2.3.2 Preventif Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih Overtraining Syndrome
Langkah preventif overtraining syndrome dapat dilakukan dengan cara
memberikan periode latihan sesuai dengan beban latihan yang baik. Dengan memberikan periode pelatihan fisik, disertai waktu yang cukup untuk
pemulihan, maka pelatihan fisik akan optimal. Rencana jangka panjang berupa pelatihan fisik selama 52 minggu per tahun yang terbagi dalam
beberapa fase dan intensitas sangatlah penting Safran et al., 2012.
Langkah preventif sangatlah penting, namun apabila overtraining
syndrome sudah terjadi maka terapi paling tepat adalah beristirahat selama kurang lebih 2 minggu. Setelah periode istirahat ini, pelatihan fisik ringan
harus dilakukan dengan metode, aktivitas, dan intensitas yang berbeda dari pelatihan sebelumnya yang telah mencetuskan
overtraining syndrome. Peningkatan intensitas harus dilakukan secara bertahap dan memperhatikan
ada tidaknya tanda-tanda overtraining syndrome. Kemungkinan adanya
gangguang kesehatan seperti malnutrisi, depresi, penyakit tiroid, dan anemia harus disingkirkan sebelum memulai terapi Safran
et al., 2012.
2.4 F2-Isoprostan
Stres oksidatif dipercaya sebagai kunci dari beberapa penyakit akut maupun kronis, namun untuk melakukan evaluasi terhadap kadar radikal
bebas adalah hal yang sulit karena radikal bebas sangat reaktif, cepat hilang, dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal yang lebih mudah
dilakukan adalah dengan melakukan evaluasi terhadap hasil reaksi radikal bebas di dalam tubuh, salah satunya dengan melihat kadar F2-isoprostan.
Isoprostan merupakan senyawa menyerupai prostaglandin yang disintesis terutama oleh esterifikasi asam arakhidonat akibat reaksi katalisasi radikal
bebas nonenzimatik in vivo. Kadar F2isoprostan menggambarkan peroksidasi
lipid yang terjadi pada keadaan stres oksidatif. Peroksidasi lipid in vivo dan in
vitro dengan menggunakan analisa kuantitatif F2-isoprostan diketahui lebih unggul dibandingkan dengan metode lain seperti TBARS
thiobarbituric acid
–reactive substances, MDA, lipid hidroperoksida, dan
exhaled alkanes ethane maupun pentane Basu, 2008.
Pada keadaan normal kadar F2-isoprostan adalah kurang dari 2 ngml kreatinin, namun dapat meningkat pada keadaan stres oksidatif. Hal ini yang
menyebabkan kadar F2-isoprostan tidak boleh melebihi normal, karena peningkatan kadar F2-isoprostan menggambarkan peroksidasi lipid yang
terjadi pada keadaan stres oksidatif. Apabila stres oksidatif tidak diminimalisir maka dapat menyebabkan kerusakan oksidatif. Akumulasi
kerusakan oksidatif ini selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan molekul tubuh, jaringan, penurunan fungsi organ, penuaan, dan berbagai penyakit
lainnya.
2.4.1 Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan
Pembentukan nonenzimatik derivat prostaglandin tidak banyak diketahui sebelum tahun 1990. Beberapa studi mengungkapkan bahwa
pembentukan F2isoprostan melalui jalur cyclooxygenase COX dari sel
trombosit dan monosit manusia, namun pembentukan melalui jalur ini sangatlah minimal. Tidak seperti prostaglandin primer, isoprostan tidak
memerlukan cyclooxgenase untuk pembentukannya, oleh karena itu F2-
isoprostan tidak dapat disebut sebagai prostaglandin Basu, 2008. Mekanisme pembentukan isoprostan dengan prekusor asam arakhidonat
melalui berbagai tahap, yaitu Basu, 2008:
1. Pemisahan atom hidrogen yang labil
2. Penambahan molekul oksigen pada asam arakhidonat yang
menghasilkan empat bentuk radikal peroksil 3.
Endocyclization 4.
Penambahan molekul oksigen yang membentuk empat PGG2-
like bicyclic endoperoxide intermediates yang tidak stabil 5.
