Kajian pelilinan terhadap kualitas dan daya simpan buah pepaya Callina

(1)

KAJIAN PELILINAN TERHADAP KUALITAS DAN DAYA

SIMPAN BUAH PEPAYA CALLINA

TETIH HIDAYAH

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Pelilinan Terhadap Kualitas dan Daya Simpan Buah Pepaya Callina adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Tetih Hidayah


(4)

ABSTRAK

TETIH HIDAYAH. Kajian Pelilinan Terhadap Kualitas dan Daya Simpan Buah Pepaya Callina. Dibimbing oleh USMAN AHMAD.

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu buah-buahan tropika yang menjanjikan di pasar baik dalam maupun luar negeri, dan mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Buah pepaya termasuk dalam jenis buah klimakterik.. Salah satu cara untuk menahan laju penurunan mutu dalam penanganan pascapanen buah-buahan adalah dengan pelilinan dan penyimpanan dingin.penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pelilinan terhadap kualitas dan daya simpan buah pepaya Callina pada suhu ruang dan suhu dingin (130C). Konsentrasi lilin yang digunakan adalah 0% (kontrol), 6%, dan 10% dengan metode pencelupan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah pepaya dengan konsentrasi 10% pada suhu 130C mampu menekan laju respirasi, susut bobot, kekerasan, dan warna kulit buah pepaya. Namun, pelilinan tidak terlalu berpengaruh pada perubahan nilai TPT. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa buah pepaya yang diberi lapisan lilin dengan konsentrasi 10% mampu mempertahankan tingkat kesukaan panelis. Begitu pula dengan uji pembobtan, kombinasi konsentrasi dan suhu terbaik yaitu pada buah pepaya dengan konsentrasi pelilinan 10% pada suhu 13 °C. Kekerasan buah termasuk parameter mutu kritis buah pepaya.

Kata kunci: pepaya, pelilinan, suhu

ABSTRACT

TETIH HIDAYAH. Study of Waxing on Quality and Storability of Callina Papaya Fruit. Supervised by USMAN AHMAD.

Papaya (Carica papaya L.) is one of tropical fruits which economically good both in domestic and overseas. Papaya fruit is kind of climacteric fruit. One way to hold the rate of quality degradation in post-harvest handling is by waxing and cold storing. This research aim to learn the effect of waxing about quality and storability of Calina papaya at room temperature and cold temperature (13oC). Wax concentrations which was used were 0% (control), 6%, and 10% by dyeing method. The result showed that papaya with wax concentration 10% at 13oC could hold the rate of respiration, weight loss, hardness, and colour of fruit. However, waxing did not affect greatly on the changes of Total Dissolved Solid (TDS). Organoleptic result showed that waxed papaya in 10% of concentration was good according to the panelists. It also showed good result for weighting, good combination can be reached at 10% of wax concentration and 13oC of temperature. Hardness fruit including critical parameter of papaya.


(5)

KAJIAN PELILINAN TERHADAP KUALITAS DAN DAYA

SIMPAN BUAH PEPAYA CALLINA

TETIH HIDAYAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

(7)

Judul Skripsi : Kajian Pelilinan Terhadap Kualitas dan Daya Simpan Buah Pepaya Callina

Nama : Tetih Hidayah

NIM : F14090065

Disetujui oleh

Dr. Ir. Usman Ahmad, M . Agr

Pembimbing


(8)

Judul Skripsi : Kajian Pelilinan Terhadap Kualitas dan Daya Simpan Buah Pepaya Callina

Nama : Tetih Hidayah NIM : F14090065

Disetujui oleh

Dr. Ir. Usman Ahmad, M. Agr Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Desrial, M. Eng Ketua Departemen


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Dengan selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, kakak dan saudara-saudara penulis yang telah memberikan banyak dorongan, motivasi, semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

2. Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah memberikan arahan dan nasihat kepada penulis dalam penelitian hingga penyelesaian tugas akhir skripsi ini.

3. Dr. Ir. Emmy Darmawaty, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Tineke Mandang, M.S selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang membangun untuk penulis.

4. Teman-teman diantaranya Nur Hayati, Rahma, Nita Dwi, Rani Dwi, Awanis, Gina Annisa, Ni Made Citta, dan temen-teman Orion TMB lainnya yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian.

5. Bapak Sulyaden dan Mba Sugi atas bantuannya selama penelitian, serta seluruh staff UPT TMB IPB yang telah membantu dalam proses administrasi.

Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pertanian.

Bogor, Oktober 2013 Tetih Hidayah


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ii

HALAMAN JUDUL iii

HALAMAN PENGESAHAN iii

PRAKATA v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 TINJAUAN PUSTAKA 3

Tanaman dan Buah Pepaya 3 Penyimpanan Dingin 8 Parameter Penurunan Mutu Buah Segar 8 Pelilinan 11 METODOLOGI PENELITIAN 12

Waktu dan Tempat Penelitian 12 Alat dan Bahan 12 Metode Penelitian 13 Pengamatan dan Perubahan Mutu 15 Rancangan Percobaan 17 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Laju Respirasi 18 Susut Bobot 21 Kekerasan 22 Total Padatan Terlarut 23 Warna Kulit Buah 24 Organoleptik 30 Parameter Mutu Kritis 32

Umur Simpan 33

Kombinasi Konsentrasi Pelilinan dan Suhu Terbaik 33

SIMPULAN 40

SARAN 40

DAFTAR PUSTAKA 41


(11)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan produksi pepaya Indonesia tahun 2002-2010 2 2 Kandungan nilai nutrisi buah pepaya per 100 gram bahan 5 3 Komposisi dasar emulsi lilin 12% 11 4 Data gabungan pembobotan uji organoleptik 36 5 Skor dari setiap perlakuan hasil pembobotan uji destruktif 39

DAFTAR GAMBAR

1 Buah Pepaya 4

2 Pepaya IPB 1 5

3 Pepaya IPB 3 6

4 Pepaya IPB 4 6

5 Pepaya IPB 6 7

6 Pepaya IPB 9 7

7 Pepaya IPB 10 7

8 Pendingin 13

9 Refraktometer 13

10 Rheometer 13

11 Cosmotector 13

12 Chromameter 13

13 Timbangtan digital 13

14 Diagram alir tahapan penelitian 14 15 Sistem notasi warna Hunter 16 16 Laju produksi CO2 buah pepaya selama penyimpanan 19

17 Laju konsumsi O2 buah pepaya selama penyimpanan 20

18 Perubahan susut bobot buah pepaya selama penyimpanan 22 19 Perubahan kekerasan buah pepaya selama penyimpanan 23 20 Perubahan total padatan terlarut (TPT) buah pepaya selama penyimpanan 24 21 Perubahan nilai kecerahan (L) buah pepaya selama penyimpanan 25 22 Perubahan nilai komponen warna merah-hijau (a*) buah pepaya selama 26

penyimpanan

23 Perubahan nilai komponen warna kuning-biru (b*) buah pepaya selama 27

penyimpanan

24 Perubahan warna kulit pepaya kontrol pada suhu 13 °C berdasarkan 28 sistem notasi warna Hunter

25 Perubahan warna kulit pepaya yang diberi lapisan lilin dengan konsentrasi 28 6 % pada suhu 13 °C berdasarkan sistem notasi warna Hunter


(12)

26 Perubahan warna kulit pepaya yang diberi lapisan lilin konsentrasi 10 % 28 pada suhu 13 °C berdasarkan sistem notasi warna Hunter

27 Perubahan warna kulit pepaya kontrol pada suhu ruang ber-AC 29 berdasarkan sistem notasi warna Hunter

28 Perubahan warna kulit pepaya yang diberi lapisan lilin konsentrasi 6 % 29 pada suhu ruang ber-AC berdasarkan sistem notasi warna Hunter

29 Gambar 29 Perubahan warna kulit pepaya yang diberi lapisan lilin 29 konsentrasi 10 % pada suhu ruang ber-AC berdasarkan sistem notasi

warna Hunter

30 Organoleptik warna kulit buah pepaya pada suhu 13 0C dan suhu ruang 31 ber-AC

31 Organoleptik aroma buah pepaya pada suhu 13 0C dan suhu ruang ber-AC 32 32 Organoleptik kekerasan buah pepaya pada suhu 13 0C dan suhu ruang 33

ber-AC

33 Organoleptik rasa buah pepaya pada suhu 13 0C dan suhu ruang ber-AC 34 34 Organoleptik keseluruhan buah pepaya pada suhu 13 0C dan suhu ruang 35

ber-AC

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji lanjut Duncan untuk laju produksi CO2 44

2 Uji lanjut Duncan untuk laju konsumsi O2 45

3 Uji lanjut Duncan untuk susut bobot 46 4 Uji lanjut Duncan untuk kekerasan 47 5 Uji lanjut Duncan untuk TPT 48 6 Uji lanjut Duncan untuk nilai L* warna kulit buah 49 7 Uji lanjut Duncan untuk nilai a* warna kulit buah 50 8 Uji lanjut Duncan untuk nilai b* warna kulit buah 51 9 Uji lanjut Duncan untuk organoleptik warna kulit buah 52 10 Uji lanjut Duncan untuk organoleptik aroma 53 11 Uji lanjut Duncan untuk organoleptik kekerasan 54 12 Uji lanjut Duncan untuk organoleptik rasa 55 13 Uji lanjut Duncan untuk organoleptik keseluruhan 56 14 Perhitungan Umur Simpan 57 15 Uji pembobotan untuk penarikan kesimpulan pengukuran obyektif 58 16 Gambar pepaya dengan konsentrasi lilin 0 % (kontrol) pada suhu 130C 61 17 Gambar pepaya dengan konsentrasi lilin 6 % pada suhu 130C 62 18 Gambar pepaya dengan konsentrasi lilin 10 % pada suhu 130C 63 19 Gambar pepaya dengan konsentrasi lilin 0% pada suhu ruang ber-AC 65 20 Gambar pepaya dengan konsentrasi lilin 6% pada suhu ruang ber-AC 66 21 Gambar pepaya dengan konsentrasi lilin 10% pada suhu ruang ber-AC 67


(13)

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai berbagai macam komoditas pertanian yang berpotensi untuk diekspor maupun untuk dikonsumsi dalam negeri. Hasil pertanian tersebut meliputi komoditas biji-bijian, palawija, dan komoditas holtikultura. Buah-buahan mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi dan umumnya dikonsumsi sebagai buah segar, oleh karena itu mutu dan kesegaran buah perlu dipertahankan sehingga dapat menghaslkan nilai jual tinggi.

Pada prinsipnya ada tiga cara untuk memperpanjang daya simpan yaitu menunda proses kematangan, memperlambat penguapan dan respirasi, serta membunuh atau mencegah perkembangan organisme pembusuk. Menurut Ana (2008), buah-buahan dan sayuran termasuk perishable commodities, yang artinya komoditi-komoditi yang mudah sekali rusak, di mana kerusakan tersebut dapat mengurangi daya simpan buah. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh kelainan fisiologis, kerusakan mekanis, serta gangguan hama dan penyakit. Kerusakan fisik atau mekanik yang terjadi antara lain lecet, layu, memar, dan kemudian busuk. Akibatnya produk tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga umur simpan buah-buahan relatif pendek. Pada saat buah dipanen, akan terjadi perubahan baik perubahan kimiawi maupun perubahan biokimiawi yang akan menyebabkan mutu buah berangsur-angsur turun. Perkiraan kerusakan pada pascapanen akibat kerusakan mekanis, fisiologis, dan mikrobiologis bisa mencapai 20-25%.

