paling berpotensi mempengaruhi kemampuan organisasi masyarakat adalah kesesuaian konsep program. Paradigma pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan secara kolaboratif –partisipatif yang dimanifestasikan melalui penerapan program APL– BM adalah isu yang relatif baru dengan kompleksitas yang cukup tinggi bagi masyarakat di Kepulauan Seribu. Perubahan paradigma ini tidak mudah dilaksanakan karena membutuhkan perumusan kesepakatan –kesepakatan yang mengakomodasi beragam kepentingan dan perlu didukung kesiapan sumberdaya manusia pengurus organisasi masyarakat yang tanggap, sarana –prasarana dan skema pembiayaan yang memadai. Masyarakat menghendaki konsep program tersebut mampu diterjemahkan menjadi langkah –langkah praktis pengelolaan sumberdaya yang juga menjamin rasa berkeadilan dalam mendistribusikan manfaat pemulihan sumberdaya tersebut. Isu pemenuhan rasa keadilan dalam mendistribusikan manfaat program sangat berpengaruh pada kemampuan organisasi masyarakat dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator program. Terdapat persoalan beda penafsiran tentang konsep pengelolaan sumberdaya melalui implementasi program APL –BM di Kepulauan Seribu pada kelompok –kelompok pemanfaat yang ada. Perbedaan tersebut terutama menyangkut aturan tentang aktivitas yang diizinkan pada areal inti perlindungan. Situasi lapangan yang berkembang dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa areal inti tidak steril dari aktivitas selain aktivitas konservasi. Kelompok nelayan sebagai kelompok pemanfaat tradisional menganggap bahwa peraturan yang melarang semua pihak untuk melakukan aktivitas ekstraktif pada areal inti tidak berjalan secara konsisten dan memenuhi rasa keadilan. Kelompok pemanfaat ekowisata bahari adalah kelompok yang paling sering melanggar aturan tersebut dengan membawa wisatawan memasuki areal inti perlindungan untuk melakukan wisata snorkeling dan scuva diving karena kualitas terumbu karang di areal tersebut relatif baik sebagai hasil dari upaya khusus transplantasi karang serta jaraknya cukup dekat dari pulau pemukiman. Perilaku ini memicu kecemburuan dari kelompok pemanfaat tradisional untuk ikut melakukan aktivitas pemanfaatan pada areal inti tersebut baik secara sembunyi – sembunyi maupun terang –terangan. Fakta ini diperkuat dengan sering hilangnya pelampung dan tali baja yang menjadi penanda batas areal inti perlindungan. Pengamatan penelitian juga menemukan fakta bahwa kelompok nelayan muroami pernah melakukan operasi penangkapan di areal inti perlindungan dengan alasan mereka juga berhak mengambil manfaat dari tingginya produktivitas sumberdaya di kawasan tersebut. Operasi penangkapan ikan di dalam areal inti perlindungan ini merupakan ekspresi ketidakpuasan kelompok nelayan tradisional terhadap penerapan konsep pengelolaan APL –BM. Di sisi lain, organisasi masyarakat pengelola tidak mampu bertindak untuk melarang aktivitas tersebut karena ketidakjelasan konsep pengelolaan yang menjadi kesepakatan yang diberlakukan. Isu lain yang menjadi permasalahan pada tingkat akar rumput adalah persoalan pembagian ruang dalam menjalankan usaha perikanan pada masing – masing kelompok. Isu ini berkaitan pembagian ruang usaha antara kelompok usaha budidaya karang komersial dengan kelompok usaha nelayan tangkap dan kegiatan pemanduan wisata bahari. Sejauh ini isu tersebut baru berkembang di Kelurahan Pulau Panggang karena kegiatan budidaya karang komersial baru berkembang di wilayah kelurahan tersebut. Secara teknis, kelompok usaha budidaya karang komersial membutuhkan ruang khusus yang bebas dari pengaruh aktivitas usaha lain untuk menjamin keberhasilan usahanya. Sementara di sisi lain, belum terbentuk aturankesepakatan yang mengakomodasi kebutuhan tersebut. Kelompok budidaya karang komersial mengeluhkan gangguan teknis karena wisatawan dan nelayan tangkap melakukan aktivitas mereka pada jarak yang sangat dekat dengan lokasi usaha mereka. Tindakan ini didasari oleh pandangan bahwa wilayah laut adalah ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh semua komponen masyarakat. Fenomena ini menunjukkan bahwa pendekatan pengelolaan sumberdaya alam secara kolaboratif memerlukan pengorganisasian sumberdaya alam dan sosial dengan baik sebagai syarat keberhasilannya. Indikator kualitas program pengelolaan berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemampuan organisasi masyarakat dalam adalah pendekatan komunikasi program. