KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Konsep merupakan abstraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian keadaan kelompok atau individu tertentu Singarimbun,1989:32 2.1.1. Sosiolinguistik Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga- lembaga dan proses sosial yang ada dimasyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian secara mudah dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat Chaer dan Agustina 2004:2. Sosiolinguitik juga menyangkut individu sebab unsur yang sering terlihat melibatkan individu sebagai akibat dari fungsi individu sebagai mahluk sosial. Hal ini merupakan peluang dari linguistik yang bersifat sosial untuk melibatkan diri dengan pengaruh masyarakat terhadap bahasa dan pengaruh bahasa pada fungsi dan perkembangan masyarakat sebagai akibat timbal balik dari unsur-unsur sosial dalam aspek-aspek yang berbeda. Universitas Sumatera Utara Sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat Nababan 1986:2. Dengan kata lain bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa khususnya perbedaan-perbedaan variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan sosial. Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa sebagaimana yang dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia mulai dari upacara pemberian nama bayi yang baru lahir sampai upacara pemakaman jenazah tentu tidak akan terlepas dari penggunaan bahasa. Oleh karena itu, bagaimanapun rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan. 2.1.2 Penutur Bahasa Indonesia Penutur adalah orang yang bertutur; orang yang berbicara; orang yang mengucap atau mengucapkan KBBI 2005:1231. Penutur bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki kemampuan mengucapkan, menggunakan, dan berbicara dengan bahasa Indonesia. Universitas Sumatera Utara 2.1.3 Lagu Pop Indonesia Lagu merupakan wacana lisan bila dilihat berdasarkan medianya, tetapi lagu juga merupakan wacana tertulis bila dilihat berdasarkan teks lagunya. Lagu merupakan suatu hasil dari kebudayaan. Lagu lirik menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud atau tujuan seorang penyanyi kepada pendengar. Bahasa yang digunakan pada lagu haruslah sederhana, mudah dipahami dan efektif. Penggunaan bahasa Indonesia dalam lirik-lirik lagu mempunyai kekhasan tersendiri sebab lirik-lirik pada lagu mempunyai peranan penting terutama dalam kehidupan sehari-hari. Lagu pada dasarnya ungkapan perasaan atau luapan hati dari penyanyi itu tersendiri selain itu lagu juga dapat memberikan pesan penting bagi masyarakat luas. Lagu Pop adalah lagu populer yang didengar luas oleh masyarakat dan bersifat komersial. Perkembangan lagu Pop di Indonesia dimulai oleh band Koes Plus yang hingga saat ini banyak dikembangkan oleh band-band atau penyanyi Indonesia http:wikipedia,orgMusik _populer diakses tanggal 3 Februari 2012 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Bilingualisme Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami yaitu berkaitan dengan penggunaan dua bahasa sedangkan bilingual atau dwibahasawan berkaitan dengan orang yang berbicara dalam dua bahasa. Menurut KBBI bilingual dapat diartikan sebagai orang yang mampu atau bisa memakai dua bahasa dengan baik. Sedangkan Universitas Sumatera Utara bilingualisme adalah pemakaian dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh suatu masyarakat bahasa. Bilingulisme menyertakan kemampuan dan psikologis penutur dan melibatkan konsep sosialnya. Dipandang dari ilmu Sosiolinguistik, Mackey 1962: 12, Fishman 1975:73 dalam Chaer dan Agustina 2004:84 bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Nababan 1984:27 mengemukakan pendapatnya tentang bilingualisme dan bilingualitas yakni: “Kalau kita melihat seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulan dengan orang lain, dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang kita akan sebut bilingualisme. Jadi, bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Jika kita berpikir tentang kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita akan sebut ini bilingualitas dari bahasa Inggris bilinguality.” Bloomfield dalam Chaer dan Agustina, 2004:85 mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, menurut Bloomfield seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan bahasa pertama B1 dan bahasa kedua B2 dengan derajat yang sama baiknya. Universitas Sumatera Utara 2.2.2 Campur Kode Campur kode merupakan peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual atau berdwibahasa, bahkan yang multilingual. Nababan 1984 : 32 mengatakan bahwa campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain apabila orang mencampur dua atau lebih bahasa dalam suatu tindak bahasa speech act atau discourse tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa lain yang menuntut adanya pencampuran bahasa tersebut. Istilah campur kode juga dibedakan dengan alih kode. Berbicara mengenai alih kode dan campur kode , Hudson 1996 mengemukakan pendapatnya tentang kedua hal tersebut yaitu: “alih kode dibatasi pada pertukaran bahasa yang sesuai untuk menyampaikan suatu maksud tertentu, dimana situasinya berubah yang disebabkan oleh pergantian bahasa yang dimilikinya secara tepat. Pada kasus-kasus yang lain dimana seorang bilingual yang fasih berbicara kepada bilingual yang fasih lainnya dan mengganti bahasa tanpa menggantikannya secara keseluruhan. Jenis pergantian ini disebut campur kode”. Menurut Chaer dan Agustina 2004 : 114 kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur. Ada banyak pendapat mengenai alih kode dan campur kode. Namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing- masing, dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu, sedangkan Universitas Sumatera Utara dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan pieces saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Thelander dan Fasol dalam Chaer dan Agustina, 2004 : 115 memberikan pendapat mengenai campur kode. Thelander menjelaskan bahwa apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran hybrid clauses, hybrid pharases dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Sementara Fasold menjelaskan kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase satu bahasa dan dia memasukkan kata tersebut dalam bahasa lain yang digunakannya dalam komunikasi, maka ia telah melakukan campur kode. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito 1985:78 membedakan campur kode menjadi beberapa macam, yaitu: 1.Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata Pengertian kata adalah satuan bebas yang paling kecil atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan kata. Kata dapat dibagi atas empat bagian yaitu : 1. Kata benda atau nomina 2. Kata kerja atau verba 3. Kata sifat atau adjektiva 4. Kata tugas Universitas Sumatera Utara 2.Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Berdasarkan jenis atau kategori frase dibagi menjadi: 1. Frase nominal 2. Frase verbal 3. Frase adjektival 4. Frase preposisi 3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster artinya penyisipan bentuk baster atau kata campuran menjadi serpihan dari kata yang dimasukinya. 4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata Penyisipan unsur yang berwujud perulangan kata maksudnya penyisipan perulangan kata ke dalam bahasa inti atau bahasa utama dari suatu kalimat. 5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom yaitu penyisipan kiasan dari suatu bahasa menjadi serpihan dari bahasa inti yang dimasukinya. 6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri dari subjek dan predikat baik disertai objek, pelengkap, dan keterangan ataupun tidak. Universitas Sumatera Utara Konsep campur kode yang dipakai dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada konsep Hudson yang memberikan perbedaan antara alih kode dan campur kode, kemudian pendapat Chaer dan Agustina yang juga memberikan pendapat tentang perbedaan antara alih kode dan campur kode. Dalam penelitian mengenai bentuk-bentuk campur kode, peneliti mengambil pendapat Suwito yang memberikan lima jenis bentuk-bentuk campur kode. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode menurut Khan 2005 adalah karena kesantaian dan faktor kebiasaan. Sedangkan menurut Priyanto 2006 campur kode disebabkan oleh faktor-faktor sosial, keterbatasan kemampuan linguistik dan alasan-alasan yang bersifat afektif. Dari kedua pendapat di atas , maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah 1 kesantaian atau situasi informal, 2 kebiasaan, 3 faktor sosial, 4 keterbatasan kemampuan linguistik, dan 5 alasan-alasan yang bersifat afektif. 2.3 Tinjauan Pustaka Penelitian campur kode sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, di antaranya Tarihoran 2000 dalam skripsinya yang berjudul “Analisis campur Kode dalam Majalah Tempo”. Dalam skripsi tersebut Tarihoran membahas bentuk-bentuk campur kode dalam majalah Tempo dan latar belakang penutur menggunakan campur kode. Dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk campur kode yang terdapat dalam majalah Tempo berupa penyisipan unsur-unsur kebahasaan yang berbentuk kata, Universitas Sumatera Utara frase, dan klausa. Peneliti juga berpendapat bahwa peranan dan fungsi kebahasaan sangat menentukan di dalam melakukan campur kode tersebut. Peranan yang dimaksud siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya. Khan 2005 dalam penelitiannya yang berjudul “Alih kode dan Campur Kode dalam Masyarakat Bilingual” membahas tentang batasan alih kode dan campur kode serta faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan alih kode dan campur kode. Ia mengemukakan bahwa alih kode dan campur kode terjadi dalam masyarakat bilingual maupun multilingual. Faktor terjadinya alih kode disebabkan oleh pribadi pembicara, kedudukan, hadirnya orang ketiga dan pokok pembiacaraan atau topik sedangkan campur kode terjadi tanpa adanya sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut adanya percampuran bahasa, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesantaian, kebiasaan, atau tidak adanya panduan yang tepat. Rapi 2009 dalam penelitiannya yang berjudul “Campur Kode Penutur Bahasa Indonesia oleh Anak Usia 6-10 Tahun di SD Chandra Kusuma Deli Serdang” membahas tentang bentuk-bentuk campur kode yang digunakan anak usia 6-10 tahun di SD Chandra Kusuma Deli Serdang dan faktor-faktor tejadinya campur kode. Ia mengatakan campur kode dapat terjadi dalam komunikasi anak yang ada di sekolah khususnya dalam proses pemerolehan bahasa kedua maupun ketiga, campur kode yang terdapat pada usia anak 6-10 tahun yaitu unsur-unsur berwujud kata, penyisipan unsur-unsur berwujud bentuk frase, penyisipan unsur-unsur berwujud bentuk baster, penyisipan unsur-unsur berwujud bentuk klausa, penyisipan unsur-unsur berwujud Universitas Sumatera Utara pengulangan kata dan penyisipan unsur-unsur berwujud ungkapan atau idiom. Selain itu Rapi juga mengungkapkan faktor terjadinya campur kode selain karena faktor kebiasaan dan sosial campur kode juga dapat terjadi karena faktor yang berhubungan dengan perasaan. Selanjutnya, Priyanto 2006 dalam tulisannya yang berjudul “Pemilihan Kode pada Anak” meneliti peristiwa ahli kode dan campur kode yang terjadi pada seorang anak perempuan yang berusia empat tahun lima bulan, Dalam penelitiannya ia mengemukakan bahwa anak yang masih mengembangkan bilingualnya juga dapat melakukan alih kode dan campur kode. Dalam kondisi seperti ini, alih kode dan campur kode yang terjadi selain disebabkan oleh faktor-faktor sosial juga disebabkan keterbatasan kemampuan linguistik dan alasan-alasan yang bersifat efektif. Artinya alih kode dan campur kode tidak hanya dikuasai penutur dewasa yang memiliki kemampuan berbahasa tingkat tinggi. Para peneliti sebelumnya membahas campur kode yang terdapat dalam situasi informal akibat faktor kebiasaan yang tidak bertujuan untuk menghibur. Namun pada penelitian ini peneliti meneliti campur kode yang terdapat pada lirik lagu pop Indonesia selain disebabkan oleh faktor kebiasaan disebabkan juga karena adanya kecenderungan dalam masyarakat menggunakan bahasa asing dalam berinteraksi yang memicu para musisi menciptakan lagu bercampur dengan bahasa asing dengan tujuan komersial Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN