BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Semua mahkluk hidup pasti akan mengalami fase atau siklus kehidupan. Pada manusia siklus kehidupan dimulai ketika sel telur bertemu
dengan sel sperma dan mengalami pembuahan menjadi zigot, embrio, janin, kemudian lahir dalam bentuk bayi, tumbuh menjadi anak-anak, dewasa,
kemudian menua dan mengalami penurunan berbagai fungsi organ kemudian meninggal. Proses ini walaupun terjadi secara alami dan sudah diketahui
secara luas namun tetap menjadi momok bagi manusia, karena keengganan untuk menjadi tua dan mengalami penurunan fungsi. Namun pada umumnya
manusia hanya menerima begitu saja dan menganggap penuaan sebagai takdir.
Pada tahun 1993 lahirlah Anti-Aging Medicine AAM. Konsep AAM
ini bertujuan untuk mengubah paradigma lama mengenai proses penuaan yang percaya bahwa penuaan merupakan takdir, padahal penuaan terjadi
akibat dari berbagai faktor. Dengan mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan penuaan, maka penuaan dapat dicegah, diperlambat bahkan
mungkin dihambat. Hasil akhir yang diharapkan adalah usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik Pangkahila,
2011. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan penuaan secara garis besar
dibagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Beberapa faktor internal
antara lain radikal bebas, penurunan level hormon, proses glikosilasi yang menyebabkan
1
peningkatan AGEs, metilasi penambahan gugus metil pada rantai DNA, apoptosis kematian sel yang terprogram, penurunan imunitas dan genetik.
Faktor eksternal antara lain gaya hidup dan diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan Pangkahila, 2011.
Salah satu upaya mencegah penuaan adalah meminimalisir terbentuknya radikal bebas, contohnya dengan melakukan pelatihan fisik
yang baik dengan memperhatikan kaidah FITT, yaitu Frequency,
Intencity, Type, dan Time. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan tiga sampai empat kali per minggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari dua
hari, dengan intensitas kurang lebih 72 sampai 87 dari denyut jantung maksimal: 220
– umur dalam tahun. Lama latihan sekitar 30 sampai 60 menit. Latihan didahului pemanasan selama 15 menit, dilanjutkan
latihan inti 35 menit, diakhiri pendinginan 10 menit Pangkahila, 2011. Pelatihan fisik di atas lima jam per minggu dengan intensitas mencapai
100 denyut jantung maksimal dan tipe olahraga yang tidak disesuaikan dengan usia dan kondisi tubuh dapat menyebabkan beban pelatihan fisik
yang berlebih atau overtraining.
Beban pelatihan fisik yang berlebih atau fase pemulihan yang kurang akan menghasilkan gejala sindrom pelatihan fisik berlebih
overtraining syndrome, yang berpengaruh baik secara sik maupun psikologis Quinn,
2008. Insidensi dan prevalensi mengenai sindrom pelatihan fisik berlebih
atau overtraining syndrome pada literatur tidak disebutkan secara jelas.
Estimasi angka kejadian overtraining syndrome adalah 7 hingga 20 dari
jumlah atlet yang melakukan pelatihan. Lebih dari dua per tiga atlet lari pernah mengalami gejala dan tandatanda
overtraining syndrome¸ dimana angka resiko tertinggi terdapat pada atlet lari, balap sepeda, dan renang.
Overtraining syndrome sering terjadi pada individu yang memiliki motivasi tinggi dan
goal-oriented, juga pada atlet yang merancang pelatihan fisiknya sendiri tanpa berkonsultasi dengan ahlinya
. Resiko dari overtraining syndrome antara lain performa buruk berkepanjangan, trauma, penyakit, dan
pensiun dini Lewis et al., 2010.
Pelatihan fisik berlebih dapat memberikan beban yang berat terutama pada sistem homeostasis yang diatur oleh sistem endokrin dan susunan saraf,
yang dapat menyebabkan masalah kesehatan Mastaloudis et al., 2004;
Scharhag et al., 2005. Hal ini disebabkan karena terbentuknya asam laktat
dan radikal bebas, karena latihan merupakan stressor bagi tubuh yang dapat
mempengaruhi semua sistem Costill, 2008. Terbentuknya asam laktat
merupakan akibat aktivitas latihan dengan intensitas tinggi dan latihan dalam waktu yang lama
prolonged exrcise. Radikal bebas terbentuk karena terjadi peroksidasi auto-oksidasi lemak yang ditandai dengan terbentuknya
reactive oxygen spesies ROS, contohnya radikal hidroksil dan hidrogen peroksida Rodwell
et al., 2015; Dong et al., 2011. Radikal bebas merupakan suatu molekul reaktif dengan satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluar Pham-Huy et al., 2008.