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu buah-buahan tropika yang menjanjikan di pasar baik dalam maupun luar negeri, dan mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Buah pepaya secara lokal dan regional terus meningkat. Indonesia merupakan negara penghasil buah papaya ke-8 terbesar di dunia. Permintaan pasar dunia terus meningkat dari negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, dan Swedia (Purba, 2005).

Jenis pepaya terdiri dari beberapa varietas, salah satunya yaitu pepaya Callina. Saat ini pepaya Callina banyak dikembangkan oleh para petani karena pepaya Callina banyak digemari dan mempunyai nilai jual yang cukup tinggi dipasaran. Pepaya menjadi salah satu komoditas buah-buahan yang penting dalam cakupan negara-negara ASEAN dan internasional karena memberikan peluang pasar yang bagus untuk memasarkan buah papaya dalam produk segar ataupun olahan. Peningkatan produksi pepaya di Indonesia dari tahun 2002-2010 dapat dilihat pada Tabel 1.


(15)

2

Tabel 1 Perkembangan produksi pepaya Indonesia tahun 2002-2010 Tahun Produksi (ton)

2002 605.194 2003 626.745 2004 732.611 2005 548.657 2006 643.451 2007 621.524 2008 717.899 2009 772.844 2010 675.801 Sumber: Badan Pusat Statistik (2011)

Pemasaran buah pepaya masih mengalami masalah, salah satunya adalah dalam penentuan tingkat kematangan fisiologis optimum saat panen untuk menjamin kematangan buah yang cukup untuk konsumsi dengan kualitas yang baik. Pada umumnya pepaya hanya dapat bertahan maksimal 10 hari setelah pemanenan dengan tingkat kematangan 10%. Menurut Pantastico (1989), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi untuk mendapatkan buah yang berkualitas baik adalah waktu panen yang tepat, karena mutu buah tidak dapat diperbaiki namun dapat dipertahankan. Buah yang dipanen sebelum matang dapat menghasilkan mutu yang kurang baik serta proses pemasakan yang salah. Penundaan waktu panen buah akan meningkatkan kepekaan buah terhadap proses pembusukan, sehingga mutu dan nilai jualnya rendah.

Salah satu cara untuk menahan laju penurunan mutu dalam penanganan pascapanen buah-buahan adalah dengan pelilinan dan penyimpanan dingin. Pelilinan dapat menahan proses proses resprasi dan transpirasi serta mengurangi terjadinya proses evaporasi yaitu penguapan air bersama gas-gas lain. Pemakaian lilin pada buah-buahan adalah untuk meningkatkan kilap sehingga penampakannya menjadi lebih baik. Disamping itu luka atau goresan pada permukaan kulit buah dapat ditutupi oleh lilin. Di tempat-tempat yang tidak terdapat fasilitas pendingin, perlindungan dengan pemberian lapisan lilin merupakan salah satu cara yang dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan buah-buahan dan sayuran segar (Pantastico, 1986).

Proses pelilinan biasanya dikombinasikan dengan bahan kimia sintetis pembunuh bakteri dan cendawan. Berdasarkan percobaan pelapisan lilin pada alpukat yang dilakukan Mujiono (1997) diketahui bahwa konsentrasi 4% optimum meningkatkan daya simpan dan menghambat kematangan sampai hari ke-20. Febriyan (2012) menyatakan pada suhu 8 °C dan pelilinan 10% mampu


(16)

memberikan perlindungan terhadap buah manggis dalam menghambat proses transpirasi.

Tujuan

1. Mengkaji perubahan parameter mutu buah pepaya selama penyimpanan, diantaranya yaitu laju respirasi, susut bobot, total padatan terlarut (TPT), kekerasan daging buah, dan warna kulit buah setelah diberikan perlakuan pelilinan.

2. Menentukan umur simpan dan parameter mutu kritis buah pepaya Callina pada suhu ruang ber-AC (20-25 °C) dan suhu dingin (13 °C).

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman dan Buah Pepaya (Carica papaya L.)

` Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu tanaman buah tropis asal Meksiko Selatan. Tanaman pepaya kini telah dibudidayakan serta dikembangkan secara luas di Amerika Tengah, Amerika Selatan, Afrika Utara, Hawai, India, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Srilanka. Tanaman pepaya adalah jenis pohon buah-buahan yang berumur pendek dan sifat tumbuhnya cepat sekali. Pepaya merupakan tanaman yang berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Tanaman ini diperbanyak dengan biji dan mulai tumbuh setelah 6-8 minggu. Berdasarkan bunganya, tanaman pepaya dapat digolongkan atas tiga tipe utama yaitu tanaman berbunga jantan, betina, dan hermaprodit (sempurna) (Sujiprihati dan Suketi, 2010).

Tanaman pepaya tumbuh di daerah-daerah basah, kering, dan daerah dataran rendah dengan ketinggian 200-1000 meter dpl dengan suhu berkisar 25-30 °C. Pada ketinggian di atas 500 meter dpl, pertumbuhan pepaya menjadi lambat dan rasa buahnya menjadi kurang manis. Hal inilah yang menyebabkan budidaya di daerah dataran tinggi kurang disarankan. Selain mempengaruhi rasanya, pepaya yang ditanam di dataran tinggi juga mudah terserang penyakit karena kondisi kelembaban yang relatif tinggi (Sujiprihati, 2010). Tipe tanah yang baik untuk pertumbuhan pepaya adalah tanah yang subur, remah (gembur), drainase baik, serta pH tanah berkisar 6-7 yang bersifat netral (Ashari, 1995). Setiap pohon pepaya dalam waktu satu tahun rata-rata dapat menghasilkan lebih dari 50 buah pepaya, dan keadaan ini dapat berlangsung sampai lebih dari tiga tahun (Sunaryono, 1981). Untuk gambar dari buah pepaya dapat dilihat pada Gambar 1.


(17)

4

Gambar 1 Buah Pepaya

Menurut Dirjen Hortikultura (2011), klasifikasi tanaman pepaya termasuk dalam famili Caricaceae. Famili ini memiliki empat genus, yaitu Carica, Jarilla, Jaracanta, dan Cylicomorpha. Namun yang banyak dibudidayakan adalah genus

Carica. Adapun taksonomi tanaman pepaya diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi: Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Ordo : Caricales

Family : Caricaceae

Genus : Carica

Spesies : Carica papaya

Buah pepaya umumnya berbentuk bulat, panjang atau silindris dengan kisaran berat antara 300 gram sampai lebih dari 3 kg. Buah pepaya masak merupakan sumber vitamin A, vitamin C, dan mineral kalsium. Buah pepaya juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu bersifat cepat rusak dan busuk (Kalie, 1988). Berdasarkan bentuk dan sifat daging buah, pepaya termasuk ke dalam tipe buah buni, memiliki kulit luar yang tipis, kuat, dan lentur, sedangkan lapisan dalam berdaging dan berair, serta memiliki rongga besar di tengah (Ashari, 1995).

Buah pepaya digolongkan sebagai buah klimakteri, yaitu buah yang mengalami kenaikan produksi CO2 secara mendadak dan kemudian mengalami

penurunan dengan cepat (Pantastico, 1986). Sebagai buah klimakteri, buah pepaya tidak perlu dipanen pada saat matang penuh di pohon karena dapat masak sempurna setelah dipanen. Jika pemanenan dilakukan pada saat buah lewat masak, umur simpan buah tersebut akan lebih pendek sehingga mengakibatkan buah menjadi cepat busuk. Klimakteri ditandai dengan adanya proses yang cepat pada waktu pemasakan dan peningkatan respirasi yang mencolok disertai perubahan warna, cita rasa, dan teksturnya. Salah satu patokan untuk melakukan pematangan buah pepaya adalah umur buah. Tanda-tanda kematangan dan pedoman umur dan sifat-sifat penampakan secara visual berbeda-beda tergantung pada jenis dan varietasnya (Soedibyo, 1979). Secara lengkap kandungan buah pepaya untuk 100 gram bahan yang dapat dimakan ditunjukkan pada Tabel 2.


(18)

. Tabel 2 Kandungan nilai nutrisi buah pepaya per 100 gram bahan No Jenis Satuan Jumlah

1 Kadar air % 86.6 2 Protein Gram 0.5 3 Lemak Gram 0.3 4 Karbohidrat Gram 12.1 5 Kalsium Milligram 0.034 6 Fosfor Milligram 0.011 7 Besi Milligram 0.001 8 Vitamin A IU 0.45 9 Vitamin B Milligram 0.0003 10 Vitamin C Milligram 0.74 11 Abu Gram 0.5 12 Natrium Milligram 3 13 Serat Gram 0.7 14 Kalium Miligram 204 Sumber : Wirakusumah (2001)

Program pemuliaan tanaman di Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (PKBT) IPB saat ini telah menghasilkan berbagai calon varietas unggul. Hasilnya antara lain pepaya unggul IPB 1 (Arum Bogor), IPB 3 (Carisya), IPB 4 (Carlia), IPB 6 (Sukma), IPB 9 (Callina), dan IPB 10 (Wulung Bogor). Berikut deskripsi singkat dari 6 varietas pepaya unggul hasil pemuliaan PKBT IPB, Bogor (Luketsi, 2011):

1. Pepaya IPB 1 (Arum Bogor)

Pepaya IPB 1 lebih dikenal dipasaran dengan nama pepaya Arum Bogor. Pepaya ini tergolong jenis pepaya kecil dengan bobot sekitar 0.50-0.63 kg. Bentuk buahnya bulat lonjong dan seragam, panjang buah 13.2-15.5 cm, dan diameter buah 9.1-11.5 cm. Pepaya ini mempunyai warna kulit buah hijau bertekstur licin dan daging buah berwarna kemerahan atau jingga dengan rasa sangat manis seperti yang dicirikan oleh kandungan padatan terlarut total daging buah sekitar 11-13 °Briks dan beraroma harum. Kandungan vitamin C-nya sekitar 122 mg/100 g daging buah. Gambar dari IPB 1 terdapat pada Gambar 2.


(19)

6

Gambar 2 Pepaya IPB 1 Gambar 3 Pepaya IPB 3 2. Pepaya IPB 3 (Carisya)

Masing-masing pepaya unggul memiliki keistimewaan tersendiri. Pepaya IPB 3 dengan nama lain Carisya, mempunyai keistimewaan pada kadar gulanya yang bisa mencapai 14.3 °Briks. Gambar dari pepaya jenis IPB 3 terdapat pada Gambar 3. Pepaya IPB 3 memiliki bentuk kecil, daging buah tebal agak kenyal berwarna jingga kemerahan dan sangat manis. Daya simpan pepaya ini pada suhu kamar mencapai 7 hari. Kulit buah pepaya IPB 3 berwarna hijau tua, bentuk buah lonjong, panjang buah 16.2-17.8 cm, diameter buah 7.6-8.4 cm dengan bobot perbuah antara 0.5 sampai 0.65 kg.

