Pemikiran murtadha muththahhari tentang fisafat sejarah
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam
(S.Fil.I)
Oleh
M u s l i m
NIM: 104033101064
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
PEMIKIRAN MURTADH
Ȃ
MUTHTHAHHAR
Ȋ
TENTANG
FILSAFAT SEJARAH
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh: M U S L I M NIM: 104033101064
Di bawah Bimbingan
Dr. Syamsuri, MA. NIP. 19590405 198903 1003
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(3)
tanggal 05 April 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada program studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 20 Juni 2011 SIDANG MUNAQASYAH
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmadji, M.Fils Dra. Tien Rohmatin, MA NIP.19610827 199303 1 002 NIP. 19680803 199403 2 002
Penguji I Penguji II
Drs. Nanang Tahqiq, MA Dra. Tien Rohmatin, MA NIP. 19660201 199103 1001 NIP. 19680803 199403 2 002
Pembimbing
Dr. Syamsuri, MA NIP. 19590405 198903 1003
(4)
KATA PENGANTAR
Maha suci Tuhanku yang telah menciptakan akal kepada manusia. Sembah dan sujud hamba hanya kepada-Nya. Sungguh luar biasa ciptaan-Nya, akal dapat menentukan yang baik dan yang benar. Tanpanya, manusia jelas akan kehilangan makna yang terdalam. “Law kunnâ nasma’u aw na’qilu mâ kunnâ fȋ ashâbi
al-sya’ȋr”, “sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Shalawat dan salam hamba selalu haturkan pada junjungan Nabi Muhammad, sebagai nabi yang telah membawa perubahan dan transformasi radikal dalam sejarah jaman umat manusia. Ajarannya tak akan pernah padam dalam setiap perdebatan ilmiah di ruang-ruang akademis, dan rakyat jelata sekalipun. Ajarannya telah mengerutkan akal manusia untuk terus berpikir dan berobsesi menuju perubahan-perubahan yang revolusioner, sehingga tetap dinamis mengkreasi karya-karya kontemporer.
Penulis juga merasa bersyukur, karena telah merampungkan tugas akhir kuliah yakni penulisan skripsi. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, dengan segala hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada:
1. Dr. Syamsuri, sebagai pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyusun skrispi ini.
2. Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Dra. Tien Rahmatin, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat,
(5)
beserta seluruh staf pengajar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis selama menjalankan studi di fakultas ini.
3. Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin
4. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Selanjutnya, salam ta′zhȋm penulis kepada ayahanda H. Masturoh dan Ibunda Hj. Aminah, yang selalu mendorong dan mendoakan penulis untuk terus melanjutkan pendidikan. Buaian dan kasing sayang yang diberikan mereka sungguh tak akan pernah terbalas oleh penulis
6. Kepada kakak-kakak tercinta H. Saiful Bahri SH beserta istri tercinta Hj. Siti Chadijah, Maemunah beserta suami terkasih (Bang Habibi) terima kasih atas segala bimbingan dan kontribusi moril maupun materil. Juga adik-adikku Rahmah Wati dan Ahmad Sifa, salam super.
7. Delove Dhea Markhamatul Aeni S.Farm, yang telah mendedikasikan dirinya untuk penulis dengan cinta dan kasih sayangnya yang selalu setia baik suka maupun duka dan selalu memotivasi penulis untuk selalu berkarya dan bekerja keras dalam menjalani kehidupan karena hidup adalah “samadengan” (=).
8. Kepada rekan-rekan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 2010-2012, semoga kepengurusan ini mampu mewarnai HMI dengan tradisi miliknya sendiri yang telah diprakarsai dan
(6)
diteladankan oleh para pendiri dan senior serta mampu menjadi pengimbang yang kreatif, cerdas, dan solutif.
9. Rekan-rekan Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2008-2009, terima kasih atas kebersamaannya.
10.Rekan-rekan seperjuangan di BEM F Ushuluddin 2006-2007 Fajar dan Iweng, terima kasih atas kesolidan dalam kepengurusan sehingga mampu menciptakan kreasi yang gemilang. Salam sukses selalu.
11.Kawan-kawan kepengurusan BEM J 2005-2006, terima kasih atas kekompakan, semoga tetap menjadi creatif minority.
12.Komunitas Freedom Circle (KFC) dan Akademi Merdeka se Indonesia terima kasih atas suguhan intelektualnya yang selalu mendakwahkan kebebasan berpikir untuk keluar dari terali penjara intelektual.
13.Ali Kemal, Hasan al Banna, M. Hajid, Yosep, Ridwan, Mia Romadinia, dan kawan-kawan angkatan 2004 Aqidah Filsafat lainnya, terima kasih atas kongkow-kongkow kreatifnya.
14.Shul Amir, Shul Iqbal, Lhemot, Hazami, Rosi, Mu’ammar Midan, Aris, Abenk, dan kawan-kawan lainnya, terima kasih atas futsalnya.
15.Funny, Ibel, Upi, Lisa, dan rekan-rekan pengurus Komisariat Kedokteran lainnya, terima kasih atas karaokeannya.
16.Serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak disebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada kalian semua.
(7)
Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Sebagai penutup hanya doa jualah yang dapat penulis mohonkan kepada Allah swt, semoga selalu membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik.
Ciputat, 04 Januari 2011
(8)
ا
a
ب
b
ت
t
ث
ts
ج
j
ح
h
خ
kh
د
d
ذ
dz
ر
r
س
s
ش
sy
ص
sh
ض
dh
ط
th
ظ
zh
ع
‘
غ
gh
ف
f
ق
q
â = a panjang
ȋ
= i panjang
û = u panjang
ك
k
ل
l
م
m
ن
n
و
w
ه
h
ء
’
(9)
viii DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
KATA PENGANTAR ………... iii
TRANSLITERASI ……… vii
DAFTAR ISI ………. viii
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang Masalah ………. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ……….. 6
C. Tujuan Penelitian ……… 6
D. Manfaat Penelitian ……….. 7
E. Metode Penelitian ……… 7
F. Tinjauan Pustaka ……….. 8
G. Sistematika Penulisan ………. 11
BAB II BIOGRAFI MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ ……… 12
A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya ……… 12
B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ ………. 16
BAB III STUDI TENTANG SEJARAH DAN FILSAFAT SEJARAH … 22
A.Munculnya Filsafat Sejarah ……… 22
B.Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah …...……….. 23
C.Filsafat Sejarah dalam Islam ………. 26
(10)
BAB IV PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG
FILSAFAT SEJARAH ……….. 58
A.Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah ………... 58
B.Sifat dan Gerak Sejarah ……… 64
C.Evolusi dan Perubahan Sejarah ……….. 77
D.Kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap Konsep Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis Karl Marx ………. 85
BAB V PENUTUP ………. 92
A. Kesimpulan ………... 92
B. Saran-saran ……….. 95
(11)
1 A. LATAR BELAKANG MASALAH
Filsafat sejarah merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari rangkaian keilmuan filsafat secara umum. Filsafat sejarah memiliki sudut pandang yang sangat berbeda dengan kajian sejarah atau kajian lainnya dalam hal bagaimana merespon dan mengamati peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi dalam kehidupan di muka bumi. Dalam tinjauan filsafat sejarah, sejarah bukan hanya menuliskan kejadian atau peristiwa secara kronoligis yang terjadi pada masa lampau, akan tetapi filsafat sejarah meninjau lebih dalam tentang pola dan karakter dari peristiwa-peristiwa yang mengemuka.
Lahirnya filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan manusia yang terkenal sebagai “hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya dari segi faktor-faktor yang membangkitkan dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya.1 Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian itu secara filosofis.
1
(12)
Beberapa tokoh bermunculan dari ranah filsafat sejarah baik itu tokoh filsafat dari Islam maupun Barat. Filsafat Sejarah di Barat mengalami perkembangan yang menakjubkan. Perkembangan itu ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir besar di bidang ini. Antara lain, ST. Agustinus (1354-1430), terkenal dengan paham sejarah teologis, August Comte (1798-1854), dengan filsafat positivisme hukum, Herbert Spencer (1820-1903), dengan teori evolusi – di samping yang dikembangkan oleh Darwin Oswald Spengler (1880-1936), terkenal dengan teori daur kultur sejarahnya yaitu masa timbul, tumbuh, menua, dan hancur, G.W.F. Hegel (1770-1831), terkenal dengan filsafat sejarah spekulatif, filsafat sejarah formal dan material, Karl Marx (1818-1883) dengan materialisme historisnya, dan Arnold J. Toynbee (1889-1975) dengan teorinya tentang tantangan dan jawaban (challenge and response) atau yang terkenal dengan hukum kebudayaan dan pada hakekatnya juga disebut Hukum Sejarah.2
Berbeda dengan perkembangan filsafat sejarah Barat, filsafat sejarah Islam, kelihatan memiliki pasang surut dan uncontinuity, baik dalam pemunculan teori maupun dalam hal kemunculan para pemikir dan tokoh-tokohnya. Ibn Khaldûn misalnya, diakui baik oleh pemikir Islam sendiri (Timur) maupun oleh non Islam di Barat, merupakan “Bapak Filsafat Sejarah Islam” yang sangat berjasa. Ia dengan teorinya, The Culture Cycle Theory of History yang sangat terkenal itu, kelihatan tidak diikuti oleh pemikir dan generasi Muslim sesudahnya.
2
Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Yogyakarta: Ar-ruzz Press, 2002), h. 13-14.
