Filsafat Sejarah Dalam Islam

Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini, perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya . 8

C. Filsafat Sejarah Dalam Islam

Di dalam Islam, terdapat beberapa pemikir yang menguasai bidang filsafat sejarah yang tidak asing lagi baik di Timur maupun di Barat. Misalnya, Ibn Khaldûn yang dianggap sebagai representasi periode Klasik. Selanjutnya yaitu beberapa tokoh pemikir Muslim Modern, seperti Malik Bin Nabi, Murtadhâ Muththahhar ȋ, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Siddiqi. Untuk melihat bagaimana perkembangan pemikiran kesejarahan-filsafat sejarah dalam Islam, sebagai alternatif untuk kelengkapan tinjauan ini, penulis akan mengulas sejumlah pemikiran tokoh di bidang filsafat sejarah, yaitu Ibn Khaldun sebagai representasi dari masa klasik dan Ali Syariati sebagai representasi masa modern. 8 Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, h. 114-115 1. Konsep Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn 9 Menurut Khaldûn, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya. Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Menurutnya, ashhâbiyah merupakan asas berdirinya suatu negara dan faktor ekonomis adalah faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat . 10 Ibnu Khaldûn terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Dalam teori tersebut, Khaldûn berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa naik masa berkembang, masa puncaknya, kemudian masa menurun dan akhirnya masa lenyap atau hancur. Khaldûn mengistilahkan siklus itu dengan “tiga tangga peradaban”. Sekadar 9 Abû Zaid ‘Abd Al-Rahmân ibn Khaldûn Al-Hadram ȋ lahir di Tunis pada 732 H1332 M dan meninggal di Kairo pada 808 H1406 M, setelah lima tahun sebelumnya bertemu dengan T ȋmûr Lenk di luar tembok Kota Damaskus. Selama hidupnya, ia kerap disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan diplomatik da politik, Ibn Khaldûn banyak menggunakan waktunya untuk belajar, mengajar, dan menulis. Secara umum dapat dikatakan bahwa ia tak henti-hentinya berusaha memuaskan dua kebutuhan dasarnya: pertama tindakan politik dan kedua pengetahuan ilmiah. Sementara ia gagal dalam mencapai tujuan pertama demi kepuasan, ia berhasil meraih yang kedua –meskipun relatif terlambat dalam hidupnya. Salah satu karya besarnya adalah Muqaddimah, dalam karya tersebut, Ibn Khaldûn merumuskan sebuah filsafat sejarah yang tak pelak lagi merupakan karya terbesar dari jenisnya yang pernah disusun oleh seorang tokoh dalam sejarah. Objek khususnya sendiri yaitu peradaban manusia dan organisasi sosial. Sejarahnya juga mempunyai masalah-masalah khas sendiri –yaitu menjelaskan kondisi-kondisi berkaitan yang berkaitan satu sama lain dengan esensi peradaban. Perhatian khusus diberikan pada interaksi antara faktor alami dan faktor non-fisik yang mendasari budaya manusia yang berpusat pada kekuasaan negara. Dalam Muqaddimah, ia juga menyelidiki fenomena manusia dan institusi sosial yang bertumpu pada kerajinan, sains, dan penyebarannya. Daya dorong di balik proses historis itu, menurutnya, berada dalam ashhâbiyah. “Semangat kelompok” ini menimbulkan tindakan politik yang mengarah pada perebutan terhadap alat-alat negara. Abderrahmane Lakhsassi, “Ibn Khaldûn,” dalam Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama. Penerjemah Tim Penerjemah Mizan Bandung: Mizan, 2003, h. 446 10 Dr. Zainab al-Khudhariri, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani Bandung: Penerbit Pustaka, 1987, h. 62 ilustrasi, Khaldûn menegaskan bahwa kesatuan suku Badui dapat mengantarkan pada terbentuknya suatu negara; dan cara hidup yang berpindah-pindah akan menghasilkan kejayaan dan berakhir pada kehancuran. Di samping itu, Ibnu Khaldûn berafiliasi dengan beberapa aliran filsafat sejarah. Pertama, ia berafiliasi dengan aliran sejarah sosial yang berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat diinterpretasikan, dan teori-teorinya dapat diikhtisarkan dari fakta-fakta sejarah. Tokoh-tokoh aliran ini pada zaman modern di antaranya ialah Jean Bodin dan Vico. Kedua, ia dapat dipandang berafiliasi dengan aliran ekonomi, yang menginterpretasikan sejarah secara materialistis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis serta merujukkan perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomena pada faktor-faktor ekonomis. Tokoh yang terkenal dengan aliran ini ialah Karl Marx. Meski dari aspek ini ia dapat dipandang sebagai seorang penyeru aliran tersebut, namun ia tidak meninjau fenomena-fenomena sosial dan perubahan historis hanya dari aspek ekonomis saja. Ia juga meninjau dari sudut faktor-faktor lainnya dan lebih menekankan faktor-faktor lain. Ketiga, ia juga dipandang berafiliasi pada aliran geografis yang memandang manusia sebagai putra alam lingkungan dan kondisi- kondisi alam di sekitarnya. Menurut pendapat yang terakhir ini lingkungan alamlah yang membentuk masyarakat-masyarakat dan kebiasaan-kebiasaannya. Namun pandangan ini belakangan tidak lagi diterima, sebab kini terbukti bahwa selain dipengaruhi lingkungan, manusia juga mempengaruhi lingkungan. Jadi antara keduanya terjadi interaksi yang saling mempengaruhi . 11 a. Faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan sejarah dan perkembangannya Perkembangan menurut Ibn Khaldûn tidaklah berupa lingkaran dan garis yang lurus, melainkan berbentuk spiral. Sebagai contoh, adalah perkembangan negara. Negara mana pun, setiap kali mencapai puncak kejayaan dan kebudayaannya, akan memasuki masa senja dan mulai mengalami keruntuhan untuk digantikan negara baru. Negara baru ini tidak bermula dari nol, tetapi mengambil peninggalan negara lama, melengkapinya, menciptakan kebudayaan yang lebih maju yang berbeda dari kebudayaan negara sebelumnya, meski perbedaan ini tidak nampak sehingga sulit diamati. Namun dengan berulangkalinya daur ini berlangsung, perbedaan tersebut akan tampak makin jelas bilamana mereka memerintah suatu negara dan pemerintahan maka tidak boleh tidak mereka akan menggunakan tradisi orang-orang sebelum mereka. Mereka akan banyak menimba dari tradisi itu dan mereka tidak akan melupakan tradisi generasi mereka. Meski demikian ada perbedaan antara tradisi negara ini dengan tradisi generasi sebelumnya. Kemudian apabila muncul lagi negara lain setelah mereka, tradisinya pun bercampur dengan tradisi mereka dan sebagian tradisi bertentangan dengan tradisi mereka. Perbedaan tradisi negara yang terakhir ini semakin berbeda dari tradisi generasi pertama. 11 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 63 Dengan berlalunya waktu, sedikit demi sedikit terjadi perubahan dan akhirnya berkesudahan dengan perbedaan secara total . 12 Menurut Khaldûn, ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. Ketiganya yaitu: 1 Faktor Ekonomi Dalam pandangan Ibnu Khaldûn sebagaimana yang dikutip oleh Zainab al-Khudairi dalam buku Filsafat Sejarah Ibnu Khaldûn, banyak orang-orang kota yang tenggelam dalam kemewahan, mencari kesenangan dan keduniaan, bebas melabuhkan hawa nafsunya, sehingga jiwa mereka berlumur dengan kejahatan dan jauh dari jalan kebaikan. Adapun orang-orang desa, sekalipun juga menyukai kehidupan duniawi, terpaksa membatasi dirinya pada hal-hal yang sangat perlu saja. Mereka tidak berusaha memperturutkan keinginannya untuk bermewah-mewah dan bersuka ria. Adat kebiasaan dan perbuatan mereka bersahaja, karena itu mereka tidak begitu menjadi sasaran aib perbuatan jahat dan durhaka dibanding dengan orang-orang kota . 