FAKTOR –FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI

distorsi, di mana warga masyarakat dapat dengan bebas bertukar informasi, mengekspresikan pendapatnya dan memiliki akses untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Habermas Habermas, 2007; Greenhalgh et al., 2006 juga menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembangunan memerlukan situasi komunikasi yang ideal di mana warga dapat saling berdialog tanpa tekanan dan memiliki peluang yang sama untuk diterima pendapatnya. Indikator kualitas program pengelola APL –BM berikutnya yang mempengaruhi kemampuan organisasi masyarakat dalam adalah intensitas peran penyuluhan. Hal ini berarti bahwa intensitas peran penyuluh akan meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat dalam mengelola APL –BM. Semakin intens penyuluh menjalankan perannya sebagai fasilitator, edukator dan advokator maka akan semakin meningkat kemampuan teknis, kemampuan sosial dan kemampuan manajerial organisasi masyarakat. Fakta penelitian di lapangan menunjukkan bahwa interaksi antara penyuluh dengan organisasi masyarakat pengelola maupun kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya berada dalam kategori sedang. Penilaian ini lebih baik bila dibandingkan dengan banyak indikator masukan input program yang lainnya. Hal ini merupakan dampak dari kinerja yang ditunjukkan oleh petugas penyuluhan di lapangan. Pemahaman yang terbentuk di masyarakat pada saat penelitian menunjukkan bahwa petugas penyuluh adalah aparat pemerintah yang paling mudah ditemui di lapangan jika organisasi masyarakat pengelola dan kelompok masyarakat ingin mendiskusikan permasalahan mereka. Petugas penyuluh juga mulai melakukan pendampingan aspek penguatan kemampuan manajemen organisasi masyarakat pengelola dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator program dengan mendampingi organisasi masyarakat pada pertemuan – pertemuan yang membahas permasalahan dalam pengelolaan APL –BM maupun permasalahan pengelolaan sumberdaya secara luas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa petugas penyuluhan telah memberikan kontribusi positif dalam proses pengelolaan APL –BM meskipun masih belum optimal dan memiliki banyak keterbatasan. Temuan ini sejalan dengan pendapat Sumardjo 2010 serta Maoyedi dan Azizi 2011 yang menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan sebagai instrumen pendidikan non formal berperan dalam membentuk kemampuan organisasi dan perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam ke arah yang lebih baik meliputi peningkatan aspek kognitif, afektif dan psikomotorikkonatif. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Masyarakat X5 Dari hasil analisis SEM diperoleh persamaan struktural dan diagram jalur faktor yang mempengaruhi peubah motivasi masyarakat dalam pengelolaan APL – BM X5 sebagai berikut: X5 = 0,60Xγ ; R² = 0,γ7 ……………Persamaan 2 Dari Persamaan 2 dan Gambar 7 diperoleh informasi obyektif R² = 0,37 menandakan bahwa pengaruh peubah X3 terhadap peubah X5 adalah sebesar 0,37 atau 37 dan sisanya 63 dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Semula diduga peubah Motivasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM X5 dipengaruhi oleh peubah Karakteristik Individu X1, peubah Dinamika Sosial Budaya Masyarakat X2 dan peubah Kualitas Program Pengelolaan APL –BM X3, namun temuan penelitian sebagaimana persamaan struktural 2 di atas menunjukkan tidak semua peubah bebas yang diusung dalam penelitian memiliki pengaruh nyata terhadap motivasi masyarakat dalam pengelolaan APL – BM X5. Oleh karena itu, hipotesis 2 tidak semuanya diterima, hanya satu peubah yang terbukti berpengaruh positip terhadap terhadap motivasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM, yaitu peubah Kualitas Program Pengelolaaan APL –BM X3. Keterangan : X3 = Kualitas Program Pengelolaan APL –BM X5 = Motivasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Gambar 7. Diagram Jalur Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Masyarakat Pengelolaan APL –BM Dari temuan di atas dapat dinyatakan bahwa kualitas program merupakan faktor penting dalam meningkatkan motivasi masyarakat. Semakin tinggi kualitas program pengelolaan APL –BM yang meliputi pendekatan komunikasi program, kesesuaian konsep program dan intensitas peran penyuluhan maka semakin tinggi pula motivasi masyarakat yang meliputi motivasi untuk meningkatkan pendapatan, motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas dan motivasi untuk melestarikan sumberdaya. Indikator kualitas program yang paling berpotensi mempengaruhi motivasi masyarakat adalah kesesuaian konsep program. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, isu kesesuaian konsep program merupakan isu utama yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada program tersebut. Masyarakat cukup memahami tujuan dasar dari program APL –BM yaitu memulihkan produktivitas sumberdaya sehingga diperlukan upaya proteksi terhadap kawasan tertentu s ebagai “bank ikan dan terumbu karang”. Dalam pandangan masyarakat, tindakan proteksi terhadap kawasan tertentu juga sebaiknya diikuti dengan upaya khusus meningkatkan produktivitas sumberdaya pada kawasan lain yang berstatus sebagai areal pemanfaatan. Usulan yang diajukan masyarakat adalah agar mereka diberikan kepercayaan oleh pemerintah untuk mengelola kawasan fish shelter di areal pemanfaatan secara bersama –sama sebagai mekanisme imbal balik dari kesediaan mentaati aturan pembatasan akses pemanfaatan pada areal inti perlindungan. Pemberian wewenang kelola produksi pada fish shelter ini diharapkan akan meningkatkan motivasi masyarakat untuk berpartisipasi pada pengelolaan APL – BM karena pada jangka pendek tersedia dukungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama menunggu masa pulih produktivitas sumberdaya dan pada jangka panjang ada jaminan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Saad 2009 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat nelayan dengan kontrol pada akses pemanfaatan sumberdaya pada program konservasi. Indikator kualitas program berikutnya yang berpotensi mempengaruhi motivasi masyarakat adalah pendekatan komunikasi program. Semakin baik pendekatan komunikasi program maka akan semakin meningkatkan motivasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kinerja pendekatan komunikasi pada program pengelolaan APL tergolong dalam kategori rendah. Proses komunikasi berjalan kurang demokratis karena tidak memberi ruang diskusi yang memadai untuk membahas pertimbangan – pertimbangan pokok yang mendasari penerapan program. Ide pembatasan akses pemanfaatan sumberdaya pada areal inti perlindungan belum dikomunikasi dengan baik kepada