58
BAB IV PEMIKIRAN MURTADH
Ȃ MUTHTHAHHARȊ TENTANG FILSAFAT SEJARAH
A. Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah
Menurut Muththahhar ȋ, pengertian sejarah dapat dilihat dalam tiga
cabang yang satu sama lain saling berhubungan erat. Pertama, sejarah adalah
cabang dari pengetahuan tentang peristiwa masa lalu dan kondisi yang berkaitan dengan masyarakat masa lalu. Cabang pengetahuan yang menjelaskan tentang
kejadian, peristiwa, dan masyarakat masa lalu disebut dengan sejarah. Begitu juga dengan biografi, kisah penaklukan, dan kisah orang-orang termasyhur yang
disusun semua bangsa, termasuk dalam kategori ini. Dalam pengertian ini, Muththahhar
ȋ secara ringkas memberikan rincian sebagai berikut, pertama bahwa arti sejarah adalah pengetahuan tentang masalah
individu dan peristiwa yang berkenaan dengan individu bukan pengetahuan tentang hukum umum atau aturan pergaulan. Kedua, sejarah adalah ilmu rawian
atau transferan. Ketiga, sejarah adalah pengetahuan tentang “wujud” bukan tentang “menjadi”. Keempat, sejarah berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan
masa sekarang.
1
Kedua, dalam pengertian lain, arti sejarah adalah cabang pengetahuan
tentang aturan dan tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat di masa lalu.
1
Murtadhâ Muththahhar ȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat
Raya. Penerjemah Ilyas Hasan Jakarta: Lentera, 2002, h. 303. Martyr Murtadâ Muthahhari, Society and History. Translator Mahliqâ Qarâ’i Jakarta: Islamic Culture and Relations
Organization, p.50
Aturan dan tradisi ini disimpulkan dari studi dan analisis atas peristiwa masa lalu. Subjek atau pokok persoalan yang dibahasnya yaitu peristiwa dan kejadian masa
lalu yang berfungsi sebagai pendahuluan untuk cabang sejarah ini. Sesungguhnya peristiwa masa lalu yang relevan dengan sejarah dalam pengertian seperti ini,
dapat disamakan
dengan material
yang dikumpulkan
fisikawan di
laboratoriumnya untuk ditelaah, dianalisis, dan dieksperimen dengan tujuan mengetahui karakteristik dan mengetahui hukum umum yang berkaitan dengan
material itu. Dalam pengertian kedua ini, pekerjaan sejarawan adalah menemukan karakter peristiwa sejarah dan mengetahui hubungan sebab-akibatnya sehingga
dapat disimpulkan beberapa aturan umum yang berlaku pada semua peristiwa serupa di masa lalu dan sekarang. Cabang sejarah ini oleh Muththahhar
ȋ disebut “sejarah ilmiah”.
2
Peristiwa masa lalu menjadi bahan dasar dalam sejarah ilmiah, ia menjadi objek yang ditelaah dan dianalisis untuk diambil sebuah aturan umum dari
peristiwa tersebut. Hal ini tidak saja menjadi dokumen sejarah tetapi juga bermanfaat untuk dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengamati peristiwa-
peristiwa yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Sejarah ilmiah bermanfaat sebagai sumber pengetahuan, dan membantu manusia mengendalikan masa
depannya. Ada perbedaan yang mencolok antara tugas peneliti sejarah ilmiah dengan
tugas peneliti ilmu alam. Ilmuwan alam dalam penyelidikan bahan-bahan penelitiannya merupakan suatu rantai kejadian nyata dan dapat dibuktikan, dan
2
Murtadha Muththahhar ȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat
Raya, h. 304
karenanya seluruh penyelidikan, analisis dan hasilnya tentu dapat dirasa dan dibuktikan secara bendawi dengan berulang kali. Adapun bahan telaah ilmuwan
sejarah ilmiah adalah peristiwa di masa lalu itu sendiri. Sehingga bahan penyelidikannya pun bahan yang tidak ada lagi di masa sekarang.
Penyelidikannya berdasarkan setumpuk catatan dan jawaban tentang rangkaian peristiwa masa lalu. Jadi, analisis sejarah atau sejarawan dalam kerja ilmiahnya
berdasarkan pada sejauh itu bersifat logis dan rasional, bukan berdasarkan pada bukti dari luar yang dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu sejarawan membuat
analisisnya di laboratorium pikiran dan akalnya, dengan peralatan logika dan penyimpulan.
Ketiga, kata “sejarah” dalam pengertian ketiga digunakan untuk
menunjukkan filsafat sejarah, yaitu pengetahuan tentang perkembangan dan hukum-hukum yang mengatur perubahan masyarakat dari tahap ke tahap. Dengan
kata lain, filsafat sejarah menjelaskan tentang “menjadi”-nya masyarakat, bukan tentang “wujud” masyarakat saja. Jadi, sejarah ilmiah yang menjadi subjeknya
adalah kemaujudan masyarakat. Sedangkan subjek filsafat sejarah adalah tentang “menjadi” masyarakat yang menunjukkan gerak.