13 Sementara dalam membicarakan sifat-sifat keberanian orang-orang desa yang tidak kita temukan lagi pada orang-orang kota. Menurut Ibn Khaldûn, karena orang kota sudah terbiasa hidup senang, aman, dan tenteram, menyerahkan tugas mempertahankan jiwa dan harta kekayaan 12 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 81 13 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 86 mereka kepada penguasa dan tentara. Dikelilingi tembok yang tebal- tebal, dilindungi berbagai macam pertahanan, maka mereka hidup aman dan lupa mempergunakan senjata. Orang-orang desa memiliki keistimewaan yakni kesederhanaan dan keberanian. Oleh karena itu mereka tahu bagaimana mempertahankan diri dari setiap serangan, masyarakat mereka benar-benar mandiri dan tidak menerima tekanan apapun. Mereka bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, cenderung pada kebajikan, cinta pada keutamaan, dan benci pada kejahatan dan perbuatan yang hina. 14 Sedangkan masyarakat kota, yang asalnya juga dari desa dan kemudian menjadi penduduk kota akibat perkembangan bentuk dan pola kehidupan mereka, watak kehidupan kota telah memaksa mereka mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan baru, di mana pada masyarakat desa hal ini bisa diabaikan. Kemewahan pun menyelundup dalam kehidupan dan adat istiadat mereka dari segala arah, dan karena tenggelam dalam kenikmatan hidup dan kemalasan, nilai-nilai pun mulai pudar. Semuanya ini membuat melemahnya kegiatan ekonomi, sebab mayoritas penduduk dalam keadaan menganggur. Sesuai dengan karakter mereka, kini mereka kehilangan keberaniaan dan keperkasaan. Oleh karena itu mereka pun membutuhkan perlindungan, suatu hal yang mendorong perlu adanya negara . 15 14 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 86 15 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 87 Dari keterangan di atas, tampak bahwa Ibn Khaldûn mengkonsepsikan, faktor ekonomi sebagai salah satu yang terpenting dalam mengendalikan kehidupan sosial, organisasi politik, moral masyarakat, dan pikiran mereka. Faktor ekonomi dipandang sebagai faktor terpenting dan utama, tetapi bukanlah faktor satu-satunya. Menurutnya, masih ada faktor lain, yaitu faktor lingkungan, geografis, dan iklim serta faktor agama. 2 Faktor Geografis, Lingkungan, dan Iklim. Menurut Ibn Khaldûn, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi yang dihasilkannya, dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini berarti alam membatasi kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas apa-apa yang ia lakukan. Selain itu alam juga mempengaruhi sifat-sfiat fisik dan psikis manusia, dan malah juga mempengaruhi kehidupan kulturalnya. 16 Ibnu Khaldûn membagi bumi menjadi tujuh bagian. Sebagian, yakni bagian ketiga, keempat, dan kelima, berhawa sedang. Sebagian yang lain, yakni bagian pertama dan ketujuh, sangat panas. Menurut Ibn Khaldûn, kawasan-kawasan yang beriklim sedang adalah tempat-tempat maraknya kebudayaan. Sedang kawasan-kawasan yang sangat dingin dan panas tidak mungkin menyajikan suatu kebudayaan dengan peringkat 16 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 89 yang sama dengan kebudayaan kawasan-kawasan beriklim sedang. Pendapat Ibn Khaldûn inilah sebabnya kita dapati ilmu pengetahuan, industri, bangunan-bangunan, pakaian, makanan, dan buah-buahan, bahkan hewan-hewan dan segala apa yang hidup di tiga kawasan sedang ini, memiliki ciri-ciri sedang dan sederhana. Manusia-manusia yang mendiami kawasan-kawasan tersebut sedang pula postur tubuhnya, warna kulitnya, sopan santunnya, dan juga agamanya. 17 Sebagian besar nabi-nabi diturunkan di kawasan-kawasan utara dan selatan. Karena pada nabi dan utusan Allah hanya diutus kepada ummat manusia yang paling sempurna, baik tubuh maupun pikirannya, yaitu umat yang lebih bisa menerima ajaran-ajaran yang dibawa. Adapun penduduk kawasan-kawasan yang jauh di ujung, seperti penduduk kawasan kesatu, kedua, keenam, dan ketujuh, adalah jauh dalam segala hal. Tempat kediaman mereka terbuat dari tanah liat atau seperti bambu. Makanan mereka terdiri dari jawawut dan buah-buahan liar. Pakaian mereka dari daun-daunan atau kulit. Sebagian mereka malahan pergi ke sana ke mari tanpa busana. Buah-buahan dan hasil utama tanah mereka adalah aneh dan jauh dari memadai. Mereka mempergunakan tembaga, besi, atau kulit sebagai ganti emas atau perak, untuk alat jual-beli. Watak mereka sangat dekat dengan watak binatang buas. Pada umumnya mereka sama sekali tidak mengetahui kenabian dan tidak mengikuti sedikitpun hukum-hukum agama, kecuali sebagian kecil 17 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, h. 13 dari mereka yag hidup berbatasan dengan kawasan-kawasan yang beriklim sedang. 