kelompok –kelompok pemanfaat sumberdaya, sehingga masyarakat belum sepenuhnya memahami bahwa upaya tersebut bertujuan menjamin keberlanjutan manfaat, bukan sebagai upaya mempersulit masyarakat dalam mencari penghidupan. Pendekatan komunikasi program tidak menyediakan informasi yang membantu masyarakat dalam membangun pemahaman baru bagaimana mereka memberi respon yang tepat dalam tataran praksis. Pendekatan komunikasi tidak mampu memfasilitasi terbentuknya situasi komunikasi yang ideal bagi kelompok – kelompok masyarakat pemanfaat untuk mendiskusikan perkembangan – perkembangan di lapangan sebagai konsekwensi perbedaan kepentingan yang muncul di tingkat akar rumput. Hal ini menegaskan temuan dari Crawford et al. 2004 tentang pentingnya peran komunikasi dalam program mempengaruhi keberhasilan penerapan program daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di Indonesia. Indikator kualitas program pengelola APL –BM berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemampuan organisasi masyarakat adalah intensitas peran penyuluhan perikanan –kelautan. Semakin intens peran penyuluhan maka akan semakin meningkatkan motivasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM . Intensitas peran penyuluhan berpotensi meningkatkan motivasi masyarakat melalui perannya sebagai fasilitator dalam proses –proses pembelajaran sosial, sehingga tumbuh motivasi untuk meningkatkan pendapatan, memperoleh pengakuan atas kredibilitas dan melestarikan sumberdaya perikanan – kelautan sebagai warisan anak cucunya. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Y1 Dari hasil analisis SEM diperoleh persamaan struktural dan diagram jalur faktor –faktor yang mempengaruhi peubah partisipasi masyarakat Y1 sebagai berikut: Y1 = 0,71X4 + 0,25X5 ; R² = 0,79…. Persamaan γ Dari Persamaan 3 dan Gambar 8 diperoleh informasi obyektif R 2 = 0,79 yang menandakan bahwa pengaruh bersama atau simultan dari peubah Kemampuan Organisasi Masyarakat X4 dan peubah Motivasi Masyarakat X5 terhadap peubah Partisipasi Masyarakat Y1 adalah sebesar 0,79 atau 79 serta sisanya 21 dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Secara parsial, terlihat bahwa koefisien lintas peubah X4 adalah 0,71 yang berarti besarnya pengaruh peubah X4 terhadap peubah Y1 adalah 0,71 2 = 50,41 . Selain itu, secara parsial juga terlihat bahwa koefisien lintas peubah X5 adalah 0,25 yang berarti besarnya pengaruh peubah X5 terhadap peubah Y1 adalah 0,25 2 = 6,25 . Keterangan : X4 = Kemampuan Organisasi Masyarakat Pengelola APL –BM X5 = Motivasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Y1 = Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Gambar 8. Diagram Jalur Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Mengacu pada persamaan struktural 3 tersebut maka secara statistik peubah –peubah bebas sebagaimana yang diusulkan dalam hipotesis 3 terbukti memiliki pengaruh nyata terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM, dengan demikian hipotesis 3 diterima. Pengaruh kedua peubah tersebut bersifat langsung, di mana pengaruh terbesar ada pada peubah kemampuan organisasi masyarakat X4 dan kemudian diikuti oleh peubah motivasi masyarakat X5. Kemampuan manajerial merupakan indikator kemampuan organisasi masyarakat yang paling berpotensi mempengaruhi partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat kemampuan manajerial organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM maka akan semakin meningkatkan partisipasi masyarakat. Organisasi masyarakat berperan penting sebagai fasilitator dalam proses pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan yang berbasis masyarakat. Proses mengorganisasikan masyarakat bukan hanya membentuk organisasi, tetapi juga membekali dengan kemampuan manajerial yang baik dalam mengembangkan kemandirian dan mengembangkan kapasitas organisasi. Kemampuan tersebut merupakan prasyarat dasar dalam kerja organisasi memfasilitasi kedudukan masyarakat sebagai subyek utama pembangunan. Fakta penelitian menunjukkan bahwa indikator kemampuan manajerial organisasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya melalui program APL –BM berada dalam kategori rendah. Pada kenyataannya, organisasi masyarakat memang belum memiliki kemampuan untuk untuk mengelola sumberdaya sosial dan sumberdaya alam yang dimiliki sebagai modal positif untuk menjalankan fungsi kerja fasilitasi pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan yang dibebankan kepadanya. Secara teoritik kemampuan organisasi masyarakat dalam memfasilitasi pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan melalui penerapan program APL– BM dapat ditingkatkan dengan proses pendidikan non –formal berupa penyelenggaraan pelatihan dan pendampingan sebagai proses pembelajaran. Namun pada kenyataannya berbagai pelatihan yang diberikan dapat dikatakan belum memberikan dampak perubahan perilaku yang sesuai yang diharapkan. Beberapa jenis pelatihan yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan belajar organisasi masyarakat, tetapi jenjang materi yang disampaikan hanya di tingkat pengetahuan dasar dan belum mampu memfasilitasi perubahan sikap dan penguasaan keterampilan yang dibutuhkan. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, diperoleh gambaran bahwa lembaga –lembaga penyelenggara pelatihan belum memiliki kurikulum belajar yang berjenjang, berlanjut dan menyeluruh. Frekwensi, daya tampung dan durasi pelatihan juga terbatas sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan belajar organisasi masyarakat. Pelatihan yang diselenggarakan tidak diikuti dengan pendampingan dan penyediaan sarana prasarana yang berfungsi memperkuat proses belajar lanjutan. Pengurus organisasi masyarakat tidak dapat mendiskusikan masalah –masalah yang mereka hadapi terkait dengan penerapan materi pelatihan yang sudah diperoleh sebelumnya. Pengadaan sarana dan prasaran pendukung pelatihan juga tidak berjalan dengan baik sehingga peserta pelatihan kesulitan menerapkan ketrampilan yang diperoleh. Selain itu, seringkali informasi tentang pelatihan –pelatihan yang diselenggarakan tidak disosialisasikan secara luas dan transparan sehingga pelatihan tidak diikuti oleh individu yang mewakili kepengurusan organisasi masyarakat pengelola APL –BM. Indikator berikutnya yang berpotensi mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM adalah kemampuan sosial. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kemampuan sosial organisasi masyarakat dapat menjadi salah satu kekuatan pendorong atau kekuatan yang memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam program APL –BM. Kemampuan sosial organisasi masyarakat berkaitan dengan kemampuan untuk membangun interaksi positif di antara kelompok –kelompok pemanfaat di dalam masyarakat maupun dengan pemangku kepentingan dari luar masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Ife dan Toseriero 2006 bahwa kemampuan masyarakat untuk mengembangkan unsur ”perekat” akan mendorong masyarakat memperkuat inisiatif dan kesukarelaan dalam berpartisipasi di lingkungan sosialnya. Fakta penelitian menunjukkan bahwa indikator kemampuan sosial organisasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya melalui program APL –BM berada dalam kategori rendah. Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa kemampuan sosial yang rendah ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama; proses pemilihan pengurus organisasi masyarakat tidak terselenggara dengan baik sehingga formatur kepengurusan yang terbentuk tidak sepenuhnya mewakili keberadaan kelompok –kelompok pemanfaat yang ada di masyarakat atau dengan kata lain susunan pengurus tidak memiliki legitimasi yang kuat dalam sistem sosialnya. Kedua; kemampuan sosial sumberdaya manusia pengurus organisasi masyarakat dalam mengelola permasalahan yang muncul juga terbatas serta tidak dikembangkan melalui proses pendidikan non formal yang terencana dengan baik sehingga seringkali tidak mampu merespon dinamika sosial yang berkembang semakin kompleks. Hal serupa dikemukakan oleh Renn 2006 serta Soma dan Vatn 2009 bahwa keterwakilan kelompok –kelompok masyarakat perlu diakomodasi dalam mendisain kebijakan pengelolaan lingkungan yang partisipatif. Indikator lainnya yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM adalah kemampuan teknis. Kemampuan teknis organisasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya dapat ditingkatkan kapasitasnya melalui proses belajar informal dan belajar non formal Gartaula, 2006. Proses belajar informal terjadi secara turun temurun yang bersifat praksis atau learning by doing dan telah menjadi bagian dari perilaku mereka sehari-hari yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan –kelautan. Proses belajar non–formal dapat berbentuk pelatihan dan pendampingan yang bertujuan melakukan transfer pengetahuan dan ketrampilan baru yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya. Temuan penelitian menunjukkan organisasi masyarakat pengelola APL –BM dianggap memiliki kemampuan teknis yang cukup memadai. Motivasi untuk melestarikan sumberdaya merupakan indikator yang berpotensi memiliki pengaruh paling besar terhadap partisipasi masyarakat. Semakin tinggi motivasi untuk melestarikan sumberdaya, maka akan semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM. Pendapat ini diperkuat oleh temuan penelitian dari Sangadji 2010 dan Suprayitno 2011 yang menyatakan bahwa aspek kemauan atau motivasi untuk melestarikan sumberdaya alam sebagai warisan anak cucu adalah faktor penting yang mendorong tingkat partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Motivasi melestarikan sumberdaya juga disebabkan secara psikologis masyarakat merasa memiliki ikatan emosional dan sosial dengan keberadaan sumberdaya perikanan –kelautan karena selama ini penghidupan mereka bergantung pada keberadaan sumberdaya tersebut. Temuan ini, dengan demikian menjelaskan bahwa apabila dalam diri individu dan kelompok masyarakat terdapat kesadaran akan pentingnya eksistensi dan keberlanjutan maka masyarakat akan tetap terdorong untuk menjaganya dan kemudian berpartisipasi dalam pengelolaannya. Hal ini sejalan dengan temuan Evans et al. 2008 yang mengemukakan bahwa kesadaran atas eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi pada kegiatan pengelolaan lingkungan pesisir. Indikator kedua dari motivasi masyarakat yang berpengaruh positip terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM adalah motivasi untuk meningkatkan pendapatan. Semakin tinggi motivasi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan rumahtangganya maka akan semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM. Pemanfaatan sumberdaya perikanan –kelautan adalah sumber utama penghidupan kelompok– kelompok masyarakat di Kepulauan Seribu. Keberadaan dan produktivitas sumberdaya alam tersebut merupakan pengaman atau jaminan ekonomi rumahtangga. Semakin baik daya dukung lingkungan dan produktivitas sumberdaya perikanan –kelautan yang ada di sekeliling mereka maka masyarakat akan merasa aman the wish for security dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Pada tahap berikutnya motivasi tersebut berkembang menjadi motivasi untuk meningkatkan pendapatan. Indikator motivasi masyarakat berikutnya yang berpotensi memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM adalah motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas mereka. Fakta penelitian menunjukkan bahwa motivasi masyarakat untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas dalam mengelola sumberdaya perikanan berada dalam kategori sedang. Hal ini menjelaskan bahwa kelompok –kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya di Kepulauan Seribu termotivasi untuk terus dapat berpartisipasi dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari karena ingin membuktikan bahwa mereka memiliki potensi dan kemampuan yang memadai sebagai mana pemangku kepentingan yang lain the wish for recognition kemampuannya sebagai pihak yang mampu mengelola sumberdaya alam dengan baik. Santrock 2008 menyebut motif ini sebagai motif kompetensi. Hampir keseluruhan masyarakat di Kepulauan Seribu telah melakukan praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan –kelautan yang dilandasi oleh nilai– nilai budaya dan pengetahuan lokal dalam kurun waktu yang sangat lama dari generasi ke generasi, dengan demikian telah terbentuk budaya yang menyatu dalam kehidupan sehari –hari mereka. Kemampuan praktis dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut merupakan bukti nyata bahwa masyarakat memiliki kemampuan yang dapat diandalkan dan merupakan modal sosial yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya tersebut. SIMPULAN Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Areal Perlindungan Laut –Berbasis Masyarakat APL–BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tergolong rendah pada semua tahapan partisipasi atau masih tergolong dalam bentuk partisipasi pasif. Faktor –faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat adalah sebaran tingkat kemampuan organisasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang meliputi kemampuan teknis tingkat kemampuan sedang, kemampuan manajerial tingkat kemampuan rendah dan kemampuan sosial tingkat kemampuan rendah serta rendahnya tingkat motivasi masyarakat meliputi motivasi untuk meningkatkan pendapatan tingkat motivasi rendah, motivasi untuk mendapat pengakuan atas kredibilitas tingkat motivasi rendah dan motivasi untuk melestarikan sumberdaya tingkat motivasi rendah. Rendahnya tingkat kemampuan organisasi dan motivasi masyarakat dipengaruhi oleh rendahnya kualitas pendekatan komunikasi program kualitas rendah, kesesuaian konsep program kesesuaian rendah dan intensitas peran penyuluhan kualitas sedang. 93