3. Pepaya IPB 4 (Carlia)

Berbeda dengan varietas pepaya unggul lain, keistimewaan dari pepaya IPB 4 adalah warna kulit buahnya berwarna kuning. Gambar pepaya jenis IPB 4 terdapat pada Gambar 4. Bentuk buah lonjong dan seragam dengan panjang buah 14.5-16.0 cm, diameter tengah buah 8-9 cm dan bobot perbuah sekitar 0.4 sampai 0.6 kg. Pepaya IPB 4 mempunyai warna daging buah jingga dan rasanya manis dengan tingkat kemanisan 9.5-11 °Briks

Gambar 4 Pepaya IPB 4 Gambar 5 Pepaya IPB 6 4. Pepaya IPB 6 (Sukma)

Pepaya IPB 6 lebih dikenal dengan nama pepaya Sukma. Pepaya ini merupakan unggulan lokal dari daerah Sukabumi dan Bogor. Pepaya jenis ini


(20)

mempunya bobot mencapai 3.1 kg, panjang buah 30-35 cm dengan diameter tengah buah 13.2-13.8 cm. Buah ini berbentuk bulat lonjong, warna kulit buah hijau dan mulus, warna daging buah merah jingga, dan rasanya manis dengan tingkat kemanisan 11-12.8 °Briks. Gambar pepaya jenis IPB 6 terdapat pada Gambar 5.

5. Pepaya IPB 9 (Callina)

Nama lain dari pepaya IPB 9 adalah Callina. Bobot buah pepaya jenis Callina sekitar 0.6-1.5 kg, panjang buah 23-24 cm dengan diameter buah 9.2-9.5 cm. Kulit buah berwarna hijau lumut bertekstur mulus dan daging buah yang tebal berwarna jingga dengan tingkat kemanisan 10.1-11.2 °Briks. Gambar pepaya jenis IPB 9 terdapat pada Gambar 6. Bentuk buahnya silindris seperti peluru dan mempunyai daya simpan lama yaitu lebih dari satu minggu.

Gambar 6 Pepaya IPB 9 Gambar 7 Pepaya IPB 10 6. Pepaya IPB 10 (Wulung Bogor)

Pepaya IPB 10 mempunyai nama lain Wulung Bogor. Pepaya jenis ini berbeda dari pepaya unggul lainnya karena bisa memproduksi getah buah pepaya yang tinggi, yaitu 25.23 g per buah, dan bias dilakukan penyadapan hingga 9 kali. Pepaya ini berbentuk lonjong dengan ukuran buah besar (>2 kg). Gambar pepaya jenis IPB 10 terdapat pada Gambar 7. Warna kulit buah hijau dengan permukaan yang halus dan mempunyai daging buah berwarna jingga kemerahan.

Penyimpanan Dingin

Penyimpanan pada suhu dingin merupakan cara yang paling efektif dan bermanfaat untuk memperlambat perkembangan pembusukan pascapanen buah-buahan dan sayuran yang disebabkan oleh infeksi bagian dalam. Setiap produk hortikultura memiliki suhu optimum untuk menghambat pematangan dan penuaan proses-proses fisiologis yang membuat komoditi menjadi rentan terhadap kegiatan mikroba parasit dan bakteri (Pantastico, 1986). Penyimpanan dingin dapat juga dikombinasi dengan penambahan zat pengawet kimia. Kegunaan pendinginan secara umum adalah untuk pengawetan, penyimpanan, dan distribusi bahan pangan yang rentan rusak. Pendinginan maupun pembekuan tidak dapat


(21)

8

meningkatkan mutu bahan pangan, hasil terbaik yang dapat diharapkan hanyalah mempetahankan mutu tersebut pada kondisi terdekat saat akan memulai proses pendinginan (Purwanto, 2007).

Menurut Roosmani (1990), masalah utama yang sering dihadapi pada penyimpanan buah setelah panen pada kondisi tanpa pendinginan adalah penurunan bobot serta nilai gizi, seperti vitamin C dan kadar air. Hal ini disebabkan oleh transpirasi dan respirasi yang berlangsung secara cepat dan terus menerus tanpa hambatan. Menurut Muchtadi et al. (2010) penanganan dengan cara penyimpanan dingin diperlukan untuk buah-buahan yang mudah rusak. Cara ini dapat mengurangi :

a. Kehilangan air dan pelayuan.

b. Proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki. c. Kegiatan respirasi dan kegiatan metabolik lannya

d. Kerusakan karena aktivitas mikroba (bakteri, kapang, dan khamir).

e. Proses penuaan karena adanya proses pematangan, pelunakan, dan perubahan-perubahan warna serta tekstur.

Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam proses penyimpanan dingin yaitu penggunaan suhu yang tepat. Suhu penyimpanan yang digunakan tidak boleh terlalu rendah karena dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada buah yang diakibatkan oleh suhu dingin. Penyimpanan di bawah suhu 15 °C (di atas titik beku) dikenal dengan penyimpanan dingin, yang akan mengurangi kelayuan serta kehilangan air, menurunkan laju reaksi kimia, dan laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang akan disimpan. (Watkins, 1971).

Kebutuhan suhu untuk penyimpanan dingin produk hortikultura bervariasi menurut jenis produk. Secara umum, produk hortikultura yang dibudidayakan di daerah dingin memerlukan suhu penyimpanan yang lebih rendah (0 - 2 °C). dan produk hortikultura yang dibudidayakan di daerah subtropis cocok pada suhu yang lebih tinggi (2 – 7 °C), sedangkan produk holtikultura yang dibudidayakan di daerah tropis memerlukan suhu yang lebih tinggi lagi (7 – 13 °C) (Ahmad, 2013).

Parameter Penurunan Mutu Buah Segar

Penurunan mutu penyimpanan buah segar dapat ditentukan dengan menggunakan suatu parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan mencerminkan kondisi mutu produknya (Utama, 2005). Sifat produk buah segar umumnya dipergunakan sebagai parameter mutu adalah kekerasan dan warna (Azhar, 2007). Perubahan-perubahn yang terjadi pada buah-buahan selama proses pematangan pada umumnya adalah tekstur, warna, kandungan gula, keasaman, susut bobot, kadar air, dan kandungan vitamin C, berikut adalah beberapa perubahan fisik kimia selama pematangan dan penyimpanan buah pepaya.

Laju Respirasi

Laju respirasi O2 dan CO2 akan mengalami peningkatan diawal

penyimpanan kemudian mengalami penurunan dan mengalami peningkatan sampai akhir penyimpanan. Menurunnya laju respirasi disebabkan karena


(22)

substrat yang digunakan untuk proses respirasi mulai berkurang. Disamping itu menurunnya laju respirasi disebabkan karena O2 yang ada dipergunakan

oleh buah untuk proses respirasi dan oksidasi substrat (Rina, 2009). Dengan terbatasnya O2 mengakibatkan perombakan klorofil tertunda, produksi C2H4

rendah, laju pembentukan asam askorbat berkurang, perbandingan asam-asam lemak tak jenuh berubah, dan degradasi senyawa pectin tidak secepat seperti dalam kondisi lingkungan. Hal tersebut tercermin dari terhambatnya pematangan buah, sehingga daya simpan buah menjadi lama (Amiarsi et al., 1996).

Menurut Pantastico (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi ada dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi tingkat perkembangan, susunan jaringan, ukuran produk, pelapis alami, dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal antara lain suhu, etilen, O2 yang tersedia,

dan kerusakan buah. Adanya kerusakan fisik akan meningkatkan laju respirasi produk hortikultura karena kerusakan lapisan dermal akibat luka fisik dapat melancarkan masuknya oksigen yang berakibat meningkatnya respirasi sehingga meningkatkan laju pembentukan etilen yang selanjutnya memicu proses pematangan dan penuaan. Penurunan konsentrasi oksigen dalam udara akan menurunkan laju respirasi, demikian pula terjadi sebaliknya. Namun demikian konsentrasi oksigen yang terlalu rendah dapat membawa kerusakan produk akibat reaksi anaerobik, yaitu suatu reaksi metabolism tanpa kehadiran oksigen (Ahmad, 2013).

Susut Bobot

Susut bobot yaitu massa buah yang berkurang sejalan dengan waktu selama proses penyimpanan. Kehilangan berat selama penyimpanan sebagian besar disebabkan oleh kehilangan air yang terjadi karena sebagian air di dalam jaringan bahan akan menguap atau terjadinya transpirasi. Susut bobot terjadi karena selama proses penyimpanan menuju pematangan terjadi perubahan fisikokimia berupa penyerapan dan pelepasan air dari dan ke lingkungan penyimpanan. Kehilangan air selama penyimpanan tidak hanya menurunkan susut bobot tetapi juga menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan. (Muchtadi, 1990).

Suhu produk hortikultura segar yang meningkat akan meningkatkan laju respirasi dan kehilangan air akibat respirasi yang berarti menurunkan bobot (Ahmad, 2013). Buah terlihat tidak segar lagi, berubah warna, berubah rasa, kandungan nutrisi berkurang, hingga terjadi pembusukan. Proses metabolisme ini dapat dihambat dengan menyimpan buah-buahan pada suhu rendah dengan kelembaban relatif uap air yang tinggi dan dapat pula membatasi kontak antara buah dengan udara ataupun etilen.

Total Padatan Terlarut

Proses pematangan akan menyebabkan kandungan karbohidrat dan gula berubah. Menurut Winarno dan Wirakatakusumah (1981), meskipun banyak macam gula yang ada dalam buah dan sayuran, tetapi perubahan kandungan gula yang sesungguhnya hanya meliputi tiga macam gula, yaitu glukosa, fruktosa dan sukrosa. Apabila buah-buahan menjadi matang, maka kandungan gulanya meningkat tetapi kandungan asamnya menurun. Akibatnya


(23)

8

kandungan gula dan asam akan mengalami perubahan drastis. Keadaan ini berlaku pada buah–buahan klimakterik, sedangkan pada buah nonklimakterik perubahan tersebut umumnya tidak jelas. Atribut kualitas flavor (kriteria yang dibentuk oleh kombinasi aroma dan rasa) secara kualitatif dapat diukur menggunakan indera penciuman, juga dapat diukur secara kuantitatif dengan beberapa cara lainnya menggunakan berbagai alat ukur (Ahmad, 2013).