(13)
Dengan demikian, rentang tali perjalanan dan diskursus filsafat sejarah dalam Islam seolah terputus tanpa ada kontinuitas.3
Baru pada paro pertama abad ke 20, mulai muncul pemikir-pemikir Islam dengan karya-karya monumentalnya. Di antaranya Malik bin Nabi dari Maroko, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Shiddiqi dari Pakistan, serta Murtadhȃ Muththahharȋ dari Iran yang menjadi objek pembahasan dalam skripsi ini. Berbeda dengan di dunia Islam, di Barat, teori filsafat sejarah terus diasah dan diuji. Kehadiran teori “Dialektika Materialisme Historis” yang dipelopori oleh Karl Marx misalnya, merupakan penyahutan terhadap teori “Dialektika”-nya Hegel.4
Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah. Sekitar dua per tiga dari keseluruhan ayat al-Qur’ân yang terdiri atas 6660 ayat lebih itu, memiliki nilai-nilai atau norma sejarah. Al-Qur’ân berbicara tentang perubahan dalam sejarah, di mana perubahan itu menurut penegasan Allah sangat ditentukan oleh kebaikan dan keburukan perbuatan manusia. Hal ini seperti kebiadaban kaum kafir terhadap Nabi Muhammad, yang diabadikan oleh Allah swt. Dalam firman-Nya; “Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka
rencanakan” (QS. an-Nahl: 127).5
3
Ibid, h.14.
4
Ibid, h. 14-15.
5
Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah. Penerjemah Nur Rachmi et.al (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986),h. 1.
(14)
Di samping itu, al-Qur’ân juga berbicara sebab-sebab khusus terjadinya disintegrasi sosial-bangsa yang disebabkan oleh tingkah polah dan ulah manusia sendiri yang sudah terlalu jauh menyimpang dari sendi-sendi kebenaran hakiki. Dalam ranah ini, Allah swt. telah berfirman dalam QS. al-An’âm: 131: “Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara
aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah.” Maksud ayat ini antara
lain, Allah tidak akan mengadzab penduduk satu desa atau kota meskipun mereka berbuat kekafiran, sebelum diutus rasul yang akan memberi peringatan kepada mereka. Akan tetapi kalau telah diutus seorang rasul kepada mereka, dengan kitab suci yang ditinggalkan sebagai pedoman hidupnya, dan mereka tetap berbuat kezaliman dan kekufuran, maka Allah swt. akan mengazab mereka di dunia dan di akhirat kelak.6
Begitu juga dalam QS. Hûd: 117, Allah swt. menyebutkan, “tidak sekali-kali membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduk negeri itu
adalah orang-orang yang berbuat kebaikan”. Maksud ayat ini, dengan jelas Allah
swt. menyatakan bahwa pembinasaan dan pendatangan musibah dari-Nya baru ditimpakan, jika satu kampung atau masyarakat suatu negara berbuat kezaliman. Karena itu, nyata pula bahwa perhatian Allah swt. terhadap tingkah polah dan perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia begitu besar.7
Pengungkapan selintas tentang ayat-ayat di atas, dapat dikatakan bahwasanya Islam memandang bahwa kehidupan merupakan proses yang
6
Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, h. 1.
7
(15)
menyejarah, di mana kekuasaan berlaku serta bergerak ke depan dan ke belakang, maju atau mundur, kaya atau miskin, berhasil atau gagal.
Murtadhȃ Muththahharȋ adalah seorang ulama intelektual abad ke-20 yang dijadikan sebagai salah seorang model sarjana Islam yang telah memenuhi tiga syarat yang banyak diimpikan, tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi yaitu akar yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu non-agama, dan sebagai penulis yang sangat produktif sehingga memiliki karya-karya nyata di bidang sosial. Selain itu, Muthahhari juga memiliki latar belakang yang kuat dalam filsafat dan ‘irfân (gnosis). Dia telah berupaya menerapkan kedua hal tersebut pada tataran realitas sosial kontemporer.
Dari sekian banyak karyanya, ia memiliki pemikiran yang komprehensif mengenai filsafat sejarah, di mana pemikirannya tersebut dilandaskan pada ayat-ayat al-Qur’ân. Kajiannya tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan kerangka pemikiran baru tentang filsafat sejarah tetapi juga untuk melawan pemikiran-pemikiran sejarah yang ada terutama pemikiran Karl Marx tentang materialisme dialektis dan materialisme historis.
Murtadhȃ Muththahharȋ, mendefinisikan sejarah sebagai satu ilmu dalam empat pengertian, yang pertama, secara khusus sebagai ilmu tentang fenomena serial dari pribadi dan individual, kedua, sebagai sebuah narasi, ketiga, ilmu tentang being (maujud atau eksistensi), bukan sebaliknya sebagai ilmu becoming,
keempat, ilmu berkenaan tentang masa lalu, bukan masa sekarang.
Pada sisi lain, Muththahharȋ, dalam mendefinisikan sejarah, dengan cara membagi sejarah dalam tiga cara dan arti. Di antara ketiga cara itu memiliki
(16)
hubugan yang tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi yang menjadi fokus perhatian dan prioritas pembahasannya yang agak lebih luas hanya dua, yaitu sejarah ilmiah dan filsafat sejarah.8 Walaupun demikian, ketiga pengertiaannya tetap akan diungkapkan dalam skripsi ini. Pembahasan lebih luas mengenai gagasan filsafat sejarah Muththahharȋ, penulis membahasnya pada bab-bab selanjutnya.
Dari latar belakang pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam pembahasan skripsi yang berjudul “Pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang Filsafat Sejarah”.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis membatasi dan memfokuskan pada pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah serta kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme historis Karl Marx.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah
a. Bagaimana pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah b. Bagaimana kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap materialisme
dialektis dan materialisme historis karl marx
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini yaitu:
8
Murtadhȃ Muththahharȋ, Man and Universe. Penerjemah Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2002), h. 303-305
(17)
1. Sebagai upaya memahami pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah.
2. Menelaah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ bagaimana ia mengulas tentang filsafat sejarah yang di dalamnya ia menjelaskan sifat dan gerak sejarah serta kritik tajamnya terhadap pemikiran Karl Marx tentang materialisme dialektis dan materialisme historis
3. Menelaah gagasan dan perkembangan filsafat sejarah dalam Islam
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian skripsi ini, secara teoritis, berguna untuk mengembangkan diskursus keilmuan di bidang pemikiran filsafat sejarah. Oleh karenanya penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat menggugah para peneliti untuk mengkaji dan mengembangkan pemikiran filsafat sejarah.
Di samping itu penelitian skripsi tentang filsafat sejarah ini sangat mungkin untuk dijadikan sebagai sumber inspirasi atau pedoman dalam mengamati sifat dan gerak sejarah kehidupan umat manusia secara global.
E. METODE PENELITAN
Penelitian skripsi ini merupakan studi kepustakaan (library research). Objek material penelitian ini adalah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ secara umum dan objek formalnya berhubungan dengan pemikirannya seputar persoalan filsafat sejarah meliputi pengertian dasar dari filsafat sejarah, sifat, dan gerak
(18)
sejarah disertai juga kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme historis Karl Marx.
Sumber dan data primernya adalah karya-karya yang langsung ditulis oleh Murtadhȃ Muththahharȋ baik itu yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, mengingat karya-karya orisinil Murtadhȃ Muththahharȋ sebagian besar ditulis dalam bahasa Iran.
Sedangkan sumber sekunder ialah karya-karya yang membahas tentang filsafat sejarah. Sumber-sumber sekunder inilah yang penulis gunakan untuk menganalisis pandangan Murtadhȃ Muththahharȋ.
Adapun dalam hal pembahasannya, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Artinya menggunakan sumber-sumber yang ada lalu mendeskripsikannya, kemudian dianalisis mengenai bagaimana pemikiran Murtadhȃ Muthahharȋ tentang filsafat sejarah.
Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini disandarkan pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,
2007.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Sepanjang pengamatan dan pengetahuan penulis, sudah terdapat beberapa penelitian yang mengkaji pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ, di antaranya yaitu:
1. Yuli Astuti dengan judul Kebebasan Manusia dalam Perspektif John Stuart Mill dan Murtadhȃ Muththahharȋ (Sebuah Studi Komparasi). (Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001 M).
(19)
Dalam skripsi tersebut, ia melakukan studi komparatif terhadap dua pemikir yang berbeda kultur dan menaruh perhatian pada masalah kebebasan manusia. Menurutnya, terdapat persamaan dan perbedaan dalam pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ dan John Stuart Mill mengenai kebebasan.
2. Izkar Sobah dengan judul Kejahatan dan Keadilan Tuhan dalam
Perspektif Teologi Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi: Jurusan Aqidah
Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006). Dalam skripsi tersebut ia menulis bahwa Tuhan Maha adil dan kejahatan tidak membuat-Nya untuk tidak adil. Sesungguhnya Tuhan menyayangi hamba-hamba-Nya. Adapun adanya kejahatan dan keburukan adalah bukti kasih sayang-Nya sebagai bentuk ujian bagi manusia untuk menjadi lebih baik dan hal ini adalah tanda bahwa Tuhan selalu memperhatikannya.
3. Muniroh dengan judul Konsep Fitrah Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008). Dalam skripsi tersebut ia mengatakan bahwa yang dimaksudkan Muththahharȋ adalah fitrah yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan dan prinsip-prinsip berpikir yang tak lain bersifat fitrah. Manusia itu sendiri memiliki fitrah di antaranya ialah dalam hal mencari kebenaran atau kesempurnaan, condong kepada kebaikan, cenderung kepada keindahan, berkarya dan cinta (menyembah).
(20)
4. Nurdin Kadir dengan judul Konsep Zuhud Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi Program Studi Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2008). Dalam penelitiannya tersebut, ia mengatakan bahwa terdapat pemikiran tentang zuhud yang dianggapnya bias dari makna sebenarnya dan Muththahharȋ mencoba untuk meluruskan pemikiran tersebut. Bagi Muththahharȋ arti zuhud adalah perasaan puas dengan kehidupan yang sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Dalam semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas dengan kehidupan yang sederhana.
Berbagai kajian tentang pemikiran Murtadha Muththahhari sebagaimana dipaparkan di atas sangat penting dan kontributif bagi skripsi ini, setidak-tidaknya sebagai bahan pengayaan dan perbandingan dalam pembahasannya. Akan tetapi, hemat penulis, dari sejumlah pembahasan tersebut tidak satu pun yang mengkaji pemikiran Filsafat Sejarah Murtadhȃ Muththahharȋ secara serius dan mendalam sebagaimana yang akan penulis bahas dalam skripsi ini.