Konfigurasi yang tidak stabil ini kemudian berinteraksi dengan molekul yang berdekatan, seperti protein, lipid, karbohidrat, dan asam nukleat,
kemudian menjadikan molekul tersebut tidak stabil dan terjadilah reaksi rantai yang dapat merusak lipid
barrier membran sel dan baru akan berhenti setelah diredam oleh senyawa yang bersifat antioksidan Rahman, 2007.
Radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh maupun luar tubuh. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh dapat terjadi akibat proses
enzimatik oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel maupun akibat proses nonenzimatik pada reaksi
inflamasi dan iskemia. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh yang diakibatkan oleh adanya polutan seperti asap rokok, asap kendaraan
bermotor, radiasi sinar UV, sinar X, sinar gamma, konsumsi makanan tinggi lemak,
caffeine, alkohol, pestisida atau zat beracun lainnya. Selain itu radikal bebas juga dapat dipicu oleh adanya stres atau pelatihan fisik berlebih
Pham-Huy et al., 2008.
Radikal bebas yang paling sering menyebabkan kerusakan sistem biologi adalah
reactive oxygen spesies ROS. Pada keadaan normal tubuh manusia menghasilkan ROS yang merupakan residu dari proses
pembentukan energi, namun kadarnya masih dapat diantisipasi secara optimal oleh antioksidan yang terdapat di dalam tubuh. Selama pelatihan
fisik berlebih, terjadi peningkatan konsumsi oksigen sebanyak 10 sampai 20 kali lipat dari normal, dan pengambilan oksigen pada muskulo-skeletal yang
aktif meningkat sebesar 100 sampai 200 kali. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi ROS yang tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan
dalam tubuh. Keadaan ketidakseimbangan antara kadar ROS dengan antioksidan ini disebut juga stress oksidatif Halliwell dan Gutteridge, 2007.
Stres oksidatif dapat merusak molekul biologi yang terdapat di dalam tubuh
seperti lipid, protein, dan deoxyribonucleic acid DNA. Jika hal ini terjadi
dalam waktu terus-menerus, maka akan terjadi akumulasi hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan sehingga menyebabkan jaringan tersebut
kehilangan fungsinya Bagiada, 2001. Sebuah literatur yang berjudul Trend
in Cell Biology menyebutkan bahwa ROS berhubungan erat dengan penuaan karena ROS berperan dalam mediasi respon stres yang terjadi akibat
agedependent damage Hekimi et al., 2011. Kondisi stres oksidatif dapat dideteksi dengan menggunakan indikator
F2isoprostan 8-iso-PGF2 α yang merupakan hasil dari peroksidasi lipid
membran sel di dalam tubuh akibat radikal bebas Hanak, 2010. F2- isoprostan adalah komponen
prostaglandin-like yang terbentuk dari katalisa peroksidasi radikal bebas dari asam lemak esensial
primarily arachidonic acid tanpa perintah atau aksi langsung dari enzim
cyclooxygenase COX. F2-isoprostan merupakan eicosanoids non klasikal dan memiliki aktivitas biologikal yang poten sebagai mediator inflamasi
yang menimbulkan persepsi nyeri. F2-isoprostan merupakan indikator yang akurat dari peroksidasi lipid baik pada manusia maupun hewan dalam
konteks terjadinya stres oksidatif Morrow et al., 2002.
