PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia) ORAL MENURUNKAN KADAR F2- ISOPROSTAN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH.

(1)

TESIS

PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL AKAR PASAK

BUMI

(Eurycoma longifolia)

ORAL MENURUNKAN

KADAR F2-ISOPROSTAN PADA TIKUS PUTIH

(

Rattus norvegicus

) GALUR WISTAR JANTAN YANG

DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH

ELLEN DESTRISA RATNAPURI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

DENPASAR

2016

TESIS

PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL AKAR PASAK

BUMI

(Eurycoma longifolia)

ORAL MENURUNKAN

KADAR F2-ISOPROSTAN PADA TIKUS PUTIH

(

Rattus norvegicus

) GALUR WISTAR JANTAN YANG

DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH

ELLEN DESTRISA RATNAPURI 1490761016

PROGRAM MAGISTER


(3)

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

TESIS

PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL AKAR PASAK

BUMI

(Eurycoma longifolia)

ORAL MENURUNKAN

KADAR F2-ISOPROSTAN PADA TIKUS PUTIH

(

Rattus norvegicus

) GALUR WISTAR JANTAN YANG

DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

ELLEN DESTRISA RATNAPURI 1490761016

PROGRAM MAGISTER


(4)

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

Lembar Persetujuan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 25 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And Prof. Dr, dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS

NIP. 194402011964091001 NIP. 194612131971071001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana


(5)

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001

Lembar Penetapan Panitia Penguji Tesis Ini Telah Diuji Pada

Tanggal 25 Januari 2016

Panitia Penguji Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 510/UN14.4/HK/2016

Tertanggal : 19 Januari 2016

Ketua : Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And Anggota : 1. Prof. Dr, dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS

2. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK

3. Prof. dr. N. Agus Bagiada, Sp.BIOK


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN ….……… i

PRASYARAT GELAR …....………. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ……….. iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……… iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……….. v

UCAPAN TERIMAKASIH ……….. vi

ABSTRAK ……… viii

ABSTRACT ……….. ix

DAFTAR ISI ………6

DAFTAR GAMBAR ………..…11

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ………12

DAFTAR TABEL ……… 13

DAFTAR LAMPIRAN ... 14

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1Latar Belakang ……….. 1

1.2Rumusan Masalah ………...……….. 7

1.3Tujuan Penelitian ………..……… 8

1.4Manfaat Penelitian ……….………... 9


(7)

2.1 Penuaan ……….………

10

2.1.1 Definisi Penuaan ……….……… 10

2.1.2 Teori Terjadinya Proses Penuaan ……… 11

2.1.2.1 Teori Wear and Tear ……….. 11

2.1.2.2 Programmed Theory……… 13

2.1.3 Fase Penuaan ……….. 15 2.1.4 Anti Aging Medicine (AAM) ……….. 16 2.2 Radikal Bebas ………... 17

2.2.1 Klasifikasi Radikal Bebas ……… 18

2.2.2 Sumber Radikal Bebas ………. 19

2.2.3 Pembentukan Radikal Bebas ……… 19

2.2.4 Reactive Oxygen Species (ROS) ………..120 2.2.4.1 Dampak Negatif Reactive Oxygen Species (ROS) ……….. 22

2.2.4.2 Dampak Positif Reactive Oxygen Species (ROS) …………... 23

2.2.5 Stres Oksidatif ……….. 23

2.3 Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining Syndrome ………....………….. 25

2.3.1 Patofisiologi Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining Syndrome ………..……….. 29 2.3.2 Preventif Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining Syndrome ……… 33

2.4 F2-Isoprostan ……… 34 2.4.1 Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan …………..…. 35 2.4.2 Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi F2-Isoprostan ……….……. 36 2.4.3 F2-Isoprostan Sebagai Biomarker Peroksidasi


(8)

Lipid dan Stres Oksidatif ………....…….. 37

2.4.4 F2-Isoprostan dan Pelatihan Fisik Berlebih ……….…. 37

2.5 Antioksidan ……….….

38

2.5.1 Klasifikasi Antioksidan ……… 38

2.5.2 Klasifikasi Mekanisme Kerja Antioksidan ………….. 39

2.6 Pasak Bumi ………..

40

2.6.1 Deskripsi dan Ekologi Pasak Bumi ………. 40

2.6.2 Manfaat Akar Pasak Bumi ………...

42

2.6.3 Kandungan Senyawa Akar Pasak Bumi ……….. 45

2.6.4 Akar Pasak Bumi Sebagai Antioksidan ……… 46

2.6.5 Uji Toksisitas Akar Pasak Bumi ………..

47

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ……… 49

3.1 Kerangka Berpikir ……….…. 49 3.2 Konsep ………..…. 3.3 Hipotesis Penelitian ……….…

BAB IV METODE PENELITIAN ……….… 52

4.1 Rancangan Penelitian ………... 51

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……….…

53 4.2.1 Lokasi Penelitian ………

54 4.2.2 Waktu Penelitian

……….………... 54

4.3 Populasi dan Sampel ……….……….

55 4.3.1 Populasi Penelitian

………. 55

4.3.2 Kriteria Subyek ………..

55

4.3.2.1 Kriteria Inklusi ……….. 55


(9)

4.4 Penentuan Besar dan Cara Pengambilan Sampel …………. 56

4.4.1 Penentuan Besar Sampel ……… ….. 56 4.4.2 Tehnik Pengambilan Sampel ………..…………. 57

4.5 Variabel Penelitian ……… 57 4.5.1 Klasifikasi Variabel ………... 57

4.5.2 Definisi Operasional Variabel ……… 58 4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian ………..……… 59 4.7 Prosedur Penelitian ……… 60

4.7.1 Pemeliharaan Tikus Percobaan ……… 60

4.7.2 Pelaksanaan Perlakuan ………. 61

4.7.3 Cara Pembuatan Ekstrak Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)………..…… 62

4.7.4 Cara Pemeriksaan F2-Isoprostan Urin dengan Metode 8-iso-prostaglandin F2α……….. 62

4.8 Alur Penelitian ………. 65 4.9 Analisis Data ………... 65 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 68 5.1 Hasil Penelitian ……… 68

5.1.1 Uji Normalitas ……….. 68

5.1.2 Uji Homogenitas ………..… 69

5.1.3 Uji Komparabilitas ……….... 69

5.1.4 Uji Efek Perlakuan ………..….. 71

5.2 Pembahasan ……….. 73

5.2.1 Subyek Penelitian ……….. 73

5.2.2 Peningkatan Kadar F2-Isoprostan oleh Pelatihan Fisik Berlebih ………..….. 74 5.2.3 Penentuan Dosis Pemberian dan Pelarut Ekstrak Akar


(10)