BAB V. STRATEGI PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN APL

–BM DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA ABSTRACT Low community’s participation in CB–MPA management in Kepulauan Seribu caused by low community ’s organization capacity and community’s motivation in performing their role as primary stakeholder. The effort to improved community ’s participation in co–management practice or CB–MPA implementation in Kepulauan Seribu should be constructed fair resource management concept by ensuring equal –sharing of burden and benefit between different user groups. In practice, strategy of community’s participation improvement can be done by revitalize CB –MPA regulation, develop two ways communication program, optimize extension service and provide limited – communal right in managing fish shelter productive area as incentives to fisher community who willing to participate in securing CB –MPA in Kepulauan Seribu. Key words: strategy, community’s participation, limited-communal right ABSTRAK Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM di Kepulauan Seribu terutama disebabkan oleh rendahnya kapasitas organisasi dan motivasi masyarakat. Upaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam praktek pengelolaan bersama atau implementasi program APL –BM di Kepulauan Seribu harus dibangun berdasarkan konsep manajemen sumberdaya alam yang menjamin keadilan dalam mendistribusikan beban dan manfaat program pada kelompok –kelompok pemanfaat dengan kepentingan berbeda yang ada di dalam masyarakat. Dalam tataran praksis, strategi pengembangan partisipasi tersebut terutama dilakukan dengan merevitalisasi peraturan pengelolaan, memperbaiki kinerja pendekatan komunikasi program dan layanan penyuluhan serta memberikan hak kelola terbatas pada kawasan produksi fish shelter kepada masyarakat sebagai kompensasi atas kesediaannya berpartisipasi dalam program APL –BM. Kata kunci : strategi, partisipasi masyarakat, hak pengelolaan terbatas PENDAHULUAN Selama dekade terakhir ini, telah terjadi perubahan secara global dalam pendekatan pengelolaan perikanan menuju pada suatu pengertian akan pentingya arti partisipasi masyarakat dan pengambilan keputusan secara bersama dalam pengelolaan perikanan. Pendekatan ini dikenal dengan istilah ko –manajemen, yang merupakan sebuah tipe pengelolaan yang dicirikan dengan adanya interaksi yang menjadi isu sentral antara pemerintah dan masyarakat pengguna sumberdaya perikanan, melalui kesepakatan –kesepakatan yang dibangun dan pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan kata lain, ko –manajemen merupakan sebuah alternatif pengelolaan perikanan yang menjanjikan yang dapat meningkatkan efektivitas dari pengelolaan perikanan itu sendiri Hartoto dkk., 2009. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat DPL –BM merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan di dunia, terutama di negara berkembang yang memiliki hamparan ekosistem terumbu karang Pomeroy dan Rivera –Guieb, 2006. Pengembangan DPL di Filipina dan Pasifik Selatan terbukti secara efektif melindungi ekosistem terumbu karang serta meningkatkan sumberdaya dan produksi perikanan di sekitar DPL Christie dan Dequit, 2002. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat DPL –BM merupakan upaya masyarakat untuk mempertahankan dan menjaga kualitas sumberdaya perikanan –kelautan berbasis ekosistem terumbu karang. Secara umum, tujuan dari penerapan DPL –BM adalah untuk 1 memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup dan memijah biota laut dan 2 memelihara fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat yang tinggal kawasan pesisir, sehingga terjadi keberlanjutan produktifitas sumberdaya yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat Coremap, 2008. Namun demikian, tidak seluruh sistem kawasan konservasi laut dapat mencapai tujuan pengelolaannya. Kebanyakan sistem –sistem tersebut mengalami kegagalan dalam praktek dan keberlanjutannya. Kawasan konservasi laut dapat berfungsi efektif jika berada pada lokasi yang tepat secara ekologis serta dikelola dengan konsep dan praktek penyelenggaraan yang benar. Keberhasilan kawasan konservasi laut juga terkait dengan sistem dan kapasitas kelembagaan masyarakat pengelola Jameson et al.., 2002. Hasil penelitian Faiza 2011 menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan pengelolaan Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat APL –BM di Kelurahan Pulau Harapan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berada dalam kategori rendah. Kriteria keberlanjutan pengelolaan yang rendah tersebut berkaitan dengan pengaruh aspek sosial – ekonomi dan budaya, aspek kebijakan dan aspek kelembagaan masyarakat pengelola. Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1 mengidentifikasi sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL –BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu saat ini, 2 menganalisis hubungan antara sikap masyarakat dengan pengalaman berpartisipasi dalam pengelolaan APL –BM dan 3 merancang strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM di masa yang akan datang. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survei eksplanatori yang bersifat menjelaskan fenomena, fakta –fakta dan gejala yang ada pada suatu tempat serta mencari keterangan yang faktual tentang berbagai hal tersebut dengan menguji model teoritiknya Nazir, 1985; Singarimbun dan Effendi, 2006. Penelitian dilaksanakan di lima kelurahan yang memiliki program APL –BM, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Populasi penelitian ini adalah seluruh individu yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan –kelautan berbasis ekosistem terumbu karang sebagai sumber utama penghidupannya pimary stakeholders di lokasi penelitian. Responden ditentukan dengan tehnik acak proporsional proportional random sampling sehingga terpilih 206 orang. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dibuat berdasarkan skala Likert berskala empat. Data sekunder dikumpulkan melalui analisis dokumen serta publikasi dari lembaga terkait. Untuk melihat sejauh mana peubah –peubah saling berbeda pada masing–masing lokasi penelitian digunakan analisis uji beda Tuckey dan untuk menganalisis hubungan peubah –peubah serta menyusun strategi optimalisasi model empirik penelitian digunakan analisis SEM Structural Equation Modelling. Kerangka Berpikir Penelitian Allport Mar’at, 1984 mendefinisikan sikap sebagai keadaan dan kesiapan mental yang terorganisasi melalui pengalaman yang secara langsung dan dinamis mempengaruhi respon seseorang terhadap semua obyek atau situasi yang mempunyai hubungan dengan dirinya. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka atau tidak suka, setuju, atau tidak setuju dan sebagainya. Suatu sikap mempunyai komponen, yaitu Mar’at, 1984 : 1 komponen kognitif, yaitu seseorang yang bersikap perlu memiliki pengetahuan mengenai obyek sikapnya, terlepas dan apakah pengetahuannya tersebut benar, salah, lengkap, tidak lengkap dan sebagainya; 2 komponen afektif, komponen ini merupakan komponen yang paling penting. Seseorang yang bersikap akan mempunyai pemaknaan sebagai hasil evaluasi emosional setuju, tidak setuju mengenai obyek sikapnya dan 3 komponen konatif, bahwa suatu sikap tidak lengkap hanya dengan pengetahuan dan evaluasi emosional tetapi juga memiliki kecenderungan individu dalam bertingkah lakumerespon yang bersifat lebih permanen. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah perasaan, pikiran dan kecenderungan individu bertingkah lakumerespon yang kurang lebih bersikap permanen terhadap sesuatu yang dinyatakan dengan persetujuan atau ketidaksetujuan, perasaan senang atau tidak senang dan sejenisnya terhadap pengelolaan APL –BM saat ini. Model adalah representasi suatu fenomena nyata maupun abstrak, dengan menonjolkan unsur –unsur terpenting fenomena tersebut. Model digunakan sebagai alat untuk menjelaskan fenomena Mulyana, 2001. Model merupakan konstruksi teoritis yang dituangkan dalam bentuk diagram atau persamaan sehingga dapat mempermudah dalam menganalisis masalah meskipun pada umumnya tidak pernah sempurna dan final. Model bersifat :1 dinamik : artinya bersifat responsif dan adaptif terhadap segala bentuk perubahan serta hubungan di antara berbagai komponen yang ada dalam model harus saling mendukung dan 2 probabilitas: artinya memberikan peluang bagi pengembangan yang lebih maksimal Kusnendi, 2008. Strategi, dalam konteks organisasi dinyatakan sebagai program umum untuk pencapaian tujuan –tujuan organisasi Handoko, 1997. Strategi menurut Sudjana 2000 merupakan pola umum tentang keputusan atau tindakan. Strategi harus dipahami sebagai rencana atau kehendak yang mendahului dan mengendalikan kegiatan. Strategi, dengan demikian, adalah suatu pola yang direncanakan dan ditetapkan secara sengaja untuk melakukan kegiatan atau tindakan. Mangkuprawira 2003 menyatakan bahwa strategi adalah cara mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Sama halnya dengan sifat model, strategi menurut Soetomo 2008 bersifat dinamis dan aktualisasinya banyak ditentukan oleh faktor waktu dan tempat. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka disusun kerangka penelitian sebagai berikut Gambar 9. Gambar 9. Kerangka Pemikiran Penelitian Sikap dan Strategi Pengembangan Masyarakat dalam Pengelolaan Areal Pengelolaan Laut – Berbasis Masyarakat APL –BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Hipotesis Penelitian Berdasarkan tujuan dan kerangka berpikir penelitian maka hipotesis penelitian adalah ”sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL–BM saat ini dipengaruhi secara nyata oleh pengalaman berpartisipasi ”. Model hipotetik penelitian dijabarkan menjadi persamaan struktural : 1 Y2 = Model sikap masyarakat Y2 = β4 .1 Y1 + ζ 4 PEMBAHASAN Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL –BM Saat Ini Secara umum, sikap responden yang ditemukan pada penelitian saat ini adalah sikap yang menunjukkan persetujuan rendah, baik terhadap penilaian aspek perbaikan status sumberdaya setelah diterapkannya program APL –BM maupun terhadap konsep pengelolaan APL –BM yang diteapkan saat ini. Sebaran sikap masyarakat tersebut selengkapnya disajikan pada tabel 26. Sikap Masyarakat terhadap Penilaian Status Sumberdaya Saat Ini Sebagian besar responden 57,2 menunjukkan persetujuan yang rendah terhadap penilaian bahwa telah terjadi perbaikan status sumberdaya –perikanan sebagai dampak diterapkan program APL –BM. Sikap ini juga diperkuat dengan persetujuan yang rendah terhadap pernyataan bahwa telah terjadi penurunan aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan –kelautan yang bersifat merusak dan melanggar peraturan sejak diterapkannya program APL –BM. Beberapa responden yang merupakan tokoh masyarakat nelayan menyebutkan bahwa kegiatan ekowisata bahari dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang karena wisatawan sering berdiri menginjak dan berjalan di atas karang. Selain itu juga diduga bahwa kegiatan pengambilan bibit dari alam pada usaha budidaya karang komersial tidak memiliki pengawasan yang ketat sehingga sulit untuk dikendalikan dampaknya terhadap ekosistem terumbu karang. Di sisi lain, para tokoh nelayan tersebut juga tidak memungkiri masih digunakannya cara –cara yang merusak lingkungan dalam operasi penangkapan ikan seperti penggunaan muroami serta indikasi penggunaan potas pada nelayan ikan hias dan nelayan ikan konsumsi. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan pada persetujuan responden terhadap peningkatan status sumberdaya menjadi lebih baik sebagai dampak dari penerapan program APL –BM di pada Kelurahan Pulau Tidung dibandingkan dengan keempat kelurahan lainnya. Nilai rataan persetujuan pada kelurahan tersebut merupakan yang tertinggi dan melebihi nilai rataan keseluruhan. Pada kelurahan tersebut, masyarakat menilai telah terjadi peningkatan kualitas sumberdaya yang ditandai dengan meningkatnya hasil tangkapan dan semakin banyaknya wisatawan yang datang berkunjung untuk melihat keindahan ekosistem terumbu karang di sekitar wilayah pulau mereka. Tabel 26. Sebaran Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL –BM saat ini Y.2. Sikap Masyarakat terhadap pengelolaan APL –BM Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari Y. 2.1. Persetujuan responden terhadap terjadinya perbaikan status sumberdaya sebagai dampak penerapan program APL –BM rentang kelas : skor 2–8 Rendah skor 1 –3 61,8 66,7 64,1 25,3 68,3 57,2 Sedang skor 4 –6 32,7 23,8 29,1 52,6 25,4 32,7 Tinggi skor 7 –8 5,5 9,5 6,8 22,1 6,3 10,1 Rataan skor persetujuan perbaikan sb.daya 3,3 3,1 3,2 5,3 3,1 3,4 Y. 2.2. Persetujuan responden terhadap konsep pengelolaan APL –BM yang diterapkan saat ini rentang kelas : skor 10 –40 Rendah skor 10 –19 67,3 76,2 84,1 30,0 68,3 65,8 Sedang skor 20 –29 18,2 13,8 9,1 54,2 25,4 24,1 Tinggi skor 30 –40 14,5 10,0 6,8 15,8 6,3 10,1 Rataan skor persetujuan konsep 19,7 18,5 18,2 24,2 19,9 19,9 Sumber : data primer, diolah Sikap Masyarakat terhadap Konsep Pengelolaan APL –BM