(21)
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, terdiri dari:
Bab I Pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II Biografi Murtadhȃ Muththahharȋ meliputi: latar belakang pendidikan, karier, dan kegiatan, dan karya-karya Murtadhȃ Muththahharȋ
Bab III Studi tentang sejarah dan filsafat sejarah yang pembahasannya meliputi: munculnya filsafat sejarah, perngertian sejarah dan filsafat sejarah, filsafat sejarah dalam Islam, dan filsafat sejarah di Barat
Bab IV Pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah yang pembahasannya meliputi: pengertian sejarah dan filsafat sejarah, sifat dan gerak sejarah, dan kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap konsep materialisme dialektis dan materialisme historis Karl Marx
BAB V Penutup yang meliputi: kesimpulan dan saran-saran.
(22)
12
A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya
Al-Syâhid Ayatullah Murtadhȃ Muththahharȋ lahir pada tanggal 2 februari 1920/1338 Hijriyah di Fariman, dekat Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum Muslim Syiah yang besar di Iran Timur. Ayahnya bernama Muhammad Husein Muthahharȋ, adalah ulama cukup terkemuka.1
Pada usia 12 tahun, Muththahharȋ mulai belajar agama secara formal di Masyhad, yang kemudian menumbuhkan kecintaannya pada filsafat, teologi, dan tasawuf (‘irfân). Kecintaan ini berada pada dirinya sepanjang hidupnya dan membentuk pandangan menyeluruh tentang agama. Figur di Masyhad yang mendapat curahan perhatian terbesar Muththahharȋ adalah Mirza Mahdi Syahidi Razavi, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936, ketika Muthahhari belum cukup umur mengikuti kuliah-kuliahnya. Ia meninggalkan Masyhad pada tahun berikutnya, sebagian karena alasan ini, untuk belajar di lembaga pengajaran di Qum yang kian diminati oleh banyak siswa.2
Di Qum Muththahharȋ belajar di bawah bimbingan dua ayatullah: Borojerdi dan Khomeini. Selagi menjadi mahasiswa, Muththahharȋ menunjukkan minat yang besar pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Gurunya yang utama dalam filsafat adalah Allamah Thabathaba′i. Ia mengenal secara mendalam segala aliran filsafat sejak Aristoteles sampai Sartre. Ia membaca 11 jilid tebal
1
Murtadha Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Materialisme. Penerjemah Akmal Kamil (Jakarta: Islamic Center Jakarta al-Huda, 2001), h. 9
2
(23)
Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat, dan buku-buku lainnya yang ditulis oleh Will Durant. Ia menelaah tulisan Sigmund Freud, Bertrand Russel, Albert Eisntein, Erich Fromm, Alexis Carrel, dan pemikir-pemikir lainnya dari Barat. Tetapi, berbeda dengan sebagian cendekiawan pesantren yang mempelajari Barat karena rasa rendah diri –lalu bersuara lantang mengutip pakar-pakar Barat dan malu-malu menyebut pemikir-pemikir Islam – Muththahharȋ tampil dengan suara Islam yang fasih. Pada 1934, dalam usia 36 tahun, ia mengajar logika, filsafat, dan fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang diasuhnya: kuliah fiqh, kuliah al-ushủl, kuliah ilmu kalam, kuliah al-′irfân (Tasawuf), kuliah logika, dan kuliah filsafat.
Otaknya yang cemerlang dan ilmunya yang luas dapat memberikan kehidupan yang nyaman baginya. Tetapi, ia memilih badai daripada damai. Ia banyak menulis dan aktif berdakwah. Khutbahnya di Radio Teheran masih terdengar sampai 1382 H. Tulisan-tulisannya sampai kini masih dibaca orang tanpa kehilangan aktualitas. Ia temasuk arsitek Revolusi Islam di Iran. Jika Ali Syari’ati dapat disebut wakil intelektual yang ulama, Muththahharȋ adalah wakil ulama yang sekaligus intelektual.3
Muththahharȋ berjuang bukan sekadar lewat pena dan lidahnya. Ia juga memberikan segala yang dimilikinya. Pada 1963, ia ditahan bersama Ayatullah Khomeini. Ketika Khomeini dibuang ke Turki, ia mengambil alih imamah dan menggerakkan para ulama mujahidin. Bersama ulama lainnya, ia mendirikan
3
Jalaluddin Rakhmat, “Muththahhari: Sebuah Model buat Para Ulama,” dalam Murtadha Muthahhari, Membumikan Kitab Suci Manusia dan Agama (Bandung: Mizan 2007), h. 13
(24)
Husainiya-yi Irsyad sebagai markas kebangkitan intelektual Islam. Ia turut pula menghimpun dana buat para pengungsi Palestina. Sebagai ulama, ia pun menjadi imam Masjid Al-Jawad dan mengubah masjid itu menjadi pusat gerakan politik Islam.
Pada 1972 Husyainiya-yi Irsyad dan Masjid Al-Jawab dilarang secara politik oleh rezim Syah dan Muththahharȋ kembali lagi masuk penjara. Kemudian ia bebas lagi. Pengalaman penjara tidak mengubah langkahnya. Ia melanjutkan kegiatan-kegiatan politiknya. Pada 1978, ketika Muththahharȋ mengecam pembuangan Ayatullah Muntazerri, rezim Syah melarang semua kuliah dan khutbahnya.4
Di samping itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya “Jam’iyah Ulama Militan” (Jami’ayi Ruhaniyat-i Mubariz). Sedemikian banyaknya peran aktif yang dilakukan dalam mendukung gerakan revolusi membuat dirinya juga sangat dekat dengan Imam Khomeini. Setelah Imam pindah ke tempat pembuangannya di Paris, Muththahharȋ temasuk di antara kelompok ulama yang ikut dan berkonsultasi. Pada 12 Januari 1979 Muthahharȋ diangkat sebagai ketua Dewan Revolusi Islam yang anggotanya antara lain Bazargab, Yazdi, Qotbzadeh, Behesyti, Bahonar, dan Rafsanjani.
Pada tanggal 1 Mei 1979 aktivitasnya dalam mendukung dan mengembangkan Revolusi dihentikan secara brutal oleh kelompok Furqan. Dia dibunuh setelah memimpin rapat Dewan Revolusi Islam di rumah Dr. Yadullah Sahabi. Sebuah peluru bersarang tepat mengenai kepalanya dan tembus di atas
4
Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar,” Muththahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama,
(25)
kelopak matanya. Meskipun ketika syahid dia adalah ketua Dewan Revolusi Islam, tetapi dirinya tidak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran dan tulisan.5
Kehidupan Muththahharȋ diabdikan untuk perjuangan politik dan perjuangan ideologis.6 Dalam hal perjuangan ideologis ia menulis tentang masalah-masalah filsafat, sosial, akhlak, fiqh, dan sejarah. Muthahhari adalah salah seorang tokoh yang mampu memformulasikan konsep al-Qur’an dalam paradigma yang jelas terutama yang berkaitan dengan filsafat sejarah. Pemikirannya berkenaan dengan filsafat sejarah (philosophy of history) banyak ditujukan untuk mengkritik filsafat materialisme.
Muththahharȋ sendiri mulai menaruh minat kepada filsafat materialis, khususnya Marxisme, tak lama setelah mempelajari secara resmi ilmu-ilmu rasional. Menurut hematnya, pada sekitar 1946 ia mulai mempelajari terjemahan-terjemahan Persia literatur Marxis yang diterbitkan oleh partai Tudeh, organisasi Marxis besar di Iran dan ketika itu merupakan suatu kekuatan penting di arena politik. Selain itu, ia membaca tulisan-tulisan Taqi Arani, teoritisi utama partai Tudeh, maupun penerbitan-penerbitan Marxis dalam bahasa Arab yang berasal dari Mesir. Mulanya ia agak sulit memahami teks-teks ini, sebab ia belum mengenal terminologi filsafat modern. Dengan terus-menerus berupaya keras termasuk dengan menyusun sinopsis buku Elementary Principles of Philosophy
5Muththahharȋ
, Kritik Islam Terhadap Materialisme, h. 10-11
6
Perjuangan ideologis yang dilakukan Muthahharȋ adalah upaya untuk menyikapi problema yang dihadapi masyarakat pada era beliau hidup, beliau memiliki perjuangan ideologis jangka pendek dan jangka panjang. Perjuangan jangka pendek beliau lakukan untuk melawan kebijakan-kebijakan elit politik Iran yang mencoba untuk melemahkan semangat keislaman masyarakat Iran, serta melawan pemikiran-pemikiran yang dinilai berbahaya bagi moralitas umat Islam. Sedangkan perjuangan ideologis jangka panjang didorong oleh empat faktor yaitu: pertama,
gerakan meniru Barat, kedua, gerakan meniru Timur, ketiga, Marxisme, Keempat, kebutuhan akan pengenalan pengetahuan Islam. Lihat Hamid Algar, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid, penyunting, Haidar Bagir, (Bandung: Yayasan Muthahhari 1988) h. 56-58
(26)
karya George Pulitzer –akhirnya ia menguasai filsafat materialisme. Sejumlah besar penolakan terhadap Marxisme telah dieseikan di dunia Islam, baik di Iran maupun di lain tempat, namun hampir semuanya tak lebih berkisar pada ketidaksesuaian Marxisme dengan keyakinan keagamaan serta ketidakkonsistenannya dengan kegagalan politis parta-partai politik Marxis.7
B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ
Murtadhȃ Muththahharȋ merupakan filosof Muslim Syiah kontemporer yang menghasilkan banyak karya. Meskipun disibukkan dengan berbagai aktivitas sosial politik dan kerja intelektual semisal mengajar dan berdiskusi, Muththahharȋ tetap dapat mengkonsentrasikan diri untuk menuangkan gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan yang berjumlah sekitar enam puluhan dan hingga kini dapat dikonsumsi oleh banyak kalangan.