Reduksi PGG2-like bicyclic endoperoxide intermediates oleh
glutation yang kemudian menghasilkan bentuk awal isoprostan yang akan berubah menjadi bentuk yang bermacam-macam. Bentuk
isoprostan ditentukan oleh letak ikatan regioisomer atom karbon dengan gugus hidroksil, apakah terletak pada seri ke 5-, 8-, 12-, atau
15- regioisomer. Dan karena komponen ini isomer dengan PGF2
primer, maka komponen disebut juga F2-isoprostan 2.4.2 Absorbsi,
Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi F2-Isoprostan
Farmakokinetik dari F2-isoprostan belum diketahui secara detail. Hasil studi menunjukkan bahwa isoprostan diproduksi secara
in situ pada sel yang rusak
, terutama dalam bentuk ester, kemudian dimetabolisme menjadi bentuk asam bebas. Setelah melewati tahap biosintesis dalam jaringan, komponen ini
siap diabsorbsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh dalam bentuk asam bebas maupun ester. Setelah diubah menjadi bentuk bebas, isoprostan dilepaskan ke
dalam sirkulasi perifer kemudian mengalami hidrolisis dan metabolisme lanjutan. Isoprostan primer dan produk oksidasinya dapat ditemukan dalam
darah maupun urin Basu, 2008.
Gambar 2.8
Skema sederhana biosintesis F2-isoprostan Basu, 2003
2.4.3 F2-Isoprostan Sebagai Biomarker Peroksidasi Lipid dan Stres
Oksidatif
Kadar F2-isoprostan telah diketahui meningkat pada beberapa keadaan yang berkaitan dengan cedera oksidatif, sehingga kadar F2-isoprostan pada
jaringan dan cairan tubuh dapat menjadi penanda peroksidasi lipid akibat radikal bebas secara
in vivo. Pada cedera oksidatif, kadar F2-isoprostan sepuluh kali lebih tinggi daripada PGF2 enzimatik pada plasma. Bentuk
bebas dari F2-isoprostan dapat dengan mudah ditemukan dalam jaringan dan cairan tubuh. Perhitungan bentuk ester dan bentuk bebas dari isoprostan dapat
dilakukan pada jaringan, yang menggambarkan adanya stres oksidatif pada jaringan tersebut Basu, 2008.
Perhitungan kadar MDA malondialdehyde untuk melihat adanya stres
oksidatif dilaporkan kurang sensitif bila dibandingkan dengan kadar
isoprostan. Namun tidak ada hubungan antara peningkatan isoprostan dengan kadar MDA. Walaupun isoprostan dapat menggambarkan adanya oksidasi
asam arakhidonat dengan baik, namun ada kemungkinan merupakan hasil dari lipid lain yang juga teroksidasi. Selain itu, pengambilan sampel yang
kurang baik, persiapan yang buruk selama proses ekstraksi, purifikasi, dan hidrolisasi, dan pengawetan sampel sebelum dilakukan analisa juga dapat
menyebabkan kesalahan dalam analisa isoprostan Basu, 2008.
2.4.4 F2-Isoprostan dan Pelatihan Fisik Berlebih
Peningkatan isoprostan terjadi pada keadaan pelatihan fisik berlebih seperti lari ultramaraton yang dapat mencetuskan terjadinya lipid peroksidase.
Pada studi terdahulu juga ditemukan bahwa kadar F2-isoprostan meningkat pada subyek sehat setelah melakukan pelatihan fisik berupa
knee extensor selama tiga jam Fischer
et al., 2004; Fischer et al., 2006. Menururt Sacheck et al. 2003, peningkatan kadar F2-isoprostan hingga 5 ngml dapat
ditemukan 72 jam setelah pelatihan fisik ekstrem akibat kerusakan pada otot. Pada penelitian yang dilakukan terhadap 12 subyek sehat yang diberi
perlakuan berupa overtraining selama 12 minggu, terbagi dalam empat fase
yang setiap fasenya terdiri dari beban latihan fisik bervariasi, dengan durasi tiga minggu per fase, dan jarak istirahat 96 jam antar fase, didapatkan hasil
bahwa terdapat peningkatan F2-isoprostan yang berbanding lurus dengan peningkatan beban latihan. Pada saat istirahat selama 96 jam setelah diberi
pelatihan fisik yang berat, terdapat penurunan F2-isoprostan secara signifikan Margonis
et al., 2007.
2.5 Antioksidan