Kekerasan Buah

Nilai kekerasan merupakan salah satu indikasi kematangan buah. Makin cepat proses pemasakan maka makin cepat pula proses respirasi, di mana ikatan selulosa pada dinding sel makin cepat mengalami kerusakan dan makin cepat pula komponen dinding sel mengalami perubahan, sehingga buah menjadi cepat lunak (Winarno dan Aman, 1981). Semakin lama buah disimpan akan semakin lunak karena protopektin yang tidak larut diubah menjadi pektin yang larut dalam asam pektat (Winarno dan Wirakartakusumah, 1981). Protopektin adalah bentuk zat pekat yang tidak larut dalam air. Pecahnya protopektin menjadi zat dengan bobot molekul rendah larut dalam air mengakibatkan lemahnya dinding sel dan turunnya kohesi yang mengikat sel satu dengan yang lainnya. Selain itu, melunaknya buah buah selama pematangan juga disebabkan oleh aktivitas enzim poligalakturonase yang menguraikan protopektin dengan komponen utama poligalakturonat menjadi asam galakuronat. (Pantastiko, 1986).

Kekerasan buah pepaya dapat dinyatakan keras apabila buah terasa cukup keras saat ditekan sedikit dengan jari tangan (tidak lunak), meskipun kulit sedikit lemas tetapi tidak keriput. Perubahan kekerasan yang terjadi pada kulit tergantung perubahan fisik pada buah-buahan. Tekstur kulit buah tergantung pada ketegangan, ukuran, keterikatan sel-sel, jaringan penunjang, dan susunan tanamannya. Ketegangan disebabkan oleh tekanan isi sel pada dinding sel dan bergantung pada konsentrasi zat-zat osmotic aktif dalam vakuola, permeabilitas protoplasma, dan elastisitas dinding sel. Terjadinya difusi yang terus-menerus meningkatkan jenjang energi sel dan menyebabkan sel menjadi tegang (Pantasico et al, 1989).

Warna Kulit Buah

Ada beberapa perubahan yang terjadi selama proses pematangan buah-buahan. Perubahan warna kulit buah dari hijau menjadi kuning, jingga atau merah merupakan perubahan yang paling mudah terlihat (Ahmad, 2013). Warna kulit sebagai salah satu indeks mutu pangan sering dipergunakan sebagai parameter untuk menilai mutu fisik produk pertanian. Selain itu warna dapat mempengaruhi daya tarik konsumen terhadap mutu produk. Selama penyimpanan, pepaya akan berpindah menuju nilai warna indeks kematangan yang lebih tinggi serta terus berlangsung sampai ke fase kerusakan. Penyimpanan pada suhu rendah menyebabkan proses fisiologis pepaya mengalami penurunan sehingga perubahan warna dapat dihambat, peningkatan suhu akan menyebabkan pembentukan pigmen sehingga menyebabkan perubahan warna menuju indeks selanjutnya akan semakin cepat (Hasbi et al, 2005).


(24)

Pelilinan

Seperti buah-buahan dan sayuran lainya, pepaya mempunyai selaput lilin alami di permukaan luar yang sebagian hilang oleh pencucian. Oleh karena itu dibutuhkan lapisan lilin yang diharapkan dapat mengantikan selaput lilin pelindung alami buah yang ada umumnya berkurang selama penangan pascapanen. Menurut Pantatico (1989), pelapisan lilin merupakan usaha penundaan kematangan yang bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk hortikultura. Pemberian lapisan lilin ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kehilangan air yang terlalu banyak dari komoditas akibat penguapan sehingga dapat memperlambat kelayuan karena lapisan lilin menutupi sebagian stomata (pori-pori) buah-buahan dan sayur-sayuran, mengatur kebutuhan oksigen untuk respirasi sehingga dapat mengurangi kerusakan buah yang telah dipanen akibat proses respirasi, dan menutupi luka-luka goresan kecil pada buah. Keuntungan lainnya yang diberikan lapisan lilin ini pada buah adalah dapat memberikan penampilan yang lebih menarik karena memberikan kesan mengkilap pada suatu buah.

Lapisan lilin berfungsi sebagai lapisan pelindung terhadap kehilangan air yang terlalu banyak dari komoditas akibat penguapan dan mengatur kebutuhan oksigen untuk respirasi, sehingga dapat mengurangi kerusakan buah yang telah dipanen akibat proses respirasi (Roosmani, 1975). Dengan demikian lapisan lilin dapat menekan respirasi dan transpirasi yang terlalu cepat dari buah-buahan dan sayur-sayuran segar. Transpirasi adalah proses hilangnya air dalam berbagai bentuk dari produk melalui penguapan sebagai akibat dari pengaruh kondisi lingkungan luar. Laju transpirasi pada kebanyakan buah-buahan dan sayuran menjadi penting untuk diperhatikan karena seperti telah dikatakan bahwa kandungan utama atau bagian terbesar dari produk hortikultura segar adalah air, dan kehilangan air dalam jumlah cukup besar berarti pelayuan atau penurunan kesegaran produk, selain penurunan bobot yang seringkali menjadi basis pengukuran kuantitas produk hortikultura (Ahmad, 2013).

Emulsi lilin yang digunakan sebagai bahan pelapisan lilin harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tidak mempengaruhi bau dan rasa yang akan dilapisi, mudah kering dan jika kering tidak lengket, tidak mudah pecah, mengkilap dan licin, tidak menghasilkan permukaan yang tebal, mudah diperoleh, harganya murah, dan yang paling penting tidak bersifat racun (Roosmani, 1975). Pelapisan lilin untuk buah-buahan pada umumnya menggunakan lilin lebah yang dibuat dalam bentuk emulsi lilin dengan konsentrasi 4% sampai dengan 12%. Komposisi dasar emulsi lilin 12% dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi dasar emulsi lilin 12% Bahan Dasar Komposisi Lilin lebah 120 gram Trietanolamin 40 gram Asam oleat 20 gram Air panas 820 gram Sumber : Balai Hortikultura, 2002


(25)

8

Pemberian lapisan lilin dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah pembusaan, penyemprotan, pencelupan, dan pengolesan. Berdasarkan cara pelapisan lilin, cara pelapisan lilin dengan menggunakan metode pencelupan lebih efektif dibandingkan dengan metode pengolesan (Mujiono, 1997).

Pelilinan termasuk ke dalam perlakuan prapengangkutan yang bertujuan untuk mengurangi susut mutu dan kerusakan komoditas pertanian sampai tingkat serendah-rendahnya. Keberhasilan pelapisan lilin untuk buah-buahan dan sayuran tergantung dari ketebalan lapisan lilin. Pelilinan yang terlalu tipis tidak berpengaruh nyata terhadap pengurangan penguapan air. Jika lapisan lilin terlalu tebal dapat menyebabkan kerusakan, bau, dan rasa yang menyimpang akibat udara di dalam sayuran dan buah-buahan terlalu banyak mengandung CO2 dan sedikit O2 (Mujiono, 1997).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai dengan bulan Juli 2013 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lemari pendingin untuk penyimpanan, refraktometer Atago PR-210 untuk mengukur total padatan terlarut daging buah pepaya, rheometer model CR-300 untuk mengukur kekerasan buah pepaya, cosmotector XPO-314, Chromameter

Minolta CR-310 untuk mengukur warna kulit buah pepaya, timbangan digital, termometer, keranjang buah ,dan alat-alat penunjang penelitian lainnya. Pada Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, dan Gambar 13 merupakan tampilan alat-alat yang digunakan selama penelitian.

Bahan utama yang digunakan adalah buah pepaya Callina yang diperoleh dari petani di desa Bojong Hilir, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pepaya Callina yang dipanen adalah pepaya Callina dengan indeks kematangan 10% sebanyak 306 buah. Bahan lilin yang digunakan untuk melapisi buah adalah lilin lebah. Bahan pembuatan emulsi lilin terdiri dari lilin lebah, asam oleat, trietanolamin, serta air tidak sadah.


(26)

Metode Penelitian

Pepaya yang telah dipanen dibersihkan dari kotoran yang menempel dan dilakukan sortasi kematangan dan ukuran. Selanjutnya buah pepaya dilapisi lilin dengan konsentrasi 6% dan 10% dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Emulsi lilin standar dibuat dengan melarutkan 120 gram lilin lebah dalam wadah pada suhu 90-95 oC, lalu ditambahkan 20 ml asam oleat dan 40 ml trietanolamin sambil diaduk sampai seragam. Pembuatan emulsi dilanjutkan dengan mengencerkan campuran tersebut dengan air mendidih (95oC) sampai volume 1000 ml kemudian diaduk dengan mixer selama 15 menit dan hasilnya didinginkan untuk penggunaan selanjutnya (Setyowati dan Budiarti 1992). Untuk pengencerannya, dilakukan penambahan air tidak sadah sesuai dengan perbandingan yang ada kemudian diaduk dengan mixer.


(27)

14

Pelilinan dilakukan dengan metode pencelupan selama 60 detik kemudian ditiriskan dan dibantu dengan kipas angin. Selanjutnya buah pepaya tersebut disimpan pada suhu yang berbeda, yaitu suhu 13 °C dan suhu ruang ber-AC (20-25°C). Penyimpanan dilakukan selama 30 hari untuk kedua perlakuan suhu. Selama penyimpanan dilakukan pengukuran terhadap laju respirasi, susut bobot, kekerasan, warna kulit buah, dan total padatan terlarut. Pengamatan untuk laju respirasi dan susut bobot dilakukan setiap hari. Sedangkan pengamatan untuk kekerasan, warna kulit buah, dan total padatan terlarut dilakukan setiap dua hari sekali yaitu pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20, 22, 24, 26, 28, dan 30 (untuk buah pepaya yang disimpan pada suhu dingin). Uji destruktif buah pepaya pada suhu ruang ber-AC dilakukan pada hari ke-0, 2, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12. Perbedaan hari pengamatan uji destruktif buah pepaya ini karena suhu yang digunakan berpengaruh terhadap tingkat kematangan buah pepaya. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Diagram alir tahapan penelitian

 Laju respirasi

 Susut bobot

 Kekerasan buah

 Total padatan terlarut

 Warna kulit buah

 Uji organoleptik

Pencelupan dalam emulsi lilin lebah

Konsentrasi lilin 6 %

Konsentrasi lilin 10 %

Penirisan dan pengeringan

Penyimpanan dingin (13 0C) dan suhu ruang ber-AC (20-25 0C) Kontrol

Sortasi ukuran dan sortasi mutu

Pembersihan Pepaya


(28)

Pengamatan dan Perubahan Mutu 1. Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi yang dilakukan adalah dengan mengukur konsentrasi O2 dan CO2 buah pepaya selama penyimpanan. Alat yang digunakan

adalah Continous Gas Analyzer tipe IRA – 107 untuk mengukur konsentrasi CO2

dan Portable Oxygen Tester POT-101 untuk mengukur konsentrasi O2.