Pasak Bumi Pada Penelitian Ini ... 77 5.2.4 Pengaruh Pemberian Ekstrak Akar Pasak Bumi

terhadap Penurunan Kadar F2-Isoprostan

………. 78

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ………... 84

6.1 Kesimpulan ……….. 84

6.2 Saran ………. 84

DAFTAR PUSTAKA ………


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Klasifikasi radikal bebas ………. 18

2.2 Mekanisme terbentuknya ROS oleh reaksi Fenton dan Haber-Weiss … 21 2.3 Ketidakseimbangan pro-oksidan dengan antioksidan pada keadaan stres oksidatif. ………..………. 24

2.4 Penyakit yang diinduksi oleh stres oksidatif pada manusia ………. 24

2.5 Ilustrasi proses overtraining………. 26

2.6 Tanda dan gejala kelelahan kronis ………..…………. 28

2.7 Skema kerusakan DNA pada pelatihan fisik berlebih ….………. 33

2.8 Skema sederhana biosintesis F2-isoprostan ………….…...………. 36

2.9 Pohon pasak bumi (kiri), akar pasak bumi (kanan)………..………. 40

3.1 Konsep penelitian ………. 50

4.1 Skema rancangan penelitian ………. 52

4.2 Alur penelitian ……….………. 65

5.1 Perbandingan rerata kadar F2-isoprostan kelompok kontrol dan penurunan F2-isoprostan kelompok perlakuan setelah diberi perlakuan . ……… 72

5.2 Perbandingan rerata kadar F2-isoprostan antar kelompok sebelum dan setelah perlakuan ……….. 72


(12)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN

RS : reactive species

5-HT : 5-hydroxytryptamine

AAM : Anti-Aging Medicine

ACTH : adrenocorticotropic hormone

BCAA : branch chained amino acids

COX : cyclooxygenase

DNA : deoxyribonucleic acid

EL : Eurycoma longifolia

FITT : Frequency, Intencity, Type, dan Time

LH : luteinizing hormone

MDA : malondialdehyde

NADPH : nicotinamide adenine dinucleotide phosphate

PMN : polymorphicnuclear

ROS : Reactive oxygen spesies

TBARS : thiobarbituric acid–reactive substances

TSH : thyroid stimulating hormone


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

5.1 Hasil uji normalitas data kadar F2-isoprostan sebelum dan setelah

perlakuan ……….. 69

5.2 Hasil uji homogenitas data kadar F2-isoprostan sebelum dan setelah

perlakuan ………... 69

5.3 Perbedaan rerata kadar F2-isoprostan antar kelompok sebelum

perlakuan ………..………. 70

5.4 Perbedaan rerata kadar F2-isoprostan antar kelompok setelah

perlakuan ………..……. 70

5.5 Perbandingan rerata kadar F2-isoprostan antar kelompok sebelum dan setelah perlakuan ………...……. 71


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Ethical Clearance………. 94

Lampiran 2 Analisis deskriptif………..……... 95

Lampiran 3 Uji normalitas data ……….... 95

Lampiran 4 Uji homogenitas ………...……….. 96

Lampiran 5 Uji komparabiilitas ………. 97

Lampiran 6 Uji efek perlakuan ……….………. 98

Lampiran 7 Hasil analisis fitokimia ekstrak etanol akar pasak bumi ……… 99

Lampiran 8 Konversi perhitungan dosis untuk beberapa jenis hewan dan manusia ……… .. 100


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Semua mahkluk hidup pasti akan mengalami fase atau siklus kehidupan. Pada manusia siklus kehidupan dimulai ketika sel telur bertemu dengan sel sperma dan mengalami pembuahan menjadi zigot, embrio, janin, kemudian lahir dalam bentuk bayi, tumbuh menjadi anak-anak, dewasa, kemudian menua dan mengalami penurunan berbagai fungsi organ kemudian meninggal. Proses ini walaupun terjadi secara alami dan sudah diketahui secara luas namun tetap menjadi momok bagi manusia, karena keengganan untuk menjadi tua dan mengalami penurunan fungsi. Namun pada umumnya manusia hanya menerima begitu saja dan menganggap penuaan sebagai takdir.

Pada tahun 1993 lahirlah Anti-Aging Medicine (AAM). Konsep AAM ini bertujuan untuk mengubah paradigma lama mengenai proses penuaan yang percaya bahwa penuaan merupakan takdir, padahal penuaan terjadi akibat dari berbagai faktor. Dengan mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan penuaan, maka penuaan dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat. Hasil akhir yang diharapkan adalah usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik (Pangkahila, 2011).

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan penuaan secara garis besar dibagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Beberapa faktor internal


(16)

antara lain radikal bebas, penurunan level hormon, proses glikosilasi (yang menyebabkan

1

peningkatan AGEs), metilasi (penambahan gugus metil pada rantai DNA), apoptosis (kematian sel yang terprogram), penurunan imunitas dan genetik. Faktor eksternal antara lain gaya hidup dan diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).

Salah satu upaya mencegah penuaan adalah meminimalisir terbentuknya radikal bebas, contohnya dengan melakukan pelatihan fisik yang baik dengan memperhatikan kaidah FITT, yaitu Frequency, Intencity, Type, dan Time. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan tiga sampai empat kali per minggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari dua hari, dengan intensitas kurang lebih 72% sampai 87% dari denyut jantung maksimal: 220 – umur (dalam tahun). Lama latihan sekitar 30 sampai 60 menit. Latihan didahului pemanasan selama 15 menit, dilanjutkan latihan inti 35 menit, diakhiri pendinginan 10 menit (Pangkahila, 2011). Pelatihan fisik di atas lima jam per minggu dengan intensitas mencapai 100% denyut jantung maksimal dan tipe olahraga yang tidak disesuaikan dengan usia dan kondisi tubuh dapat menyebabkan beban pelatihan fisik yang berlebih atau overtraining.

Beban pelatihan fisik yang berlebih atau fase pemulihan yang kurang akan menghasilkan gejala sindrom pelatihan fisik berlebih / overtraining syndrome, yang berpengaruh baik secara sik maupun psikologis (Quinn, 2008). Insidensi dan prevalensi mengenai sindrom pelatihan fisik berlebih


(17)

atau overtraining syndrome pada literatur tidak disebutkan secara jelas. Estimasi angka kejadian overtraining syndrome adalah 7% hingga 20% dari jumlah atlet yang melakukan pelatihan. Lebih dari dua per tiga atlet lari pernah mengalami gejala dan tandatanda overtraining syndrome¸ dimana angka resiko tertinggi terdapat pada atlet lari, balap sepeda, dan renang.

Overtraining syndrome sering terjadi pada individu yang memiliki motivasi tinggi dan goal-oriented, juga pada atlet yang merancang pelatihan fisiknya sendiri tanpa berkonsultasi dengan ahlinya. Resiko dari overtraining syndrome antara lain performa buruk berkepanjangan, trauma, penyakit, dan pensiun dini (Lewis et al., 2010).