3
Sejarah dalam makna filsafat sejarah ini merupakan telaah tentang evolusi
4
masyarakat, dari satu tahap ke tahap lain. Ia tidak hanya merupakan pengetahuan
3
Murtadhâ Muththahhar ȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat
Raya. Penerjemah Ilyas Hasan, h. 305
4
Muthahhari memberikan pengertian secara khusus tentang makna evolusi, beliau berujar banyak hal pada awalnya kelihatan sedemikian jelas sehingga tidak membutuhkan definisi. Tetapi
ketika seseorang mencoba mendefinisikannya, ia menghadapi kesukaran dan berbagai macam kesulitan. Pertama-tama beliau menjelaskan perbedaan antara evolusi dan kemajuan progress.
Apakah kemajuan sama dengan evolusi, dan apakah evolusi identik dengan kemajuan? Menurutnya, kedua kata itu mempunyai satu perbedaan dan anda dapat menguji penggunannya.
Kita kadang-kadang berbicara tentang sebuah penyakit yang sedang maju, tetapi kita tidak
tentang keberadaan masyarakat pada satu tahap tertentu, tetapi pada semua tahap. Filsafat sejarah menelaah masyarakat secara terus menerus yang berasal dari masa
lampau dan masa mendatang. Muththahhar
ȋ lebih lanjut menjelaskan di dalam buku Manusia dan Alam Semesta tentang bagaimana mungkin pada masyarakat memiliki dua kualitas
sekaligus yakni “wujud” dan “menjadi” di mana kedua kualitas tersebut bertolak belakang dalam maknanya sehingga mustahil memadukan dua kualitas ini, karena
“wujud” menunjukkan kemandekan, sedangkan “menjadi” menunjukkan gerak. Masyarakat hanya bisa memiliki satu dari dua kulitas ini. Gambaran yang kita
bentuk mengenai masyarakat, dapat melukiskan “wujud” atau “menjadi”.
mengatakannya sedang berkembang. Jika satu pasukan sedang bertempur di sebuah daerah yang salah satu bagiannya mereka duduki, kita mengatakan bahwa pasukan tersebut sedang mendapat
kemajuan, tetapi kita tidak mengatakan bahwa mereka sedang berkembang. Mengapa tidak? Karena terdapat pengertian yang mulia dalam evolusi: evolusi merupakan suatu gerak menaik,
gerak vertikal, dari level yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Tetapi kemajuan selalu terjadi pada level horizontal. Ketika sebuah pasukan menduduki suatu daerah dan menambah
wilayah-wilayah yang mereka miliki, kita mengatakan pasukan itu maju, yang berarti pasukan itu telah bergerak maju tetapi masih pada tahap yang sama dari posisi sebelumnya. Mengapa kita
tidak mengatakan pasukan itu berkembang? Karena dalam evolusi terdapat ide tentang kemuliaan keagungan. Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang evolusi sosial, hal itu berarti
pengagungan dimensi sosial manusia dan tidak hanya kemajuannya. Banyak hal yang dapat dianggap sebagai kemajuan bagi manusia dan masyarakat tanpa adanya evolusi dan pemuliaan
bagi masyarakat manusia. Kita menyatakan ini untuk menunjukkan bahwa jika sejumlah sarjana menyatakan keraguan mengenai keagungan kemajuan semacam itu untuk disebut sebagai suatu
evolusi, pandangan mereka itu bukan tanpa dasar. Walaupun kita tidak menyetujui pandangan mereka, namun apa yang mereka nyatakan tidaklah secara keseluruhannya tidak ada artinya. Oleh
karena itu, terdapat perbedaan antara evolusi di satu sisi dan kemajuan dan perkembangan di sisi lain; karena kemajuan dan perkembangan sangat mirip artinya.
Di samping itu Muththahhar ȋ menguraikan tentang perbedaan sempurna dan lengkap
yang tentu saja terdapat keterkaitan dengan penjelasan di atas. Jika ada suatu benda terdiri atas sejumlah bagian-bagian seperti sebuah bangunan dan atau mobil, bagian-bagiannya yang penting
tidak ada di dalamnya, kita mengatakan hal itu tidak sempurna. Tetapi jika kita menempatkan bagian terakhir dari benda itu di dalamnya, maka kita dapat mengatakan bahwa hal itu sebagai
‘lengkap’. Sebagai perbandingannya, evolusi mempunyai banyak fase dan tingkatan. Jika seorang anak dilahirkan dalam keadaan cacat tubuh, kita memandangnya sebagai cacat; tetapi bahkan jika
ia dilahirkan denga anggota tubuh yang lngkap, ia masih dipandang cacat dari pandangan yang lain; ia harus melewati banyak tahap evolusi dalam pendidikannya yang baginya merupakan satu
bentuk proses pemuliaan dan pendakian yang dicapai lewat tingkatan-tingkatan dan tahapan. Murtadha Muthahhari, Menguak Masa Depan Umat Manusia Pendekatan Filsafat Sejarah.