18 Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Ibn Khaldûn mengasumsikan bahwa iklim, lingkungan, dam geografis, ikut membawa dampak terhadap tubuh, moral, akal pikiran, kegiatan, dan kebudayaan manusia. Oleh karenanya, berdasarkan pendapat ini, dapat dipastikan, bahwa iklim, lingkungan, dan geografis merupakan salah satu faktor lain yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan laju sejarah manusia. 3 Faktor Agama Menurut Ibn Khaldûn hubungan antara Allah dan alam manusia tampak pada setiap ruang dan waktu. Menurutnya, Allah menjadikan segala sesuatu yang ada dalam alam untuk manusia dan sebagai anugerah kepadanya. Dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah menyatakan bahwa Dia menjadikan segala yang ada di antara langit dan bumi bagi manusia dan menundukkan laut dan segala hewan baginya pula. Kekuasaan manusia terentang di atas seluruh alam dengan segala isinya sehingga Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya. 19 Khaldûn juga mengatakan kehidupan sosial mungkin berlangsung tanpa agama, dan politik dapat tegak tanpa aturan agama. Namun agama- agamalah yang mendorong perkembangan ke depan dan menjadikan kehidupan sosial lebih utama. Sebab semangat agama dapat meredakan 18 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, h. 13. Lihat. Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadi Thaha Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, h. 83-106 19 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 97 pertentangan dan iri hari yang dirasakan oleh salah satu anggota dari golongan itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka ke arah kebenaran. Jika sekali perhatian mereka telah terpusat pada kebenaran maka tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi mereka. Sebab pandangan mereka adalah sama dan tujuan yang mereka kejar pun serupa dan satu, sehingga membuat mereka bersedia berjuang sampai mati. Inilah yang terjadi pada bangsa Arab sewaktu penaklukan Islam yang mula-mula. Sebab tentara Islam dalam perang Yarmuk dan Qadisiah berjumlah kurang dari 30.000 orang, padahal tentara Persia di Qadisiah berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraclitus terdiri dari 400.000 orang. Meskipun demikian kedua lawan itu tidak sanggup berhadapan dengan tentara Arab dan kedua-duanya dikalahkan. 20 Penuturan di atas membuktikan bahwasanya agama sangat memberikan peran dalam jalannya perkembangan sejarah. b. Hukum-Hukum Determinisme Sejarah Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu kausa atau berbagai kausa, dan semuanya itu tidak mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, kecuali apabila terjadi perbedaan di dalam kausa-kausanya. Menurut Ibn Khaldûn, ada tiga hukum determinisme sejarah yaitu, pertama, hukum kausalitas, Ibn Khaldun menerapkan dan menjadikan hukum ini sebagai salah satu di antara dua prinsip sejarah – filsafat sejarah. Ia meyakini adanya hubungan kausalitas antara kenyataan- 20 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 99. Lihat. Ibn Khaldun, Muqaddimah.Penerjemah Ahmadi Thaha, h. 192-197 kenyataan dan fenomena-fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di alam ini, dapat dicari hukum kausalitasnya. Apa saja yang ada di dunia yang diciptakan ini, baik berupa benda maupun perbuatan dari manusia atau binatang menunjukkan terdapatnya sebab-sebab yang membawa semua itu kepada perwujudannya. Dan sebaliknya masing-masing dari sebab-sebab ini adalah suatu kejadian yang menunjukkan adanya sebab-sebab yang mendahuluinya. Karena itu susunan sebab-sebab itu akan terus meningkat hingga sampai kepada sebab yang sebenarnya dari segala sebab. Yang mengadakan dan menciptakan semua ini –segala puji bagi-Nya yang tidak ada Tuhan melainkan Dia. Peningkatan sebab-sebab itu akan semakin meluas sehingga akal tidak mampu memahaminya. 