MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PT ALAM SUTERA REALTY Tbk. DENGAN WARGA BANJAR (DUSUN) SUKA DUKA GIRI DHARMA, DESA UNGASAN, KABUPATEN BADUNG.

(1)

SKRIPSI

MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN

SENGKETA ANTARA PT ALAM SUTERA REALTY Tbk.

DENGAN WARGA BANJAR (DUSUN) SUKA DUKA GIRI

DHARMA, DESA UNGASAN, KABUPATEN BADUNG

ANAK AGUNG WANDA PAKSINDRA DWIPAYANA NIM. 1203005030

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SENGKETA ANTARA PT ALAM SUTERA REALTY Tbk.

DENGAN WARGA BANJAR (DUSUN) SUKA DUKA GIRI

DHARMA, DESA UNGASAN, KABUPATEN BADUNG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

ANAK AGUNG WANDA PAKSINDRA DWIPAYANA NIM. 1203005030

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

Adapun judul skripsi ini adalah “MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PT ALAM SUTERA REALTY Tbk. DENGAN WARGA BANJAR (DUSUN) SUKA DUKA GIRI DHARMA, DESA UNGASAN, KABUPATEN BADUNG”. Skripsi ini diajukan sebagai kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini dapat berhasil dengan baik berkat arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Nyoman A. Martana, S.H., M.H Ketua Bagian Hukum Peradilan serta Bapak Nyoman Satyayudha Dananjaya, S.H., M.Kn., Sekretaris Bagian Hukum Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II dalam penyusunan skripsi ini, yang telah meluangkan banyak waktu dan telah


(6)

vi

skripsi ini, yang telah memberi arahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Nyoman Widana, Bapak Wayan Kurma selaku Klian Dinas dan Klian Adat Br. Suka Duka Giri Dharma, Desa Ungasan, Kabupaten Badung yang telah menyediakan waktunya untuk diwawancarai sehingga penulis dapat memperoleh data dalam menyempurnakan skripsi ini.

8. Anak Agung Putu Siki Darmaja dan Niluh Suparmini (Jero Lestari) selaku orang tua penulis yang senantiasa sabar dan tak pernah berhenti memberikan dukungan demi rampungnya skripsi ini,

9. Anak Agung Aditya Alnanda Wibisana dan Anak Agung Winda Bardiandari Prabandini S.H., selaku saudara penulis yang selalu memberikan motivasi-motivasi penyemangat pada saat jenuh maupun suntuk.

10.Teman-teman tersayang dan seperjuangan yang selalu bersama-sama saat menjalani masa-masa kuliah yaitu teman-teman angkatan 2012 dan keluarga besar, Badan

Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum, tempat saya menempa soft skill dan

menimba pengalaman yang tak kalah berguna dan sangat bermanfaat dalam penyusunan dan perampungan tugas akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(7)

vii

11.Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah sangat berjasa memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

12.Seluruh Staff Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Akhirnya, dengan menyadari keterbatasan dan ketidaksempurnaan skripsi ini, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.

Denpasar, 25 Februari 2016


(8)

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 11

1.5 Tujuan Penelitian ... 12

1.5.1 Tujuan Umum ... 12

1.5.2 Tujuan Khusus ... 12

1.6 Manfaat Penelitian ... 13


(10)

x

1.8.1 Jenis Penelitian ... 18

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 18

1.8.3 Sumber Data ... 20

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data... 21

1.8.5 Pengolahan dan Analisis Data ... 21

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA 2.1 Pengertian Dan Model-Model Mediasi ... 22

2.2 Prinsip-Prinsip Mediasi ... 27

2.3 ... Sejarah dan Dasar Hukum Mediasi... 30

2.4 Perbandingan Mediasi di Luar Pengadilan Dengan Mediasi di Peng- adilan ... 35

BAB III EFEKTIFITAS PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI ANTARA PT ALAM SUTERA REALTY Tbk. DENGAN WARGA BANJAR (DUSUN) SUKA DUKA GIRI DHARMA, DESA UNGASAN, KABUPATEN BADUNG 3.1 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi ... 38 3.2 Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Antara PT. Alam Sutera Realty Tbk. Dengan Warga Banjar (Dusun) Suka Duka Giri Dharma . 46


(11)

xi

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI

4.1 Faktor Yuridis ... 62 4.2 Faktor Para Pihak Yang Bersengketa ... 66 4.3 Faktor Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa ... 71

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 77 5.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

xii ABSTRAK

Mediasi dalam penyelesaian sengketa diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam penyelesaian sengketa antara PT. Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI) dengan warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma, Desa Ungasan, Kabupaten Badung, Bali, telah memilih mediasi sebagai jalur penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum empiris.

Dalam rangka menyempurnakan penelitian ini penulis menggunakan data primer dan data sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.

Berdasarkan hasil penelitian, mediasi penting untuk diterapkan sebagai penyelesaian sengketa antara PT. Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI) dengan warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma, Desa Ungasan, Kabupaten Badung, Bali, karena mediasi memberikan ruang kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa dan agar tercapainya kesepakatan untuk mewujudkan suatu win-win solution. Secara umum saran yang dapat penulis berikan melalui tulisan ini adalah PT. Alam Suter Realty Tbk. (ASRI) sebaiknya melaksanakan hak dan kewajiban pengelola Garuda Wisnu Kencana (GWK) sesuai yang tertulis dalam perjanjian terdahulu oleh PT. Garuda Adhimatra Indonesia (GAIN) dengan warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma tersebut dan dari pihak warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma juga harus ikut membantu dan memperlancar pelaksanaan hak dan kewajiban dari pihak PT. Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI).

Kata Kunci : Mediasi, PT. Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI), Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Perjanjian.


(13)

xiii ABSTRACT

Mediation in the dispute settlement stipulated in Act No. 30 year 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. Dispute resolution between PT. Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI) with residents of Banjar Suka Duka Giri Dharma Ungasan Village, Badung regency, Bali, has chosen the path of mediation as a dispute resolution out of court. The legal research used upon the research was empirical legal research.

In order to complete these writing are used primary and secondary data. The research approaches in this thesis are statute approach, conceptual approach, and case approach.

Based on the research results, it is important to apply mediation as a dispute settlement between PT. Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI) with residents of Banjar Suka Duka Giri Dharma Ungasan Village, Badung regency, Bali, since mediation provides space for parties to settle the dispute and in order to achieve an agreement and win-win solutions for each parties. Suggestions for this article is PT. Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI) should implement the rights and obligations of the manager of Garuda Wisnu Kencana (GWK) as written in first agreements by PT. Adhimatra Garuda Indonesia (GAIN) with residents of Banjar Suka Duka Giri Dharma and of the residents of Banjar Suka Duka Giri Dharma also have to assist and facilitate the implementation of the rights and obligations of the PT. Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI).