Pelatihan fisik berlebih dapat memberikan beban yang berat terutama pada sistem homeostasis yang diatur oleh sistem endokrin dan susunan saraf, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan (Mastaloudis et al., 2004; Scharhag et al., 2005). Hal ini disebabkan karena terbentuknya asam laktat dan radikal bebas, karena latihan merupakan stressor bagi tubuh yang dapat mempengaruhi semua sistem (Costill, 2008). Terbentuknya asam laktat merupakan akibat aktivitas latihan dengan intensitas tinggi dan latihan dalam waktu yang lama (prolonged exrcise). Radikal bebas terbentuk karena terjadi peroksidasi (auto-oksidasi) lemak yang ditandai dengan terbentuknya

reactive oxygen spesies (ROS), contohnya radikal hidroksil dan hidrogen peroksida (Rodwell et al., 2015; Dong et al., 2011).

Radikal bebas merupakan suatu molekul reaktif dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluar (Pham-Huy et al., 2008). Konfigurasi yang tidak stabil ini kemudian berinteraksi dengan molekul yang berdekatan, seperti protein, lipid, karbohidrat, dan asam nukleat,


(18)

kemudian menjadikan molekul tersebut tidak stabil dan terjadilah reaksi rantai yang dapat merusak lipid barrier membran sel dan baru akan berhenti setelah diredam oleh senyawa yang bersifat antioksidan (Rahman, 2007).

Radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh maupun luar tubuh. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh dapat terjadi akibat proses enzimatik (oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel) maupun akibat proses nonenzimatik (pada reaksi inflamasi dan iskemia). Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh yang diakibatkan oleh adanya polutan seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar UV, sinar X, sinar gamma, konsumsi makanan tinggi lemak, caffeine, alkohol, pestisida atau zat beracun lainnya. Selain itu radikal bebas juga dapat dipicu oleh adanya stres atau pelatihan fisik berlebih (Pham-Huy et al., 2008).

Radikal bebas yang paling sering menyebabkan kerusakan sistem biologi adalah reactive oxygen spesies (ROS). Pada keadaan normal tubuh manusia menghasilkan ROS yang merupakan residu dari proses pembentukan energi, namun kadarnya masih dapat diantisipasi secara optimal oleh antioksidan yang terdapat di dalam tubuh. Selama pelatihan fisik berlebih, terjadi peningkatan konsumsi oksigen sebanyak 10 sampai 20 kali lipat dari normal, dan pengambilan oksigen pada muskulo-skeletal yang aktif meningkat sebesar 100 sampai 200 kali. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi ROS yang tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan dalam tubuh. Keadaan ketidakseimbangan antara kadar ROS dengan antioksidan ini disebut juga stress oksidatif (Halliwell dan Gutteridge, 2007).


(19)

Stres oksidatif dapat merusak molekul biologi yang terdapat di dalam tubuh seperti lipid, protein, dan deoxyribonucleic acid (DNA). Jika hal ini terjadi dalam waktu terus-menerus, maka akan terjadi akumulasi hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan sehingga menyebabkan jaringan tersebut kehilangan fungsinya (Bagiada, 2001). Sebuah literatur yang berjudul Trend in Cell Biology menyebutkan bahwa ROS berhubungan erat dengan penuaan karena ROS berperan dalam mediasi respon stres yang terjadi akibat

agedependent damage (Hekimi et al., 2011).

Kondisi stres oksidatif dapat dideteksi dengan menggunakan indikator F2isoprostan (8-iso-PGF2α) yang merupakan hasil dari peroksidasi lipid

membran sel di dalam tubuh akibat radikal bebas (Hanak, 2010). F2-isoprostan adalah komponen prostaglandin-like yang terbentuk dari katalisa peroksidasi radikal bebas dari asam lemak esensial (primarily arachidonic acid) tanpa perintah atau aksi langsung dari enzim

cyclooxygenase (COX). F2-isoprostan merupakan eicosanoids non klasikal dan memiliki aktivitas biologikal yang poten sebagai mediator inflamasi yang menimbulkan persepsi nyeri. F2-isoprostan merupakan indikator yang akurat dari peroksidasi lipid baik pada manusia maupun hewan dalam konteks terjadinya stres oksidatif (Morrow et al., 2002).

Upaya lain untuk mencegah proses penuaan akibat radikal bebas adalah dengan antioksidan. Antioksidan dapat mencegah teroksidasinya molekul lain oleh radikal bebas dengan cara mendonorkan elektronnya sehingga radikal bebas menjadi stabil. Antioksidan dapat berasal dari dalam tubuh (endogen) maupun dari luar tubuh (eksogen), misalnya dari diet dan


(20)

suplementasi makanan (Rahman, 2007). Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan maupun suplementasi antioksidan diperlukan oleh tubuh untuk mereduksi kerusakan oksidatif (Mau et al., 2011; Gulcin et al.,

2002).

Pasak bumi merupakan tanaman yang banyak digunakan akarnya untuk meningkatkan vitalitas dan fertilitas, namun belum banyak yang mengetahui bahwa akar pasak bumi juga memiliki manfaat sebagai antioksidan. Pasak bumi banyak ditemukan di Indonesia dan Malaysia, memiliki nama latin Eurycoma longifolia (EL), dan merupakan bagian dari

famili Simaroubaceae. Ekstrak akar pasak bumi mengandung

eurikomalakton, eurikomanol, laurikomalakton A dan B,

dehidrokomalakton, eurikomanin, eurikomanol, benzoquinon, saponin, asam lemak ester, vitamin C, tanin dan flavonoid (Supriadi, 2001; Novianti, 2015; Ratnapuri, 2015).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Erasmus, Solomon dan Henkel pada tikus secara in vivo (2013), didapatkan hasil bahwa pemberian ekstrak akar pasak bumi dengan dosis 800mg/kgBB terbukti dapat meningkatkan konsentrasi, vitalitas, motilitas total dan motilitas progresif sperma lebih signifikan dibandingkan dengan dosis 200mg/kgBB. Pada penelitian Varghese et al. (2013) disebutkan bahwa ekstrak akar pasak bumi dengan konsentrasi 10 µg/ml terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi ekstrak akar pasak bumi (250 µg/ml).