21 Ada beberapa pengecualian dalam hukum kausalitas yang diyakini Ibn Khaldûn. Pengecualian-pengecualian itu berbentuk dampak hal luar biasa yang berbentuk mukjizat-mukjizat para nabi dan karamah-karamah para wali: “Ketahuilah sesungguhnya Allah SWT memilih di antara manusia sejumlah pribadi yang diberi kelebihan dengan diturunkannya firman-Nya kepada mereka dan diciptakan dengan pengetahuan-Nya.” Mereka dijadikan sebagai perantara antara Ia dengan hamba-hamba-Nya. Di antara yang dikaruniakan kepada mereka ialah pengetahuan-pengetahuan seperti hal-hal biasa lewat ucapan-ucapan mereka dan berita-berita tentang hal-hal ghaib 21 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 111 yang tidak diketahui manusia dan tidak dapat mereka ketahui kecuali dari Allah. 22 Kedua, Hukum peniruan. Peniruan menurut Ibn Khaldûn, merupakan suatu hukum yang umum. Peniruan ini mendorong gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang peniruan merupakan peniruan terhadap hal yang lebih baik. Si peniru sendiri selalu melengkapi apa yang ditirunya dengan apa yang ia miliki, sehingga dengan ini terciptalah sesuatu yang baru . 23 Ketiga, Hukum perbedaan, perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya timbul dari upaya penyerupaan dan peniruan. Keadaan yang demikian ini juga berlaku pada negara, di mana negara yang muncul belakangan, akan berupaya meniru negara sebelumnya. Hal ini tidak akan terjadi kecuali jika terdapat suatu landasan yang membedakan antara keduanya, sementara upaya-upaya penyerupaan yang terus menerus pada akhirnya akan membuat terjadinya perbedaan secara total. Ini karena si peniru hanya mengambil apa yang ia kagumi dan kemudian melengkapinya, sehingga timbul jalinan baru yang agak berbeda dari apa yang ia tiru. Kemudian muncul peniru lainnya yang pada gilirannya perbedaan antara yang pertama dan yang ketiga pun semakin besar. Dari sini tampak jelas bahwa antara hukum peniruan dan hukum perbedaan terjalin suatu hubungan dialektis. Sebab, perbedaan akan mendorong pada upaya untuk 22 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 111-112 23 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h.114 meniru dan dengan berulang kalinya peniruan akan membuat terjadinya perubahan. Ibnu Khaldûn lebih jauh menghubungkan, bahwa perbedaan- perbedaan yang semakin membesar tersebut terjadi karena faktor geografis, fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi, dan agama. Dari itu jelaslah bahwa pendapat Ibn Khaldun tentang determinisme sejarah berjalin kuat dengan faktor yang mengendalikan dan mempengaruhi perjalanan sejarah, sebagaimana penulis jelaskan di atas. 24 24 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 115-116 2. Pemikiran Sejarah ′Alȋ Syarȋ′ati 25 ′Alȋ Syarȋ′ati berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dan sekaligus keterpaksaan. Dia dapat berbuat semaunya dan pada saat yang bersamaan tunduk pada determinisme. Kerangka determinisme ini merupakan hukum umum yang mengatur proses perkembangan sosial dan sejarah, yang menurut Hegel, cenderung ke arah pertentangan progresif sesuatu yang mutlak atau ideal. Hal ini kemudian disebut Syar ȋ′ati sebagai“gerak maju sejarah menuju terwujudnya kesadaran akan Allah pada manusia.” Karena manusia sebagai makhluk, merupakan manifestasi kehendak Allah, yaitu kehendak pada serba kesadaran akan yang mutlak Khalik. Di sisi lain, manusia di muka bumi ini sebagai khalifah-Nya. Oleh