Keywords : Mediation, PT. Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI), Banjar Suka Duka Giri Dharma, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Agreements.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pariwisata merupakan salah satu bidang kegiatan pembangunan ekonomi nasional, hakekat pembangunan nasional kita adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Yusuf Paisal, sasaran umum pembangunan ekonomi adalah tumbuh dan kembangnya sikap dan tekad hidup yang produktif, bekerjasama dalam berkompetisi, berkompetisi dalam efisien, mencapai suatu bangsa Indonesia yang unggul, melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan di berbagai sektor ekonomi dan pengembangan sistem ekonomi yang demokratif.1

Pembangunan kepariwisataan sebagai bagian dari sektor ekonomi, dilanjutkan dan ditingkatkan dengan mengembangkan dan mendayagunakan sumber dan potensi kepariwisataan nasional menjadi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan.

Penyelenggaraan kepariwisataan diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui peningkatan penerimaan negara (devisa), mempercepat pembangunan daerah, memperkaya budaya nasional dengan tetap melestarikan kepribadian bangsa dan terpeliharanya nilai-nilai

1

Yusuf Paisal, 1999, Sistem Ekonomi Pasar Berkeadilan Berdasarkan Demokrasi Ekonomi, Cet. I Penerbit Yayasan Sembilan Bintang, Jakarta, hal. 41.


(15)

2

agama. Penyelenggaraan kepariwisataan juga dapat mempererat persahabatan antara bangsa, memperhatikan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan serta mendorong perkembangan, pemasaran dan pemberdayaan produk nasional melalui pemanfaatan segala potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Menurut Gamal Suwantoro, penyelenggaraan kepariwisataan melibatkan 4 (empat) komponen utama yaitu :2

1. Komponen Pemerintah; komponen pemerintah bercirikan mampu meningkatkan sumber dana terutama devisa sebanyak-banyaknya serta menciptakan lapangan kerja dan berusaha seluas-luasnya bagi seluruh warganya.

2. Komponen Penyelenggara Pariwisata; komponen penyelenggara pariwisata cenderung bertujuan agar usahanya dapat terselenggara dengan lancar dan memberikan keuntungan yang sebesr-besarnya.

3. Komponen Masyarakat Penerima Pariwisata; komponen masyarakat penerima pariwisata sebagai pemilik wilayah dan pendukung serta pelaku budaya setempat cenderung bertujuan mengupayakan kelestarian wilayah dan kehidupan di alam budayanya agar tidak terancam dan tidak tercemar.

4. Komponen Wisatawan; komponen wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara, cenderung berkeinginan untuk mendapatkan kepuasan dan kenyamanan selama berwisata.

Keempat komponen utama tersebut mempunyai kepentingan yang sama, yaitu membangun dan mengembangkan pariwisata, dan juga kepentingan yang berbeda-beda terutama dalam rangka pemuasan kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu keempat komponen ini dapat saja berjalan bersama-sama dan dapat juga menimbulkan suatu konflik kepentingan yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Konflik kepentingan ini juga tidak hanya antar komponen utama tadi, akan tetapi juga bisa terjadi dalam suatu komponen itu sendiri.

2

Gamal Suwantoro, 2001, Dasar-Dasar Pariwisata, Penerbit Andi, Yogyakarta, Edisi Kedua, hal. 32-33.


(16)

Untuk mengantisipasi dan mengatasi serta menjamin terselenggaranya kegiatan usaha industri pariwisata ini dengan baik dan terarah, maka kegiatan usaha ini telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Pengertian Pariwisata di dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009, disebutkan :

“Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai

fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah,

dan Pemerintah Daerah”. Kepariwisataan menurut Pasal 1 angka 4 Undang

-Undang No. 10 Tahun 2009, ditentukan : “Kepariwisataan adalah keseluruhan

kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta

interaksi antara wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pengusaha”. Sedangkan “Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau

jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata”

(Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009). Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009).

Berdasarkan ketentuan tersebut, kegiatan usaha periwisata meliputi penyediaan jasa pariwisata, seperti alat transportasi, penyediaan dan pengusaha obyek wisata baik alam maupun buatan, dan pengadaan sarana wisata, seperti hotel, wisma, restoran, bar, penginapan, permandian dan lainnya. Kesemuanya ini memerlukan dana yang cukup besar dan kerjasama semua komponen terkait. Salah satu pariwisata yang sangat terkenal di Bali adalah Taman Wisata Garuda


(17)

4

Wisnu Kencana (GWK). Taman wisata ini terletak di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali.Garuda Wisnu Kencana berada tepat di Bukit Unggasan Jimbaran (263 meter di atas permukaan laut) yang memiliki kawasan sangat menarik untuk dikunjungi.Para wisatawan yang datang berkunjung ke Garuda Wisnu Kencana dapat berkeliling ke Wisnu Plaza.

Area ini adalah tempat wisata utama di mana terdapat patung Dewa Wisnu menunggang Garuda yang dikelilingi oleh air mancur serta air sumur yang dipercaya oleh penduduk Bali sebagai air suci. Konon air sumur ini tidak pernah kering bahkan saat memasuki musim kemarau.Tempat air suci berada ini disebut sebagai Parahyangan Somaka Giri.Tidak hanya patung Dewa Wisnu, di berbagai sudut area objek wisata tersebut banyak terdapat patung dan arca dewa dan dewi umat Hindu. Sebagai alternatif infrastruktur pariwisata buatan abad ke-21, GWK Cultural Park saat ini tengah berkembang menjadi taman budaya yang menyuguhkan berbagai acara yang meliputi pameran budaya, acara dan atraksi hiburan serta menjadi forum informasi dan komunikasi untuk budaya lokal setempat, nasional, regional dan bahkan internasional.

Dimana dalam penyelenggaraan kepariwisataan ada yang namanya pengelola.Bahwa dari Tahun 1999 Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana sudah dikelola oleh PT. Garuda Adhimatra Indonesia (GAIN), I Nyoman Nuarta selaku Direktur Utama. Dimana sebelum pembangunan GWK tersebut di laksanakan bahwa masyarakat yang tinggal dari jaman dulu di lahan tersebut akan diberikan Relokasi Pemukiman GWK bagi 18 kepala keluarga yang direalisasikan oleh pengelola GWK tersebut.