Saat Ini Sebagian besar responden 65,8 menunjukkan persetujuan yang rendah terhadap konsep pengelolaan program APL –BM yang diterapkan saat ini. Sikap responden ini ditunjukkan terutama pada aspek peraturan zonasi dan jenis aktivitas yang diijinkan pada zonasi tersebut. Hampir keseluruhan responden menunjukkan ketidaksetujuan terhadap interpretasi peraturan yang mengijinkan masuknya aktivitas –aktivitas untuk kepentingan komersial selain dari aktivitas untuk kepentingan konservasi yang dilakukan pada areal inti perlindungan. Hal ini dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip awal perlindungan total pada zona inti sebagai upaya untuk menyediakan kondisi yang memungkinkan ekosistem memulihkan diri secara alamiah dengan segera. Selain itu, pembiaran atas masuknya aktivitas komersial pada zona inti dianggap sebagai kebijakan yang tidak memenuhi rasa keadilan bagi kelompok pemanfaat nelayan tangkap yang sudah berkorban kehilangan fishing ground potensial mereka. Mayoritas responden menolak usulan untuk memperluas areal perlindungan inti dengan alasan bahwa saat ini yang menjadi prioritas program adalah penegakan aturan yang menjadi kesepakatan bersama dibandingkan dengan memperluas wilayah areal inti. Penegakan aturan ini juga meliputi pemberian tanda batas dan papan informasi yang jelas tentang aturan yang berlaku pada masing –masing zona. Responden juga menilai bahwa saat ini lebih baik untuk memperkuat kemampuan sumberdaya manusia dan sistem kelola serta otoritas organisasi masyarakat pengelola APL –BM sehingga mampu menjalankan perannya sebagai fasilitator secara handal dan obyektif bagi kelompok –kelompok pemanfaat sumberdaya dengan kepentingan yang berbeda yang ada di Kepulauan Seribu. Responden juga menyatakan bahwa pendekatan komunikasi program dan layanan penyuluhan sebagai sub sistem pendukung dalam implementasi program APL –BM memiliki peran yang penting dan karenanya perlu diadakan langkah– langkah perbaikan untuk meningkatkan kinerjanya. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan pada persetujuan responden konsep program APL –BM yang diterapkan saat ini pada responden di Kelurahan Pulau Tidung dibandingkan dengan keempat kelurahan lainnya. Pada Kelurahan Pulau Tidung, masyarakat menilai konsep pengelolaan APL –BM yang diterapkan di wilayah kelurahan mereka telah sesuai dengan kepentingan bersama dan berjalan dengan konsisten. Pengaruh Partisipasi pada Pembentukan Sikap Masyarakat Dari hasil analisis SEM diperoleh persamaan struktural dan diagram jalur faktor yang mempengaruhi peubah sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL – BM saat ini X5 sebagai berikut : Y2 = 0,95 Y1 ; R² = 0, 90…… Persamaan 4 Keterangan : Y1 = Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Y2 = Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL –BM saat ini Gambar 10. Diagram Jalur Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Sikap Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Saat ini. Dari Gambar 10 dan Persamaan 4 tersebut diperoleh informasi obyektif bahwa nilai R² = 0,90 menandakan bahwa pengaruh peubah Partisipasi Masyarakat pada Pengelolaan APL –BM Y1 terhadap peubah Sikap Masyarakat pada Pengelolaan APL –BM saat ini Y2 saat ini adalah sebesar 0,90 atau 90 dan sisanya 10 dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Mengacu pada Gambar 10 dan Persamaan 4 di atas maka secara statistik peubah bebas partisipasi masyarakat Y1 yang diusulkan atau dirancang dalam hipótesis 4 terbukti memiliki pengaruh nyata terhadap sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL –BM saat ini Y2. Artinya, pengalaman berpartisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM memberikan pengaruh signifikan pada pembentukan sikap masyarakat terhadap keberlanjutan pengelolaan APL –BM di masa yang akan datang. Pengalaman berpartisipasi memuaskan yang dirasakan masyarakat dalam pengelolaan APL –BM akan memberikan pengaruh pada pembentukan sikap yang positip pada masyarakat. Sikap tersebut menyangkut persetujuan terhadap perbaikan status sumberdaya saat ini sebagai dampak penerapan APL –BM dan persetujuan terhadap konsep program APL –BM yang diterapkan saat ini. Kedua persetujuan tersebut merupakan faktor –faktor yang menentukan bagaimana tingkat keberlanjutan implementasi program APL –BM di wilayah Kepulauan Seribu. Pengalaman partisipasi yang memuaskan adalah bagaimana proses partisipasi melibatkan seluruh kelompok dan lapisan dalam masyarakat serta terjadi pada semua tahapan partisipasi. Demikian pula sebaliknya, jika masyarakat merasakan pengalaman partisipasi yang tidak memuaskan dalam berpartisipasi mengelola sumberdaya perikanan –kelautan melalui penerapan program APL–BM maka akan sikap yang kemudian terbentuk akan menunjukkan persetujuan yang rendah, baik pada aspek penilaian terhadap perbaikan kualitas sumberdaya dan terutama pada aspek persetujuan terhadap konsep pengelolaan yang dijalankan saat ini. Persetujuan yang rendah tersebut akan berpengaruh terhadap rendahnya tingkat keberlanjutan program pada siklus kegiatan berikutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Cernea 1988 terdapat tiga hal penting dalam menilai partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan berjalan dengan baik atau tidak, yaitu : 1 siapa saja yang terlibat dalam kegiatan tersebut, apakah seluruh masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu saja, 2 apa bentuk partisipai yang dilakukan masyarakat, apakah partisipasi terjadi pada seluruh tahapan partisipasi atau pada salah satu tahapan; perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan penilaian, serta 3 bagaimana terjadinya partisipasi, apakah secara sadar, terpaksa, atau ikut –ikutan. Pendapat tersebut berkaitan dengan temuan penelitian dari Richard et al. Reed, 2008 yang menyatakan bahwa pengalaman berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan mempengaruhi proses pembentukan sikap masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi jika partisipasi dipersepsikan berjalan dengan tranparan dan mempertimbangkan klaim –klaim perbedaan kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Berdasarkan analisis SEM, indikator partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM yang berpotensi paling besar untuk membentuk sikap positip masyarakat terhadap pengelolaan APL –BM saat ini adalah partisipasi masyarakat pada tahapan merencanakan kegiatan. Semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam merencanakan kegiatan pengelolaan APL –BM maka akan semakin positip sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL –BM saat ini. Keterlibatan masyarakat dalam merencanakan kegiatan akan menghasilkan rasa memiliki sense