Penerjemah Afif Muhammad, Masykur Ab, Fauzi Siregar, A.Rifa’i Hasan Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, h. 20-21
Muththahhar ȋ mengemukakan dengan baik dan lengkap bahwasanya
gambar mengenai dunia dan masyarakat sebagai bagian dari dunia pada umumnya bisa statis atau dinamis. Kalau statis, maka berkualitas “wujud”, bukan “menjadi”.
Dan kalau dinamis, maka berkualitas “menjadi”, bukan “wujud”. Berdasarkan ini ternyata majhab filsafat beragam. Satu sistem filsafat mempercayai “wujud”,
sedangkan sistem yang lain mempercayai “menjadi”. Majhab yang mempercayai “wujud” berpandangan bahwa “wujud” dan “non-wujud” eksistensinya tak
mungkin serentak, karena keduanya bertentangan, sedangkan dua hal yang bertentangan eksistensinya tak mungkin serentak. Kalau “wujud” ada, maka “non-
wujud” tidak ada. Jika “non-wujud” ada, maka “wujud” tak ada. Satu dari keduanya yang harus dipilih. Mengingat dunia dan masyarakat ada, maka jelas
kualitasnya adalah “wujud”, dan tentu saja keduanya diatur oleh diam atau tak ada gerak. Beda dengan pandangan ini, majhab yang mempercayai “menjadi”
berpandangan bahwa “wujud” dan “non-wujud” bisa eksis sekaligus, karena ide “menjadi” menunjukkan gerak, yang artinya bahwa ada sesuatu dan sekaligus
sesuatu itu tidak ada. Filsafat “wujud” dan filsafat “menjadi” mencerminkan dua pandangan
yang sama sekali bertentangan tentang eksistensi. Mana yang harus dipilih, filsafat yang ini atau filsafat yang itu. Kalau yang dipilih adalah filsafat yang
pertama, tentu akan muncul asumsi bahwa masyarakat itu berkualitas “wujud”, bukan berkualitas “menjadi”. Sebaliknya, kalau filsafat yang kedua yang dipilih,
tentu akan muncul pernyataan bahwa masyarkat itu berkualitas “menjadi”, bukan “wujud”.
Menyikapi masalah tersebut, Muththahhar ȋ mengatakan bahwa pandangan
ini tentang eksistensi dan non-eksistensi, tentang diam dan gerak, dan tentang prinsip mustahilnya eksistensi serentak dua hal bertentangan, semata-mata isapan
jempol gagasan Barat. Cara berfikir seperti ini terjadi karena tidak mengetahui banyak masalah penting tentang eksistensi, khususnya esensialitas eksistensi dan
beberapa masalah lainnya yang relevan. Pertama, mengatakan bahwa “wujud” sama dengan diam, atau dengan
kata lain diam berarti “wujud” dan gerak berarti perpaduan “wujud” dan “non- wujud” yang merupakan perpaduan dua hal bertentangan, adalah salah besar.
Kesalahan besar inilah yang dilakukan beberapa mazhab filsafat Barat. Kedua, masalah yang tengah dibahas tak ada kaitannya dengan masalah
filsafat tersebut di atas. Yang terlihat di sini adalah bahwa masyarakat, seperti makhluk hidup, memiliki dua jenis hukum. Jenis pertama adalah yang mengatur
spesies dalam kerangka kelasnya, dan jenis kedua adalah yang bisa berlaku untuk spesies dengan evolusi dan transformasinya menjadi spesies lain. Jenis pertama
ini disebut hukum “wujud”, sedangkan jenis kedua disebut hukum “menjadi”.
5
Menurut teori perkembangan dan evolusi spesies sebagaimana yang dijelaskan Muththahhar
ȋ, di samping hukum khusus yang khas bagi setiap spesies dan yang berlaku dalam bingkai kelasnya sendiri, ada sejumlah hukum lain yang
berkaitan dengan proses evolusi spesies menjadi spesies lain. Hukum ini bersifat filosofis dan terkadang disebut filsafat evolusi, bukan hukum biologis. Karena
masyarakat adalah makhluk hidup, maka masyarakat juga memiliki dua jenis
5
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam Tentang Jagat raya. Penerjemah Ilyas Hasan, h. 306
hukum: hukum biologis dan hukum evolusioner. Ada beberapa hukum masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat dan asal-usul serta
kemunduran budayanya. Hukum ini mengatur semua masyarakat dalam semua tahap perkembangannya. Hukum ini di sebut hukum “wujud”. Ada hukum lain
yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat dari satu tahap ke tahap lain dan dari satu sistem ke sistem lain. Hukum ini dikenal dengan nama hukum
“menjadi”. Kalau nanti kedua jenis hukum ini dibahas, maka akan jelas perbedaan keduanya
.
6
Jadi sejarah dalam pengertian ketiga adalah studi atas evolusi masyarakat dari satu tahap ke tahap yang lainnya. Bukan sekadar pengetahuan tentang kondisi
hidupnya pada tahap tertentu atau pada semua tahap. Dan pengetahuan ini dinamakan filsafat sejarah.
B. Sifat dan Gerak Sejarah