Kabupaten Batang dalam Lintasan Sejarah

Bagian I 8

Bab I Penguasaan Tanah Skala Besar di Kabupaten Batang

1.1. Kabupaten Batang dalam Lintasan Sejarah

Batang adalah salah satu kabupaten di wilayah utara Provinsi Jawa Tengah. Ibu kotanya, Kota Batang, terletak 84 km di sebelah barat Kota Semarang. Secara geografis kabupaten ini terletak di antara 6º 51 46 dan 7º 11 47 Lintang Selatan dan antara 109º 40 19 dan 110º 03 06 Bujur Timur. Batang dikukuhkan sebagai sebuah kabupaten berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 1965 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 20 Tahun 1965. Sebelum secara resmi disahkan menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II pada tanggal 8 April 1966, kabupaten ini sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Pekalongan 1 . Hingga tahun 1809 Batang merupakan salah satu kabupaten di bawah Keresidenan Pekalongan selain Kabupaten Pekalongan dan Wiradesa. Pada tahun 1870, Kabupaten Batang juga termasuk wilayah yang disebut daerah Pasisir yang karakternya adalah kepemilikan sawah secara komunal di wilayah Tegal, Pekalongan, dan Semarang Boomgaard, 1989: 16. Pada pemerintahan Daendels antara 1809-1811 Kabupaten Wiradesa dihapuskan. Berdasarkan data statistik tahun 1820, Kabupaten Pekalongan dan Batang dipecah menjadi 5 divisi 2 dan 14 distrik, tetapi menjelang Cultuurstelsel divisi-divisi tersebut dihapuskan dan jumlah distrik disederhanakan menjadi 12 distrik lihat Cahyono, 2005: 28. Dataran rendah di Karesidenan Pekalongan ini adalah wilayah yang membentang hingga perbatasan Jawa Barat dari Batang sampai Losari juga merupakan penghasil sebagian tanaman niaga utama, yaitu padi dan tebu. Padi dan tebu merupakan perpaduan pemanfaatan lahan yang bergantung pada musim serta sistem irigasi yang 1 Mengenai sejarah pembentukan Kabupaten Batang, lihat “Sejarah Pembentukan Kabupaten Batang”, di http:www.batangkab.go.idprofilesejarah.htm 2 Ini merupakan istilah asli yang digunakan dalam Statistiek van de Residentie Pekalongan 1820, ARP 821 B. Dalam bahasa Belanda biasanya divisi dapat dipersamakan dengan Afdeeling. Bagian I 9 secara khusus dibangun oleh pemilik perkebunan tebu dari Eropa Lucas, 1989: 10 3 , Sedangkan Kabupaten Batang – pada tahun 1920-an – merupakan satu-satunya wilayah bagi petani kecil yang menjadi penghasil komoditi ekspor. Wilayah berbukit rendah ini pada waktu itu menjadi penghasil utama tanaman niaga seperti gula, teh, kopi, kina, karet dan 30 dari seluruh produksi kokoa cokelat di Jawa Lucas, 1989: 9-10; Cahyono, 2005. Daerah lainnya di dalam Karesidenan Pekalongan adalah wilayah pedalaman di bagian selatan. Karena kondisi tanahnya tidak sebaik di dataran rendah, wilayah dataran tinggi di bagian selatan ini hanya cocok untuk tanaman jati Lucas, 1989:10. Tetapi, jika dilihat sejarah masuknya tanaman jati di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, pada masa pemerintahan Daendles 1808-1811, tanaman jati memang sengaja dibudidayakan di wilayah-wilayah dataran tinggi di Pulau Jawa dalam bentuk-bentuk perkebunan besar. Pada masa itu terjadi proses penanaman tanaman jati secara serentak, termasuk di wilayah Karesidenan Pekalongan serta sebagian besar dataran tinggi di Pulau Jawa lihat Peluso, 1992, Simon, 2001: 20-21. Hal ini juga yang menjadi salah satu faktor yang membuat bagian selatan Batang relatif lebih sedikit penduduknya dibanding dengan bagian pesisir. Dengan dibudidayakannya tanaman jati, yang pada praktiknya tidak memerlukan tenaga kerja yang terlalu banyak, mobilisasi penduduk besar-besaran ke wilayah ini tidak terjadi. 4 Perubahan-perubahan kegiatan pertanian dan diperkenalkannya perkebunan oleh pemerintah kolonial Belanda telah turut membantu terbentuknya kelas-kelas sosial di dalam kehidupan masyarakat di Pekalongan. Sebagaimana diuraikan oleh Lucas 1989: 11- 14, di tingkat paling atas dalam struktur masyarakat terdapat kelas orang kaya yang terdiri atas pangreh praja, lurah kepala desa, dan pedagang kaya. Kelas orang kaya ini juga diisi oleh orang Cina dan Arab yang telah mendominasi sektor perdagangan di 3 Sampai Depresi Ekonomi Dunia, wilayah ini memiliki 17 pabrik gula. Mengenai produksi gula, lihat Landbouwatlas van Java en Madoera Weltevreden, 1926 Bagian 1 Tabel VI; untuk irigasi dan kesuburan tanah, lihat Volkstelling 1930, jilid II, Inheemsche Bevolking van Midden-Java en Vorstenlanden, hal 10 selanjutnya dikutip Volkstelling, untuk demografi, lihat Indisch Verslag, 1939, hal. 277. Gambaran ini dikutip dari Lucas 1989. 