Gerakan Pendudukan Tanah dan Penuntutan Tanah Kembali

Bagian II 120

2.4. Gerakan Pendudukan Tanah dan Penuntutan Tanah Kembali

Berdasarkan uraian di bagian 2.3 di atas, dari 4 kasus tanah yang dikaji dapat dikatakan bahwa gerakan petani yang tergabung dalam FPPBF2PNB menggabungkan kedua bentuk aksi menuntut hak atas tanah tersebut: 3 kasus kasus PT Pagilaran, PT Trarak, , dan PT Segayung merupakan gerakan menuntut tanah kembali sedangkan satu kasus lainnya kasus PTPN IX merupakan gerakan pendudukan tanah terlantar. Tabel 2.3 di bawah memperlihatkan kembali secara ringkas aspek kesejarahan penguasaan tanah di kelima kasus tersebut. Tabel 2.3 Matriks Perbandingan: Aksi Pendudukan Tanah Terlantar atau Aksi Menuntut Tanah Kembali Rentang Waktu KasusSengketa Tanah P2KPP vs Perk. Pagilaran P4T vs PT Tratak P2BS vs PTPN IX P2SD vs PT Segayung Sebelum 1945 Rakyat memanfaatkan lahan hutan di sekitar perkebunan kina Rakyat memanfaatkan lahan yang berupa semak belukar untuk dijadikan lahan pertanian rakyat -- -- 1945 – 1960 Menuntut kembali tanah perkebunan Pagilaran dengan cara memusnahkan aset- aset perusahaan. pembakaran pabrik. -- -- -- 1960 – 1965 -- -- -- -- 1965 – 1998 Menuntut kembali lahan PT Perkebunan Menggarap lahan PT Tratak yang sudah menjadi semak belukar. Menggarap tanah yang ditinggalkan oleh petani dari Kendal Rakyat memanfaatkan hasil hutan rakyat untuk kebutuhan sehari-hari. 1998 – sekarang Menuntut kembali lahan PT Perkebunan -- Menggarap lahan PTPN IX Menggarap lahan yang dikuasai oleh PT Segayung Bagian II 121 Sejarah hubungan antara petani penggarap dengan tanahnya umumnya adalah hubungan langsung dalam pemanfaatan tanahnya, yaitu pemanfaatan tanah karena ada lahan yang tidak diusahakan.Karena alasan pemenuhan kebutuhan hidup, mereka kemudian memanfaatkan lahan tersebut. Di dalam sejarah relasi antara tanah dengan petani penggarap yang ada di dalam 4 kasus tersebut, terlihat bahwa tidak ada hubungan yang diatur secara legal formal atau atas hak yang mereka miliki selama mereka menggarap dan mengusahakan lahan tersebut. Walaupun seharusnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku UUPA 1960, prioritas utama pemegang hak adalah mereka yang melakukan penggarapan tanah secara efektif. Penggarapan lahan yang mereka lakukan, seperti diuraikan di dalam matriks di atas, umumnya dilakukan di atas lahan-lahan yang memang tidak ada hak yang diatasnamakan pihak tertentu. Misalnya, penggarapan yang dilakukan oleh petani-petani yang tergabung dalam P2KPP, P4T dan P2SD. Ketiga OTL ini memanfaatkan lahan yang berupa hutan atau semak belukar. Berbeda dengan yang dilakukan oleh P2BS, yang melanjutkan penggarapan di atas tanah yang sudah jelas ditinggalkan oleh penggarap sebelumnya yang juga tidak memiliki hak di atasnya. Merujuk kepada penjelasan Aditjondro tentang konflik tanah yang restoratif dan transformatif lihat kembali Bab I, apa yang dilakukan oleh keempat OTL ini adalah melakukan tindakan transformatif atas tanah-tanah yang ada di sekitarnya. Mereka melakukan pemanfaatan lahan dengan melakukan perubahan fungsinya dari lahan yang tidak berproduksi menjadi lahan yang produktif karena diusahakan menjadi lahan pertanian yang menghasilkan dan dapat memenuhi kebutuhan hidup kelompok petani penggarap. Selanjutnya, tindakan-tindakan petani penggarap dapat digolongkan sebagai tindakan menuntut kembali tanah merujuk pada sejarah hubungan mereka dengan lahannya. OTL P2KPP, P4T, dan P2BS melakukan aksi-aksi menuntut tanah dengan cara melakukan penggarapan karena sebelumnya lahan yang sudah mereka garap, dengan alasan tertentu diambil alih oleh pihak-pihak lain dengan menggunakan kekuatan legal formal yang dimiliki, yaitu HGU Perkebunan PT Pagilaran, PT Tratak, dan PTPN IX. Terlepas dari bagaimana proses penerbitan HGU Perkebunan ini, reaksi-reaksi petani penggarap untuk Bagian II 122 mempertahankan lahannya bukanlah tindakan-tindakan pendudukan, karena mereka sesungguhnya memiliki alasan yang kuat tentang relasi yang sudah mereka bangun sebelumnya dengan lahan yang bersangkutan. Mereka pun memahami bahwa ada ketentuan yang mengatur tentang kepemilikan lahan yang belum ditentukan statusnya, yakni bahwa jika sudah dilakukan penggarapan di atasnya selama jangka waktu tertentu, maka hak prioritasnya jatuh pada mereka yang melakukan penggarapan sebelumnya. Namun, pandangan pihak lawan sengketa yaitu perusahaan perkebunan akan sangat lain atau bahkan sebaliknya. Tindakan-tindakan petani penggarap yang memegang teguh keyakinannya bahwa merekalah yang berhak dan tetap meneruskan aksi penggarapan di atas lahan yang sudah diterbitkan HGU-nya adalah tindakan pendudukan atau istilah yang lebih banyak digunakan adalah aksi penjarahan. Mereka menganggap bahwa status legal formal yang sudah dimiliki adalah status yang menunjukkan bahwa merekalah pemilik sah atas lahan tersebut. Di sinilah titik tolak sengketa hukum yang selalu menjadi alasan bagi pihak lawan sengketa petani penggarap di dalam perjuangan mempertahankan haknya, eperti halnya yang dilakukan oleh PT Pagilaran, PT Tratak, PT Segayung, dan PTPN IX yang hingga saat ini kasusnya belum dapat diselesaikan. Pada akhirnya, kecenderungan keempat kasus sengketa tanah di Kabupaten Batang ini adalah tindakan-tindakan yang restoratif; mereka sesungguhnya sedang mempertahankan apa yang sebelumnya sudah mereka miliki dengan jalan mengusahakan lahannya dengan kegiatan pertanian. Mereka pada awalnya membuka atau memanfaatkan lahan yang tidak diusahakan oleh pihak mana pun, dan dalam prosesnya mereka memang tidak melakukan upaya untuk melegalkan tanah yang mereka garap menjadi areal pertanian. Dalam saat berbeda pada setiap kasus, kemudian ada pihak-pihak yang mengajukan permohonan hak secara legal kepada pihak yang berwenang atas tanah yang lokasinya tepat sama dengan lokasi lahan yang sudah dan sedang digarap oleh petani penggarap. Akibatnya, terjadi sengketa yang melibatkan dua pihak, yaitu petani penggarap yang secara de facto melakukan penggarapan di atas tanah tersebut, dan pihak pemegang hak yang secara de jure menguasai lahan tersebut. Di dalam kasus ini, kedua belah pihak melakukan dua pola pendekatan dalam Bagian II 123 proses penguasaan lahan yang lokasinya sama. Dengan dua pendekatan ini, di dalam proses penyelesaiannya juga akan menemukan argumentasi-argumentasi yang berbeda dan di dalam proses penyelesaiannya, dengan pendirian yang saling berseberangan sangat sulit untuk ditemukan cara penyelesaiannya. Menjadi sangat beralasan jika petani penggarap selalu menganggap bahwa pihak yang berperan sebagai mediator penyelesaian sengketa tidak berpihak kepada petani penggarap.