(18)

Lalu dibuatlah point-point kesepakatan oleh masyarakat Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma, Desa Ungasan dengan management PT. Garuda Adhimatra Indonesia pada tanggal 22 April 2000 Nyoman Nuarta selaku pengelola GWK. Dalam point-point kesepakatan tersebut, ada beberapa point yang disepakati bersama-sama yaitu:

1. Akses jalan Rurung Agung diberikan seluas-luasnya untuk keperluan acara adat kepada masyarakat Dusun Suka Duka Giri Dharma, dan Warga Desa Ungasan pada umumnya, sesuai dengan masterplan kawasan GWK;

2. Jalan Lingkar dan Limbah;

3. Letak Banjar Suka Duka Dan Balai Kesenian Gandrung;

4. Fasilitas Listrik Dan Air bagi masyarakat di lingkungan relokasi pemukiman GWK;

5. Tenaga Kerja bagi Masyarakat Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma dan Warga Desa Ungasan pada umumnya sebagai prioritas utama bagi pelamar kerja di GWK; dan

6. Sanksi apabila tidak dilaksanakan oleh pihak pengelola GWK.

Pada Tahun 2012 PT. Alam Sutera Realty Tbk. telah menyelesaikan akuisisi 90,3% saham PT. Garuda Adhimatra Indonesia, pemegang hak atas tanah yang terletak di taman Budaya garuda wisnu Kencana (GWK) Bali, dengan total dana sebesar Rp 812,6 miliar.3Akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain atau oleh kelompok investor. Sejak PT. Alam Sutra Realtry Tbk

3

Anonim, Alam Sutera Realty Annual Report 2014 Indonesia Investments, tersedia dalam URL: http://www.indonesia-investments.com/upload/bedrijfsprofiel/461/Alam-Sutera-Realty-Annual-Report-2014-Indonesia-Investments.pdf, diakses pada tanggal 31 Desember 2014.


(19)

6

(ASRI) menjadi pemilik saham terbesar dalam proyek GWK tersebut, kesepakatan-kesepakatan terdahulu yang telah di sepakati oleh PT. GAIN dengan warga Banjar Suka Duka Giri Dharma telah di sepelekan dan diingkari. PT. Alam Sutera Realty Tbk. kemudian mengingkari point kesepakatan yang pertama yaitu menutup akses jalan Rurung Agung yang menjadi jalan adat yang memang milik adat, sebagai akses jalan ke kuburan, digunakan sebagai upacara keagamaan dan juga jalan Rurung Agung itu jalan yang menghubungkan antara kuburan dengan titik terjauh dari masyarakat di wilayah tersebut.

Sebelum terjadinya sengketa atas pihak pemegang saham yang baru yaitu PT. Alam Sutera Realty Tbk. dengan masyarakat setempat bahwa Klian Banjar Suka Duka Giri Dharma yaitu Bapak Kurma sendiri telah melakukan negosiasi dan musyawarah kepada pihak pengelola agar tidak munutup akses Jalan Rurung Agung. Padahal dalam industri pariwisata GWK tersebut masyarakat setempat pun banyak berperan demi kesuksesan pembangunan pariwisata itu sendiri.Dimana kearifan lokal juga sangat berpengaruh terhadap kebudayaan tersebut.

Masyarakat akhirnya melakukan protes karena pihak investor PT. Alam Sutera Realty Tbk. tidak memenuhi kewajibannya kepada masyarakat yang telah membuat kesepatan terdahulu bersama PT. Garuda Adhimantra Indonesia dan masyarakat merasa hak-hak mereka tidak dipedulikan lagi oleh pengelola GWK, padahal mereka sudah melakukan negosiasi dan musyawarah.

Tetapi pihak PT. Alam Sutera Realty Tbk. tidak mendengarkan Bapak I Wayan Kurma selaku Klian Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma dan tetap


(20)

menutup akses Jalan Rurung Agung tersebut.Walaupun GWK dari dulu sudah beberapa kali pergantian pengelola tapi kesepakatan awal antara masyarakat Banjar Suka Duka Giri Dharma dengan pihak PT. Garuda Adhimatra Indonesia harus dilaksanakan oleh semua pengelola yang mengelola GWK.

Dimana Jalan Rurung Agung adalah jalan adat yang memang milik adat dan juga sebagai akses ke kuburan, digunakan sebagai upacara keagamaan.Juga Jalan Rurung Agung itu jalan yang menghubungkan antara kuburan dengan titik terjauh dari masyarakat di wilayah tersebut. Jadi, dalam kesepakatan dengan pengelola sebelum bahwa telah disepakati Jalan Rurung Agung tersebut selebar 3 meter milik desa adat dan bukan pemilik dari investor GWK. Padahal masyarakat setempat dari awal pembangunan GWK hingga sekarang mau dan ikut serta dalam memperlancarkan pembangunan pariwisata tersebut.Juga dalam setiap ada penyelenggaraan acara di GWK masyarakat setempat selalu berpartisipasi dalam acara tersebut.

Jadi, PT. Alam Sutera Realty Tbk. telah mengingkari kesepatan yang telah disepakati oleh pengelola sebelumnya dengan menutup akses Jalan Rurung Agung tersebut. Warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma tidak terima dengan perlakuan oleh investor baru tersebut karena telah mengingkari kesepatan dan tidak mau mendengarkan musyawarah dari perwakilan masyarakat setempat yaitu Bapak Wayan Kurma selaku Klian Banjar Suka Duka Giri Dharma. Maka dari itu terjadilah sengketa karena PT. Alam Sutera Realty Tbk. menutup akses Jalan Rurung Agung.


(21)

8

Pihak investor yang baru ini tidak dapat memenuhi hak dan kewajibannya untuk memfasilitasi masyarakat setempat dengan kesepatan terdahulu yang sudah disepakati bersama-sama.Melihat dari cara PT. Alam Sutera Realty Tbk. tersebut msayarakat pun tidak mau lepas dari hak-hak dan kewajiban dalam beragama atau adat istiadat tersebut.Masyarakat pun harus tegas dalam membicarakan tentang penutupan akses Jalan Rurung Agung tersebut karena mengganggu aktifitas adat istiadat dengan cara menutup akses Jalan tersebut.