Pengukuran laju respirasi diukur pada semua perlakuan yaitu buah pepaya kontrol pada suhu 13 0C, konsentrasi lilin 6% pada suhu 13 0C, konsentrasi lilin 10% pada suhu 13 0C, kontrol pada suhu ruang ber-AC, konsentrasi lilin pada suhu ruang ber-AC, dan konsentrasi lilin 10% pada suhu 13 0C. Buah pepaya yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam toples dengan kondisi tertutup rapat di mana pinggiran penutup toples dilapisi malam agar udara tidak bocor. Dalam mengukur laju respirasi harus disesuaikan antara ukuran toples dengan buah yang dimasukkan sehingga laju respirasi dari buah pepaya tersebut dapat diukur. Untuk pemasukkan dan pengeluaran udara saat pengukuran dibuatkan dua saluran selang yang ujung–ujungnya dijepit. Pada saat pengukuran respirasi kedua selang tersebut dihubungkan dengan gas analyzer. Laju produksi gas CO2

dan konsumsi O2 (ml. kg -1. jam-1) dihitung dengan persamaan :

R = Di mana :

R = laju respirasi (ml. kg -1. jam-1) x = konsentrasi gas CO2 atau O2 (%)

t = waktu (jam)

V = volume bebas respiration chamber (ml) W = berat produk (kg)

2. Susut Bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. Susut bobot diukur berdasarkan persentase penurunan bobot bahan sejak awal penyimpanan dingin sampai akhir penyimpanan. Susut bobot diperoleh dengan membandingkan pengurangan bobot awal (bo) dengan bobot penyimpanan hari ke-i (bi) yang dinyatakan dengan persen (%). Pengukuran susut bobot dilakukan setiap hari. Rumus yang digunakan untuk mengukur susut bobot adalah sebagai berikut :

susut bobot (%) = x 100% Di mana :

bo = bobot awal penyimpanan (gram)

bi = bobot bahan pada penyimpanan hari ke-i (gram)

3. Kekerasan Buah

Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap jarum penusuk rheometer. Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan

rheometer model CR-300 yang diset dengan mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penekanan 10 mm, kecepatan penurunan beban 60 mm/menit dan diameter jarum 5 mm. Jika mode pengaturan alat tersebut diubah maka besarnya


(29)

16

kedalaman penekanan dan kecepatan penurunan beban akan berubah. Hal ini menyebabkan besarnya nilai deformasi yang akan diterima oleh suatu produk akan berbeda. Hasil pengukuran yang dikeluarkan oleh alat rheometer model CR-300 adalah besarnya nilai beban gaya yang dapat ditahan oleh suatu produk (kgf). Pengujian dilakukan di tiga titik yaitu pada bagian pangkal, tengah, dan ujung buah. Selama pengujian buah dipegang dengan tangan agar buah tidak bergeser.

4. Total Padatan Terlarut

Pengukuran total padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan

refraktometer digital. Pengukuran dilakukan setiap 2 hari sekali. Buah diletakkan pada prisma refraktometer digital yang sudah distabilkan pada suhu 25 °C kemudian dilanjutkan pembacaan. Sebelum dan sesudah pembacaan, prisma

refraktometer dibersihkan dengan aquadest. Angka refraktometer menunjukkan kadar total padatan terlarut (°Brix).

5. Warna Kulit Buah

Perubahan warna buah pepaya tidak bias dibedakan secara jelas dengan menggunakan mata. Oleh karena itu perlu menggunakan alat bantu yaitu

chromameter untuk memperoleh tingkat intensitas cahaya dengan sistem notasi warna Hunter dalam bentuk 3 parameter yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan [L=0 (hitam) dan L=100 (putih)]. Nilai a terdiri dari a+ yang menunjukkan warna merah dengan nilai 0 hingga 60 dan –a yang menunjukkan warna hijau dengan nilai 0 hingga -60. Nilai b terdiri dari +b yang menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga 60 dan –b yang menunjukkan warna biru dengan nilai 0 hingga -60. Pengukuran dilakukan dengan menempelkan kulit buah pepaya pada alat yang telah dikalibrasi. Seperti pengukuran pada kekerasan, pengukuran warna pun dilakukan pada tiga titik (pangkal, tengah, dan ujung).

Gambar 15 Sistem notasi warna Hunter

6. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan terhadap kesegaran, warna, aroma, kekerasan, dan rasa daging buah selama penyimpanan. Pengujian dilakukan dengan mengambil 10 orang panelis untuk mengetahui sejauh mana konsumen menerima


(30)

perubahan sifat fisik dan kimia buah pepaya selama penyimpanan. Untuk uji organoleptik pada penelitian ini dimulai pada hari ke-4 (untuk pepaya yang disimpan pada suhu 20-25 °C) dan pada hari ke-8 (untuk pepaya yang disimpan pada suhu 13 °C). Tingkat penerimaan ini dinyatakan dalam skala numerik yaitu:

1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka

3 = agak tidak suka 4 = netral

5 = agak suka 6 = suka 7 = sangat suka

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor dan tiga ulangan. Untuk faktor konsentrasi bahan pelapis terdiri dari tiga taraf dan untuk faktor suhu penyimpanan terdiri dari dua taraf. . Faktor yang digunakan yaitu:

L = faktor konsentrasi pelapis

L0 = Pelapis lilin dengan konsentrasi 0 %

L1 = Pelapis lilin dengan konsentrasi 6 %

L2 = Pelapis lilin dengan konsentrasi 10 %

P = faktor suhu penyimpanan

P1 = Perlakuan penyimpanan pada suhu 13 °C

P2 = Perlakuan penyimpanan pada suhu ruang ber-AC (20-25 °C)

Dua faktor tersebut akan menghasilkan dua kombinasi perlakuan, yaitu: L0P1, L0P2, L1P1, L1P2, L2P1, dan L2P2.

Sehingga dapat diperoleh model matematis dari rancangan percobaan tersebut, yaitu :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Keterangan :

Yijk = Respon setiap parameter yang diamati µ = Nilai rata-rata umum

αi = Pengaruh utama faktor bahan pelapis

βj = Pengaruh utama faktor suhu penyimpanan

(αβ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan bahan pelapis dan suhu penyimpanan

εijk = Pengaruh acak yang menyebar normal

Data diperoleh dari pengukuran laju respirasi, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, warna kulit buah dan uji organoleptik. Untuk melihat taraf perlakuan yang berbeda, dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan penelitian ini adalah menentukan umur simpan buah pepaya Callina serta mengkaji perubahan parameter mutu buah pepaya selama


(31)

18

penyimpanan, diantaranya yaitu laju respirasi, susut bobot, total padatan terlarut (TPT), kekerasan buah, dan warna kulit buah setelah diberikan perlakuan pelilinan. Buah pepaya selama penyimpanan pada suhu 13 °C dapat dilihat pada Lampiran 16, Lampiran 17, dan Lampiran 18 sedangkan buah pepaya selama penyimpanan pada suhu ruang ber-AC dapat dilihat pada Lampiran 19, Lampiran 20, dan Lampiran 21.

1. Laju Respirasi

Laju respirasi merupakan petunjuk terhadap kemampuan daya simpan suatu komoditi, yang ditunjukkan oleh besarnya laju konsumsi O2 dan produksi

CO2. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme.

Oleh karena itu, laju respirasi sering dianggap sebagai petunjuk potensi daya simpan buah. Untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang daya simpan adalah dengan menekan laju respirasi serendah mungkin. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai oleh umur simpan yang pendek (Pantastico, 1986). Laju respirasi sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Di mana semakin rendah suhu penyimpanan maka laju respirasi akan semakin rendah.

Buah pepaya termasuk klimakterik karena ditandai dengan peningkatan CO2 secara mendadak selama pematangan. Buah klimakterik menghasilkan lebih

banyak etilen pada saat matang serta lebih seragam tingkat kematangannya pada saat pemberian etilen (Febrianto, 2009). Awal respirasi klimakterik diawali pada fase pematangan bersamaan dengan pertumbuhan buah sampai konstan. Biasanya laju kerusakan komoditi pascapanen berbanding lurus dengan laju respirasinya, walaupun tidak selalu terdapat hubungan yang konsisten antara kapasitas etilen yang dihasilkannya dengan kemampuan rusaknya suatu komoditi (Syarief dan Irawati, 1988).

Laju Produksi CO2

Hasil pengukuran perubahan laju produksi CO2 selama penyimpanan dapat

dilihat pada Gambar 16. Penghambatan terhadap laju respirasi berbanding lurus dengan konsentrasi lapisan yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi bahan pelapis maka akan semakin menghambat laju repirasi. Semakin tinggi konsentrasi bahan pelapis maka semakin tebal lapisan yang berbentuk. Apabila konsentrasi bahan pelapis yang digunakan terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya respirasi anaerobik yang akan menyebabkan kerusakan pada buah (Waryat dan Maulida, 1990).

Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa pada masing-masing perlakuan terjadi perubahan laju produksi CO2 dengan cepat, terutama buah pepaya yang

disimpan pada suhu ruang ber-AC. Berdasarkan hasil pengukuran secara keseluruhan, nilai perubahan laju produksi CO2 tertinggi yaitu pada buah pepaya

yang disimpan di suhu ruang ber-AC sebesar 34.11 ml.kg-1jam-1. Sedangkan pada suhu 13 °C menghasilkan nilai laju produksi CO2 sebesar 22.22 ml. kg1jam1. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Winarno dan Fardiaz (1981), pada suhu dingin aktivitas respirasi menurun dan pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dapat dihambat.

Pada Gambar 16 dapat dilihat meskipun menghasilkan laju produksi CO2

yang tinggi, buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10% pada suhu 13 °C mempunyai umur simpan yang lebih lama bila dibandingkan dengan konsetrasi


(32)

lilin lebah 0% dan 6% pada suhu yang sama. Hal ini terjadi karena ketebalan lapisan lilin yaitu lapisan lilin dengan konsentrasi 10% mampu menghambat proses transpirasi buah pepaya yang merupakan faktor dominan dalam penurunan susut bobot.

Gambar 16 Laju produksi CO2 buah pepaya selama penyimpanan

Persamaan garis yang dibentuk oleh titik-titik pengukuran laju respirasi CO2 menunjukkan pola perubahan laju produksi CO2 selama periode simpan.

Berdasarkan nilai R2 model matematik dalam bentuk persamaan linier yang dianggap mendekati kondisi nyata adalah pada perlakuan lilin 10% pada suhu 13 °C dan lilin 6 % pada suhu 20-25 °C. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk laju produksi CO2 terdapat pada Lampiran 1. Untuk uji lanjut Duncan pada

laju produksi CO2 menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan

berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-0, 1, 9, 10, 11, dan 12. Di mana konsentrasi pelilinan 0% (kontrol) berbeda nyata dengan konsentrasi pelilinan 6% dan 10%. Sedangkan suhu yang digunakan berpengaruh nyata terhadap laju produksi CO2 (p≤0.05) pada hari ke-0 sampai hari ke-12. Di mana suhu 13 °C

berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata laju produksi CO2

tertinggi yaitu pada suhu ruang ber-AC.

Laju Konsumsi O2

Semakin lama penyimpanan buah pepaya maka akan semakin banyak pula cendawan yang tumbuh. Tingkat kematangan buah pepaya dan semakin banyaknya cendawan akan menambah laju perubahan konsumsi O2. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Putra (2011) yang menyatakan bahwa buah klimakterik menunjukkan peningkatan yang besar dalam laju konsumsi O2 bersamaan dengan

waktu pemasakan. Perubahan nilai laju konsumsi O2 dapat dilihat pada Gambar

17.