4 Volkstelling, table 9, hal 167, dikutip dari Lucas 1989: 10. Berdasarkan data tahun 1930 yaitu data sensus terakhir sebelum perang, kepadatan penduduk di wilayah selatan Batang hanya mencapai 390 jiwa per kilometer persegi Bagian I 10 wilayah Pekalongan. Kondisi ini agak berbeda dengan apa yang terjadi di Pemalang. Kelas orang kaya di Pemalang diisi oleh orang pribumi yang tampaknya berhasil mendominasi sektor perdagangan. Di Pemalang, sektor ini terdiri atas para pemuka agama yang umumnya tergabung di dalam kelompok Muhammadyah. Para tokoh agama ini juga merupakan tuan-tuan tanah yang mampu mengakumulasi lahan sawahnya melalui bisnis mereka di bidang pinjam-meminjam uang yang dibutuhkan oleh rakyat kecil. Walaupun demikian, golongan etnik Cina, Arab, dan Indo Eropa juga ada yang bergerak dalam sektor ini, namun tidak mendominasi yaitu mereka yang berhasil menjadi tuan tanah, dengan cara membeli tanah atas nama wanita Jawa yang menjadi istrinya. Umumnya kelompok lapisan masyarakat kaya ini sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial di desa. Dengan kekuatan ekonominya, misalnya, mereka yang tergolong kaya bisa saja melakukan berbagai penyimpangan dalam pengaturan irigasi di satu desa dengan cara menyuap petugas irigasi ulu-ulu. Ketika gula sedang menjadi komoditi yang menguntungkan, para lurah bisa mengalihkan tanah bengkok yang tadinya digarap warga desa kepada para pemilik pabrik gula yang mampu membayar sewa lebih tinggi ketimbang petani penyewa tanah di desa. Praktik-praktik pencarian keuntungan besar-besaran umumnya dilakukan oleh warga kaya, yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat para pejabat di desa, tokoh agama yang melakukan pinjam-meminjam uang, serta kaum minoritas asing Cina, Arab, dan Eropa yang memang bermatapencaharian pedagang. Kelompok masyarakat yang merupakan kelompok masyarakat dari kelas sosial dalam tingkatan paling bawah di wilayah ini, yaitu petani tak bertanah, atau mereka yang bermatapencaharian petani tetapi tidak memiliki atau menguasai tanah garapan. Seperti telah diuraikan di atas, kelompok kelas atas memiliki salah satu bisnis pinjam-meminjam uang, khususnya untuk rakyat kecil. Akibatnya, ketika penduduk setempat tidak dapat membayar hutangnya, maka aset yang dimiliki rakyat kecil, khususnya tanah, akan segera berpindah tangan ke kelompok kelas atas tersebut. Terlebih-lebih, menurut Lucas 1989: 13-14, sejak era Politik Etis tahun 1900-an penghasilan petani tidak bertambah karena tanah bengkok sudah menjadi milik kepala desa. Di Pekalongan, misalnya, kepala desa menyewakan tanah bengkoknya kepada pabrik gula. Akibatnya, sejak saat itu tanah bengkok yang menjadi salah satu penghasilan tambahan bagi petani tidak ada lagi, karena di tanah bengkok itu sejumlah penduduk setempat bekerja sebagai buruh tani. Kelompok Bagian I 11 kelas bawah ini juga merupakan kelompok yang paling dirugikan dengan diberlakukannya sistem pajak pada saat itu. Walaupun ditetapkan dari penghasilan rata-rata kelompok kelas bawah, pajak itu tidak didasarkan atas pertimbangan kemampuan membayar dan kebutuhan hidup kelompok kelas bawah tersebut Lucas, 1989:14-15. Secara politik, pajak merupakan salah satu alat untuk meningkatkan karir para pangreh praja, karena dengan terkumpulnya pajak dalam jumlah besar, kedudukan pangreh praja akan cepat naik. Dengan kondisi ini, maka dengan segala upaya, para pangreh praja akan mengumpulkan pajak dari rakyatnya sebanyak-banyaknya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum mereka akan menggunakan berbagai cara kekerasan dan pemerasan kepada rakyat pada saat itu untuk dapat meningkatkan jumlah pajak yang dapat dikumpulkannya Lucas, 1989:16. Sejumlah perkebunan yang sampai sekarang kita bisa