Jika terjadi sengketa dalam kegiatan bisnis pariwisata pada saat sekarang sudah tersedia dua jenis lembaga penyelesaian sengketa, yaitu lembaga penyelesaian sengketa secara litigasi (Pengadilan) dan lembaga penyelesaian sengketa secara non litigasi atau di luar lembaga peradilan (melalui Mediasi). Penyelesaian sengketa bekerjasama di bidang usaha pariwisata ini, lembaga yang akan menyelesaikannya adalah tergantung dari kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Mediasi salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang kerap digunakan oleh masyarakat Indonesia, termasuk di Bali.Mediasi muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan yang berkembang pada sistem peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya, dan kemampuannya dalam menangani kasus yang kompleks.

Mediation is not easy to define”. Beberapa alasan mengapa mediasi

sebagai altemetif penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian yang lebih di Indonesia, antara lain :4


(22)

1. Faktor Ekonomis, dimana mediasi sebagai altematif penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.

2. Faktor ruang lingkup yang dibahas, mediasi memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel.

3. Faktor pembinaan hubungan baik, dimana mediasi yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia (relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang.

Berdasarkan latar belakang diatas pada umumnya memilih cara penyelesaian sengketa yang tidak terfokus pada pengadilan yaitu penyelesaian sengketa alternatif dan mediasi merupakan terobosan bagi penyelesaian sengketa non litigasi. Mediasi muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan yang berkembang pada sistem peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya, kemampuannya dalam menangani kasus yang kompleks, dan win-win solution yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, dan berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat ditarik sebuah judul yang akan dibahas yaitu: “Mediasi

Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Antara PT Alam Sutera Realty Tbk. Dengan Warga Banjar (Dusun) Suka Duka Giri Dharma Desa Ungasan, Kabupaten Badung”.

4

Anonim, Alasan keberadaan BaMI, tersedia dalam URL:


(23)

10

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat beberapa permasalahan akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Apakah pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi antara PT. Alam Sutera Realty Tbk. dengan warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma Desa Ungasan dapat berjalan efektif ?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi efektifitas penyelesaian sengketa melalui mediasi ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan mengenaimateri yang diatur didalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya yaitu terbatas pada PT. Alam Sutera Realty Tbk. dan warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma Desa Ungasan memilih Mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa, dan terbatas pada efektifnya penyelesaian sengketa melalui mediasi.


(24)

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahan dibatasi pada adanya faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penyelesaian sengketa melalui mediasi.

1.4 Orisinalitas

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana maka penelitian dengan judul Mediasi Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Antara PT. Alam Sutera Realty Tbk. Dengan Warga Banjar (Dusun) Suka Duka Giri Dharma Desa Ungasan, Kabupaten Badung, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Namun pada Universitas Udayana ditemukan penelitian sejenis yang terkait dengan mediasi sebagai penyelesaian sengketa, telah dilakukan penelusuran diantaranya sebagai berikut:

1. Luh Anastasia Trisna Dewi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, pada

Tahun 2015 dengan judul “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi” dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peran dan fungsi mediator dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

2. Bagaimanakah mediasi sebagai salah satu cara di dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

2. Ayu Komang Sari Merta Dewi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, pada

Tahun 2014 dengan judul “Efektifitas Penyelesaian Sengketa Konsumen

melalui Mediasi pasa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota


(25)

12

1. Bagaimanakah efektifitas penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Denpasar? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari penyelesaian sengketa konsumen

melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Konsumen Kota Denpasar? Dengan melihat dua judul dan rumusan masalah diatas bahwa penelitian ini tidak ada kesamaan dan dapat dijamin keasliannya.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Tujuan umum

Adapun tujuan umum dari judul skripsi diatas untuk lebih mahamami mengenai penyelesesaian sengketa melalui mediasi.

1.5.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian sengketa melalui mediasi antara PT. Alam Sutera Realty Tbk. dengan warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma Desa Ungasan dapat berjalan efektif. 2. Untuk menyelidiki dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

efektifitas penyelesaian sengketa melalui Mediasi.

1.6 Manfaat Penelitian


(26)

Penelitian ini dapat dijadikan referensi tambahan untuk acuan ataupun pengembangan Ilmu Hukum, khususnya mengenai penyelesaian sengketa melalui mediasi.

1.6.2 Manfaat praktis

Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan pnyelesaian sengketa melalui mediasi , antara lain:

1. Bagi kalangan akademisi yang berminat terhadap kajian pnyelesaian sengketa non litigasi (diluar pengadilan) menggunakan mediasi dapat dijadikan bahan informasi awal dalam melakukan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam, dan

2. Bagi masyarakat mediasi dapat dijadikan pedoman atau rujukan dalam melakukan upaya hukum apabila terjadi sengketa.

1.7Landasan Teoritis

Pengkajian mengenai mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa antara PT. Alam Sutera Realty Tbk. dengan Warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma Desa Ungasan, ada beberapa konsep atau teori yang nanti digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis masalah ini.


(27)

14

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :5

1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

1.7.2 Teori Mediasi

Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.Ada beberapa teori-teori dalam mediasi yaitu :

1. Mediasi adalah proses langkah demi langkah yang terstruktur; 2. Mediasi bersifat amat rahasia dan berlangsung dengan cepat;

3. Ada pertemuan terpisah, kemudian pertemuan bersama jika dimungkinkan;

4. Mengklarifikasi masalah; 5. Menciptakan Pilihan; dan

5

Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


(28)

6. Mencari solusi menguntungkan atau win-win solution.

Dalam teori mediasi tersebut, penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih banyak muncul dari keinginan dan inisiatif para pihak, sehingga mediator berperan membantu mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan.6

1.7.3 Teori Alternatif Penyelesaian Sengketa

Menurut Takdir Rahmadi, istilah alternatif penyelesaian sengketa

merupakan terjemahan dari istilah Inggris “Alternative Dispute Resolution” yang lazim disingkat dengan sebutan ADR.7

Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Secara umum ada beberapa asas yang berlaku pada Alternatif Penyelesaian Sengketa antara lain:

a. Asas itikad baik; yaitu keinginan para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi; b. Asas kontraktual; yaitu adanya kesepakatan yang dituangkan dalam

bentuk tertulis tentang cara penyelesaian sengketa;

6 Allan J. Stitt, 2004, Mediation: A Practical Guide, London: Routlegde Cavendish, hal. 22.

7 Takdir Rahmadi, 2011, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, PT RajaGrafindo, Jakarta, hal. 10.


(29)

16

c. Asas mengikat; yaitu para pihak wajib untuk mematuhi kesepakatan yang dibuat;

d. Asas kebebasan berkontrak; yaitu para pihak yang bersengketa bebas menentukan hal yang diatur dalam perjanjian asal tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan dan kesusilaan;

e. Asas kerahasiaan; yaitu penyelesaian atas suatu sengketa dilakukan hanya oleh para pihak dan tidak dapat dihadiri oleh pihak lain.8

Kelebihan dari penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dilakukan secara non litigasi dapat dikatakan sebagai penyelesaian sengketa yang berkualitas tinggi karena sengketa yang diselesaikan akan dapat selesai tuntas tanpa meninggalkan sisa kebencian dan dendam.9

1.7.4 Teori Perjanjian

a. Menurut teori lama yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan

kata sepakat untuk memberikan akibat hukum. dari definisi ini telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (timbul/lenyapnya hak dan kewajiban).10

b. Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan

perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

8 Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Visimedia, Jakarta, hal. 11.