Upaya lain untuk mencegah proses penuaan akibat radikal bebas adalah dengan antioksidan. Antioksidan dapat mencegah teroksidasinya
molekul lain oleh radikal bebas dengan cara mendonorkan elektronnya sehingga radikal bebas menjadi stabil. Antioksidan dapat berasal dari dalam
tubuh endogen maupun dari luar tubuh eksogen, misalnya dari diet dan
suplementasi makanan Rahman, 2007. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan maupun suplementasi antioksidan diperlukan oleh
tubuh untuk mereduksi kerusakan oksidatif Mau et al., 2011; Gulcin et al.,
2002. Pasak bumi merupakan tanaman yang banyak digunakan akarnya
untuk meningkatkan vitalitas dan fertilitas, namun belum banyak yang mengetahui bahwa akar pasak bumi juga memiliki manfaat sebagai
antioksidan. Pasak bumi banyak ditemukan di Indonesia dan Malaysia, memiliki nama latin
Eurycoma longifolia EL, dan merupakan bagian dari famili
Simaroubaceae. Ekstrak
akar pasak
bumi mengandung
eurikomalakton, eurikomanol,
laurikomalakton A
dan B,
dehidrokomalakton, eurikomanin, eurikomanol, benzoquinon, saponin, asam lemak ester, vitamin C, tanin dan flavonoid Supriadi, 2001; Novianti, 2015;
Ratnapuri, 2015. Pada penelitian yang dilakukan oleh Erasmus, Solomon dan Henkel
pada tikus secara in vivo 2013, didapatkan hasil bahwa pemberian ekstrak
akar pasak bumi dengan dosis 800mgkgBB terbukti dapat meningkatkan konsentrasi, vitalitas, motilitas total dan motilitas progresif sperma lebih
signifikan dibandingkan dengan dosis 200mgkgBB. Pada penelitian Varghese
et al. 2013 disebutkan bahwa ekstrak akar pasak bumi dengan konsentrasi 10 µgml terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang
berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi ekstrak akar pasak bumi 250 µgml.
Mekanisme antioksidan ekstrak akar pasak bumi diduga terjadi karena kemampuannya untuk menstabilkan membran sel yang diperoleh dari
kandungan quassinoid di dalamnya. Membran sel yang stabil dibutuhkan
oleh lisosom untuk mencegah pelepasan respon inflamasi, dimana inflamasi dapat memicu pembentukan ROS Varghese
et al., 2013; Hajjouli et al., 2014. Fungsi ini juga diperoleh dari kandungan saponin di dalam ekstrak
akar pasak bumi. Kandungan lain yang terdapat di dalam ekstrak akar pasak bumi adalah flavonoid yang dapat menstabilkan membran sel dengan cara
menjaga stabilitas membran sel dan mencegah peroksidasi lipid. Mekanisme ini juga diperoleh dari kandungan tanin yang merupakan polifenol dan kaya
akan gugus OH sehingga dapat bertindak sebagai donor elektron untuk radikal bebas reaktif Schroeter
et al., 2002. Kandungan vitamin C mengeliminasi radikal alfa tokoferol yang terdapat pada membran sel dan
lipoprotein, dan juga meningkatkan kadar glutation intrasel Kojo, 2004; Naziroglu dan Butterworth, 2005. Menurut Kasote
et al. 2015, vitamin C dan flavonoid merupakan antioksidan eksogen terbaik yang terdapat di
dalam tanaman, dalam hal ini ekstrak akar pasak bumi, yang tidak hanya mampu menekan produksi ROS namun juga mampu menstimulasi tubuh
untuk memproduksi antioksidan endogen. Kandungan beberapa antioksidan ini membuat ekstrak akar pasak bumi dapat digunakan untuk mencegah stres
oksidatif dengan menekan kadar radikal bebas dalam tubuh. Namun efektivitas ekstrak akar pasak bumi dalam menekan stres oksidatif yang
terjadi pada keadaan pelatihan fisik berlebih secara rinci belum diketahui dengan jelas, dan belum ada penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas
antioksidan ekstrak akar pasak bumi pada keadaan pelatihan fisik berlebih dengan indikator F2-isoprostan.
Penelitian ini masih pada tahap uji coba terhadap hewan dengan menggunakan subyek penelitian berupa tikus putih
Rattus norvegicus galur wistar jantan. Spesies ini sering digunakan dalam berbagai penelitian karena
mudah dipelihara dan ukurannya relatif cukup besar untuk diobservasi. Jenis kelamin tikus yang dipilih adalah jantan karena tikus jantan tidak
dipengaruhi oleh siklus menstruasi dengan maksud untuk menghindari adanya pengaruh hormonal pada hewan coba sehingga subyek penelitian
lebih homogen dan menghindari terjadinya false negative akibat hormon
tertentu, contohnya estrogen yang memiliki korelasi positif terhadap peningkatan F2-isoprostran Sowers
et al., 2008; Schisterman et al., 2010.
1.2 Rumusan Masalah