Di antara karya-karya tersebut adalah :
1. Inna al-dȋn ′indallâh al-Islâm, buku ini diterbitkan oleh penerbit Mansyûrat
al-Rabȋ dan telah diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan
Tantangan Zaman dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1417
H/1996 M. Di dalam buku ini terdapat dua hal yang ingin dicapai, pertama, bagaimana umat Islam mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ketuhanan, pola pikir, dan kepercayaan yang konstruktif dan kemprehensif. Kedua, bagaimana Islam menyikapi perubahan zaman yang setiap saat mengalami perubahan, tidak
7
Hamid Algar, Murtadha Muththahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid, penyunting, Haidar Bagir, (Bandung: Yayasan Muthahhari 1988), h. 32-33
(27)
tetap, dan semakin bertambah kompleks, sementara pada saat bersamaan Islam adalah agama yang secara esensial bersifat tetap dan tidak berubah. Sebagai sebuah agama samawi terakhir dan paripurna, Islam dan segenap doktrinnya sama sekali tidak tidak mengalami penghapusan dan perubahan – ia bersifat abadi. Tepat pada titik ini, timbul berbagai pertanyaan ihwal relevansi Islam dengan berbagai tuntutan dan tantangan zaman. Mampukah Islam menghadapi tuntutan dan tantangan zaman? Mungkinkah dua hal yang saling bertentangan bisa berjalan seiring dan berpadu? Bagaimana mungkin Islam yang bersifat tetap dan tidak berubah sanggup menuntun dan membimbing zaman yang selalu berubah dan tidak tetap?
2. The Cause Rersponsible for Materialist Tendencies in the West. Buku ini
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Kritik Islam
terhadap Materialisme. Buku tersebut merupakan karya Muthahharȋ yang
sangat diminati dunia kampus dan aktifis. Dalam buku ini, dia mengkritisi secara tajam konsepsi filsafat ketuhanan yang dibangun dari doktrin kaku gereja; yang kemudian mengantar manusia memandang semua realitas hanya terbatas pada wilayah materi semata-mata. Dengan kepiawaiannya dalam membaca sudut pandang filsafat dan sosiologi Barat serta telaahnya yang mendalam tentang nash-nash al-Qur’ân, Muththahharȋ membuktikan kepada kita betapa rancunya doktrin-doktrin yang ada dalam ajaran materialisme. Bahkan secara yakin Muththahharȋ berkesimpulan bahwa paham materialisme pada hakekatnya tiada lain adalah sisa-sisa peninggalan peradaban manusia
(28)
yang hampir punah; dan karenanya tidak dapat dijadikan pandangan dunia di abad modern.
3. Introduction to Kalâm. Buku ini telah diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan
Judul Mengenal Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebuntuan Berfikir, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Zahra. Di dalam buku ini Muththahharȋ membahas doktrin-doktrin dasar ulama kalâm beserta modifikasinya meskipun merujuk dari pemahaman teologi Muktazilah dan Asyariyah, akan tetapi teologi yang ditawarkan Muththahharȋ telah menampilkan wajah menengah yang mencoba mengambil posisi tengah.
4. Membumikan Kitab Suci, Manusia dan Agama. Buku ini diterjemahkan dari
beberapa buku berbahasa Arab dan Inggris karya Murtadhȃ Muththahharȋ, yang diterbitkan oleh Free Islamic literatures, Inc, Houston, Texas. Buku ini merupakan proyek Muthahharȋ dalam menyikapi krisis manusia kontemporer yang telah meluas yakni ketika fragmentasi, kehampa-maknaan, ketiadaan-tujuan, kekosongan, kekacauan yang tidak terhingga, represi negara adidaya, dan perang destruktif melawan kemanusiaan telah menjadi semakin merajalela. Oleh karenanya manusia membutuhkan kedamaian spiritual dan batiniah. Manusia semakin membutuhkan makna dan arah dalam hidup serta memerlukan iman terhadap suatu Realitas Transenden yang melampaui kebutuhan-kebutuhan material manusia. Beliau mengulas secara gamblang mengenai arti penting agama serta iman dalam konteks perkembangan manusia kontemporer saat ini.
(29)
5. Ȃsha’i bâulum-e Islâmi, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pengantar ke Ilmu-ilmu Islam yang terdiri dari tujuh bagian, masing-masing tentang: Logika, Filsafat, Kalâm, ‘irfân, Fiqh, Ushul Fiqh, dan Etika. Di sini pula, Muththahharȋ menjelaskan pentingnya epistemologi dan metodologi dalam pemikiran maupun perjuangan Islam. Keduanya merupakan kunci untuk menguasai ilmu-ilmu Islam.
6. Man and Universe (1417 H/1997 M), karya ini diterbitkan oleh penerbit
Ansariyah Publication, Qum. Juga telah diterbikan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia dan Alam Semesta : Konsepsi Islam tentang Jagat Raya oleh PT Lentera Basritama pada tahun 1422 H/2002 M. Buku ini membahas poin-poin penting berkenaan dengan manusia dan alam semesta. Di dalamnya, Muththahharȋ mengupas konsep manusia dan binatang, ilmu pengetahuan dan agama, majhab pemikiran, sumber-sumber pemikiran dalam Islam, konsepsi alam semesta, tauhid dan syrik, kearifan dan keadilam ilahi, wahyu dan kenabian serta masalah imamah (kepemimpinan) dan akhirat.
7. Falsafatul Akhlâk, buku ini sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan
Judul Filsafat Moral oleh penerbit al-Huda pada tahun 2009. Buku ini merupakan panduan reformasi moral sekaligus tawaran solusi bagi krisis moral. Dalam buku ini, Muththahharȋ mempertanyakan kembali pengertian perbuatan-perbuatan moral manusia yang dianggap sudah tinggal pakai (taken
for granted), sembari mengkritisi dan mendekonstruksi berbagai pandangan
moral baik dalam tradisi Barat maupun Timur, kemudian merekonstruksi sebuah paradigma moral Islam.
(30)
8. Al-‘Adl Ilâhi (1401 H/1981 M), buku sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Keadilan Ilahi oleh penerbit Mizan pada tahun 1413 H/1992 M. Dalam buku tersebut, Muththahharȋ melakukan eksplorasi atas tema penting dalam khazanah keilmuan-keislaman tersebut, sekaligus mendemonstrasikan wawasan luasnya untuk membuktikan pernyataannya itu. Dalam mengkaji keadilan ini, beliau menggunakan pendekatan naqli (pendekatan berdasarkan nash-nash dan hadis) sekaligus aqliah (pendekatan filosofis berdasarkan rasio).
Muththahharȋ menjelaskan secara panjang lebar perdebatan menarik berkaitan dengan soal ini –suatu perdebatan panjang yang akhirnya menghasilkan dua majhab teologis terkenal dalam pemikiran Islam, yaitu asy′ariah dan mu’tazilah. Kemudian, dia juga menjelaskan munculnya soal prinsip keadilan dalam dunia fiqh yang dicerminkan dengan pertentangan antara ahli qiyas dan ahli hadȋs.
9. Pendekatan filsafat Sejarah, Menguak Masa Depan Umat Manusia (1411
H/1991). Buku ini merupakan kumpulan tulisan Murtadhȃ Muththahharȋ yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Hidayah dalam bahasa Indonesia. Di dalam buku tersebut, Muththahharȋ menguraikan mengenai konsep sejarah dalam Islam. Muththahharȋ percaya bahwa gerak sejarah bersifat progresif, karena menurutnya sifat esensial manusia adalah baik. Kalaupun pada saat-saat tertentu keburukan (fujur/qubh) mendominasi sifat kebaikan (husn)manusia, hal itu hanyalah sebuah pengalaman kemunduran atau kemerosotan relatif kehidupan manusia saja..
(31)
Jadi, konsep Islam merupakan gabungan antara determinisme yang mengambil bentuk sunnah Allah dan sifat progresif sejarah dan kebebasan manusia serta peran manusia dalam berayun di antara kejayaan (rise) dan kemerosotan (decline) –antara, menggunakan terminologi al-Quran, ahsan taqwȋm dan asfal sâfilȋn. Mengenai sifat progresif gerak sejarah ini, betapapun menyiratkan determinisme, tak ada sesuatu yang salah di dalamnya, karena ia hanya memberikan optimisme bagi hidup manusia di muka bumi.
(32)
22 A. Munculnya Filsafat Sejarah
Manusia sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya –dari segi faktor-faktor yang membangkitkannya dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya. Oleh karenanya banyak peneliti yang mengatakan bahwa manusia adalah “hewan sejarah.”1
Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia, merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian peristiwa itu secara filosofis.
