1.2. Pembentukan Eritrosit dan Hemoglobin
Proses pembentukan eritrosit yang disebut sebagai eritropoiesis merupakan proses yang diregulasi ketat melalui kendali umpan balik. Pembentukan eritrosit
dihambat oleh kadar hemoglobin diatas normal dan dirangsang oleh keadaan anemia dan hipoksia. Eritropoiesis pada masa awal janin terjadi dalam yolk sac,
pada bulan kedua kehamilan eritropoiesis berpindah ke liver dan saat bayi lahir eritropoiesis di liver berhenti dan pusat pembentukan eritrosit berpindah ke
sumsum tulang Williams, 2007. Pada masa anak-anak dan remaja semua sumsum tulang terlibat dalam hematopoiesis, namun pada usia dewasa hanya
tulang-tulang tertentu seperti tulang panggul, sternum, vertebra, costa, ujung proksimal femur dan beberapa tulang lain yang terlibat eritropoiesis. Bahkan pada
tulang-tulang seperti disebut diatas beberapa bagiannya terdiri dari jaringan adiposit. Pada periode stress hematopoietik tubuh dapat melakukan reaktivasi
pada limpa, hepar dan sumsum berisi lemak untuk memproduksi sel darah, keadaan ini disebut sebagai hematopoiesis ekstramedular Munker, 2006.
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang diproduksi ginjal 85 dan hati 15. Pada janin dan neonatus pembentukan
eritropoietin berpusat pada hati sebelum diambil alih oleh ginjal Ganong, 1999. Eritropoietin bersirkulasi di darah dan menunjukkan peningkatan menetap pada
penderita anemia, regulasi kadar eritropoietin ini berhubungan eksklusif dengan keadaan hipoksia. Sistem regulasi ini berkaitan erat dengan faktor transkripsi yang
dinamai hypoxia induced factor-1 HIF-1 yang berkaitan dengan proses aktivasi transkripsi gen eritropoeitin. HIF-1 termasuk dalam sistem detektor kadar oksigen
yang tersebar luas di tubuh dengan efek relatif luas cth: vasculogenesis, meningkatkan reuptake glukosa, dll, namun perannya dalam regulasi eritropoiesis
hanya ditemui pada ginjal dan hati Williams, 2007. Eritropoeitin ini dibentuk oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal, sedangkan pada hati hormon ini
diproduksi sel Kupffer dan hepatosit. Selain keadaan hipoksia beberapa zat yang dapat merangsang eritropoiesis adalah garam-garam kobalt, androgen, adenosin
dan katekolamin melalui sistem β-adrenergik. Namun perangsangannya relatif singkat dan tidak signifikan dibandingkan keadaan hipoksia Harper,2003.
Eritropoietin yang meningkat dalam darah akan mengikuti sirkulasi sampai bertemu dengan reseptornya pada sel hematopoietik yaitu sel bakalstem cell
beserta turunannya dalam jalur eritropoiesis. Ikatan eritropoietin dengan reseptornya ini menimbulkan beberapa efek seperti :
a. Stimulasi pembelahan sel eritroid prekursor eritrosit.
b. Memicu ekspresi protein spesifik eritroid yang akan menginduksi
diferensiasi sel-sel eritroid. c.
Menghambat apoptosis sel progenitor eritroid. Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3, interleukin-11,
granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan trombopoietin akan mempercepat proses maturasi stem cell eritroid menjadi eritrosit Hoffman,2005.
Secara umum proses pematangan eritosit dijabarkan sebagai berikut : 1.
Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat memperbaharui diri dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit,
monosit dan megakariosit bakal platelet. 2.
BFU-E : burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroid yang lebih fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa
maupun fetus. Sensitivitas terhadap eritropoeitin masih relatif rendah. 3.
CFU-E : colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang lebih matur dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit bergantung
pada subunit hemoglobinnya. 4.
Proeritroblast, eritroblast dan normoblast : progenitor eritrosit ini secara morfologis lebih mudah dibedakan dibanding sel prekursornya, masih
memiliki inti, bertambah banyak melalui pembelahan sel dan ukurannya mengecil secara progresif seiring dengan penambahan hemoglobin dalam
sel tersebut. 5.
Retikulosit : eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus dalam bentuk poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA, komponen membran
sisa dari sel prekursornya, dan hanya sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang diperlukan sel selama masa hidupnya. Selelah proses
enukleasi, retikulosit akan memasuki sirkulasi dan menghabiskan sebagian
waktu dalam 24 jam pertamanya di limpa untuk mengalami proses maturasi dimana terjadi remodeling membran, penghilangan sisa nukleus, dan
penambahan serta pengurangan protein, enzim, dan fosfolipid. Setelah proses ini barulah eritrosit mencapai ukuran dan fungsi optimalnya dan
menjadi matur Munker, 2006.
Hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin yang membentuk struktur tetramer. Sintesis globin terjadi seperti protein pada umumnya, mRNA
dari intisel akan ditranslasi ribosom untuk merakit rantai asam amino untuk membentuk globin. Di sisi lain proses pembentukan heme relatif lebih kompleks,
bahan dasar heme adalah asam amino glisin dan suksinil-KoA, hasil dari siklus asam sitrat. Pada awalnya proses ini terjadi di dalam mitokondria, kemudian
setelah terbentuk δ-aminolevulinat ALA reaksi terjadi di sitoplasma sampai terbentuk coproporhyrinogen III, kemudian substrat akan masuk kembali kedalam
mitokondria untuk menyelesaikan serangkaian reaksi pembentukan heme yaitu penambahan besi ferro ke cincin protoporphyrin. Proses pembentukan heme dapat
dilihat di gambar 2.2. dan gambar 2.3. Harper, 2003.
Gambar 2.2. Pembentukan heme dari Glisin + Suksinil-KoA sampai porphobilinogen
Harper, 2003
Sintesis heme terjadi hampir pada semua sel mamalia dengan pengecualian eritrosit matur yang tidak memiliki mitokondria, namun hampir 85 heme
dihasilkan oleh sel prekursor eritroid pada sumsum tulang dan hepatosit. Regulasi sintesis heme terjadi melalui mekanisme umpan balik oleh enzim δ-
aminolevulinat sintase ALAS, ALAS tipe 1 ditemukan pada hati sedangkan ALAS tipe 2 ditemukan pada sel eritroid. Heme tampaknya bekerja melalui
molekul aporepresor bekerja sebagai regulator negatif terhadap sintesis ALAS1, pada percobaan tampak bahwa sintesis ALAS1 tinggi saat kadar heme rendah dan
hampir tidak terjadi saat kadar heme tinggi. Selain sintesis hemoglobin, heme juga dibutuhkan enzim hati sitokrom P450 untuk memetabolisme zat lain, keadaan ini
dapat meningkatkan kerja ALAS1 Harper, 2003.
Gambar 2.3. Reaksi dari ALA sampai coproporphyrinogen III terjadi di
sitoplasma, reaksi berlanjut sampai didapati protoporfirin yang mengalami penambahan Fe2+ dan menjadi heme. Harper, 2003
1.3. Olahraga Anaerobik dan Aerobik