of belonging dan rasa bertanggung jawab sense of responsibility terhadap kegiatan di dalam individu dan kelompok –kelompok masyarakat karena keputusan –keputusan tersebut adalah refleksi dari kebutuhan yang dirasakan bersama oleh masyarakat sendiri. Sebaliknya apabila proses penyusunan kesepakatan pada tahapan perencanaan kegiatan tidak melibatkan masyarakat secara intens dan dirasakan tidak merefleksikan kebutuhan kelompok masyarakat pemanfaat maka akan keputusan tersebut akan memiliki daya ikat yang rendah. Temuan ini sejalan dengan pendapat Ife dan Toseriero 2006 yang menyatakan bahwa proses pembuatan keputusan dalam partisipasi perlu mengakomodasi peran dan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat memiliki kendali terhadap sumberdaya dan institusi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pemanfataan dan pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan dijalankan dengan perencanaan yang tidak sistematis. Pada skala rumahtangga level mikro, hampir keseluruhan masyarakat menjalankan usaha perikanannya hanya berdasarkan pengalaman dan intuisi saja serta tidak pernah dituangkan dalam bentuk tertulis. Masyarakat menganggap usaha perikanan tangkap yang dijalankan bukanlah usaha yang rumit dan sudah mereka kelola dalam waktu yang lama. Untuk lingkup perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan pada level yang lebih tinggi melalui implementasi program APL –BM di wilayah kelurahannya sendiri level meso maupun di keseluruhan wilayah Kepulauan Seribu level makro yang menjadi ruang interaksi dari banyak kelompok kepentingan, masyarakat juga menyatakan mereka tidak pernah terlibat atau dilibatkan. Masyarakat menyatakan tidak pernah atau jarang mendapat undangan dari pihak pemerintah Suku Dinas Perikanan –Pertanian Kabupaten dan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu atau organisasi masyarakat pengelola untuk mengikuti pertemuan dalam rangka merencanakan program kerja pengelolaan APL –BM. Masyarakat sering bertanya apakah ada atau tidak pertemuan reguler dan pertemuan khusus dalam rangka merencanakan program kerja APL –BM di level kebijakan tingkat kelurahan dan kabupaten. Masyarakat memandang penting diselenggarakannya pertemuan untuk perencanaan program kerja APL –BM yang melibatkan mereka karena dapat menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasi dan pertanyaan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka sebagai kelompok pemanfaat sumberdaya perikanan –kelautan di wilayah Kepulauan Seribu. Pertemuan tersebut juga diharapkan mampu dijadikan forum urun –rembug dalam menghasilkan kesepakatan –kesepakatan pemanfaatan sumberdaya yang memenuhi rasa keadilan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Beberapa kelompok masyarakat juga mengemukakan bahwa kehadiran mereka dalam proses perencanaan kegiatan berjalan dengan semu dan tidak lebih sebagai upaya untuk meraih legitimasi simbolik pada program pengelolaan sumberdaya dengan paradigma berbasis masyarakat. Jika pun pada pertemuan tersebut dihasilkan kesepakatan –kesepakatan yang memuat aspirasi masyarakat, pada tahapan selanjutnya kesepakatan –kesepakatan tersebut tidak pernah dikuatkan dengan tindakan formalisasi atau legalisasi keputusan sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Indikator kedua dari partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM yang berpotensi membentuk sikap positip masyarakat terhadap pengelolaan APL – BM saat ini adalah partisipasi dalam melakukan evaluasi kegiatan. Semakin terlibat masyarakat dalam mengevaluasi kegiatan maka akan semakin positip sikap mereka terhadap pengelolan APL –BM saat ini. Tahapan partisipasi mengevaluasi kegiatan adalah tahapan penting dalam mengkaji tingkat efektivitas pelaksanaan program. Tahapan tersebut akan membantu masyarakat dan pengelola program untuk mengenali hambatan dan keunggulan yang dimiliki sebagai bahan untuk memperbaiki desain program pada siklus kegiatan berikutnya. Demikian pula sebaliknya bila pada tahapan partisipasi dalam mengevaluasi kegiatan tidak berjalan dengan baik maka sulit diharapkan terbentuk partisipasi yang tinggi pada pada siklus program berikutnya. Serupa dengan tahapan perencanaan kegiatan, partisipasi masyarakat pada tahapan mengevaluasi kegiatan juga berada pada tingkat rendah. Masyarakat menyatakan tidak ada pertemuan reguler dan formal yang dimanfaatkan sebagai forum bersama dalam mengkaji keberhasilan atau kegagalan pengelolaan program APL –BM. Pertanyaan–pertanyaan mendasar pada masyarakat tentang permasalahan lapangan yang berkembang dalam penerapan program APL –BM juga tidak menemukan saluran yang memuaskan. Hambatan komunikasi tersebut kemudian menyebabkan masyarakat memanfaatkan forum pertemuan apapun yang bisa mereka hadiri untuk menyampaikan ketidakpuasan yang mereka rasakan. Indikator tahapan partisipasi masyarakat berikutnya yang memberikan dampak nyata pada proses pembentukan sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL –BM adalah indikator menikmati hasil partisipasi. Semakin masyarakat merasakan hasil yang bermanfaat dari kegiatan pengelolaan APL –BM maka akan semakin meningkatkan sikap positip masyarakat terhadap pengelolaan APL –BM saat ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat pada tahapan menikmati hasil kegiatan masih tergolong rendah. Kelompok masyarakat sumberdaya tradisional yang merupakan kelompok masyarakat mayoritas belum merasakan peningkatan produktifitas yang diikuti dengan peningkatan pendapatan yang signifikan sebagai dampak dari penerapan program APL –BM. Sementara itu kelompok pemanfaat dengan pekerjaan pemanduan ekowisata bahari menyebutkan mereka merasakan manfaat yang signifikan dari program APL –BM. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil kegiatan pada nelayan tangkap belum dikembangkan prosesnya sampai kepada kegiatan pengolahan hasil tangkapan yang berpotensi memberi nilai tambah yang signifikan. Indikator terakhir dari partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM yang berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL –BM adalah partisipasi dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan APL –BM. Semakin tinggi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan APL –BM maka dampaknya pada sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL –BM akan semakin positip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat pada tahapan melaksanakan hasil kegiatan masih tergolong rendah. Hal ini diindikasikan terutama oleh masih banyaknya aktivitas lain selain aktivitas sumberdaya yang dilakukan beragam kelompok pemanfaat di areal inti perlindungan. Begitu pula dengan pola pemanfaatan sumberdaya pada areal pemnfaatan yang memang diizinkan dengan aturan tertentu. Pada saat penelitian dilakukan tidak ditemukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya dengan menggunakan bom ikan, tetapi beberapa tokoh masyarakat mensinyalir bahwa masih ada kelompok –kelompok nelayan yang menggunakan potas dalam kegiatannya. Tokoh masyarakat juga mensinyalir masih terjadi kegiatan pengambilan karang alam yang tidak terkontrol, baik untuk diperdagangkan secara langsung maupun untuk keperluan pembibitan. Berbagai dugaan pelanggaraan tersebut terus berkembang menjadi prasangka negatif di antara kelompok masyarakat dan menjadi faktor yang menghambat pembentukan sikap yang menyetujui pemberlakuan program APL – BM pada periode selanjutnya. Rendahnya kinerja partisipasi masyarakat pada semua tahapan pada keseluruhan rangkaian kegiatan menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan –kelautan melalui penerapan program APL–BM di wilayah Kepulauan Seribu belum mampu membangun sikap positif dalam mewujudkan paradigma pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan seharusnya mengandung unsur –unsur peningkatan produktivitas sumberdaya, adanya distribusi dan pemerataan manfaat bagi seluruh masyarakat, perlindungan atau pelestarian sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat secara menyeluruh yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dari generasi ke generasi, sebagaimana dikemukakan oleh Ascher dan Healy Soetomo, 2008. Model dan Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM Berdasarkan temuan penelitian melalui analisis deskriptif dan analisis SEM pada bab pembahasan sebelumnya Bab 3 diketahui bahwa kinerja sebagian besar peubah tergolong dalam kategori rendah dan ditemukan peubah –peubah mana yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan –kelautan dalam pengelolaan program APL–BM. Dengan demikian, dapat ditentukan peubah –peubah mana yang perlu mendapatkan prioritas untuk diperbaiki, yang dituangkan dalam rancangan model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL –BM di Kepulauan Seribu Gambar 9, yang dilanjutkan dengan mengoperasionalisasikan model tersebut menjadi strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL –BM. Perumusan model dan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan –kelautan melalui implementasi program APL –BM dengan demikian disusun dengan mempertimbangkan realitasfakta empirik yang diperoleh dari analisis deskriptif dan analisis inferensia dengan pendekatan SEM. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya secara partispatif atau berbasis masyarakat yang diusulkan memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL – BM didukung secara langsung oleh tingkat kemampuan organisasi masyarakat dan tingkat motivasi masyarakat untuk berpartisipasi. Pada tahapan sebelumnya, tingkat kemampuan organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM dan tingkat motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dipengaruhi secara langsung oleh kualitas program pengelolaan APL –BM. Terlihat pula bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola APL –BM mempengaruhi proses pembentukan sikap yang memuat persetujuan terhadap pengelolaan APL –BM saat ini, yang kemudian berperan dalam mewujudkan kerberlanjutan pelaksanaan program di masa yang akan datang. Model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan –kelautan secara lestari melalui program APL–BM dirancang dengan pendekatan masukan input, proses process, keluaran output dan hasil outcome, dengan berpedoman pada model teoritis yang telah teruji melalui analisis SEM. Masukan dalam model pengembangan partisipasi masyarakat terdiri dari aspek kualitas program pengelolaan APL –BM yang terdiri dari indikator kualitas kesesuaian konsep program, pendekatan komunikasi program dan intensitas peran penyuluhan sebagai fasilitator, edukator dan advokator. Tahap selanjutnya dalam model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL –BM adalah proses pengembangan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat pengelola APL –BM serta mendorong masyarakat agar lebih termotivasi untuk berpartisipasi dan kemudian mau mempertahankan partisipasinya tersebut. Kemampuan organisasi masyarakat pengelola APL –BM yang perlu ditingkatkan meliputi: 1 kemampuan manajerial, 2 kemampuan sosial dan 3 kemampuan teknis. Motivasi masyarakat yang perlu diperhatikan agar berfungsi mendorong dan dan mempertahankan partisipasinya terefleksi dalam bentuk: 1 motivasi untuk melestarikan sumberdaya perikanan- kelautan, 2 motivasi untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan 3 motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas dalam mengelola sumberdaya. Tahap akhir adalah hasil yang ingin dicapai adalah terjadi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM. Berdasarkan temuan penelitian pada saat ini, partisipasi sudah berjalan pada keseluruhan tahapan kegiatan tetapi intensitasnya masih rendah dan pasif atau belum berjalan dengan optimal. Oleh karena itu, partisipasi yang dimaksudkan dalam model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL –BM adalah adalah partisipasi menyeluruh mulai dari 1 perencanaan, 2 pelaksanaan, 3 pemanfaatan atau menikmati hasil, dan 4 pemantauan dan penilaian kegiatan dengan intensitas keterlibatan yang tinggi dan tidak semu. Dampak yang diharapkan dari partisipasi masyarakat dalam mengelola APL adalah terbentuknya sikap positif dalam pengelolaan APL –BM di masa yang akan datang yang akan berujung pada pengembangan kesejahteraan masyarakat dan lestarinya sumberdaya perikanan –kelautan di Kepulauan Seribu. Model pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL –BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Gambar 11. Gambar 11. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL –BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Melalui Dukungan Kemampuan Organisasi Masyarakat Kemampuan yang dimiliki organisasi masyarakat yang meliputi kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial akan memberikan dukungan pada pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL –BM. Oleh karena kemampuan organisasi masyarakat pengelola Pendekatan Komunikasi Program Kesesuaian Konsep Program Intensitas Peran Penyuluhan I N P U T Kualitas Program Pengelolaan APL – BM P R O C E S S Kemampuan Organisasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL – BM Motivasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL – BM O U T P U T Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL – BM O U T C O M E Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL – BM :  Sikap thd Status Sumberdaya Saat ini  Sikap thd Konsep Pengelolaan Saat ini