Mekanisme antioksidan ekstrak akar pasak bumi diduga terjadi karena kemampuannya untuk menstabilkan membran sel yang diperoleh dari


(21)

kandungan quassinoid di dalamnya. Membran sel yang stabil dibutuhkan oleh lisosom untuk mencegah pelepasan respon inflamasi, dimana inflamasi dapat memicu pembentukan ROS (Varghese et al., 2013; Hajjouli et al.,

2014). Fungsi ini juga diperoleh dari kandungan saponin di dalam ekstrak akar pasak bumi. Kandungan lain yang terdapat di dalam ekstrak akar pasak bumi adalah flavonoid yang dapat menstabilkan membran sel dengan cara menjaga stabilitas membran sel dan mencegah peroksidasi lipid. Mekanisme ini juga diperoleh dari kandungan tanin yang merupakan polifenol dan kaya akan gugus OH sehingga dapat bertindak sebagai donor elektron untuk radikal bebas reaktif (Schroeter et al., 2002). Kandungan vitamin C mengeliminasi radikal alfa tokoferol yang terdapat pada membran sel dan lipoprotein, dan juga meningkatkan kadar glutation intrasel (Kojo, 2004; Naziroglu dan Butterworth, 2005). Menurut Kasote et al. (2015), vitamin C dan flavonoid merupakan antioksidan eksogen terbaik yang terdapat di dalam tanaman, dalam hal ini ekstrak akar pasak bumi, yang tidak hanya mampu menekan produksi ROS namun juga mampu menstimulasi tubuh untuk memproduksi antioksidan endogen. Kandungan beberapa antioksidan ini membuat ekstrak akar pasak bumi dapat digunakan untuk mencegah stres oksidatif dengan menekan kadar radikal bebas dalam tubuh. Namun efektivitas ekstrak akar pasak bumi dalam menekan stres oksidatif yang terjadi pada keadaan pelatihan fisik berlebih secara rinci belum diketahui dengan jelas, dan belum ada penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas antioksidan ekstrak akar pasak bumi pada keadaan pelatihan fisik berlebih dengan indikator F2-isoprostan.


(22)

Penelitian ini masih pada tahap uji coba terhadap hewan dengan menggunakan subyek penelitian berupa tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar jantan. Spesies ini sering digunakan dalam berbagai penelitian karena mudah dipelihara dan ukurannya relatif cukup besar untuk diobservasi. Jenis kelamin tikus yang dipilih adalah jantan karena tikus jantan tidak dipengaruhi oleh siklus menstruasi dengan maksud untuk menghindari adanya pengaruh hormonal pada hewan coba sehingga subyek penelitian lebih homogen dan menghindari terjadinya false negative akibat hormon tertentu, contohnya estrogen yang memiliki korelasi positif terhadap peningkatan F2-isoprostran (Sowers et al., 2008; Schisterman et al., 2010).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :

• Apakah pemberian ekstrak etanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) secara oral mampu menekan terjadinya stres oksidatif dengan indikator kadar F2-isoprostan pada tikus wistar jantan yang diinduksi pelatihan fisik berlebih?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk membuktikan pemberian ekstrak etanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) secara oral mampu menekan terjadinya stres oksidatif dengan indikator kadar F2-isoprostan pada tikus wistar jantan yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.


(23)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Dari hasil penelitian diharapkan akan diperoleh informasi ilmiah mengenai efektivitas ekstrak etanol akar pasak bumi sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas dengan indikator penurunan kadar F2-isoprostan pada tikus wistar yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.

2. Manfaat Klinis

Bila hasil penelitian ini dapat membuktikan efektivitas ekstrak etanol akar pasak bumi dalam menangkal radikal bebas, dan telah dilakukan

clinical trial, maka diharapkan ekstrak etanol akar pasak bumi dapat digunakan sebagai antioksidan.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Penuaan

2.1.1Definisi Penuaan

Penuaan adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau menggganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Secara praktis penuaan dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Penuaan tidak dapat dihindari dan terjadi dengan kecepatan yang berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan, dan gaya hidup. Sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan dari masing-masing individu (Fowler, 2003).

Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menimbulkan sakit tertentu, dan berujung pada kematian. Pada dasarnya faktor di atas dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal meliputi radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi (yang menyebabkan peningkatan AGEs), metilasi (penambahan gugus metil pada rantai DNA), apoptosis (kematian sel yang terprogram), sistem kekebalan yang menurun dan genetik. Kemudian faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup dan diet yang tidak sehat, kebiasaan buruk, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).


(25)

10

2.1.2Teori Terjadinya Proses Penuaan

Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wear and tear theory dan programmed theory (Goldman dan Klatz, 2003).

2.1.2.1Teori Wear and Tear

Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah lalu meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terakumulasi. Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan sel yang terdapat pada makhluk hidup menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi pada tingkat sel (Pangkahila, 2011).

Hal ini menyatakan bahwa walaupun seseorang tidak pernah merokok, minum alkohol, dan hanya mengkonsumsi makanan alami, dengan menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya akan berujung pada terjadinya suatu kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh akan membuat kerusakan terjadi lebih cepat. Karena itu, tubuh akan menjadi tua, dimana sel juga merasakan pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Sistem pemeliharaan pola hidup yang baik pada masa muda dinilai dapat berpengaruh terhadap perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011).


(26)

Dengan menjadi tua, tubuh berangsur kehilangan kemampuan dalam memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan dengan mekanismenya adalah merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011). Teori wear and tear meliputi:

A. Teori Kerusakan DNA

Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA repair). Proses penuaan sejatinya memiliki arti sebagai proses penyembuhan yang tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang terus menerus. Kerusakan DNA yang terakumulasi dalam waktu lama, dapat mencapai suatu keadaan dimana basis molekul sudah mengalami kerusakan yang berat. Kerusakan molekuler dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen kimia (Pangkahila, 2011).

B. Teori Penuaan Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat mengalami penuaan dikarenakan adanya akumulasi kerusakan oleh radikal bebas di dalam sel dalam jangka waktu tertentu. Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai susunan elektron tidak berpasangan sehingga bersifat sangat tidak stabil. Untuk menjadi stabil, radikal bebas akan menyerang sel-sel untuk mendapatkan elektron pasangannya dan terjadilah


(27)

reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Molekul utama di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohusodo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan yang terjadi pada sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga dapat mengganggu metabolisme sel, juga merangsang terjadinya mutasi sel, yang akhirnya bisa berakibat kanker dan kematian. Pada kulit, radikal bebas dapat merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit agar tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis. Jaringan tersebut akan mengalami kerusakan akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana akan terbentuk lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2003).

C. Glikosilasi

Teori ini dikemukakan dan mendapatkan momentumnya sejak diketahui bahwa glikosilasi memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan diabetes tipe 2. Glukosa bergabung dengan protein yang telah mengalami dehidrasi, yang kemudian menyebabkan terganggunya sistem organ tubuh. Pada diabetes, glikosilasi menyebabkan kekakuan arteri, katarak, hilangnya fungsi syaraf, yang merupakan komplikasi yang umum terjadi pada diabetes (Pangkahila, 2011).

2.1.2.2Programmed Theory

Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia terdapat suatu jam biologik, yang dimulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu model terprogram. Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai


(28)

embrio, janin, masa bayi, anak-anak remaja, menjadi tua dan akhirnya meninggal (Pangkahila, 2011).