karenanya sejarah tidak mungkin terjadi secara kebetulan, peristiwa terjadi tanpa campur tangan Tuhan, tanpa tujuan, tanpa 25 Satu revolusi yang dicatat oleh beberapa sarjana tingkat dunia sebagai revolusi yang paling spektakuler sepanjang sejarah dunia adalah revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Imam Khomeini di Iran. Namun di balik gemuruh revolusi Islam itu juga tak dapat diabaikan peran besar salah satu aktor intelektual utamanya: Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati. Ia dilahirkan pada 1933 di Mazinan, Pinggiran kota Sabzevar, Iran. Dan meninggal pada 16 Mei 1977 di Inggris. Ayahnya seorang orator nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya. Syar ȋ′ati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi Islam. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian. Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati mempelajari dan menghayati banyak mazhab pemikiran filsafat, teologi, sosiologi dengan satu sudut pandang Islami. Sebagian orang menyebutkan bahwa dia adalah Muslim Muhajir yang berhijrah yang muncul dari kedalaman samudra misitisisme tasawuf timur, lalu mendaki ketinggian pesona gunung sains sosial Barat. Namun tidak sampai terperangkap pesona itu, lalu dia kembali ke tengah-tengah kita dengan semua permata yang didapat dari perjalanannya. Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati juga bukan seorang fanatik reaksioner yang melawan apapun yang baru tanpa suatu ilmu pengetahuan; dia juga bukanlah seorang “intelektual terbaratkan” yang meniru segala dari Barat tanpa pertimbangan yang indipenden. Untuk memperjuangkan ideologinya Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati menulis banyak buku. Dalam semua tulisannya, dia berusaha menyajikan gambaran yang jernih dan asli tentang Islam. Dia sangat percaya bahwa kaum intelektual dan generasi muda dapat dengan sukses merealisasikan kebenaran keimanannya dan berupaya melakukan perubahan sosial dengan sukses. Di antara karya-karyanya yaitu Haji, Islamologi, Refleksi Seorang Muslim yang Prihatin terhadap Penderitaan Rakyat Tertindas dan banyak lagi karya-karyanya yang sampai saat ini masih diulas dan dikaji oleh banyak kalangan. Ali Rahnema, ′Alȋ Syarȋ′ati : Guru, Penceramah, Pemberontak,” dalam Ali Rahnema, ed., Para Perintis Zaman Baru Islam. Penerjemah Ilyas Hasan Bandung: Mizan, 1995, h.205-222 maksud dan makna. Akan tetapi sejarah berawal dari titik tertentu dan harus berakhir pada titik tertentu, dengan tujuan dan arah tertentu pula. 26 Para penulis dan penulis Barat Modern seringkali menoleh pada mitologi Yunani dalam usaha menemukan lebih jauh berbagai makna yang lebih jelas dalam kaitannya dengan sejarah manusia. Mitos dewa-dewa Olympus, Jupiter, Promotheus, Sisypus, Atlantus, Apollo, dan lain sebagainya penuh dengan simbol-simbol dan renungan-renungan mendalam tentang sejarah manusia di masa lalu yang jauh. Menurut Syar ȋ′ati, dalam kitab suci Islam juga terdapat berbagai cerita dan legenda serupa yang sarat dan kaya raya dengan idea-idea dan simbol-simbol mendalam. Cerita tentang Qabil dan Habil yang diceritakan dalam Qur’an merupakan salah satu cerita yang sangat dalam maknanya dalam hubungan arti sejarah. Jika ditafsirkan secara simbolis cerita-cerita tersebut dapat menguak makna yang sangat dalam di dalam sejarah . 27 Qabil dan Habil adalah anak-anak Adam. Menurut Syar ȋ′ati, apa yang terjadi di antara keduanya merupakan suatu cerita penting yang mengandung arti simbolik mendalam tentang awal sejarah manusia. Sumber konflik di antara Qabil dan Habil adalah sebagai berikut : mereka telah dipertunangkan dengan saudara perempuan mereka masing-masing. Tetapi Qabil tidak puas, ia lebih memilih saudara perempuan yang telah diperuntukkan bagi Habil, daripada tunangannya sendiri. Ketidakpuasannya berubah menjadi pemberontakan, dan ia menemukan dirinya telah melanggar apa yang menjadi milik saudaranya. Seperti itulah 26 Ali Rahnema, “Ali Syari’ati: Guru, Penceramah, Pemberontak,” dalam Ali Rahnema, ed., Para Perintis Zaman Baru Islam. Penerjemah Ilyas Hasan Bandung: Mizan, 1995, h. 227 27 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1982, h. 38 dimulainya perang pertama antara kedua manusia itu. Dan demikianlah sejarah manusia dimulai di muka bumi ini. Bila Adam merepresentasika jenis manusia pertama, maka Qabil dan Habil mensimbolisasi permulaan sejarah manusia. 