Kenyataan tersebut dapat dilihat ketika manusia berada dalam era mitologis sebagaimana pernyataan Effat Syarqawi di dalam buku filsafat kebudayaan. Menurutnya, pada masa mitologis itu manusia memuja dewa-dewa, kekuatan-kekuatan gaib, dan alam dalam upayanya menafsirkan secara teleologis hubungan berbagai peristiwa. Selanjutnya, dengan perkembangan kemampuan manusia untuk menguasai alam lewat penemuan-penemuan ilmiah, bergeraklah penafsiran sejarah dari suatu kronik peristiwa-peristiwa ke metode sejarah pragmatis.2
1
Effat Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 112-113
2
(33)
Sementara ahli yang pertama kali menggunakan istilah filsafat sejarah adalah Voltaire.3
Mula-mula Voltaire menggunakannya dalam kata pengantar karyanya yang berjudul Essay sur les moere et l’espirit des nations. Kata pengantar buku itu sendiri berjudul Philosophie de l’historie, yang berarti filsafat sejarah. Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis Voltaire dalam rentang tahun 1753-1758 M. Sejak saat itu, tepatnya istilah filsafat sejarah digunakan Voltaire pada tahun 1756 M, istilah filsafat sejarah mulai dikenal di kalangan pemikir dan intelektual.4
B. Pengetian Sejarah dan Filsafat Sejarah
Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” berarti pohon. Kata ini memberikan gambaran mengenai pengertian ilmu sejarah secara analogis karena memberikan persepsi tentang pertumbuhan peradaban manusia yang mirip dengan “pohon” tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon rindang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau pesan-pesan sejarah di dalamnya diperlukan kemampuan untuk menarik pesan-pesan-pesan-pesan yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya.5 Sedangkan menurut
Kuntowijoyo, sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Tetapi jangan dibayangkan sebagai membangun masa lalu untuk kepentingan masa lalu sendiri, itu antikuarianisme dan bukan sejarah. Dengan bahasa sederhana, ia mengibaratkan
3
Francois Marie Arout Voltaire lahir di Paris pada 21 November 1694 dan meninggal 30 Mei 1778. Ia seorang filosof dan pujangga (literary)tersohor dan sangat berpengaruh dalam masa pencerahan (enlightenment) di Perancis pada abad ke-18 M. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 57
4
Robin George Collingwood, The Idea of History, (London, New York: Oxford University Press, 1976), h. 1-2
5
(34)
dengan bermain-main batang korek yang terserak-serak tidak jelas, kemudian menyusunnya jadi petak-petakan, orang-orangan, rumah-rumahan, dan sebagainya. Ada definisi sejarah yang tautologis yang mengatakan bahwa sejarah ialah apa yang dikerjakan sejarawan. Tautologi ini menegaskan bahwa sejarawan mempunyai kebebasan dalam rekonstruksi. Yang mengikat sejarawan adalah hanyalah “batang korek” yang berupa fakta sejarah. Jadi yang direkonstruksi sejarah ialah apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Sejarawan dapat menulis apa saja, asalkan memenuhi syarat untuk disebut sejarah.6
Pendapat lain dikatakan oleh Louis Gottschalk, kata Inggris history (sejarah) berasal dari kata benda Yunani istoria, yang berarti ilmu. Dalam penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti suatu penelaahan sistematis mengenai perangkat gejala alam, entah susunan kronologis merupakan suatu faktor atau tidak di dalam penelaahan; penggunaan itu, meskipun jarang, masih tetap hidup di dalam bahasa Inggris pada sebutan natural history. Akan tetapi dalam perkembangan zaman, kata Latin yang sama artinya yakni scientia lebih sering dipergunakan untuk menyebutkan penelaahan sistematis non-kronologis mengenai gejala alam; sedangkan kata istoria biasanya diperuntukkan bagi penelaahan mengenai gejala-gejala, terutama hal ihwal manusia dalam urutan kronologis.
Menurut definisi yang paling umum, kata history kini berarti “masa lampau umat manusia”. Bandingkan dengan kata Jerman untuk sejarah, yakni
6
Prof.Dr. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 1995), h. 17
(35)
Geischicte, yang berasal dari kata geschelen yang berarti terjadi. Geischicte adalah sesuatu yang telah terjadi. Arti ini acapkali dijumpai dalam ucapan-ucapan yang terlalu sering dipakai seperti “semua sejarah mengakarkan sesuatu” atau “pelajaran-pelajaran sejarah”.7
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad sebelumnya. Kedua, sejarah bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.
Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang mengandung dua segi berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama berkenaan dengan kajian metodelogi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis. Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian kritis atas metode sejarawan. Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat, yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian, dan hubungan antara pikiran-pikiran manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode yang dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.
7
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 1985), h. 27
(36)
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini, perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.8
C. Filsafat Sejarah Dalam Islam
Di dalam Islam, terdapat beberapa pemikir yang menguasai bidang filsafat sejarah yang tidak asing lagi baik di Timur maupun di Barat. Misalnya, Ibn Khaldûn yang dianggap sebagai representasi periode Klasik. Selanjutnya yaitu beberapa tokoh pemikir Muslim Modern, seperti Malik Bin Nabi, Murtadhâ Muththahharȋ, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Siddiqi. Untuk melihat bagaimana perkembangan pemikiran kesejarahan-filsafat sejarah dalam Islam, sebagai alternatif untuk kelengkapan tinjauan ini, penulis akan mengulas sejumlah pemikiran tokoh di bidang filsafat sejarah, yaitu Ibn Khaldun sebagai representasi dari masa klasik dan Ali Syariati sebagai representasi masa modern.
8
(37)
1. Konsep Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn9
Menurut Khaldûn, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya. Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Menurutnya, ashhâbiyah merupakan asas berdirinya suatu negara dan faktor ekonomis adalah faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat.10
Ibnu Khaldûn terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle
Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan
di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Dalam teori tersebut, Khaldûn berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa naik (masa berkembang), masa puncaknya, kemudian masa menurun dan akhirnya masa lenyap atau hancur. Khaldûn mengistilahkan siklus itu dengan “tiga tangga peradaban”. Sekadar
9
Abû Zaid ‘Abd Al-Rahmân ibn Khaldûn Al-Hadramȋ lahir di Tunis pada 732 H/1332 M dan meninggal di Kairo pada 808 H/1406 M, setelah lima tahun sebelumnya bertemu dengan Tȋmûr Lenk di luar tembok Kota Damaskus. Selama hidupnya, ia kerap disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan diplomatik da politik, Ibn Khaldûn banyak menggunakan waktunya untuk belajar, mengajar, dan menulis. Secara umum dapat dikatakan bahwa ia tak henti-hentinya berusaha memuaskan dua kebutuhan dasarnya: pertama tindakan politik dan kedua pengetahuan ilmiah. Sementara ia gagal dalam mencapai tujuan pertama demi kepuasan, ia berhasil meraih yang kedua –meskipun relatif terlambat dalam hidupnya. Salah satu karya besarnya adalah
Muqaddimah, dalam karya tersebut, Ibn Khaldûn merumuskan sebuah filsafat sejarah yang tak pelak lagi merupakan karya terbesar dari jenisnya yang pernah disusun oleh seorang tokoh dalam sejarah. Objek khususnya sendiri yaitu peradaban manusia dan organisasi sosial. Sejarahnya juga mempunyai masalah-masalah khas sendiri –yaitu menjelaskan kondisi-kondisi berkaitan yang berkaitan satu sama lain dengan esensi peradaban. Perhatian khusus diberikan pada interaksi antara faktor alami dan faktor non-fisik yang mendasari budaya manusia yang berpusat pada kekuasaan negara. Dalam Muqaddimah, ia juga menyelidiki fenomena manusia dan institusi sosial yang bertumpu pada kerajinan, sains, dan penyebarannya. Daya dorong di balik proses historis itu, menurutnya, berada dalam ashhâbiyah. “Semangat kelompok” ini menimbulkan tindakan politik yang mengarah pada perebutan terhadap alat-alat negara. Abderrahmane Lakhsassi, “Ibn Khaldûn,” dalam Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama). Penerjemah Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 446
10
Dr. Zainab al-Khudhariri, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), h. 62
(38)
ilustrasi, Khaldûn menegaskan bahwa kesatuan suku Badui dapat mengantarkan pada terbentuknya suatu negara; dan cara hidup yang berpindah-pindah akan menghasilkan kejayaan dan berakhir pada kehancuran.
Di samping itu, Ibnu Khaldûn berafiliasi dengan beberapa aliran filsafat sejarah. Pertama, ia berafiliasi dengan aliran sejarah sosial yang berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat diinterpretasikan, dan teori-teorinya dapat diikhtisarkan dari fakta-fakta sejarah. Tokoh-tokoh aliran ini pada zaman modern di antaranya ialah Jean Bodin dan Vico. Kedua, ia dapat dipandang berafiliasi dengan aliran ekonomi, yang menginterpretasikan sejarah secara materialistis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis serta merujukkan perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomena pada faktor-faktor ekonomis. Tokoh yang terkenal dengan aliran ini ialah Karl Marx. Meski dari aspek ini ia dapat dipandang sebagai seorang penyeru aliran tersebut, namun ia tidak meninjau fenomena-fenomena sosial dan perubahan historis hanya dari aspek ekonomis saja. Ia juga meninjau dari sudut faktor-faktor lainnya dan lebih menekankan faktor-faktor lain. Ketiga, ia juga dipandang berafiliasi pada aliran geografis yang memandang manusia sebagai putra alam lingkungan dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Menurut pendapat yang terakhir ini lingkungan alamlah yang membentuk masyarakat-masyarakat dan kebiasaan-kebiasaannya. Namun pandangan ini belakangan tidak lagi diterima, sebab kini terbukti bahwa
(39)
selain dipengaruhi lingkungan, manusia juga mempengaruhi lingkungan. Jadi antara keduanya terjadi interaksi yang saling mempengaruhi.11
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan sejarah dan perkembangannya
Perkembangan menurut Ibn Khaldûn tidaklah berupa lingkaran dan garis yang lurus, melainkan berbentuk spiral. Sebagai contoh, adalah perkembangan negara. Negara mana pun, setiap kali mencapai puncak kejayaan dan kebudayaannya, akan memasuki masa senja dan mulai mengalami keruntuhan untuk digantikan negara baru. Negara baru ini tidak bermula dari nol, tetapi mengambil peninggalan negara lama, melengkapinya, menciptakan kebudayaan yang lebih maju yang berbeda dari kebudayaan negara sebelumnya, meski perbedaan ini tidak nampak sehingga sulit diamati. Namun dengan berulangkalinya daur ini berlangsung, perbedaan tersebut akan tampak makin jelas bilamana mereka memerintah suatu negara dan pemerintahan maka tidak boleh tidak mereka akan menggunakan tradisi orang-orang sebelum mereka. Mereka akan banyak menimba dari tradisi itu dan mereka tidak akan melupakan tradisi generasi mereka. Meski demikian ada perbedaan antara tradisi negara ini dengan tradisi generasi sebelumnya. Kemudian apabila muncul lagi negara lain setelah mereka, tradisinya pun bercampur dengan tradisi mereka dan sebagian tradisi bertentangan dengan tradisi mereka. Perbedaan tradisi negara yang terakhir ini semakin berbeda dari tradisi generasi pertama.
