sengketa kaum pribumi secara damai, tanpa memerlukan intervensi pihak penguasa Kolonial Belanda.
15
Pada masa Kolonial Belanda lembaga pengadilan diberikan kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Hakim diharapkan mengambil peran
maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 130 HIR Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941: 44, atau Pasal 154 R.Bg
Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927: 227atau Pasal 31 Rv Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad, 1874: 52, disebutkan bahwa hakim atau majelis hakim
akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara mereka diputuskan. Peraturan perundang-undangan pada masa Belanda juga mengatur penyelesaian
sengketa melalui upaya damai di luar pengadilan. Upaya tersebut dikenal dengan arbitrase. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 615-651 Rv Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad, 1874: 52, atau Pasal 377 HIR Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941: 44, atau Pasal 154 R.Bg Rechtsreglement Buitengewesten,
Staatsblad, 1927: 227, atau Pasal 31 Rv Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad, 1874: 52. Ketentuan dari pasal-pasal ini antara lain berbunyi: jika orang bangsa
bumiputra dan orang Timur Asing hendak menyuruh memutuskan perselisihannya oleh juru pemisah, maka dalm hal ini mereka wajib menurut peraturan mengadili perkara bagi
bangsa Eropa.
16
15
Syahrizal Abbas, op.cit., hal. 286.
16
R.Tresna, 1979, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 298.
2.3.2 Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang
Dalam Pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam peradilan di
Indonesia, proses penyelesaian perkarasengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Asas ini berlaku pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan badan-
badan peradilan di bawahnya. Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala dalam
praktik peradilan, karena banyaknya perkara masuk, terbatasnya tenaga Hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama
yang wilayah hukumnya meliputi kabupatenkota. Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya hukumnya, baik
upaya banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan
acces to justice guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia.
Ketentuan mengenai mediasi baru ditemukan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Pemerintah PP No.
54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. UU No. 30 Tahun 1999 membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa dalam masyarakat Indonesia.
Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayang adalah pengadilan. Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para pihak
yang bersengketa menghadapi persoalan antara lain waktu, biaya dan mungkin persoalan mereka diketahui oleh publik.
UU No. 30 Tahun 1999 membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
menganut prinsip sama-sama menguntungkan win-win solution, dan berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan dimana prinsip yang dianut adalah menang-kalah.
Undang-undang ini memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukan itikad baik, karena tanpa itikad baik apa pun yang diputuskan di luar
pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan. Prinsip win-win solution dan penyelesaian sengketa secara cepat telah menjadi pilihan masyarakat akhir-akhir ini, shingga
keberadaan UU No. 30 Tahun 1999 benar-benar memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang semakin berkembang.
Kedua peraturan perundang-undangan diatas, yaitu UU No. 30 Tahun 1999 dan PP No. 54 Tahun 2000 mengatur sejumlah ketentuan menyangkut mediasi di luar
pengadilan. Ketentuan mengenai mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma ini menempatkan mediasi
sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara yang diajukan para pihak ke pengadilan.