28 Mula-mula terjadilah suatu perdebatan dan perdebatan itu dihadapkan pada Adam. Adam mendengarkan tuntutan masing-masing dan kemudian mengusulkan agar mereka mempersembahkan pengorbanan. Barang siapa diterima pengorbanannya akan mendapatkan saudara perempuan yang diperebutkan dan yang kalah harus menerima hasilnya. Kedua belah pihak menyetujui syarat-syarat yang diusulkan Adam. Habil mempersembahkan seekor onta muda yang gemuk, hewan terbaik di antara ternaknya, yang sudah tentu diterima. Sedangkan Qabil membawa seonggok gandum yang telah layu, sakit, dan tanpa isi, sebagai pengorbanan di hadapan Tuhan. Tentu saja pengorbanan itu tidak diterima. Qabil menemukan kegagalan lain ketika menyadari bahwa pengorbanannya tidak diterima. Oleh karena itu ia menjadi penasaran dan semakin tidak puas, yang mendorongnya semakin bertindak secara agresif sehingga ia memutuskan membunuh saudaranya. Dan hal ini merupakan pertumpahan darah pertama dalam sejarah manusia yang pertama, pembunuhan pertama yang dilakukan oleh saudara atas saudaranya sendiri . 29 Cerita tentang Qabil dan Habil menunjukkan bagaimana persatuan kemanusiaan yang berasal dari orang tua yang sama berubah menjadi konflik dan pertentangan abadi. Cinta sesama saudara berubah menjadi permusuhan, persatuan menjadi perpecahan. Demikianlah halaman pertama sejarah dinodai 28 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. h. 39 29 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. h. 40 dengan pembunuhan yang berlanjut pertentangan, perang, kejahatan, segregasi, dan fragmentasi sosial antara keturunan-keturunan Adam secara susul-menyusul. Pertanyaannya kemudian, apakah sebab dari tindakan kekerasan yang pertama ini? Orang tidak dapat mengatakan bahwa lingkungan Qabil, keluarganya, pendidikannya, dan masyarakatnya berbeda dari Habil. Namun perbedaan apakah yang mengubah Qabil menjadi seorang pembunuh dan Habil menjadi seorang yang saleh dan cinta damai? Perbedaan ini terletak pada pekerjaan mereka, persembahan Qabil yang berupa seonggok gandum menunjukkan bahwa ia seorang petani. Sedangkan persembahan Habil yang berupa seekor onta menunjukkan bahwa ia seorang penggembala. Habil nampaknya mewakili tahap sejarah eksistensi manusia tergantung pada alam, berburu, mencari ikan dan menjinakkan binatang-binatang buas. Sebaliknya Qabil mewakili zaman pemilikan pribadi dan tahap pertanian ketika sumber-sumber produksi dimonopoli oleh sebuah kelas penguasa. Juga pada zaman monopolisme inilah perjuangan untuk merebut kekuasaan sosial, ekonomik, dan kultural mulai mempengaruhi masyarakat manusia. Sebagaimana kita ketahui, zaman pertama kehidupan manusia di muka bumi adalah zaman pastoralisme penggembalaan, zaman berburu dan mencari ikan. Pada zaman ini tidak ada sesuatupun yang dimiliki secara pribadi atau dimonopoli, oleh karena sumber-sumber produksi melimpah terdapat di lautan, sungai-sungai, hutan, dan padang belantara. Alam merupakan suatu pasar terbuka, penuh dengan berbagai karunia dan kekayaan yang tersedia bagi semua orang untuk menikmatinya. Ini adalah zaman Habil dalam sejarah ketika seluruh manusia secara bebas dapat menjangkau seluruh sumber-sumber alam. Ketamakan, monopolisme, pemilikian pribadi, dan keakuan masih belum terdapat dalam masyarakat manusia. Sebaliknya, Qabil mewakili periode sejarah di mana alam, tanah Tuhan, dimiliki dan dinamakan dengan nama pemiliknya. Dalam rangka menambah milik pribadinya, manusia kemudian memperlemah dan merampas manusia-manusia lain sehingga mereka dapat dijadikan hamba dan budaknya. Karena manusia ingin memiliki alam, masyarakat manusia terbagi menjadi dua, antara tuan dan budak, antara penguasa dan yang dikuasai, antara penindas dan yang tertidas, antara pembunuh dan yang jadi korban. 