11
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 63
(40)
Dengan berlalunya waktu, sedikit demi sedikit terjadi perubahan dan akhirnya berkesudahan dengan perbedaan secara total.12
Menurut Khaldûn, ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. Ketiganya yaitu:
1)Faktor Ekonomi
Dalam pandangan Ibnu Khaldûn sebagaimana yang dikutip oleh Zainab al-Khudairi dalam buku Filsafat Sejarah Ibnu Khaldûn, banyak orang-orang kota yang tenggelam dalam kemewahan, mencari kesenangan dan keduniaan, bebas melabuhkan hawa nafsunya, sehingga jiwa mereka berlumur dengan kejahatan dan jauh dari jalan kebaikan. Adapun orang-orang desa, sekalipun juga menyukai kehidupan duniawi, terpaksa membatasi dirinya pada hal-hal yang sangat perlu saja. Mereka tidak berusaha memperturutkan keinginannya untuk bermewah-mewah dan bersuka ria. Adat kebiasaan dan perbuatan mereka bersahaja, karena itu mereka tidak begitu menjadi sasaran aib perbuatan jahat dan durhaka dibanding dengan orang-orang kota.13
Sementara dalam membicarakan sifat-sifat keberanian orang-orang desa yang tidak kita temukan lagi pada orang-orang kota. Menurut Ibn Khaldûn, karena orang kota sudah terbiasa hidup senang, aman, dan tenteram, menyerahkan tugas mempertahankan jiwa dan harta kekayaan
12 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 81
13
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 86
(41)
mereka kepada penguasa dan tentara. Dikelilingi tembok yang tebal-tebal, dilindungi berbagai macam pertahanan, maka mereka hidup aman dan lupa mempergunakan senjata.
Orang-orang desa memiliki keistimewaan yakni kesederhanaan dan keberanian. Oleh karena itu mereka tahu bagaimana mempertahankan diri dari setiap serangan, masyarakat mereka benar-benar mandiri dan tidak menerima tekanan apapun. Mereka bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, cenderung pada kebajikan, cinta pada keutamaan, dan benci pada kejahatan dan perbuatan yang hina.14
Sedangkan masyarakat kota, yang asalnya juga dari desa dan kemudian menjadi penduduk kota akibat perkembangan bentuk dan pola kehidupan mereka, watak kehidupan kota telah memaksa mereka mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan baru, di mana pada masyarakat desa hal ini bisa diabaikan. Kemewahan pun menyelundup dalam kehidupan dan adat istiadat mereka dari segala arah, dan karena tenggelam dalam kenikmatan hidup dan kemalasan, nilai-nilai pun mulai pudar. Semuanya ini membuat melemahnya kegiatan ekonomi, sebab mayoritas penduduk dalam keadaan menganggur. Sesuai dengan karakter mereka, kini mereka kehilangan keberaniaan dan keperkasaan. Oleh karena itu mereka pun membutuhkan perlindungan, suatu hal yang mendorong perlu adanya negara.15
14
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 86
15
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 87
(42)
Dari keterangan di atas, tampak bahwa Ibn Khaldûn mengkonsepsikan, faktor ekonomi sebagai salah satu yang terpenting dalam mengendalikan kehidupan sosial, organisasi politik, moral masyarakat, dan pikiran mereka. Faktor ekonomi dipandang sebagai faktor terpenting dan utama, tetapi bukanlah faktor satu-satunya. Menurutnya, masih ada faktor lain, yaitu faktor lingkungan, geografis, dan iklim serta faktor agama.
2)Faktor Geografis, Lingkungan, dan Iklim.
Menurut Ibn Khaldûn, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi yang dihasilkannya, dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini berarti alam membatasi kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas apa-apa yang ia lakukan. Selain itu alam juga mempengaruhi sifat-sfiat fisik dan psikis manusia, dan malah juga mempengaruhi kehidupan kulturalnya.16
Ibnu Khaldûn membagi bumi menjadi tujuh bagian. Sebagian, yakni bagian ketiga, keempat, dan kelima, berhawa sedang. Sebagian yang lain, yakni bagian pertama dan ketujuh, sangat panas. Menurut Ibn Khaldûn, kawasan-kawasan yang beriklim sedang adalah tempat-tempat maraknya kebudayaan. Sedang kawasan-kawasan yang sangat dingin dan panas tidak mungkin menyajikan suatu kebudayaan dengan peringkat
16
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 89
(43)
yang sama dengan kebudayaan kawasan-kawasan beriklim sedang. Pendapat Ibn Khaldûn inilah sebabnya kita dapati ilmu pengetahuan, industri, bangunan-bangunan, pakaian, makanan, dan buah-buahan, bahkan hewan-hewan dan segala apa yang hidup di tiga kawasan sedang ini, memiliki ciri-ciri sedang dan sederhana. Manusia-manusia yang mendiami kawasan-kawasan tersebut sedang pula postur tubuhnya, warna kulitnya, sopan santunnya, dan juga agamanya.17 Sebagian besar nabi-nabi diturunkan di kawasan-kawasan utara dan selatan. Karena pada nabi dan utusan Allah hanya diutus kepada ummat manusia yang paling sempurna, baik tubuh maupun pikirannya, yaitu umat yang lebih bisa menerima ajaran-ajaran yang dibawa.
Adapun penduduk kawasan-kawasan yang jauh di ujung, seperti penduduk kawasan kesatu, kedua, keenam, dan ketujuh, adalah jauh dalam segala hal. Tempat kediaman mereka terbuat dari tanah liat atau seperti bambu. Makanan mereka terdiri dari jawawut dan buah-buahan liar. Pakaian mereka dari daun-daunan atau kulit. Sebagian mereka malahan pergi ke sana ke mari tanpa busana. Buah-buahan dan hasil utama tanah mereka adalah aneh dan jauh dari memadai. Mereka mempergunakan tembaga, besi, atau kulit sebagai ganti emas atau perak, untuk alat jual-beli. Watak mereka sangat dekat dengan watak binatang buas. Pada umumnya mereka sama sekali tidak mengetahui kenabian dan tidak mengikuti sedikitpun hukum-hukum agama, kecuali sebagian kecil
17
(44)
dari mereka yag hidup berbatasan dengan kawasan-kawasan yang beriklim sedang.18
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Ibn Khaldûn mengasumsikan bahwa iklim, lingkungan, dam geografis, ikut membawa dampak terhadap tubuh, moral, akal pikiran, kegiatan, dan kebudayaan manusia. Oleh karenanya, berdasarkan pendapat ini, dapat dipastikan, bahwa iklim, lingkungan, dan geografis merupakan salah satu faktor lain yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan laju sejarah manusia. 3)Faktor Agama
Menurut Ibn Khaldûn hubungan antara Allah dan alam manusia tampak pada setiap ruang dan waktu. Menurutnya, Allah menjadikan segala sesuatu yang ada dalam alam untuk manusia dan sebagai anugerah kepadanya. Dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah menyatakan bahwa Dia menjadikan segala yang ada di antara langit dan bumi bagi manusia dan menundukkan laut dan segala hewan baginya pula. Kekuasaan manusia terentang di atas seluruh alam dengan segala isinya sehingga Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya.19
Khaldûn juga mengatakan kehidupan sosial mungkin berlangsung tanpa agama, dan politik dapat tegak tanpa aturan agama. Namun agama-agamalah yang mendorong perkembangan ke depan dan menjadikan kehidupan sosial lebih utama. Sebab semangat agama dapat meredakan
18
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, h. 13. Lihat. Ibn Khaldun,
Muqaddimah. Penerjemah Ahmadi Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 83-106
19
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 97
(45)
pertentangan dan iri hari yang dirasakan oleh salah satu anggota dari golongan itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka ke arah kebenaran. Jika sekali perhatian mereka telah terpusat pada kebenaran maka tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi mereka. Sebab pandangan mereka adalah sama dan tujuan yang mereka kejar pun serupa dan satu, sehingga membuat mereka bersedia berjuang sampai mati. Inilah yang terjadi pada bangsa Arab sewaktu penaklukan Islam yang mula-mula. Sebab tentara Islam dalam perang Yarmuk dan Qadisiah berjumlah kurang dari 30.000 orang, padahal tentara Persia di Qadisiah berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraclitus terdiri dari 400.000 orang. Meskipun demikian kedua lawan itu tidak sanggup berhadapan dengan tentara Arab dan kedua-duanya dikalahkan.20
Penuturan di atas membuktikan bahwasanya agama sangat memberikan peran dalam jalannya perkembangan sejarah.
b. Hukum-Hukum Determinisme Sejarah
Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu kausa atau berbagai kausa, dan semuanya itu tidak mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, kecuali apabila terjadi perbedaan di dalam kausa-kausanya. Menurut Ibn Khaldûn, ada tiga hukum determinisme sejarah yaitu, pertama, hukum kausalitas, Ibn Khaldun menerapkan dan menjadikan hukum ini sebagai salah satu di antara dua prinsip sejarah – filsafat sejarah. Ia meyakini adanya hubungan kausalitas antara
20
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 99. Lihat. Ibn Khaldun, Muqaddimah.Penerjemah Ahmadi Thaha, h. 192-197
(46)
kenyataan dan fenomena-fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di alam ini, dapat dicari hukum kausalitasnya.