temukan di Kabupaten Batang merupakan peninggalan perkebunan-perkebunan besar yang dikelola oleh pengusaha Belanda dan Inggris, paling tidak PT Pagilaran dahulu dimiliki oleh pengusaha berkebangsaan Belanda, kemudian dibeli oleh perusahaan Inggris yaitu PT Land’s PT pada sekitar tahun 1922-1923 lihat uraian Kasus PT Pagilaran di Bagian II. Walaupun demikian, sebagian besar perkebunan-perkebunan tersebutsudah berubah nama, misalnya perkebungan Simpang Djati yang sekarang namanya PT Ambarawa Maju dan perkebunan Sawangan Siluwuk yang sekarang dikenal sebagai PTPN IX. Perubahan ini diakibatkan oleh Undang-undang Pemerintah Indonesia tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belandaasing yang ada di Indonesia setelah masa kemerdekaan. Di dalam Pasal 1 UU No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan- perusahaan Milik Belanda dinyatakan bahwa “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia”. Perpindahan pemilik perkebunan, termasuk juga perkebunan-perkebunan di Kabupaten Batang dan Pekalongan, tidak terlalu banyak mengubah fungsi, jenis, dan bentuk pengelolaan perkebunan itu sendiri. Tabel 1.1 di bawah ini memperlihatkan sejumlah perkebunan peninggalan zaman kolonial yang sampai sekarang masih beroperasi di Kabupaten Batang meskipun pemiliknya sudah berganti. Bagian I 12 Perkebunan-perkebunan di kabupaten ini sudah dirintis sejak awal abad ke-19 dan berkembang bersamaan dengan dijalankannya kebijakan Tanam Paksa pada tahun 1830 5 ; pada saat itu lahan-lahan pertanian rakyat menjadi objek kebijakan Tanam Paksa Pemerintah Hindia Belanda. Perkembangan selanjutnya adalah dengan diterbitkannya Agrarisch Wet yang mengizinkan pengusaha swasta untuk terlibat dalam usahabisnis perkebunan di Hindia Belanda melalui sewa-menyewa tanah atau penguasaan tanah- tanah partikelir. Tabel 1.1 Eks Perkebunan Asing di Daerah Batang No. Onderneming PemilikEks Pemilik Lokasi Tanaman 1. Pagilaran NV. Mij. Ter Expl. der Pamanukan en Tjiasem-landen Subang Blado – Batang Teh 2. Semugih NV Cult. Mij. “Semugih” Demak Randu Dongkal- Batang Teh, Kopi 3. Sodomukti NV. Landb. Mij “Tombo- Wonodadi” Rijswijk den Haag Bandar – Batang Kopi 4. Tratak I sd. V NV. Cult. Mij. Tratak, Pekalongan Bandar – Batang Kopi, Kapok, Vanili 5. Kedongdong Si Pendem NV. Pekalongansche Cult.Mij. Rotterdam Subah – Batang Kopi, Coklat,Kapok 6. Simbang Djati NV. Handel Mij. Sing Bie. Demak Subah – Batang Kopi 7. Subah Negara Republik Indonesia Subah – Batang Karet 8. Sawangan Siluwuk Cult. Mij. “Siluwuk Sawangan” Semarang Batang Karet, Kopi, Coklat. Sumber: Ismet, 1970, hal. 156-157 Berdasarkan tabel 1.1 di atas, beberapa perkebunan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Batang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing Belanda. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, wilayah Kabupaten Batang sudah mengusahakan perkebunan besar dengan modal yang cukup kuat. Ada pula Onderneming Pagilaran, Tratak I sd. I,V dan Sawangan Siluwuk dengan lokasi yang sama yang keberadaan perkebunannya menjadi sengketa dengan penduduk setempat hal ini akan diuraikan dalam Bagian II. Demikian juga dengan tanaman yang dibudidayakan, pada saat itu Pagilaran menanam teh, Tratak I sd. IV menanam kopi, kapok, dan vanili, dan Sawangan Siluwuk menanam karet, kopi, dan coklat. Jika 5 Lihat Niel 2003, Kartodirjo dan Suryo 1991, dan Tjahyono 2007. Lihat “Laporan Akhir Asesmen pada Kondisi Sosial dan Ekonomi Buruh dan Petani Kecil Perkebunan di Indonesia”, 1999, Bandng, KPA. Misalnya di Tatar Periangan–Jawa Barat, perkebunan besar telah mulai dikembangkan sejak tahun 1699 ketika tanaman kopi mulai dibudidayakan dalam sebuah perkebunan yang relatif besar. Bagian I 13 dibandingkan dengan Tabel 1.2 di bawah, peruntukan perkebunan Pagilaran dan Sawangan Siluwuk masih sama dengan tanaman yang dibudidayakan oleh perusahaan asing Belanda. Hal ini menandakan bahwa memang beberapa perkebunan yang sampai saat ini masih ada di Kabupaten Batang merupakan perkebunan warisan zaman pemerintahan Hindia Belanda.

1.2. Persoalan Agraria Kontemporer: Perkebunan dan Perhutani versus Pertanian Rakyat