9

I Wayan Wiryawan dan I Ketut Artadi, 2009, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Udayan University Press, Denpasar, hal. 4.

10

Salim, 2011, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 161.


(30)

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru :

1. Tahap Pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan 2. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak

3. Tahap Post Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.11

1.7.5 Doktrin Mengenai Mediasi

1. Takdir Rahmadi dalam bukunya Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat disebutkan, bahwa mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.12

2. Menurut Witanto, mediasi adalah metode penyelesaian yang termasuk dalam kategori tripartite karena melibatkan bantuan atau jasa pihak ketiga.13

3. Menurut Bambang Sutiyoso, mediasi yaitu sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup, perburuhan, pertanahan, perumahan, sengketa konsumen, dan sebagainya yang

11 Ibid.

12 Takdir Rahmadi, op.cit, hal. 12. 13

Witanto, 2011, HUKUM ACARA MEDIASI, Dalam Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Alfabeta, Bandung, hal. 17.


(31)

18

merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan efisien.

1.8 Metode Penelitian

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan penelitian secara ilmiah, hal tersebut berarti suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa permasalahan dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul. Untuk dapat dinyatakan sebagai skripsi, maka diperlukan suatu metodologi yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yuridis empiris (sosiologis), yakni penelitian yang menggunakan fakta-fakta empiris yang melakukan kajian terhadap mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa antara PT. Alam Sutera Realty Tbk. dengan warga Banjar (dusun) Suka Duka Giri Dharma Desa Ungasan, Kabupaten Badung, merupakan penelitian hukum yang memakai sumber data primer. Penelitian ini dilakukan dengan menghubungkan permasalahan dengan


(32)

ketentuan yang mengatur permasalahan ini dan pemecahannya dalam kehidupan masyarakat.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain :

1. Pendekatan Perundang-undangan (the statute approach)

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan undang-undang dilakukan penulis dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Peraturan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah dari aspek instrumen hukum nasional, yakni Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pearturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Pariwisata.

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.dengan mempelajari pandang-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan


(33)

pandangan-20

pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi yang dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki.

3. Pendekatan Kasus (The Case Approach)

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus terkait dengan isu yang sedang dihadapi, dan telah menjadi putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus ini dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah rasio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.14

Secara praktis ataupun akademis, pendekatan kasus mempunyai kegunaan dalam mengkaji rasio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. Perlu pula dikemukakan bahwa pendekatan kasus tidak sama dengan studi kasus (case study). Di dalam pendekatan kasus

(case approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu

hukum. Sedangkan Studi kasus merupakan suatu studi dari berbagai aspek hukum.

1.8.3 Sumber Data

14

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Jakarta : Kencana, hal. 94


(34)

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer menurut Soerjono Soekanto, yaitu data yang diperoleh di lapangan melalui penelitian.15 Hasil penelitian berupa data dari observasi secara langsung dari Wawancara dengan :

a. Kelian Banjar Suka Duka Giri Dharma, Desa Ungasan, Kabupaten Badung,

b. PT. Alam Sutera Realty Tbk., dan c. Mediator.

Kemudian penyebaran Quisioner ke masyarakat Banjar Suka Duka Giri Dharma, Desa Ungasan, Kabupaten Badung.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara membaca dokumen-dokumen resmi, buku-buku, literatur dan perundang-undangan.16 Adapun Peraturan Perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

b. Pearturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan c. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Pariwisata.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

15

Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, hal. 12.


(35)

22

Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan teknik observasi, teknik interview (wawancara), dan teknik penyebaran kuisioner.

a. Teknik Observasi

Ada dua teknik observasi yaitu:

 Teknik Observasi Langsung adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi yang sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan.

 Teknik Observasi Tidak Langsung adalah teknik

pengumpulan data dimana peneliti mengadakan

pengamatan terhadap gejala-gejala subyek yang ditelitinya dengan perantaraan sebuah alat.

b. Teknik Wawancara yaitu melakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. c. Penyebaran Quisioner membuat suatu kuis dan disebarkan kepada

responden.

1.8.5 Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian dengan teknik analisa kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis


(36)

dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya.

Pengelolaan dan analisis data dalam skripsi ini menggunakan Analisa Kualitatif, menurut Soerjono Soekanto analisa kualitatif yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga prilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.17 Dengan kata lain, penulis mempergunakan analisa kualitatif ini, tidak semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran tersebut.


(37)

(38)

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengertian Dan Model-Model Mediasi 2.1.1 Pengertian Mediasi

Mediasi merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu Mediation. Mediasi berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa atau bernuansa sosial dan legal. Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan.

Namun, istilah mediasi tidak mudah untuk didefinisikan secara lengkap dan menyeluruh, karena cakupannya cukup luas. Mediasi tidak memberikan suatu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya.1 Dalam mediasi, penyelesaian sengketa lebih banyak muncul dari keinginan dan inisiatif para pihak, sehingga mediator berperan membantu mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan.

Istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para ilmuan yang berusaha mengungkap secara jelas berbagai pengertian mediasi, yaitu :

a. Gary Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan

1

Gatot Sumartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 119.


(39)

pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.2

b. Laurence Bolle menyatakan “mediation is a decision making process in which the parties are assisted by a mediator; the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties the reach an outcome to which of them

can assent.”3

c. Pengertian mediasi yang agak luas diberikan oleh The National Alternative Dispute Resolution Advisory Council. Menurut David Spencer dan Michael Brogan dalam bukunya Mediation Law and Practice yaitu Mediation is a process in wich the parties to a dispute, with the assistance of a dispute resolution practitioner (a mediator), identify the dispute issues, develop options, consider

alternatives and endevour to reach an agreement.4

d. Christopher W. Moore menegaskan bahwa mediasi adalah intervensi terhadap

negosiasi. Ia menyebutkan “The intervention in a negotiation or conflict of an acceptable third party who has limited or no authoritative decision making power, but assist the involved paties in voluntarily reaching a mutually

acceptable sattlement of issues in dispute.”5

2

Gary Goopaster, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, diterjemahkan oleh Nogar Simanjuntak, ELIPS Project, Jakarta, hal. 201.