Programmed theory meliputi:

A. Teori Terbatasnya Replikasi Sel

Teori ini mengatakan bahwa pada ujung chromosome strands terdapat struktur khusus yang disebut telomere. Setiap replikasi sel telomere mengalami pemendekan ukuran pada proses pembelahan pembelahan sel. Dan setelah sejumlah pembelahan sel tertentu, telomere telah dipakai dan pembelahan sel terhenti. Menurut Hayflick, mekanisme telomere tersebut menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila, 2011).

B. Proses Imun

Rusaknya sistem imun tubuh seperti mutasi yang berulang atau perubahan protein protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh dalam mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan menyebabkan sistem imun dalam tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang lanjut usia (Pangkahila, 2011).


(29)

Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, dengan dasar peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda, berbagai hormon bekerja dengan baik dalam mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh, sehingga fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal, seperti kemampuan bereaksi terhadap panas dan dingin, kemampuan motorik, fungsi seksual, dan fungsi motorik. Seiring dengan menuanya seseorang maka tubuh hanya mampu memproduksi hormon lebih sedikit, sehingga kadarnya menurun dan berakibat pada gangguan berbagai fungsi tubuh. Contoh yang jelas ialah menopause pada wanita, dan andropause pada pria. Terapi sulih hormon dikatakan dapat membantu untuk mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga dapat memperlambat proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003).

2.1.3Fase Penuaan

Menurut Fowler (2003), penuaan dibagi menjadi tiga fase berdasarkan usia, antara lain:

1. Fase Subklinik (25-35 tahun)

Kadar hormon mulai menurun, seperti growth hormone, testosteron dan estrogen. Pembentukan radikal bebas dapat merusak sel dan struktur DNA. Tanda dan keluhan penuaan belum tampak dari luar, individu masih tampak sehat dan merasa normal. Bahkan pada umumnya rentang usia ini dianggap masih muda dan nomal.

2. Fase Transisi (35-45 tahun)

Kadar hormon menurun ±25% disertai kehilangan massa otot yang


(30)

tubuh meningkat. Ditambah pengaruh buruk gaya hidup yang mengawali terjadinya resistensi insulin dan peningkatan risiko mengalami penyakit jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Tampak gejala klinis, seperti penurunan kemampuan indera penglihatan dan pendengaran, rambut putih mulai tumbuh, penurunan elastisitas dan pigmentasi kulit, dan penurunan dorongan dan bangkitan seksual.

3. Fase Klinik (>45 tahun)

Penurunan kadar hormon berlanjut termasuk pada growth hormone, DHEA, testosteron, estrogen, dan progesteron. Hilangnya kemampuan menyerap nutrisi, vitamin, dan mineral menyebabkan densitas tulang menurun,

kehilangan massa otot ±1 kilogram setiap 3 bulan, dan peningkatan lemak

tubuh dan berat badan. Prevalensi penyakit kronis meningkat drastis dan muncul banyak ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sederhana.

2.1.4AntiAging Medicine (AAM)

Konsep dan definisi ilmu AAM pada awalnya diperkenalkan dan dikembangkan oleh American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) pada

tahun 1993. Definisi aslinya adalah “Anti-Aging Medicine is a medical specialty founded the application of advance scientific and medical technologies for the early detection, prevention, treatment, and reversal of age-related dysfunction, disorders, and diseases to prolong the healthy lifespan”. Terjemahan bebasnya sebagai berikut, “Anti-Aging Medicine

adalah bagian dari ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini,


(31)

pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang

bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat” (Pangkahila,

2011).

Jadi penuaan dianggap dan diperlakukan sama dengan penyakit, yang dapat dicegah, dihindari, dan diobati, sehingga dapat kembali ke keadaan semula dan pada akhirnya usia harapan hidup menjadi lebih panjang dan dalam keadaan sehat dengan kualitas hidup yang tetap baik. Dengan demikian manusia tidak lagi harus membiarkan begitu saja dirinya menjadi tua dengan segala keluhan (Pangkahila, 2011).

Perubahan paradigma inilah yang membedakan AAM dengan kedokteran konvensional yang kini masih mendominasi dunia kedokteran. AAM secara progresif berupaya mengatasi proses penuaan agar keluhan, disfungsi, atau penyakit tidak muncul, sedangkan kedokteran konvensional mengatasi keluhan, disfungsi, dan penyakit yang muncul karena proses penuaan (Pangkahila, 2011).

2.2 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah suatu molekul reaktif dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluar (Pham-Huy et al., 2008). Konfigurasi yang tidak stabil ini kemudian berinteraksi dengan molekul yang berdekatan, seperti protein, lipid, karbohidrat, dan asam nukleat, kemudian menjadikan molekul tersebut tidak stabil dan terjadilah reaksi rantai yang baru akan berhenti setelah diredam oleh senyawa yang bersifat antioksidan.


(32)

Radikal bebas yang paling sering menyebabkan kerusakan sistem biologi adalah oxygen-free radical, yang lebih dikenal sebagai reactive oxygen species (ROS) (Rahman, 2007).

2.2.1Klasifikasi Radikal Bebas

Menurut Salama dan El-Bahr (2007), radikal bebas dapat dibagi menjadi:

1. Oxygen centered radicals terdiri dari anion superoksida (O2●),

radikal hidroksil (●OH), radikal alkoksil (RO●), dan radikal peroksil (●OOH atau ROO●).

2. Oxygen centered non radicals terdiri dari hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen singlet (1O2).

3. Spesies radikal lain atau reactive nitrogen species (RNS) antara lain: nitrit oksida (NO●), nitrit dioksida (NO●2), dan


(33)

Gambar 2.1

Klasifikasi radikal bebas(Salama dan El-Bahr, 2007)

2.2.2Sumber Radikal Bebas

Menurut Pham-Huy et al. (2008), sumber radikal bebas dapat dibagi menjadi:

1. Radikal bebas yang dihasilkan dari dalam tubuh akibat adanya

proses enzimatik oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel. Proses enzimatik yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas antara lain berupa oksidasi pada proses respirasi, pencernaan, dan metabolisme

2. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh akibat adanya proses nonenzimatik. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksigen dengan senyawa organik melalui ionisasi dan radiasi. Contohnya, pada reaksi inflamasi dan iskemia


(34)

3. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh yang diakibatkan oleh adanya polutan seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar UV, sinar X, sinar gamma, konsumsi makanan tinggi lemak, caffeine, alkohol, pestisida atau zat beracun lainnya. Selain itu radikal bebas juga dapat dipicu oleh adanya stres atau aktivitas fisik berlebih

2.2.3Pembentukan Radikal Bebas

Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga tahapan reaksi berikut (Winarsi, 2010):

1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas,

menjadikan senyawa non radikal menjadi radikal. Misalnya:

Fe ++ + H2O2 Fe +++ + OH- + •OH R1 _H + •OH R1• + H2O

2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal, dimana reaksi berantai radikal bebas diperluas sehingga membentuk beberapa radikal bebas baru.