Berdasarkan hasil pengukuran secara keseluruhan, nilai perubahan laju konsumsi O2 tertinggi yaitu pada buah pepaya yang disimpan di suhu ruang


(33)

ber-20

AC sebesar 33.3 ml. kg -1jam-1. Sedangkan pada suhu 13 °C menghasilkan nilai laju konsumsi O2 sebesar 17.48 ml. kg -1jam-1. Untuk buah pepaya kontrol baik

pada suhu rung ber-AC dan suhu 13 °C menghasilkan nilai laju konsumsi O2 yang

tinggikarena buah pepaya yang tidak diberi lapisan lilin akan cepat melakukan proses respirasi dan transpirasi. Berdasarkan dari hasil pengukuran, pelilinan dengan konsentrasi 10% pada suhu ruang ber-AC dapat menghambat laju konsumsi O2 hingga hari ke-12. Sedangkan pada suhu 13 °C, buah pepaya dengan

pelilinan 10% dapat menghambat laju konsumsi O2 hingga hari ke-26.

Penurunan laju konsumsi O2 diikuti dengan penurunan laju produksi CO2

semakin tinggi kadar O2 disekitar lingkungan maka laju produksi CO2 akan tinggi

begitu juga sebaliknya. Laju respirasi produk segar biasanya meningkat sesuai dengan konsentrasi O2 dan menurun sesuai dengan konsentrasi CO2 (Pantastico,

1986). Dalam memenuhi kebutuhan O2 untuk proses respirasi, maka energi yang

digunakan diperoleh di jaringan bahan simpan yaitu energi hasil perombakan gula menjadi pati yang kemudian dapat digunakan sebagai energi untuk melangsungkan proses respirasi. Hal ini mengakibatkan kerusakan dan penurunan mutu buah yang disimpan (Irmayanti, 2012).

Gambar 17 Laju konsumsi O2 buah pepaya selama penyimpanan

Persamaan garis yang dibentuk oleh titik-titik pengukuran laju respirasi O2

menunjukkan pola perubahan laju konsumsi O2 selama periode simpan.

Berdasarkan nilai R2 model matematik dalam bentuk persamaan linier yang dianggap mendekati kondisi nyata adalah pada perlakuan kontrol dan lilin 6 % pada suhu 20-25 °C. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk laju konsumsi O2 terdapat pada Lampiran 2. Untuk uji lanjut Duncan pada laju

konsumsi O2 menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan berpengaruh

nyata (p≤0.05) pada hari ke-0, 1, 2, 3, 10, 11, 12 dan 13. Di mana konsentrasi pelilinan 0% berbeda nyata dengan konsentrasi pelilinan 6% dan 10%. Sedangkan suhu yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-0 sampai hari ke-12. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata laju konsumsi O2 tertinggi yaitu pada suhu ruang ber-AC.


(34)

2. Susut Bobot

Susut bobot terjadi karena selama proses penyimpanan menuju pemasakan terjadi perubahan fisikokimia berupa pelepasan air. Susut bobot buah dipengaruhi oleh respirasi dan transpirasi (Mahmudah, 2008). Semakin tinggi laju respirasi dan transpirasi maka susut bobot buah akan semakin cepat. Susut buah juga dapat disebabkan oleh penguraian glukosa buah menjadi karbondioksida dan air. Gas yang dihasilkan dapat menguap dan menyebabkan terjadinya susut bobot, sehingga buah terlihat tidak segar lagi, berubah warna, berubah rasa, kandungan nutrisi berkurang, hingga terjadi pembusukkan (Roosmani, 1975). Dari hasil pengamatan diperoleh persentase susut bobot mengalami peningkatan selama penyimpanan pada masing-masing perlakuan baik buah pepaya kontrol maupun buah pepaya yang dilapisi lilin.

Grafik persentase susut bobot buah pepaya selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 18. Selama penyimpanan, susut bobot pada buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10% (baik pada suhu ruang ber-AC maupun suhu 13 °C) menghasilkan persentase susut bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan pepaya dengan konsentrasi 0% dan 6%. Dari Gambar 18 dapat dilihat bahwa persentase susut bobot tertinggi yaitu buah pepaya kontrol yang disimpan pada suhu ruang ber-AC, sedangkan persentase susut bobot terendah yaitu buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10% yang disimpan pada suhu 13 °C. Hal ini terjadi karena buah pepaya yang tidak diberi lapisan lilin, pori-pori kulit buah terbuka sehingga jumlah air yang hilang lebih banyak. Sedangkan untuk buah pepaya yang diberi lapisan lilin akan menutup pori-pori kulit buah sehingga jumlah air yang hilang dalam proses transpirasi lebih sedikit.

Transpirasi merupakan faktor dominan penyebab susut bobot yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu suhu dan kelembaban. Menurut Kader (1992), kehilangan air ini tidak saja berpengaruh langsung terhadap kehilangan kuantitatif (susut bobot), tetapi juga menyebabkan kerusakan tekstur (kelunakan, kelembekan), kerusakan kandungan gizi, dan kerusakan lain (kelayuan, pengerutan).


(35)

22

Persamaan garis yang dibentuk oleh titik-titik pengukuran susut bobot menunjukkan pola perubahan susut bobot buah pepaya selama periode simpan. Berdasarkan nilai R2 model matematik dalam bentuk persamaan linier, semua perlakuan baik pada suhu 13 °C maupun pada suhu 20-25 °C mampu menggambarkan kondisi nyata karena nilai R2 lebih besar dari 0.9. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk susut bobotterdapat pada Lampiran 3. Untuk uji lanjut Duncan pada susut bobot menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 13, 14, 15, dan 16. Di mana konsentrasi pelilinan 0% berbeda nyata dengan konsentrasi pelilinan 6% dan 10%. Sedangkan suhu yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-0 sampai hari ke-12. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata susut bobottertinggi yaitu pada suhu ruang ber-AC.

3. Kekerasan Buah

Nilai kekerasan merupakan salah satu faktor perubahan fisik yang menunjukkan tingkat kematangan buah. Menurut Sjaifullah dan Setyadjit (1993) kadar gula berkolerasi dengan pelunakan tekstur selama pemasakan, semakin tinggi kadar gula maka buah akan semakin lunak. Berdasarkan hasil penelitian (dapat dilihat pada Gambar 19) bahwa nilai kekerasan buah pepaya selama penyimpanan pada suhu dingin lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kekerasan buah pepaya pada suhu ruang ber-AC. Nilai kekerasan paling rendah pada suhu 13 °C adalah 1.82 kgf sedangkan nilai kekerasan paling rendah pada suhu ruang ber-AC adalah 0.71 kgf.

Semakin lama penyimpanan, maka nilai kekerasan buah akan semakin menurun. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 19 bahwa kekerasan buah pepaya semakin menurun. Akan tetapi terdapat nilai kekerasan buah pepaya yang mengalami kenaikan selama penyimpanan. Seperti pada buah pepaya yang dilapisi lilin dengan konsentrasi 10% pada suhu 13 °C nilai kekerasannya mengalami kenaikan pada hari ke-18.

Kekerasan buah pepaya pada ruang ber-AC yaitu buah pepaya kontrol, diikuti dengan buah pepaya yang diberi lapisan lilin 6% dan lilin 10%. Namun untuk buah pepaya kontrol pada suhu 13 °C nilai kekerasannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan buah pepaya yang diberi lapisan lilin. Hal ini disebabkan oleh kulit buah pepaya mengalami pengeriputan kulit lebih cepat sehingga terjadi peningkatan nilai kekerasan. Menurut Pantastico (1989), peningkatan dan penurunan nilai kekerasan berhubungan dengan penguapan air. Tingkat kekerasan bergantung pada tebalnya kulit luar, kandungan total zat padatan terlarut dan kandungan pati yang terdapat pada bahan.


(36)

Gambar 19 Perubahan kekerasan buah pepaya selama penyimpanan

Persamaan garis yang dibentuk oleh titik-titik pengukuran kekerasan menunjukkan pola perubahan kekerasan buah pepaya selama periode simpan. Berdasarkan nilai R2 model matematik dalam bentuk persamaan linier yang dianggap mendekati kondisi nyata adalah pada perlakuan lilin 6% pada suhu 13 °C dan lilin 6 % pada suhu 20-25 °C. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk susut bobot terdapat pada Lampiran 4. Untuk uji lanjut Duncan pada kekerasan menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-7, 8, 10, dan 12. Sedangkan suhu yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-4, 6, 8, 10, dan 12. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata kekerasan tertinggi yaitu pada suhu 13 °C.

4. Total Padatan Terlarut

Total padatan terlarut (TPT) cenderung menurun seiring dengan penuaan buah. TPT pada dasarnya menggambarkan gula secara keseluruhan (gula total) (Santosa, 2007). TPT yang terkandung dalam buah akan lebih cepat meningkat ketika buah mengalami kematangan dan akan terus menurun seiring dengan lama penyimpanan buah. Proses pematangan dan pembusukan akan menyebabkan kandungan kandungan karbohidrat dan gula berubah. Berdasarkan data yang didapat pada pengamatan, kandungan TPT buah pepaya selama penyimpanan pada umumnya mengalami perubahan yang fluktuatif karena sampel yang digunakan untuk setiap pengamatan tidak berasal dari buah pepaya yang sama.

Pada awal penyimpanan, nilai TPT buah pepaya berkisar antara 7.7-10,3 °Brix. Kandungan TPT tertinggi pada pengamatan buah pepaya ini adalah 11.5 °Brix. Dapat dilihat pada Gambar 20 bahwa nilai TPT yang didapat fluktuatif. Berdasarkan data yang diperoleh pada pengamatan buah pepaya ini, pemberian konsentrasi lilin dan suhu penyimpanan tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan nilai TPT. Santosa (2007) mengatakan bahwa selama berlangsungnya


(37)

24

pematangan buah akan terjadi hidrolisis pati menjadi gula dengan demikian terjadi akumulasi gula. Kemudian seiring dengan dengan pematangan buah kadar TPT akan menurun, disebabkan oleh pemecahan gula selama respirasi berlangsung sehingga terjadi penurunan gula.

Gambar 20 Perubahan total padatan terlarut (TPT) buah pepaya selama penyimpanan

Persamaan garis yang dibentuk oleh titik-titik pengukuran total padatan terlarut menunjukkan pola perubahan total padatan terlarut buah pepaya selama periode simpan. Berdasarkan nilai R2, pola perubahan nilai TPT buah pepaya selama penyimpanan tidak termasuk dalam kondisi nyata. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk TPT terdapat pada Lampiran 5. Untuk uji lanjut Duncan pada TPTmenunjukkan bahwa konsentrasi lilin dan suhu yang digunakan tidak berpengaruh nyata. Hal ini berarti pemberian lapisan lilin dengan konsentrasi dan suhu yang berbeda tidak mempengaruhi TPT buah pepaya.

5. Warna Kulit Buah

Nilai L, a*, dan b* yang semakin meningkat pada buah pepaya menunjukkan adanya proses pemasakan buah pepaya yang ditandai dengan perubahan warna kulit buah pepaya dari hijau menjadi kuning. Menurut Winarno dan Aman (1981) pada tahap pemasakan pigmen klorofil terdegradasi sehingga warna hijau akan pudar dan muncul warna kuning sebagai hasil dari pigmen karotenoid.