Apa saja yang ada di dunia yang diciptakan ini, baik berupa benda maupun perbuatan (dari manusia atau binatang) menunjukkan terdapatnya sebab-sebab yang membawa semua itu kepada perwujudannya. Dan sebaliknya masing-masing dari sebab-sebab ini adalah suatu kejadian yang menunjukkan adanya sebab-sebab yang mendahuluinya. Karena itu susunan sebab-sebab itu akan terus meningkat hingga sampai kepada sebab (yang sebenarnya) dari segala sebab. Yang mengadakan dan menciptakan semua ini –segala puji bagi-Nya yang tidak ada Tuhan melainkan Dia. Peningkatan sebab-sebab itu akan semakin meluas sehingga akal tidak mampu memahaminya. 21
Ada beberapa pengecualian dalam hukum kausalitas yang diyakini Ibn Khaldûn. Pengecualian-pengecualian itu berbentuk dampak hal luar biasa yang berbentuk mukjizat-mukjizat para nabi dan karamah-karamah para wali: “Ketahuilah sesungguhnya Allah SWT memilih di antara manusia sejumlah pribadi yang diberi kelebihan dengan diturunkannya firman-Nya kepada mereka dan diciptakan dengan pengetahuan-Nya.” Mereka dijadikan sebagai perantara antara Ia dengan hamba-hamba-Nya. Di antara yang dikaruniakan kepada mereka ialah pengetahuan-pengetahuan seperti hal-hal biasa lewat ucapan-ucapan mereka dan berita-berita tentang hal-hal ghaib
21
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 111
(47)
yang tidak diketahui manusia dan tidak dapat mereka ketahui kecuali dari Allah.22
Kedua, Hukum peniruan. Peniruan menurut Ibn Khaldûn, merupakan
suatu hukum yang umum. Peniruan ini mendorong gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang peniruan merupakan peniruan terhadap hal yang lebih baik. Si peniru sendiri selalu melengkapi apa yang ditirunya dengan apa yang ia miliki, sehingga dengan ini terciptalah sesuatu yang baru.23
Ketiga, Hukum perbedaan, perbedaan antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya timbul dari upaya penyerupaan dan peniruan. Keadaan yang demikian ini juga berlaku pada negara, di mana negara yang muncul belakangan, akan berupaya meniru negara sebelumnya. Hal ini tidak akan terjadi kecuali jika terdapat suatu landasan yang membedakan antara keduanya, sementara upaya-upaya penyerupaan yang terus menerus pada akhirnya akan membuat terjadinya perbedaan secara total. Ini karena si peniru hanya mengambil apa yang ia kagumi dan kemudian melengkapinya, sehingga timbul jalinan baru yang agak berbeda dari apa yang ia tiru. Kemudian muncul peniru lainnya yang pada gilirannya perbedaan antara yang pertama dan yang ketiga pun semakin besar. Dari sini tampak jelas bahwa antara hukum peniruan dan hukum perbedaan terjalin suatu hubungan dialektis. Sebab, perbedaan akan mendorong pada upaya untuk
22
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 111-112
23
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h.114
(48)
meniru dan dengan berulang kalinya peniruan akan membuat terjadinya perubahan. Ibnu Khaldûn lebih jauh menghubungkan, bahwa perbedaan-perbedaan yang semakin membesar tersebut terjadi karena faktor geografis, fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi, dan agama. Dari itu jelaslah bahwa pendapat Ibn Khaldun tentang determinisme sejarah berjalin kuat dengan faktor yang mengendalikan dan mempengaruhi perjalanan sejarah, sebagaimana penulis jelaskan di atas.24
24
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 115-116
(49)
2. Pemikiran Sejarah ′Alȋ Syarȋ′ati25
′Alȋ Syarȋ′ati berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dan sekaligus keterpaksaan. Dia dapat berbuat semaunya dan pada saat yang bersamaan tunduk pada determinisme. Kerangka determinisme ini merupakan hukum umum yang mengatur proses perkembangan sosial dan sejarah, yang menurut Hegel, cenderung ke arah pertentangan progresif sesuatu yang mutlak atau ideal. Hal ini kemudian disebut Syarȋ′ati sebagai“gerak maju sejarah menuju terwujudnya kesadaran akan Allah pada manusia.” Karena manusia sebagai makhluk, merupakan manifestasi kehendak Allah, yaitu kehendak pada serba kesadaran akan yang mutlak (Khalik). Di sisi lain, manusia di muka bumi ini sebagai khalifah-Nya. Oleh karenanya sejarah tidak mungkin terjadi secara kebetulan, peristiwa terjadi tanpa campur tangan Tuhan, tanpa tujuan, tanpa
25
Satu revolusi yang dicatat oleh beberapa sarjana tingkat dunia sebagai revolusi yang paling spektakuler sepanjang sejarah dunia adalah revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Imam Khomeini di Iran. Namun di balik gemuruh revolusi Islam itu juga tak dapat diabaikan peran besar salah satu aktor intelektual utamanya: Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati. Ia dilahirkan pada 1933 di Mazinan, Pinggiran kota Sabzevar, Iran. Dan meninggal pada 16 Mei 1977 di Inggris. Ayahnya seorang orator nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya. Syarȋ′atidianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi Islam. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian. Dr. ′Alȋ Syarȋ′atimempelajari dan menghayati banyak mazhab pemikiran filsafat, teologi, sosiologi dengan satu sudut pandang Islami. Sebagian orang menyebutkan bahwa dia adalah Muslim Muhajir (yang berhijrah) yang muncul dari kedalaman samudra misitisisme (tasawuf) timur, lalu mendaki ketinggian pesona gunung sains sosial Barat. Namun tidak sampai terperangkap pesona itu, lalu dia kembali ke tengah-tengah kita dengan semua permata yang didapat dari perjalanannya. Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati juga bukan seorang fanatik reaksioner yang melawan apapun yang baru tanpa suatu ilmu pengetahuan; dia juga bukanlah seorang “intelektual terbaratkan” yang meniru segala dari Barat tanpa pertimbangan yang indipenden. Untuk memperjuangkan ideologinya Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati menulis banyak buku. Dalam semua tulisannya, dia berusaha menyajikan gambaran yang jernih dan asli tentang Islam. Dia sangat percaya bahwa kaum intelektual dan generasi muda dapat dengan sukses merealisasikan kebenaran keimanannya dan berupaya melakukan perubahan sosial dengan sukses. Di antara karya-karyanya yaitu Haji, Islamologi, Refleksi Seorang Muslim yang Prihatin terhadap Penderitaan Rakyat Tertindas dan banyak lagi karya-karyanya yang sampai saat ini masih diulas dan dikaji oleh banyak kalangan. Ali Rahnema, ′Alȋ Syarȋ′ati: Guru, Penceramah, Pemberontak,” dalam Ali Rahnema, ed., Para Perintis Zaman Baru Islam. Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), h.205-222
(50)
maksud dan makna. Akan tetapi sejarah berawal dari titik tertentu dan harus berakhir pada titik tertentu, dengan tujuan dan arah tertentu pula.26
Para penulis dan penulis Barat Modern seringkali menoleh pada mitologi Yunani dalam usaha menemukan lebih jauh berbagai makna yang lebih jelas dalam kaitannya dengan sejarah manusia. Mitos dewa-dewa Olympus, Jupiter, Promotheus, Sisypus, Atlantus, Apollo, dan lain sebagainya penuh dengan simbol-simbol dan renungan-renungan mendalam tentang sejarah manusia di masa lalu yang jauh. Menurut Syarȋ′ati, dalam kitab suci Islam juga terdapat berbagai cerita dan legenda serupa yang sarat dan kaya raya dengan idea-idea dan simbol-simbol mendalam. Cerita tentang Qabil dan Habil yang diceritakan dalam Qur’an merupakan salah satu cerita yang sangat dalam maknanya dalam hubungan arti sejarah. Jika ditafsirkan secara simbolis cerita-cerita tersebut dapat menguak makna yang sangat dalam di dalam sejarah.27
Qabil dan Habil adalah anak-anak Adam. Menurut Syarȋ′ati, apa yang terjadi di antara keduanya merupakan suatu cerita penting yang mengandung arti simbolik mendalam tentang awal sejarah manusia. Sumber konflik di antara Qabil dan Habil adalah sebagai berikut : mereka telah dipertunangkan dengan saudara perempuan mereka masing-masing. Tetapi Qabil tidak puas, ia lebih memilih saudara perempuan yang telah diperuntukkan bagi Habil, daripada tunangannya sendiri. Ketidakpuasannya berubah menjadi pemberontakan, dan ia menemukan dirinya telah melanggar apa yang menjadi milik saudaranya. Seperti itulah
26
Ali Rahnema, “Ali Syari’ati: Guru, Penceramah, Pemberontak,” dalam Ali Rahnema, ed., Para Perintis Zaman Baru Islam. Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), h. 227
27
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1982), h. 38
(51)
dimulainya perang pertama antara kedua manusia itu. Dan demikianlah sejarah manusia dimulai di muka bumi ini. Bila Adam merepresentasika jenis manusia pertama, maka Qabil dan Habil mensimbolisasi permulaan sejarah manusia.28
Mula-mula terjadilah suatu perdebatan dan perdebatan itu dihadapkan pada Adam. Adam mendengarkan tuntutan masing-masing dan kemudian mengusulkan agar mereka mempersembahkan pengorbanan. Barang siapa diterima pengorbanannya akan mendapatkan saudara perempuan yang diperebutkan dan yang kalah harus menerima hasilnya. Kedua belah pihak menyetujui syarat-syarat yang diusulkan Adam. Habil mempersembahkan seekor onta muda yang gemuk, hewan terbaik di antara ternaknya, yang sudah tentu diterima. Sedangkan Qabil membawa seonggok gandum yang telah layu, sakit, dan tanpa isi, sebagai pengorbanan di hadapan Tuhan. Tentu saja pengorbanan itu tidak diterima. Qabil menemukan kegagalan lain ketika menyadari bahwa pengorbanannya tidak diterima. Oleh karena itu ia menjadi penasaran dan semakin tidak puas, yang mendorongnya semakin bertindak secara agresif sehingga ia memutuskan membunuh saudaranya. Dan hal ini merupakan pertumpahan darah pertama dalam sejarah manusia yang pertama, pembunuhan pertama yang dilakukan oleh saudara atas saudaranya sendiri.29
Cerita tentang Qabil dan Habil menunjukkan bagaimana persatuan kemanusiaan yang berasal dari orang tua yang sama berubah menjadi konflik dan pertentangan abadi. Cinta sesama saudara berubah menjadi permusuhan, persatuan menjadi perpecahan. Demikianlah halaman pertama sejarah dinodai
28
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. h. 39
29
(52)
dengan pembunuhan yang berlanjut pertentangan, perang, kejahatan, segregasi, dan fragmentasi sosial antara keturunan-keturunan Adam secara susul-menyusul. Pertanyaannya kemudian, apakah sebab dari tindakan kekerasan yang pertama ini?