R2_H + R1• R2 • + R1_H R3_H + R2• R3 • + R2_H

3. Tahap terminasi, yaitu pembentukan non radikal dari radikal bebas, bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah.

R1 • + R1 • R1_R1


(35)

R2 • + R2 • R2_R2 dan seterusnya

2.2.4Reactive Oxygen Species (ROS)

ROS berasal dari elemen oksigen yang merupakan hal penting bagi organisme aerob, seperti halnya manusia. Sekitar 90% dari oksigen yang masuk ke dalam tubuh digunakan untuk menghasilkan energi berupa ATP melalui proses fosforilasi oksidatif di mitokondria. Sekitar 10% oksigen digunakan oleh enzimenzim untuk proses hidroksilasi dan reaksi oksigenisasi. Sekitar 1 – 2 % oksigen menjadi residu yang kemudian dikonversi menjadi

reactive oxygen species yang dikenal juga dengan ROS (Baynes dan Dominiczak, 2014).

ROS adalah istilah yang digunakan untuk radikal, bukan hanya radikal yang mengandung oksigen (superoksida (O2●) dan radikal hidroksil (●OH))

namun juga derivat oksigen yang tidak mengandung elektron tidak berpasangan seperti hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen singlet (1O2)

(Pham-Huy et al., 2008).

Proses fosforilasi oksidatif yang terjadi di mitokondria menghasilkan energi berupa ATP melalui reduksi oksigen menjadi dua molekul air, dengan reaksi

sebagai berikut (Winarsi, 2010): O2 + 4H+ + 4e- 2H2 O

Reduksi satu molekul oksigen menjadi dua molekul air terjadi dengan memindahkan empat elektron. Namun dalam keadaan tertentu, proses pemindahan elektron ini tidak terjadi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terbentuknya spesies reaktif seperti O2●, ●OH, dan H2O2


(36)

seperti berikut ini (Winarsi, 2010):

Mekanisme terbentuknya ROS secara in vivo terjadi melalui tiga jalur, yaitu 1) akibat reaksi antara oksigen dengan ion metal (reaksi Fenton), 2) sebagai reaksi sampingan dari transpor elektron yang terjadi di mitokondria, 3) melalui proses enzimatik normal seperti pembentukan H2O2 oleh oksidasi

asam lemak di peroksisom (Baynes dan Dominiczak, 2014).

Gambar 2.2

Mekanisme terbentuknya ROS oleh reaksi Fenton dan Haber-Weiss (Baynes dan Dominiczak, 2014)

2.2.4.1Dampak Negatif Reactive Oxygen Species (ROS)

ROS dapat merusak DNA, protein dan lipid, namun dalam keadaan normal tubuh memiliki sistem yang mampu memperbaiki kerusakan akibat ROS, yaitu :


(37)

•Kerusakan: seluruh komponen DNA dapat dirusak oleh radikal

hidroksil (•OH). Sedangkan oksigen singlet (1

O2) lebih cenderung

mengenai guanin. Superoksida (O2●) dan hidrogen peroksida (H2O2)

tidak mengenai DNA.

•Sistem perbaikan: kerusakan pada DNA dikenali oleh enzim tubuh, dilanjutkan dengan proses excisi, resintesis, dan penggabungan kembali rantai DNA.

2. Protein

•Kerusakan: banyak ROS mampu merusak gugus sulfhidril. Radikal

hidroksil (•OH) dapat merusak banyak residu asam amino.

•Sistem perbaikan: residu oksidasi metionin diatasi oleh methionine sulfoxide reductase. Kerusakan protein lain dapat dikenali dan dihancurkan oleh protease selular.

3. Lipid

•Kerusakan: beberapa ROS, kecuali superoksida (O2●) dan hidrogen

peroksida (H2O2), dapat menginisiasi terjadinya peroksidasi lipid.

•Sistem perbaikan: chain-breaking antioxidants khususnya tokoferol dapat menghilangkan propagasi rantai radikal peroksil. Phospholipid hydroperoxide glutathione peroxidase menghilangkan peroksida membran.

2.2.4.2Dampak Positif Reactive Oxygen Species (ROS)

Walaupun ROS memiliki banyak efek negatif, namun ROS juga meiliki efek positif, yaitu (Bagiada, 2001; Baynes dan Dominiczak, 2014):


(38)

1. Melawan atau membunuh organisme patogen yang dihasilkan

oleh granulosit, makrofag dan monosit

2. Sebagai substrat untuk enzim, misalnya H2O2 sebagai substrat

dari enzim hemeperoksidase yang penting dalam iodinisasi hormon tiroid

3. Sebagai sinyal pada metabolisme zat tertentu, misalnya

insulin. H2O2 memiliki peran dalam mekanisme inaktivasi reversible

dari beberapa protein tirosin fosfatase, yang kemudian dalam waktu yang sama mengaktivasi protein tirosin kinase melalui reseptor insulin

2.2.5Stres Oksidatif

Stres oksidatif adalah suatu kondisi dimana proses produksi ROS lebih tinggi daripada eliminasinya, yang mengakibatkan kerusakan oksidatif molekulmolekul biologi. Jika hal ini terjadi dalam waktu terus-menerus, maka akan terjadi akumulasi hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan sehingga menyebabkan jaringan tersebut kehilangan fungsinya (Bagiada, 2001). Stres oksidatif dapat terjadi secara lokal, seperti pada penyakit artritis dan aterosklerosis, maupun secara sistemik, seperti pada

systemic lupus erythematosus dan diabetes (Baynes dan Dominiczak, 2014). Macam-macam penyakit yang diinduksi oleh stres oksidatif digambarkan pada gambar 2.4 (Pham-Huy et al., 2008).


(39)

Gambar 2.3

Ketidakseimbangan pro-oksidan dengan antioksidan pada keadaan stres oksidatif. AGE, advanced glycation end product; CAT, catalase; GPx, glutathione peroxidase; MPO, myeloperoxidase; SOD, superoxide

dismutase (Baynes dan Dominiczak, 2014)

Gambar 2.4

Penyakit yang diinduksi oleh stres oksidatif pada manusia (Pham-Huy et al., 2008)


(40)

2.3 Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining Syndrome

Sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome adalah sebuah gangguan medis kompleks yang terjadi pada atlet, namun belum banyak penelitian mengenai hal ini. Menurut dr. D. C. Parmenter, pelatihan fisik berlebih atau overtrain merupakan kondisi yang sulit untuk dideteksi dan dideskripsikan, evaluasi harus fokus pada muatan latihan, nutrisi, tidur dan istirahat, stres kompetisi dan status psikologi (Lewis et al., 2010).

Overtrain merupakan stimulus dan overtraining syndrome adalah konsekuensi dari overtrain (Bott, 2003).