Bab III Dari Gerakan Sosial Menuju Gerakan Politik

3.1. Lahirnya Strategi Baru FPPBFP2NBP: Gerakan Politik Lokal

FPPBFP2NBP sebagai induk organisasi dari 18 Organisasi Tani Lokal di Kabupaten Batang sudah menggulirkan wacana Gerakan Politik sejak tahun 2005. Pada saat itu telah mulai dirumuskan rangkaian pendidikan untuk Calon Lurah dan anggota Legislatif yang berasal dari kader FPPBFP2NBP. Rangkaian pendidikan ini dimaksudkan untuk memperkuat gerakan politik formal di desa-desa. Pada Rembug Tani III tahun 2007, FPPBFP2NBP melakukan evaluasi dan refleksi terhadap perjalanan strategi-strategi organisasi, khususnya strategi pendudukan tanah yang sudah dilakukan. Dalam setiap Rembug Tani selalu dilakukan evaluasi dan refleksi, danpada Rembug Tani III ini dihasilkan pula satu rekomendasi tentang perubahan strategi gerakan dari strategi pendudukan tanah dan penyelesaian kasus menjadi gerakan yang mereka sebut sebagai ‘Gerakan Politik’. Dalam sebuah diskusi yang menjadi pembuka Rembug Tani tahun 2005 salah seorang narasumber dari Komite Mahasiswa Yogyakarta KMY mengatakan bahwa “persoalan tanah hanya merupakan pijakan, sementara masih ada persoalan lain yang dihadapi dan harus ditangani oleh penduduk di pedesaan, misalnya masalah ekonomi, politik, dan masalah kehidupan berbudaya. Maka tepat jika demokrasi diletakkan di tangan rakyat” 118 . Pada saat itu, peserta Rembug Tani yang umumnya adalah anggota FP2NBPFPPB belum merespons gagasan yang dilontarkan tersebut karena mereka masih terfokus pada upaya-upaya penyelesaian kasus tanah yang dihadapi masing-masing OTL. Walaupun demikian, pengurus organisasi terus menggulirkan gagasan tentang ‘Gerakan Politik’ dalam setiap kesempatan kumpulan, agar gagasan untuk menguasai lembaga-lembaga pemerintahan dapat dipahami di setiap – paling tidak – kepengurusan organisasi tingkat OTL. Para pengurus FPPBFP2NBP terus berupaya memberikan pemahaman mengenai hal ini dengan cara meletakkannya dalam konteks masalah utama 118 Lihat Catatan Kongres II FP2NBP, tanggal 5 Maret 2005