3

Laurence Bolle, 1996, Mediation: Principles, Process, and Practice, New York, hal. 1.

4 David Spencer dan Michael Brogan, 2006, Mediation Law and Practice, Cambridge: Cambrigde University Press, hal. 9.

5

Christopher W. Moore, 1996, The Mediation Process: Practical Strategies For Resolving Conflict, Jossey-Bass Publisher, San Francisco, hal. 15.


(40)

b. Penyelesaian melalui perundingan,

c. Tujuan perundingan untuk memperoleh kesepakatan, dan d.Peranan Mediator dalam membantu penyelesaian.

2.1.2 Model-Model Mediasi

Menurut Lawrence Boulle terdapat empat model mediasi yang diklarifikasikan untuk menemukan peran mediator dan para pihak serta posisi sengketa tersebut.6 Adapun keempat model mediasi tersebut antara lain :

1. Settlement Mediation

Settlement Mediation atau mediasi kompromi merupakan mediasi yang bertujuan

untuk menghasilkan kompromi dari tuntutan para pihak yang sedang bertikai.Dalam model mediasi ini mediator berperan untuk menentukan “bottom list” dan menjadi pihak yang secara persuasif mendorong para pihak untuk mencapai titik kompromi. Biasanya mediator dalam mediasi model ini adalah mediator yang berstatus tinggi dan tidak menekankan kepada keahlian dalam proses atau teknik mediasi.

2. Facilitative Mediation

Facilitative mediation disebut juga mediasi yang berbasis kepentingan.Menurut

Allan J. Stitt bertujuan untuk menghindari para pihak yang bersengketa dari posisi mereka dan menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para pihak dan

6


(41)

hak-hak legal mereka secara kaku.7 Dimana dalam Facilitative mediation ini memiliki beberapa prinsip antara lain :

a. Prosesnya terstruktur,

b. Lebih menekankan kepada kebutuhan dan kepentingan para pihak,

c. Mediator mengarahkan negosiasi para pihak menjadi interest based negotiation dengan tujuan penyelesaian yang saling menguntungkan,

d. Mediator penting untuk memahami proses dan teknik mediasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.

3. Transformative Mediation

Transformative mediation atau theurapic model atau rekonsiliasi adala suatu

model mediasi yang menekankan kepada pencarian akar atau penyebab masalah yang mendasari munculnya sengketa guna meningkatkan hubungan para pihak melalui pengakuan dan pemberdayaan para pihak.8 Berdasarkan pemaparan tersebut maka dari mediasi model ini didapat beberapa prinsip yang mendasari proses pelaksanaan mediasi, yaitu :

a. Mediator bertugas untuk mencari sebab sengketa tersebut terjadi sehingga mediator yang berperan harus memiliki kemampuan yang baik dalam counseling,

b. Dalam pelaksanaan mediasi tuntut adanya pengakuan dari para pihak sehingga dapat diambil penyelesaian masalah yang sifatnya mampu memperbaiki hubungan antara para pihak,

7

Syahrizal Abbas, op.cit, hal. 32.

8


(42)

4. Evaluative Mediation

Evaluative mediation atau mediasi normatif merupakan model mediasi yang

bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan hak legal dari para pihak dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan.Peran mediator dalam mediasi ini adalah memberikan saran dan prediksi tentang hasil yang didapat. Beberapa prinsip dari model mediasi ini antara lain :

a. Para pihak berharap mediator akan menggunakan keahliannya dalam mengarahkan penyelesaian sengketa yang telah diperkirakan terhadap masalah tersebut,

b. Fokus mediasi tertuju pada hak melalui standar penyelesaian atas kasus yang serupa,

c. Mediator adalah orang yang ahli dan terkualifikasi secara legal.

2.2 Prinsip-Prinsip Mediasi

Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi.9 Menurut David Spencer dan Michael Brogan dengan merujuk pada pandangan Ruth Carlton yang menyatakan bahwa terdapat

9

John Michael Hoynes, Cretchen L. Haynes, dan Larry Sun Fang, 2004, Mediation: Positive Conflict Management, SUNY Press, New York, hal. 16.


(43)

5 (lima) prinsip yang mendasari mediasi dan dikenal dengan nama lima dasar filsafat mediasi.10 Kelima prinsip itu sendiri terdiri dari : prinsip kerahasiaan; prinsip sukarela; prinsip pemberdayaan; prinsip netralitas; dan prinsip solusi yang unik. Penjelasan dari masing-masing prinsip tersebut oleh Syahrizal Abbas dalam bukunya dijabarkan sebagai berikut :11

1. Prinsip Kerahasiaan

Prinsip kerahasiaan atau confidentiality dalam mediasi berarti segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan mediator dan para pihak yang bersengketa bersifat rahasia dan tidak boleh diberitahukan kepada publik oleh mereka yang terlibat didalam pertemuan tersebut (baik para pihak maupun mediator).Dalam pertemuan tersebut masing-masing pihak menjamin kerahasiaan sehingga para pihak dapat mengungkapkan permasalahan secara terbuka. Urgensi prinsip ini adalah untuk memberikan ruang bagi para pihak agar dalam membicarakan masalahnya dalam proses mediasi dapat berlangsung secara kondusif dan terbuka untuk menemukan solusi yang tepat untuk sengketa yang dihadapi guna mampu menemukan kebutuhan dan kepentingan masing-masing pihak.

2. Prinsip Sukarela

Prinsip sukarela atau volunteer bermakna para pihak yang sedang bersengketa datang atau memilih prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi atas keinginan dan kemauan sendiri secara sukarela tanpa tekanan dan paksaan orang

10

Syahrizal Abbas, op.cit., hal. 28.