Orang tidak dapat mengatakan bahwa lingkungan Qabil, keluarganya, pendidikannya, dan masyarakatnya berbeda dari Habil. Namun perbedaan apakah yang mengubah Qabil menjadi seorang pembunuh dan Habil menjadi seorang yang saleh dan cinta damai? Perbedaan ini terletak pada pekerjaan mereka, persembahan Qabil yang berupa seonggok gandum menunjukkan bahwa ia seorang petani. Sedangkan persembahan Habil yang berupa seekor onta menunjukkan bahwa ia seorang penggembala. Habil nampaknya mewakili tahap sejarah eksistensi manusia tergantung pada alam, berburu, mencari ikan dan menjinakkan binatang-binatang buas. Sebaliknya Qabil mewakili zaman pemilikan pribadi dan tahap pertanian ketika sumber-sumber produksi dimonopoli oleh sebuah kelas penguasa. Juga pada zaman monopolisme inilah perjuangan untuk merebut kekuasaan sosial, ekonomik, dan kultural mulai mempengaruhi masyarakat manusia. Sebagaimana kita ketahui, zaman pertama kehidupan manusia di muka bumi adalah zaman pastoralisme (penggembalaan), zaman berburu dan mencari ikan. Pada zaman ini tidak ada sesuatupun yang dimiliki secara pribadi atau dimonopoli, oleh karena sumber-sumber produksi melimpah terdapat di lautan, sungai-sungai, hutan, dan padang belantara. Alam merupakan suatu pasar terbuka, penuh dengan berbagai karunia dan kekayaan yang tersedia bagi semua orang untuk menikmatinya. Ini adalah zaman Habil dalam sejarah
(1)
92 A. KESIMPULAN
Murtadhâ Muththahharâ telah mendefinisikan filsafat sejarah dengan mengkategorisasikannya kedalam pendefinisian atas sejarah. Ia telah mengklasifikasikan definisi sejarah ke dalam empat arti dan pembagian jenisnya ke dalam tiga bagian. Yaitu sejarah tradisional, sejarah ilmiah, dan filsafat sejarah. Yang dimaksud dengan sejarah tradisional ialah sejarah merupakan pengetahuan tentang berbagai permasalahan individu atau tragedi-tragedi yang terjadi pada masa lampau dan bukan yang terjadi pada masa sekarang. Dalam hal ini sejarah tidak berbicara tentang hukum umum atau aturan pergaulan. Dan yang dimaksud dengan sejarah ilmiah ialah cabang pengetahuan tentang aturan dan tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat di masa lalu. Hal tersebut dikaji secara mendalam melalui studi dan analisa yang akurat terhadap berbagai peristiwa yang telah terjadi. Dari studi tersebut akan diperoleh bagaimana karakter dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau. Kajian tersebut akan sangat bermanfaat sebagai sumber pengetahuan dan membantu manusia untuk mengendalikan masa depannya. Sedangkan yang dimaksud dengan filsafat sejarah ialah pengetahuan tentang perkembangan masyarakat dari masa ke masa serta hukum-hukum yang mengatur perubahan-perubahan ini. Filsafat sejarah menurut Muththahharȋ berbicara tentang “menjadi”-nya masyarakat yang menunjukkan gerak bukan tentang “wujud”-nya masyarakat. Menurutnya, masyarakat memiliki dua jenis
(2)
93
hukum, jenis pertama adalah yang mengatur spesies dalam kerangka kelasnya, dan jenis kedua adalah yang bisa berlaku untuk spesies dengan evolusi dan transformasinya menjadi spesies lain lain.
Mekanisme gerak sejarah dalam Islam, paling tidak memiliki tiga unsur, yaitu, pertama, perjuangan kelas, misalnya antara mustadh’afûn (rakyat jelata, golongan tertindas) dengan mustakbirûn (penguasa-tirani atau penindas), kedua, pencapaian ekonomi atau kebendaan. Dan ketiga, karena didorong oleh semangat memperjuangkan nilai-nilai suci. Hanya saja mekanisme gerak sejarah dalam Islam yang didorong oleh perjuangan nilai-nilai sucilah yang paling dominan, dan sekaligus menjadi realitas historis sepanjang sejarah umat manusia, khususnya bagi kaum muslimin. Pemikiran Muththahharȋ tidak luput dari landasan ayat-ayat al-Qur’an yang ia interpretasikan secara mendalam dan imajinatif.
Muththahharȋ juga mengatakan bahwa manusia memiliki keistimewaan dan keunikan dibanding makhluk-makhluk lain yang membuat kehidupannya maju. Manusia menurutnya, dengan akal sehat yang dianugerahkan oleh Tuhan, dapat membawanya menjadi makhluk yang pembelajar, kreatif, memiliki fitrah untuk mencipta, dan hasrat untuk maju. Kenyataan seperti inilah yang membuat Muththahharȋ kemudian menyimpulkan bahwa penyejarahan dan mekanisme sifat sejarah dalam Islam, tidak hanya menjalankan kehendak mutlak Tuhan, tetapi juga manusia memiliki kebebasannya untuk memenuhi kehendaknya sendiri.
Muththahharȋ dengan tegas menulis, bahwa antara logika Islam dengan materialime historis Marx terdapat pertentangan satu sama lain. Ia sangat mengkhawatirkan ajaran dan pemikiran Islam yang terkait dengan kajian-kajian di
(3)
seputar masyarakat dan sejarah, dihubung-hubungkannya dengan materialisme historis. Sebab menurutnya, teori ini memandang bahwa masyarakat dan sejarah bersifat bendawi. Padahal Islam tidak mempercayai materialisme historis. Perang, dalam Islam bukan bermotifkan untuk menumpuk materi atau kekayaan, tetapi seseorang mau dan rela meninggalkan segalanya, termasuk nyawanya, karena dilatarbelakangi oleh idealis-ideologi dan kepercayaanya, yang dalam Islam misalnya terinspirasi dalam konsep jihâd fȋ sabȋlillah. Peperangan yang dilatarbelakangi oleh idealis-ideologi seperti itu lebih efektif dan dahsyat dibandingkan dengan peperangan yang dimotivasikan oleh kepentingan material dan kekuasaan belaka.
Al-Qur’ân percaya pada kekuatan dan nilai bimbingan, nasihat, teguran, peringatan, argumentasi, dan penalaran logis yang dalam teks al-Qur’ân disebut dengan hikmah dan kebijaksanaan. Di dalam al-Qur’ân, semua sarana itu dapat mengubah seseorang, mengubah jalan hidupnya, mengubah kepribadiannya, dan menciptakan perubahan ruhaniah dalam dirinya. Pendekatan seperti ini jelas bertentangan dengan teori materialisme historisnya Marx, yang membatasi peranan bimbingan hanya sebagai pengubah kelas itu sendiri: menjadi kelas untuk
kelas, dengan cara menimbulkan kesadaran akan pertentangan kelas dan watak
(4)
95
B.Saran-saran
Adapun mengenai saran-saran yang perlu disampaikan berkaitan dengan penelitian skripsi ini, dalam hubungannya dengan kajian-kajian filsafat sejarah di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Aqidah Filsafat, antara lain:
1. Perlu adanya mata kuliah tersendiri tentang filsafat sejarah, karena hemat penulis mata kuliah ini belum ada di jurusan aqidah filsafat, paling tidak dengan adanya mata kuliah tersebut dapat memberikan wawasan mengenai kajian filsafat sejarah.
2. Dalam upaya menyemarakkan kajian filsafat sejarah, perlu adanya diskusi-diskusi tentang filsafat sejarah, dengan adanya forum atau kegiatan ini akan sedikit banyak lebih mempertajam kekuatan analisa para mahasiswa dalam menyikapi perkembangan masyarakat sekitar, negara, dan dunia global.
3. Tentu yang tidak kalah pentingnya adalah menambah jumlah koleksi buku-buku filsafat sejarah di perpustakaan fakultas maupun perpustakaan pusat. 4. Dan tentu saja ditambah dengan publikasi buletin, jurnal pemikiran untuk lebih
menyemarakkan diskursus pemikiran di fakultas Ushuluddin khususnya di Jurusan Aqidah Filsafat.
(5)
95
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Berlin, Isaiah, Biografia Karl Marx, terj. Eri Setiyawati, Alkhatab, Silvester G Sukur.
Surabaya: Pustaka Promothea, 2000.
Collingwood, Robin George. The Idea of History. London: Oxford University Press,
1976.
Gottschalk, Louis.
Mengerti Sejarah, terj.
Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press,1985.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Khaldun, Ibn. Muqaddimah, terj. Ahmadi Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Khudairi, Zainab.
Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani.
Bandung: Penerbit Pustaka,1987.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 1995.
Muchsin, Misri A. Filsafat Sejarah Dalam Islam. Yogyakarta: Ar-ruzz Press, 2002.
Muthahhari, Murtadha.
Manusia dan Alam Semesta,terj. Ilyas Hasan. Jakarta:
Lentera, 2002.
__________.
Kritik Islam Terhadap Materialisme, terh. Akmal Kamil. Jakarta:
Islamic Center Jakarta al-Huda, 2001.
__________.
Membumikan Kitab Suci, Manusia dan Agama, terj. Tim Penerjemah
Mizan. Bandung: Mizan, 2007.
__________. Society and History, translator Mahliqâ Qarâ’i. Jakarta: Islamic Culture
and Relation Organization, 1997.
__________. Menguak Masa Depan Umat Manusia Pendekatan Filsafat Sejarah, terj
Afif Muhammad, Masykur Ab, Fauzi Siregar, A. Rifa,i Hasan. Bandung:
Pustaka Hidayah, 2001.
Nasr, Seyyed Hossein dan Leaman, Olivear, ed.
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
(Buku Pertama), terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
(6)