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kinerja pendekatan komunikasi pada program pengelolaan APL tergolong dalam kategori rendah. Sejak awal digulirkannya program APL –BM, proses komunikasi berjalan kurang demokratis karena tidak memberi ruang diskusi yang memadai untuk membahas pertimbangan –pertimbangan pokok yang menjadi acuan teknis penerapan kesepakatan pengelolaan sumberdaya. Proses komunikasi belum memberi ruang yang memadai bagi organisasi masyarakat untuk memahami dan mengembangkan deskripsi tugas, wewenang, kelengkapan sarana –prasarana serta dukungan pembiayaan yang mereka miliki dalam menjalankan tugasnya sebagai fasilitator utama program. Keterbatasan –keterbatasan ini menyebabkan organisasi masyarakat pengelola APL –BM mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya dalam menyebarluaskan informasi program, membangun kesadaran, meraih dukungan masyarakat, menegakkan aturan, membangun kerjasama dan mengantisipasi potensi konflik kepentingan pada tingkat akar rumput. Fenomena komunikasi ini sejalan dengan pendapat Aasetre 2004 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kerelaan warga masyarakat untuk berpartisipasi dengan situasi komunikasi yang berjalan dengan baik tanpa distorsi, di mana warga masyarakat dapat dengan bebas bertukar informasi, mengekspresikan pendapatnya dan memiliki akses untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Habermas Habermas, 2007; Greenhalgh et al., 2006 juga menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembangunan memerlukan situasi komunikasi yang ideal di mana warga dapat saling berdialog tanpa tekanan dan memiliki peluang yang sama untuk diterima pendapatnya. Indikator kualitas program pengelola APL –BM berikutnya yang mempengaruhi kemampuan organisasi masyarakat dalam adalah intensitas peran penyuluhan. Hal ini berarti bahwa intensitas peran penyuluh akan meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat dalam mengelola APL –BM. Semakin intens penyuluh menjalankan perannya sebagai fasilitator, edukator dan advokator maka akan semakin meningkat kemampuan teknis, kemampuan sosial dan kemampuan manajerial organisasi masyarakat. Fakta penelitian di lapangan menunjukkan bahwa interaksi antara penyuluh dengan organisasi masyarakat pengelola maupun kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya berada dalam kategori sedang. Penilaian ini lebih baik bila dibandingkan dengan banyak indikator masukan input program yang lainnya. Hal ini merupakan dampak dari kinerja yang ditunjukkan oleh petugas penyuluhan di lapangan. Pemahaman yang terbentuk di masyarakat pada saat penelitian menunjukkan bahwa petugas penyuluh adalah aparat pemerintah yang paling mudah ditemui di lapangan jika organisasi masyarakat pengelola dan kelompok masyarakat ingin mendiskusikan permasalahan mereka. Petugas penyuluh juga mulai melakukan pendampingan aspek penguatan kemampuan manajemen organisasi masyarakat pengelola dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator program dengan mendampingi organisasi masyarakat pada pertemuan – pertemuan yang membahas permasalahan dalam pengelolaan APL –BM maupun permasalahan pengelolaan sumberdaya secara luas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa petugas penyuluhan telah memberikan kontribusi positif dalam proses pengelolaan APL –BM meskipun masih belum optimal dan memiliki banyak keterbatasan. Temuan ini sejalan dengan pendapat Sumardjo 2010 serta Maoyedi dan Azizi 2011 yang menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan sebagai instrumen pendidikan non formal berperan dalam membentuk kemampuan organisasi dan perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam ke arah yang lebih baik meliputi peningkatan aspek kognitif, afektif dan psikomotorikkonatif. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Masyarakat X5 Dari hasil analisis SEM diperoleh persamaan struktural dan diagram jalur faktor yang mempengaruhi peubah motivasi masyarakat dalam pengelolaan APL – BM X5 sebagai berikut: X5 = 0,60Xγ ; R² = 0,γ7 ……………Persamaan 2 Dari Persamaan 2 dan Gambar 7 diperoleh informasi obyektif R² = 0,37 menandakan bahwa pengaruh peubah X3 terhadap peubah X5 adalah sebesar 0,37 atau 37 dan sisanya 63 dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Semula diduga peubah Motivasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM X5 dipengaruhi oleh peubah Karakteristik Individu X1, peubah Dinamika Sosial Budaya Masyarakat X2 dan peubah Kualitas Program