30 Dengan demikian menurut Syar ȋ′ati, sangat jelas bahwa pembunuhan pertama itu bersesuaian dengan zaman pemilikan pribadi dan monopolisme, ketika persatuan kemanusiaan mengalami disintegrasi, dan ketika hubungan persaudaraan merosot menjadi aksi-aksi pembunuhan. Dengan pembunuhan atas Habil, sejarah berubah dari tahap persatuan ke tahap dualitas, dari tahap kehidupan pastoral dan komunal ke arah kehidupan berdasarkan individualisme dan monopolisme. Pada umumnya, dengan matinya Habil, sejarah mulai berubah memasuki zaman Qabil –suatu periode yang mengakhiri kehidupan tanpa dosa dan pastoralisme periode Habil. Sejak Qabil hidup sepeninggal Habil, kita sayang sekali ditakdirkan menjadi anak-cucu Qabil. Dengan berlangsungnya kehidupan Qabil, lebih lanjut Shariati menjelaskan, maka tradisi Qabil terus berlangsung dan mulailah sebuah periode sejarah di muka bumi, yang mempengaruhi masyarakat manusia dan kebudayaan 30 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, h. 41 pada masa-masa mendatang. Namun Qabil lebih dari sekedar manusia. Ia adalah agama yang tidak dimaksudkan untuk mengingkari Tuhan atau meragukan eksistensi-Nya di jagat raya. Walaupun agama ini juga merupakan agama yang dipeluk Adam, Qabil menggunakannya sedemikian rupa untuk membenarkan dan mendukung kepentingan-kepentingan dan kebutuhannya. Demikianlah bermula tradisi “Qabili” dalam permulaan agama Adam. Sebaliknya dalam kehidupan Habil dan dalam tradisi Habil agama ini tetap terus menampilkan kebenaran dan kebajikan-kebajikan manusia. Jadi selalu terdapat perjuangan terus-menerus antara dua tradisi atau agama sepanjang zaman, dan masyarakat manusia hampir- hampir mustahil tanpa dipengaruhi oleh konflik dualistik ini. 31 Kehidupan era “Qabilian” ini adalah era kehidupan di mana manusia bermusuhan dengan manusia, saudara membunuh saudara, kemanusiaan hidup dalam masyarakat yang terbagi-bagi dan bermusuhan. Qabil dan kelasnya selalu berusaha merampas massa agar dapat memperkuat kekuasaan dan memperkaya elit yang sedang memerintah. Massa kemanusiaan yang luas dan banyak telah ditindas dan diperbudak supaya anak-cucu Qabil dapat hidup dalam kenikmatan berlebihan. Akan tetapi Syar ȋ′ati memiliki keyakinan, bahwa di kalangan umat manusia akan muncul sebuah kesadaran baru tentang keesaan akan menunjukkan komitmennya untuk memerangi kehidupan model Qabilian sehingga manusia akan memperoleh kembali keesaannya yang orisinal. Kesadaran baru tersebut mencurahkan dirinya untuk memulihkan kembali makna spiritual bagi alam, 31 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, h. 42 untuk menolong manusia mencapai kesadaran keagamaannya, dan untuk membangunkan manusia pada misinya sebagai wakil atau khalifah Tuhan di muka bumi sebagai pembentuk nasibnya sendiri dan nasib seluruh umat manusia. Pandangan hidup yang utuh berdasarkan keesaan pada hakekatnya bertentangan dengan berbagai inkonsistensi dalam masyarakat, dalam umat manusia, dalam dunia eksistensi, antara dunia fisis dan metafisis. Dalam kitab-kitab suci agama monoteistik, manusia dan alam dilihat sebagai memiliki makna, tujuan, dan kesadaran diri. Alam semesta tidak dituduh sebagai absurd, tanpa maksud, dan bersikap tak acuh pada kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia. Manusia dilihat sebagai makhluk merdeka dan memiliki potensialitas tanpa batas. Nasibnya ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Dalam bahasa Qur’an, “tauhid” keesaan memberkati manusia dengan kebijakan dan kebenaran. 32

D. FILSAFAT SEJARAH DI BARAT