11


(44)

penjelasan diatas, menurut Kathy Domenici dan Stephen Littlejohn disebutkan

bahwa, “most mediation programs are voluntary and parties choose to come to

the mediation table; each parties has the power to bring about the resolution”.12 3. Prinsip Pemberdayaan

Prinsip pemberdayaan atau empowermentdidasarkan kepada asumsi bahwa para pihak yang akan melakukan mediasi pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga dalam mediasi yang diberdayakan dalam proses penyelesaian sengketa adalah para pihak. Para pihaklah yang berdiskusi dengan difasilitasi oleh mediator dalam hal menemukan solusi atas permasalahan atau sengketanya.Sehingga dalam perundingan keberadaan para pihak oleh satu dengan lainnya harus dihargai.Oleh karena itu solusi sebaiknya datang langsung dari para pihak yang berunding bukan dari luar sehingga lebih mudah diterima. 4. Prinsip Netralitas

Prinsip netralitas atau neutrality bermakna mediator hanya berperan untuk memfasilitasi prose mediasi saja dan bersifat netral dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa. Dalam proses mediasi, mediator hanya berwenang untuk mengontrol proses mediasi untuk berjalan sesuai dengan prosedurnya dan tidak bertindak sebagai hakim atau juri yang berwenang untuk memutuskan satau atau

12

Kathy Domenici dan Stephen W. Littlejohn, 2001, Mediation, Empowerment in Conflict Management, Waveland Press, United State of America, hal. 31.


(45)

benarnya para pihak serta tidak berhak untuk memaksakan pendapat atau penyelesaian bagi para pihak.

5. Prinsip Solusi yang Unik

Prinsip solusi yang unik bermakna solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses yang kreatif. Sehingga hasil mediasi mengacu atau sesuai dengan keinginan para pihak karena erat kaitannya dengan prinsip pemberdayaan.

2.3 Sejarah dan Dasar Hukum Mediasi

Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan (komunalitas) dalam masyarakat.

Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip

“kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa yang dapat

memuaskan para pihak dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan mufakat. Penerapan prinsip musyawarah ini umumnya dilakukan di luar pengadilan.

Mediasi adalah satu diantara sekian banyak Alternatif Penyelesaian Sengketa

atau biasa dikenal dengan istilah ”Alternative Dispute Resolution” yang tumbuh pertama kali di Amerika Serikat. Mediasi dapat dilihat sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) yang merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternatif Dispute Resolution


(46)

yang berkembang pada sistem peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya dan kemampuannya dalam menangani kasus yang kompleks. Pada hal di nusantara telah lama dipratekkan tentang penyelesaian sengketa melalui musyawarah. Istilah khusus dalam pengadilan disebut dengan mediasi.

Mediasi sangat sulit diberi pengertian. Pada awalnya, mediasi sebenarnya merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat di luar lembaga pengadilan.13Dimensinya sangat jamak dan tak terbatas. Sehingga banyak orang yang menyebutkan mediasi tidak mudah diberi definisi. ”Mediationis not easy to definite”.14 Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hakim (aparatur negara) di pengadilan atau para pihak lain di luar pengadilan, sehingga keberadaannya memerlukan aturan hukum.

2.3.1 Masa Kolonial Belanda

Pada masa Kolonial Belanda pengaturan penyelesaian sengketa melalui upaya damai lebih banyak ditujukan pada proses damai di lingkungan peradilan, sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Kolonial Belanda cenderung memberikan kesempatan pada hukum adat. Belanda meyakini hukum adat mampu menyelesaikan

13

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 14.

14


(47)

sengketa kaum pribumi secara damai, tanpa memerlukan intervensi pihak penguasa Kolonial Belanda.15

Pada masa Kolonial Belanda lembaga pengadilan diberikan kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Hakim diharapkan mengambil peran maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 130

HIR (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941: 44), atau Pasal 154 R.Bg

(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927: 227)atau Pasal 31 Rv (Reglement op

de Rechtsvordering, Staatsblad, 1874: 52), disebutkan bahwa hakim atau majelis hakim

akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara mereka diputuskan.

Peraturan perundang-undangan pada masa Belanda juga mengatur penyelesaian sengketa melalui upaya damai di luar pengadilan. Upaya tersebut dikenal dengan arbitrase. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 615-651 Rv (Reglement op de

Rechtsvordering, Staatsblad, 1874: 52), atau Pasal 377 HIR (Het Herziene Indonesich

Reglement, Staatsblad 1941: 44), atau Pasal 154 R.Bg (Rechtsreglement Buitengewesten,

Staatsblad, 1927: 227), atau Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad,

1874: 52). Ketentuan dari pasal-pasal ini antara lain berbunyi: jika orang bangsa

bumiputra dan orang Timur Asing hendak menyuruh memutuskan perselisihannya oleh juru pemisah, maka dalm hal ini mereka wajib menurut peraturan mengadili perkara bagi bangsa Eropa.16

15

Syahrizal Abbas, op.cit., hal. 286.

16


(48)

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam peradilan di Indonesia, proses penyelesaian perkara/sengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Asas ini berlaku pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya.

Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktik peradilan, karena banyaknya perkara masuk, terbatasnya tenaga Hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota. Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya hukumnya, baik upaya banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan

(acces to justice) guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini tentu tidak dapat

dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia.

Ketentuan mengenai mediasi baru ditemukan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Pemerintah (PP) No.


(49)

54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. UU No. 30 Tahun 1999 membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayang adalah pengadilan. Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para pihak yang bersengketa menghadapi persoalan antara lain waktu, biaya dan mungkin persoalan mereka diketahui oleh publik.

UU No. 30 Tahun 1999 membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan (win-win solution), dan berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan dimana prinsip yang dianut adalah menang-kalah. Undang-undang ini memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukan itikad baik, karena tanpa itikad baik apa pun yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan. Prinsip win-win solution dan penyelesaian sengketa secara cepat telah menjadi pilihan masyarakat akhir-akhir ini, shingga keberadaan UU No. 30 Tahun 1999 benar-benar memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang semakin berkembang.

Kedua peraturan perundang-undangan diatas, yaitu UU No. 30 Tahun 1999 dan PP No. 54 Tahun 2000 mengatur sejumlah ketentuan menyangkut mediasi di luar pengadilan. Ketentuan mengenai mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma ini menempatkan mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara yang diajukan para pihak ke pengadilan.


(50)

2.4 Perbandingan Mediasi di Luar Pengadilan Dengan Mediasi di Pengadilan 2.4.1 Mediasi Di Luar Pengadilan

Undang-Undang No. 30 tahun 1999 merupakan landasan yuridis bagi penyelenggaraan mediasi di luar pengadilan. UU No. 30 Tahun 1999 menekankan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menempuh cara arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yang di dalamnya meliputi konsultasi, negosiasi, fasilitasi, mediasi atau penilaian ahli.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi di luar pengadilan bukan berarti mediasi tidak ada kaitan sama sekali dengan pengadilan. Mediasi tetap memiliki keterkaitan dengan pengadilan terutama menyangkut hasil kesepakatan para pihak dalam mediasi.