Secara terminologi, overtraining syndrome adalah sebuah respon maladaptif dari sebuah pelatihan fisik dengan beban berlebih dalam periode yang panjang (biasanya 2 minggu), yang merupakan hasil dari overreaching / overwork yang berkepanjangan. Sementara overreaching / overwork adalah fase akut yang terjadi saat beban pelatihan fisik (intensitas dan volume) meningkat secara signifikan (Lewis et al., 2010).

Telah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan hasil maksimal dan risiko minimal pada pelatihan, diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu

Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan tiga sampai empat kali per minggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari dua hari, dengan intensitas kurang lebih 72% - 87% dari denyut jantung maksimal: 220 – umur (dalam tahun). Lama latihan sekitar 30 sampai 60 menit. Latihan didahului pemanasan selama 15 menit, dilanjutkan latihan inti 35 menit, diakhiri pendinginan 10 menit (Pangkahila, 2011).


(41)

Gambar 2.5

Ilustrasi proses overtraining (Lewis et al., 2010) Pelatihan berlebih seringkali akibat dari (Hatfield, 2001):

1) Volume pelatihan yang terlalu banyak

2) Intensitas pelatihan yang terlalu banyak

3) Durasi pelatihan terlalu panjang

4) Frekuensi pelatihan yang terlalu sering

Insidensi dan prevalensi mengenai sindrom pelatihan fisik berlebih atau

overtraining syndrome pada literatur tidak disebutkan secara jelas. Estimasi angka kejadian overtraining syndrome adalah 7% hingga 20% dari jumlah atlet yang melakukan pelatihan. Lebih dari dua per tiga atlet lari pernah mengalami gejala dan tanda-tanda overtraining syndrome¸ dimana angka resiko tertinggi terdapat pada atlet lari, balap sepeda, dan renang.

Overtraining syndrome sering terjadi pada individu yang memiliki motivasi tinggi dan goal-oriented, juga pada atlet yang merancang pelatihan fisiknya sendiri tanpa berkonsultasi dengan ahlinya.

Resiko dari overtraining syndrome antara lain performa buruk berkepanjangan, trauma, penyakit, dan pensiun dini. Volume dan intensitas


(42)

latihan serta kurangnya waktu istirahat merupakan penyebab tersering dari sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome (Lewis et al.,

2010).

Adapun penyebab dari overtraining syndrome antara lain (Safran et al.,

2012):

1. Intensitas pelatihan fisik yang tinggi

2. Volume pelatihan fisik yang ekstrim

3. Tidur terganggu

4. Travelling

5. Penggunaan obat-obatan

6. Konsumsi alkohol

Faktor resiko dari overtraining syndrome antara lain (Safran et al.,

2012):

1. Kesehatan umum kurang baik

2. Nutrisi tidak adekuat

3. Status mood dan kepribadian

4. Usia lanjut

5. Laki-laki


(43)

Gejala overtraining syndrome (Bott, 2003; Safran et al. ,2012; Lewis et al., 2010):

1. Psikologi: kelelahan, anhedonia (nafsu makan dan libido

menurun), gangguan emosi (iritabilitas, anxietas, hingga depresi), gangguan tidur (insomnia atau hipersomnolen), indera persepsi abnormal (keluhan pada organ tanpa disertai penyakit pada organ tersebut)

2. Kardiovaskular: reduksi VO2 maksimum, menurunnya stroke

volume, kontraksi otot jantung, dan volume plasma

3. Muskuloskeletal: kekakuan otot, penurunan performa, overuse

injury

4. Imunitas: peningkatan frekuensi infeksi saluran nafas atas dan infeksi bakteri lain, penurunan sekresi IgA dan IgA serum, penurunan fungsi sel natural killer

5. Perubahan biokomia darah: negative nitrogen balance,

penurunan glikogen otot, deplesi mineral (zinc, cobalt, alumunium,

selenium, copper), peningkatan kortisol, penurunan testosteron 6. Lain-lain: gangguan menstruasi


(44)

Gambar 2.6

Tanda dan gejala kelelahan kronis(Lewis et al., 2010) 2.3.1Patofisiologi Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining

Syndrome

Patofisiologi dari sindrom pelatihan fisik berlebih / overtraining syndrome belum diketahui secara jelas. Terdapat beberapa model atau hipotesis yang menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit ini, salah satu diantaranya adalah hipotesis sistem saraf otonom, hipotesis neuroendokrin, hipotesis glikogen / glutamin / asam amino bercabang (branch chained amino acids / BCAA), dan hipotesis sitokin (Lewis et al., 2010).

A. Hipotesis sistem saraf otonom

Disfungsi otonom yang berhubungan dengan pelatihan fisik berlebih atau overtraining diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu simpatis (gejala


(45)

Basedowian) dan parasimpatis (gejala Addisonoid). Bentuk simpatis (gejala Basedowian) berhubungan dengan hipertiroid dan ditandai dengan adanya gejala dari peningkatan stimulus adrenergik dan non-adrenergik, yaitu agitasi, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan berat badan, dan insomnia. Bentuk parasimpatis (gejala Addisonoid) ditandai dengan adanya insufisiensi adrenal berupa depresi, kelelahan, peningkatan libido, hipersomnolen, dan mialgia (Lewis et al., 2010).

Penemuan objektif yang mendukung hipotesis ini antara lain adanya penurunan adrenocorticotropic hormone (ACTH), penurunan kadar kortisol, peningkatan dini katekolamin sebelum latihan fisik dan setelah latihan fisik, penurunan eksreksi katekolamin urin basal, dan penurunan denstitas reseptor beta pada overtraining syndrome. Penurunan sensitivitas tubuh terhadap jalur simpatis dapat dilihat sebagai mekanisme umpan balik negatif setelah paparan berulang dari pelatihan fisik yang menginduksi pelepasan katekolamin. Overtraining parasimpatis kemudian menampakkan hasil dari umpan balik negatif tersebut sebagai respon dari stimulus berlebih dan berulang tanpa disertai waktu istirahat yang adekuat. Hipotesis ini juga menjelaskan mengapa atlet dengan non-exerciserelatefd life stressor

cenderung lebih mudah mengalami sindrom pelatihan fisik berlebih atau

overtraining syndrome (Lewis et al., 2010).

B. Hipotesis neuroendokrin

Sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome menekan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, ditandai dengan adanya penurunan hormon hipofisis anterior, atau hormon di bawahnya. Adapun gangguan


(46)

hormonal yang ditemukan antara lain supresi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (penurunan ACTH dan kortisol), penurunan growth hormone,

penurunan sekresi thyroid stimulating hormone (TSH), penurunan sekresi

luteinizing hormone (LH), penurunan rasio testosteron bebas terhadap kortisol, penurunan sekresi prolaktin, dan peningkatan kadar norepinefrin dan epinefrin (Lewis et al., 2010).