Kecerahan Warna (L)

Pada awal penyimpanan, rata-rata nilai L buah pepaya berkisar antara 54-57. Pada awal penyimpanan nilai L pada buah pepaya semakin meningkat. Meningkatnya nilai L pada buah pepaya menunjukkan adanya proses pematangan buah pepaya yang ditandai dengan perubahan warna kulit buah pepaya dari hijau menjadi kuning. Nilai L buah pepaya kontrol di suhu ruang ber-AC mulai mengalami penurunan pada hari ke-4. Kemudian nilai L buah pepaya yang diberi lapisan lilin 6% mulai mengalami penurunan pada hari ke-6 dan buah pepaya


(38)

yang diberi lapisan lilin 10% mulai mengalami penurunan pada hari ke-10. Perubahan nilai L yang semakin turun disebabkan oleh warna kulit buah menjadi kusam, menghitam, dan banyak tumbuh cendawan.

Nilai L pada buah pepaya di suhu 13 °C menghasilkan nilai kecerahan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan buah pepaya yang disimpan disuhu ruang ber-AC. Hal ini terjadi karena suhu dingin mampu menghambat perubahan kecerahan warna kulit buah pepaya. Pada suhu dingin (13 °C) nilai L semakin meningkat hingga hari terakhir penyimpanan. Dapat dilihat pada Gambar 21 nilai L pada buah pepaya kontrol semakin meningkat hingga hari ke-16. Kemudian nilai L untuk buah pepaya yang diberi lapisan lilin 6% meningkat hingga hari ke-22. Nilai L pada buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% tingkat kecerahannya terus meningkat sedangkan yang diberi lapisan lilin kecerahannya menurun pada hari ke-18. Hal ini disebabkan warna kulit berubah menghitam dan semakin kusam.

Gambar 21 Perubahan nilai kecerahan (L) buah pepaya selama penyimpanan Persamaan garis yang dibentuk oleh titik-titik pengukuran notasi L menunjukkan pola perubahan tingkat kecerahan buah pepaya selama periode simpan. Berdasarkan nilai R2 model matematik dalam bentuk persamaan linier yang dianggap mendekati kondisi nyata adalah pada perlakuan lilin 6% pada suhu 13 °C. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk kecerahan kulit buah terdapat pada Lampiran 6. Untuk uji lanjut Duncan pada nilai L menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke -2, 4, dan 10. Di mana konsentrasi pelilinan 0% berbeda nyata dengan konsentrasi pelilinan 6% dan 10%. Sedangkan suhu yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-2, 4, 6, 8, 10, dan 12. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata tingkat kecerahantertinggi yaitu pada suhu ruang ber-AC.

Komponen Warna Merah-Hijau (a*)

Nilai a* selama penyimpanan untuk semua perlakuan cenderung meningkat. Peningkatan nilai a* pada buah pepaya menunjukkan bahwa warna


(39)

26

merah pada kulit buah pepaya semakin bertambah. Seperti hasil pengamatan pada Gambar 22 bahwa nilai a* semakin lama semakin meningkat. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa buah pepaya yang diberi konsentrasi lilin 10% di suhu ruang ber-AC mampu mempertahankan warna merah. Sedangkan pada suhu dingin, buah pepaya yang diberi lapisan lilin 6% menghasilkan nilai a* paling rendah dibandingkan dengan buah pepaya kontrol dan yang diberi lapisan lilin 10% pada suhu yang sama. Hal ini membuktikan bahwa suhu rendah dapat menekan perubahan warna kulit buah.

Gambar 22 Perubahan nilai komponen warna merah-hijau (a*) buah pepaya selama penyimpanan

Persamaan garis yang dibentuk oleh titik-titik pengukuran notasi a* menunjukkan pola perubahan warna merah buah pepayaselama periode simpan. Berdasarkan nilai R2 model matematik dalam bentuk persamaan linier yang dianggap mendekati kondisi nyata adalah pada perlakuan kontrol pada suhu 13 °C serta kontrol dan lilin 6 % pada suhu 20-25 °C. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk nilai a* terdapat pada Lampiran 7. Untuk uji lanjut Duncan pada nilai a* menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-2, 8, 10, dan 12. Sedangkan suhu yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-2, 4, 6, 8, 10, dan 12. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata tingkat perubahan nilai a* tertinggi yaitu pada suhu ruang ber-AC.

Komponen Warna Kuning-Biru (b*)

Pada Gambar 23 memperlihatkan perubahan nilai komponen warna kuning-biru (b*) kulit buah pepaya. Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 23 bahwa nilai b* untuk semua perlakuan cenderung meningkat. Untuk buah pepaya yang disimpan di suhu ruang ber-AC menghasilkan nilai b* yang lebih tinggi bila dibandingkan buah pepaya yang disimpan di suhu 13 °C. Nilai b* tertinggi pada suhu ruang mencapai angka 51


(40)

sedangkan nilai b* tertinggi pada suhu 13 °C hanya mencapai 46. Buah pepaya kontrol pada suhu 13 °C menghasilkan nilai b* yang rendah. Nilai b* yang rendah menunjukkan bahwa warna kulit buah pepaya berwarna kuning pekat sampai menghitam.

Gambar 23 Perubahan nilai komponen warna kuning-biru (b*) buah pepaya selama penyimpanan

Persamaan garis yang dibentuk oleh titik-titik pengukuran notasi b* menunjukkan pola perubahan warna kuning buah pepayaselama periode simpan. Berdasarkan nilai R2 model matematik dalam bentuk persamaan linier yang dianggap mendekati kondisi nyata adalah pada perlakuan lilin 10 % pada suhu 20-25 °C. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk nilai b* terdapat pada Lampiran 8. Untuk uji lanjut Duncan pada nilai b* menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-8, 10, dan 16. Di mana konsentrasi pelilinan 0% berbeda nyata dengan konsentrasi pelilinan 6% dan 10%. Sedangkan suhu yang digunakan berpengaruh nyata (p≤0.05) pada hari ke-2, 4, 6, 8, 10, dan 12. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata tingkat perubahan nilai b* tertinggi yaitu pada suhu ruang ber-AC.

Pada Gambar 24 sampai Gambar 29 terdapat grafik perubahan nilai warna buah pepaya Callina selama penyimpanan berdasarkan sistem notasi warna Hunter.


(41)

28

Gambar 24 Perubahan warna pada kulit pepaya kontrol pada suhu 13 °C berdasarkan sistem notasi warna Hunter setelah 16 hari penyimpanan

Gambar 25 Perubahan warna pada kulit pepaya yang diberi lapisan lilin dengan konsentrasi 6 % pada suhu 13 °C berdasarkan sistem notasi warna Hunter setelah

22 hari penyimpanan

Gambar 26 Perubahan warna pada kulit pepaya yang diberi lapisan lilin konsentrasi 10 % pada suhu 13 °C berdasarkan sistem notasi warna Hunter setelah


(42)

Gambar 27 Perubahan warna pada kulit pepaya kontrol pada suhu ruang ber-AC berdasarkan sistem notasi warna Hunter setelah 7 hari penyimpanan

Gambar 28 Perubahan warna pada kulit pepaya yang diberi lapisan lilin konsentrasi 6 % pada suhu ruang ber-AC berdasarkan sistem notasi warna Hunter

setelah 9 hari penyimpanan

Gambar 29 Perubahan warna pada kulit pepaya yang diberi lapisan lilin konsentrasi 10 % pada suhu ruang ber-AC berdasarkan sistem notasi warna


(43)

30

6. Uji Organoleptik

Uji organoleptik akan sangat berfariasi hasilnya karena setiap orang mempunyai kepekaan indra yang berbeda-beda terutama jika panelisnya tidak terlatih khusus untuk keperluan ini (Winarno dalam Erlangga, 1973). Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji organoleptik warna, aroma, kekerasan, rasa, dan total organoleptik (organoleptik keseluruhan). Uji organoleptik untuk buah pepaya yang disimpan pada suhu 13°C dilakukan mulai hari ke-8 dan uji organoleptik untuk buah pepaya yang disimpan pada suhu ruang ber-AC dilakukan mulai hari ke-4. Perbedaan pengambilan data uji organoleptik tersebut karena suhu yang digunakan berpengaruh terhadap tingkat kematangan buah pepaya.

a. Warna Kulit Buah

Warna kulit buah merupakan faktor yang mempengaruhi konsumen untuk membeli buah. Warna meningkatkan daya tarik dari produk itu sendiri. Bila warna suatu produk kurang cocok dengan selera atau menyimpang dari warna normal, maka produk tersebut tidak akan dipilih konsumen, meskipun faktor lainnya normal. Oleh karena itu warna kulit buah pepaya penting untuk diuji nilai organoleptiknya. Warna kulit buah disukai oleh panelis seiring dengan proses pematangan buah. Nilai organoleptik warna kulit buah pepaya berfluktuaktif untuk setiap perlakuan yang diberikan pada buah pepaya. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna buah pepaya selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 30.

Buah pepaya kontrol pada suhu ruang ber-AC masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-6 dan pada penyimpanan hari ke-7 warna kulit buah pepaya sudah berada dibawah batas penerimaan panelis. Untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% berada dibawah batas penerimaan pada hari ke-9 sedangkan buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10% berada dibawah batas penerimaan pada hari ke-12. Penerimaan panelis untuk warna kulit buah pepaya kontrol pada suhu 13 °C berada dibawah batas penerimaan pada hari ke-16. Untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-20 sedangkan buah pepaya dengan konsentrasi 10 % masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-24.

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk organoleptik warna kulit buah terdapat pada Lampiran 9. Untuk uji lanjut Duncan pada warna kulit buah menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan mulai memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-7, 9, 18 dan 22. Di mana konsentrasi pelilinan 0% berbeda nyata dengan konsentrasi pelilinan 6% dan 10%. Sedangkan suhu yang digunakan memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-8, 10, dan 12. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata tingkat penerimaan warna kulit buah tertinggi yaitu pada suhu 13 °C.


(44)

Gambar 30 Organoleptik warna kulit buah pepaya pada suhu 13 °C dan suhu ruang ber-AC

b. Aroma

Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma buah pepaya berbeda-beda. Nilai organoleptik aroma buah pepaya berfluktuaktif untuk setiap perlakuan yang diberikan pada buah pepaya. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma buah pepaya selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 31.

Buah pepaya kontrol pada suhu ruang ber-AC masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-6. Untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-9 dan untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10 % masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-12. Penerimaan panelis untuk warna kulit buah pepaya kontrol pada suhu 13 °C masih dapat diterima oleh panelis hari ke-16. Untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-22 sedangkan buah pepaya dengan konsentrasi 10 % masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-26. Aroma untuk buah pepaya yang disimpan pada suhu 13 °C menghasilkan nilai organoleptik yang tinggi. Hal ini dikarenakan suhu dingin dapat menekan tingkat kematangan sehingga aroma buah masih disukai panelis sampai akhir penyimpanan.


(45)

32

Gambar 31 Organoleptik aroma buah pepaya pada suhu 13 0C dan suhu ruang ber-AC

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk organoleptik aroma buah terdapat pada Lampiran 10. Untuk uji lanjut Duncan pada organoleptik aroma buah menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan mulai memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-7, 9, dan 16. Sedangkan suhu yang digunakan memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-8 dan 10. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata tingkat penerimaan aroma buah tertinggi yaitu pada suhu 13 °C.

c. Kekerasan Buah

Kekerasan buah dapat menjadi salah satu daya tarik buah belimbing agar disukai konsumen. Nilai organoleptik kekerasan buah pepaya berfluktuaktif untuk setiap perlakuan yang diberikan pada buah pepaya. Tingkat kesukaan panelis terhadap kekerasan buah pepaya selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 32.

Buah pepaya kontrol pada suhu ruang ber-AC masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-6 dan pada penyimpanan hari ke-7 kekerasan buah pepaya sudah berada dibawah batas penerimaan panelis. Untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% masih dapat diterima oleh panelis hingga hari ke-9 dan buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10 % masih dapat diterima oleh panelis hingga hari ke-12. Penerimaan panelis untuk warna kulit buah pepaya kontrol pada suhu 13 °C masih dapat diterima hingga hari ke-16. Untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-22 sedangkan buah pepaya dengan konsentrasi 10 % masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-26. Kekerasan untuk buah pepaya yang disimpan pada suhu 13 °C menghasilkan nilai organoleptik yang tinggi. Hal ini dikarenakan suhu dingin dapat menekan tingkat kematangan sehingga kekerasan buah masih disukai panelis sampai akhir penyimpanan.


(46)

Gambar 32 Organoleptik kekerasan buah pepaya pada suhu 13 0C dan suhu ruang ber-AC

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk organoleptik kekerasan buah terdapat pada Lampiran 11. Untuk uji lanjut Duncan pada organoleptik kekerasan buah menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan mulai memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-7, 9, dan 16. Di mana konsentrasi pelilinan 0% berbeda nyata dengan konsentrasi pelilinan 6% dan 10%. Sedangkan suhu yang digunakan memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-8 dan 10. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata tingkat penerimaan kekerasan buah tertinggi yaitu pada suhu 13 °C.

d. Rasa

Rasa merupakan salah satu parameter yang sangat berpengaruh pada tingkat kesukaan panelis ketika mengkonsumsi buah. Buah pepaya yang matang dan memiliki rasa manis sangat disukai oleh kebanyakan konsumen. Pada umumnya tingkat uji organoleptik rasa buah menunjukkan nilai yang berbeda-beda untuk setiap

perlakuan selama penyimpanan. Nilai organoleptik rasa buah pepaya berfluktuaktif

untuk setiap perlakuan yang diberikan pada buah pepaya. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna buah pepaya selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 33.

Buah pepaya kontrol pada suhu ruang ber-AC masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-6 dan pada penyimpanan hari ke-7 rasa buah pepaya sudah berada dibawah batas penerimaan panelis. Untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% masih dapat diterima panelis hingga hari ke-9 sedangkan buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10% masih dapat diterima oleh panelis hingga hari ke-12. Untuk buah pepaya pada suhu 13 °C memiliki nilai organoleptik rasa yang tinggi. Meskipun dalam uji warna sudah berada dibatas penerimaan panelis, namun untuk uji organoleptik rasa buah masih dapat diterima oleh panelis. Untuk kontrol pada suhu 13 °C masih dapat diterima hingga hari ke-16. Buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-22


(47)

34

sedangkan buah pepaya dengan konsentrasi 10 % masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-26.

Gambar 33 Organoleptik rasa buah pepaya pada suhu 13 °C dan suhu ruang ber-AC

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk organoleptik rasa buah terdapat pada Lampiran 11. Untuk uji lanjut Duncan pada organoleptik rasa buah menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan mulai memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-7, 16, dan 22. Di mana konsentrasi pelilinan 0% berbeda nyata dengan konsentrasi pelilinan 6% dan 10%. Sedangkan suhu yang digunakan memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-8 dan 10. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata tingkat penerimaan rasa buah tertinggi yaitu pada suhu 13 °C.

e. Keseluruhan

Tingkat kesukaan panelis terhadap nilai keseluruhan buah pepaya selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 34. Buah pepaya kontrol pada suhu ruang ber-AC berada dibawah penerimaan panelis pada hari ke-7. Untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% berada dibawah batas penerimaan pada hari ke-9 sedangkan buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10% berada dibawah batas penerimaan pada hari ke-12. Tingkat penerimaan keseluruh tertinggi pada suhu ruang ber-AC adalah buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10%. Penerimaan panelis untuk nilai keseluruhan buah pepaya kontrol pada suhu 13 °C mulai meningkat pada hari ke-12 dan nilai keseluruhan tersebut berada dibawah batas penerimaan pada hari ke-16. Nilai organolepik keseluruhan tertinggi untuk buah pepaya dengan konsentrasi lilin 6% dan 10% yaitu pada hari ke-18. Hal ini terjadi karena buah pepaya mencapai tingkat kematangan pada hari ke-18 yang mengakibatkan panelis memberikan nilai yang tinggi. Setelah hari ke-18 nilai organoleptik keseluruhan yang diberikan oleh panelis cenderung menurun.


(48)

Gambar 34 Organoleptik keseluruhan buah pepaya pada suhu 13 0C dan suhu ruang ber-AC

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk organoleptik keseluruhan buah terdapat pada Lampiran 11. Untuk uji lanjut Duncan pada organoleptik keseluruhan buah menunjukkan bahwa konsentrasi lilin yang digunakan mulai memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-4, 6, 7, 9, 12, 14, 16, 20, dan 22. Sedangkan suhu yang digunakan memberikan pengaruh terhadap penerimaan panelis pada hari ke-8, 10, dan 12. Di mana suhu 13 °C berbeda nyata dengan suhu ruang ber-AC dengan rata-rata tingkat penerimaan keseluruhan tertinggi yaitu pada suhu 13 °C.

Pada Tabel 4 terdapat hasil dari data gabungan uji organoleptik, di mana data tersebut merupakan hasil rata-rata dari keseluruhan uji organoleptik (uji organoleptik warna, aroma,kekerasan, rasa, dan organoleptik keseluruhan). Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa data gabungan hasil organoleptik yang paling rendah adalah buah pepaya kontrol di suhu ruang ber-AC. Pada suhu ruang, buah pepaya dengan konsentrasi lilin 10% menghasilkan data gabungan tertinggi pada suhu ruang. Namun, data gabungan uji organoleptik tertinggi untuk di suhu dingin adalah buah pepaya yang diberi lapisan lilin 6%. Dari data gabungan hasil uji organoleptik dapat ditarik kesimpulan bahwa buah pepaya yang diberi lapisan lilin 6% merupakan perlakuan terbaik. Hal ini dapat dilihat pada hari ke-18 buah pepaya yang diberi lapisan lilin 6% menghasilkan nilai gabungan uji organoleptik tertinggi.


(49)

36

Tabel 4. Data gabungan pembobotan uji organoleptik

Hari Suhu 13 0C Suhu ruang ber-AC

Pengamatan Kontrol

Lilin 6%

Lilin

10% Kontrol

Lilin 6%

Lilin 10%

4 − − − 5.86 5.70 5.26

5 − − − − − −

6 − − − 5.40 5.62 5.34

7 − − − 2.68 5.08 5.22

8 4.86 4.70 4.66 − 5.34 5.64

9 − − − − 4.46 5.68

10 5.06 4.74 4.68 − − 5.86

11 − − − − − 5.16

12 5.18 4.94 4.80 − − 4.32

13 − − − − − −

14 5.16 5.34 5.16 − − −

15 − − − − − −

16 4.50 5.94 5.84 − − −

17 − − − − − −

18 − 6.02 5.88 − − −

19 − − − − − −

20 − 5.28 5.70 − − −

21 − − − − − −

22 − 4.62 5.70 − − −

23 − − − − − −

24 − − 5.46 − − −

25 − − − − − −

26 − − 4.74 − − −

Apabila dilihar dari Tabel 4, besar pembobotan untuk buah pepaya yang disimpan pada suhu 13 °C memiliki nilai bobot yang meningkat dan akan menurun kembali setelah terjadi puncak pematangan buah karena suhu dapat mempertahankan mutu buah sehingga besar pembobotan mengalami peningkatan. Sedangkan untuk pembobotan buah pepaya yang disimpan pada suhu ruang ber-AC menghasilkan besar bobot yang relatif menurun karena suhu ruang tidak dapat mempertahankan mutu buah sehingga besar pembobotan relative menurun.

Parameter Mutu Kritis

Parameter mutu kritis merupakan penurunan mutu yang paling cepat selama penyimpanan. Pada buah pepaya, warna kulit buah termasuk dalam parameter mutu kritis. Semakin cepat proses pemasakan maka ikatan selulosa pada dinding sel makin cepat mengalami kerusakan dan makin cepat pula dinding sel mengalami perubahan sehingga buah menjadi cepat lunak (Winarno dan Aman, 1991). Setelah mencapai puncak kematangan buah, maka nilai warna kulit buah akan menurun. Warna kulit buah merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi konsumen untuk membeli buah, karena warna kulit dapat


(1)

63

Lampiran 18 Gambar pepaya Callina dengan konsentrasi lilin 10% pada suhu 13○C

Hari ke-4 Hari ke-2

Hari ke-0

Hari ke-10 Hari ke-8

Hari ke-6

Hari ke-12 Hari ke-14 Hari ke-16


(2)

64


(3)

65

Lampiran 19 Gambar pepaya Callina dengan konsentrasi lilin 0% (kontrol) pada suhu ruang ber-AC

Hari ke-2 Hari ke-4

Hari ke-0


(4)

66

Lampiran 20 Gambar pepaya Callina dengan konsentrasi lilin 6% pada suhu ruang ber-AC

Hari ke-2 Hari ke-4

Hari ke-0

Hari ke-8 Hari ke-7

Hari ke-6


(5)

67

Lampiran 21 Gambar pepaya Callina dengan konsentrasi lilin 10% pada suhu ruang ber-AC

Hari ke-0 Hari ke-2 Hari ke-4

Hari ke-8 Hari ke-7

Hari ke-6

Hari ke-11 Hari ke-10

Hari ke-9


(6)

68

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 6 Februari 1991 dari pasangan H. Undang Udayat dan Hj. Endah. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sumedang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Teknik Pertanian (sekarang bernama Departemen Teknik Mesin dan Biosistem), Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai anggota Lises Gentra Kaheman 2010-2013. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan di acara-acara di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem seperti pada acara masa perkenalan departemen (SAPA 2011) dan acara-acara di Lises Gentra Kaheman IPB.

Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tanggal 25 Juni 2012 – 12 Agustus 2012 di CV. Bimandiri, Lembang dengan judul Penanganan Pascapanen Hortikultura dan Kajian Mengenai Analisis Nilai Tambah di CV. Bimandiri, Lembang.