Proses pelaksanaan mediasi di luar pengadilan dalam UU No. 30 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi:

1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatifpenyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkanpenyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihakdalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatukesepakatan tertulis.


(51)

3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapatdiselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapatdiselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorangmediator.

4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuanseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapaikata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihakdapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketauntuk menunjuk seorang mediator.

5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaiansengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.

6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksuddalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh )hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihakyang terkait.

7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final danmengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di PengadilanNegeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.

8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat(7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.


(52)

ad–hoc.

Bila kesepakatan telah dicapai melalui proses mediasi, maka kesepakatan tersebut wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai, yang ditandatangai oleh para pihak dan mediator. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, maka lembaga asli atau salinan autentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan pada panitera pengadilan negeri. Penyerahan dan pendaftaran salinan autentik kesepakatan dilakukan oleh mediator atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa.

2.4.2 Mediasi Di Pengadilan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Mediasi menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam hukum acara Pasal 130 HIR atau Pasal 154 R.Bg. Mediasi mendapatkan kedudukan penting dalam Perma Mediasi karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan


(53)

bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Dalam mediasi di pengadilan para pihak diberikan kebebasan menentukan mediator mana yang akan dipilih, dan dalam waktu satu hari ia harus memberikan keputusan. Karena bila dalam satu hari kerja para pihak tidak memperoleh kesepakatan untuk memilih mediator di dalam atau di luar pengadilan, maka para pihak wajib memilij mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Penerapan asas cepat dalam penentuan mediator juga terlihat dari kewenangan majelis hakim untuk menunjuk mediator dengan penetapan, bila para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama.

Pemilihan mediasi sebagai jalur penyelesaian sengketa akan mempermudah dan mempercepat penyelesaian perkara di pengadilan. Dengan demikian, penerapan mediasi dalam pengadilan merupakan bagian integral dari sejumlah rentetan proses hukum acara, karena mediasi ditawarkan kepada para pihak pada sidang pertama di pengadilan.


(1)

2.3.2 Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang

Dalam Pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam peradilan di Indonesia, proses penyelesaian perkara/sengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Asas ini berlaku pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya.

Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktik peradilan, karena banyaknya perkara masuk, terbatasnya tenaga Hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota. Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya hukumnya, baik upaya banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan (acces to justice) guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia.

Ketentuan mengenai mediasi baru ditemukan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Pemerintah (PP) No.


(2)

54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. UU No. 30 Tahun 1999 membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayang adalah pengadilan. Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para pihak yang bersengketa menghadapi persoalan antara lain waktu, biaya dan mungkin persoalan mereka diketahui oleh publik.

UU No. 30 Tahun 1999 membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan (win-win solution), dan berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan dimana prinsip yang dianut adalah menang-kalah. Undang-undang ini memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukan itikad baik, karena tanpa itikad baik apa pun yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan. Prinsip win-win solution dan penyelesaian sengketa secara cepat telah menjadi pilihan masyarakat akhir-akhir ini, shingga keberadaan UU No. 30 Tahun 1999 benar-benar memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang semakin berkembang.

Kedua peraturan perundang-undangan diatas, yaitu UU No. 30 Tahun 1999 dan PP No. 54 Tahun 2000 mengatur sejumlah ketentuan menyangkut mediasi di luar pengadilan. Ketentuan mengenai mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma ini menempatkan mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara yang diajukan para pihak ke pengadilan.


(3)

Mediasi menjadi suatu kewajiban yang harus ditempuh hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan.

2.4 Perbandingan Mediasi di Luar Pengadilan Dengan Mediasi di Pengadilan 2.4.1 Mediasi Di Luar Pengadilan

Undang-Undang No. 30 tahun 1999 merupakan landasan yuridis bagi penyelenggaraan mediasi di luar pengadilan. UU No. 30 Tahun 1999 menekankan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menempuh cara arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yang di dalamnya meliputi konsultasi, negosiasi, fasilitasi, mediasi atau penilaian ahli.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi di luar pengadilan bukan berarti mediasi tidak ada kaitan sama sekali dengan pengadilan. Mediasi tetap memiliki keterkaitan dengan pengadilan terutama menyangkut hasil kesepakatan para pihak dalam mediasi.

Proses pelaksanaan mediasi di luar pengadilan dalam UU No. 30 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi:

1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatifpenyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkanpenyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihakdalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatukesepakatan tertulis.


(4)

3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapatdiselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapatdiselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorangmediator.

4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuanseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapaikata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihakdapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketauntuk menunjuk seorang mediator.

5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaiansengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.

6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksuddalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh )hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihakyang terkait.

7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final danmengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di PengadilanNegeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.

8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat(7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.


(5)

9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6)tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukanusaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.

Bila kesepakatan telah dicapai melalui proses mediasi, maka kesepakatan tersebut wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai, yang ditandatangai oleh para pihak dan mediator. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, maka lembaga asli atau salinan autentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan pada panitera pengadilan negeri. Penyerahan dan pendaftaran salinan autentik kesepakatan dilakukan oleh mediator atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa.

2.4.2 Mediasi Di Pengadilan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Mediasi menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam hukum acara Pasal 130 HIR atau Pasal 154 R.Bg. Mediasi mendapatkan kedudukan penting dalam Perma Mediasi karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan


(6)

bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Dalam mediasi di pengadilan para pihak diberikan kebebasan menentukan mediator mana yang akan dipilih, dan dalam waktu satu hari ia harus memberikan keputusan. Karena bila dalam satu hari kerja para pihak tidak memperoleh kesepakatan untuk memilih mediator di dalam atau di luar pengadilan, maka para pihak wajib memilij mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Penerapan asas cepat dalam penentuan mediator juga terlihat dari kewenangan majelis hakim untuk menunjuk mediator dengan penetapan, bila para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama.

Pemilihan mediasi sebagai jalur penyelesaian sengketa akan mempermudah dan mempercepat penyelesaian perkara di pengadilan. Dengan demikian, penerapan mediasi dalam pengadilan merupakan bagian integral dari sejumlah rentetan proses hukum acara, karena mediasi ditawarkan kepada para pihak pada sidang pertama di pengadilan.