Belum ada penjelasan yang lengkap mengenai hubungan antara

overtraining dengan ketidaknormalan sistem endokrin tersebut, dan kejadiannya bervariasi selama rangkaian sindrom pelatihan fisik berlebih atau

overtraining syndrome. Hipotesis neuroendokrin dan perubahan hormonal yang terjadi akibat overtraining berhubungan dengan hipotesis otonom dan sitokin, pada beberapa kasus juga merupakan respon sekunder dari perubahan otonom dan inflamasi (Lewis et al., 2010).

C. Hipotesis glutamin / asam amino bercabang / glikogen

Glutamin adalah asam amino dengan jumlah terbesar yang terdapat pada otot dan plasma, disintesis di otot, paru, hepar, otak, dan jaringan lemak. Glutamin adalah sumber nutrien yang penting untuk monosit, limfosit, dan sel

natural killer. Pada atlet yang diberi pelatihan fisik berlebih, dengan intensitas pelatihan yang tinggi dan istirahat yang tidak adekuat, kadar glutamin menurun plasma, dan menyebabkan tubuh lebih beresiko mengalami penyakit infeksi. Telah terbukti sekresi IgA dan konsentrasi IgA serum menurun pada atlet yang diberikan pelatihan fisik berlebih. Selain itu sitotoksisitas sel natural killer juga menurun. Lebih spesifik lagi, beberapa


(47)

studi telah membuktikan adanya peningkatan angka kejadian infeksi saluran nafas atas pada atlet yang diberi pelatihan fisik berlebih (Lewis et al., 2010).

Hipotesis asam amino bercabang / branched chain amino acid (BCAA) mengungkapkan bahwa pada overtraining syndrome terjadi peningkatan 5hydroxytryptamine (5-HT), atau serotonin, yang kemudian menimbulkan

central fatigue. Menurut hipotesis ini, pelatihan fisik intensif menyebabkan deplesi glikogen, sehingga mengharuskan tubuh menggunakan sumber energi alternatif yang didapat dari susunan otot. BCAA (leucine, isoleucine, valine) kemudian dioksidasi menjadi glukosa bersamaan dengan peningkatan kadar asam lemak. Asam lemak berkompetisi dengan triptofan dalam menempati

albumin binding sites. Setelah melewati blood brain barrier triptofan dikonversi menjadi 5-HT, atau serotonin (Lewis et al., 2010).

Glikogen adalah sumber energi utama pada pelatihan fisik intensif hingga moderate. Menurut hipotesis glikogen, deplesi glikogen dapat menyebabkan overtraining syndrome melalui tiga mekanisme, yaitu: secara langsung (peningkatan kadar glikogen otot menyebabkan kelelahan otot dan menurunkan performa), melalui peningkatan BCAA yang kemudian menyebabkan central fatigue, dan melalui reaksi katabolik (Lewis et al.,

2010).

D. Hipotesis sitokin

Hipotesis sitokin menjelaskan bahwa pada cedera jaringan kronik yang terjadi tanpa penyembuhan regeneratif, terdapat inflamasi sistemik dan respon imun. Hal ini terjadi akibat aktivasi NADPH oxidase yang terdapat di dalam neutrofil. NADPH oxidase bertanggungjawab atas peningkatan


(48)

regulasi faktorfaktor imunitas dan terbentuknya radikal bebas terutama ROS (Lewis et al., 2010; Dong et al, 2011).

Faktor imunitas yang mengalami peningkatan antara lain interleukin, interferon, TNF, sitokin dan faktor pro-inflamasi lainnya. Peningkatan faktor

imunitas ini memiliki andil dalam terjadinya exercise-induced

immunosuppression, yang kemudian menimbulkan gejala seperti central fatigue, anoreksia, depresi, status katabolik, dan perubahan aksis hipotalamus-hipofisisadrenal dan hipotalamus-hipofisis-gonad (Lewis et al.,

2010; Dong et al, 2011).

Peningkatan produksi ROS di dalam tubuh dapat menyebabkan peroksidasi lipid membran sel dan mencetuskan terjadinya kerusakan oksidatif pada molekul biologi tubuh, contohnya DNA (Dong et al, 2011).

Gambar 2.7


(49)

2.3.2Preventif Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining Syndrome

Langkah preventif overtraining syndrome dapat dilakukan dengan cara memberikan periode latihan sesuai dengan beban latihan yang baik. Dengan memberikan periode pelatihan fisik, disertai waktu yang cukup untuk pemulihan, maka pelatihan fisik akan optimal. Rencana jangka panjang berupa pelatihan fisik selama 52 minggu per tahun yang terbagi dalam beberapa fase dan intensitas sangatlah penting (Safran et al., 2012).

Langkah preventif sangatlah penting, namun apabila overtraining syndrome sudah terjadi maka terapi paling tepat adalah beristirahat selama kurang lebih 2 minggu. Setelah periode istirahat ini, pelatihan fisik ringan harus dilakukan dengan metode, aktivitas, dan intensitas yang berbeda dari pelatihan sebelumnya yang telah mencetuskan overtraining syndrome.

Peningkatan intensitas harus dilakukan secara bertahap dan memperhatikan ada tidaknya tanda-tanda overtraining syndrome. Kemungkinan adanya gangguang kesehatan seperti malnutrisi, depresi, penyakit tiroid, dan anemia harus disingkirkan sebelum memulai terapi (Safran et al., 2012).

2.4 F2-Isoprostan

Stres oksidatif dipercaya sebagai kunci dari beberapa penyakit akut maupun kronis, namun untuk melakukan evaluasi terhadap kadar radikal bebas adalah hal yang sulit karena radikal bebas sangat reaktif, cepat hilang, dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal yang lebih mudah dilakukan adalah dengan melakukan evaluasi terhadap hasil reaksi radikal bebas di dalam tubuh, salah satunya dengan melihat kadar F2-isoprostan. Isoprostan merupakan senyawa menyerupai prostaglandin yang disintesis terutama oleh esterifikasi asam arakhidonat akibat reaksi katalisasi radikal


(50)

bebas nonenzimatik in vivo. Kadar F2isoprostan menggambarkan peroksidasi lipid yang terjadi pada keadaan stres oksidatif. Peroksidasi lipid in vivo dan in vitro dengan menggunakan analisa kuantitatif F2-isoprostan diketahui lebih unggul dibandingkan dengan metode lain seperti TBARS (thiobarbituric acid–reactive substances), MDA, lipid hidroperoksida, dan exhaled alkanes

(ethane maupun pentane)(Basu, 2008).

Pada keadaan normal kadar F2-isoprostan adalah kurang dari 2 ng/ml kreatinin, namun dapat meningkat pada keadaan stres oksidatif. Hal ini yang menyebabkan kadar F2-isoprostan tidak boleh melebihi normal, karena peningkatan kadar F2-isoprostan menggambarkan peroksidasi lipid yang terjadi pada keadaan stres oksidatif. Apabila stres oksidatif tidak diminimalisir maka dapat menyebabkan kerusakan oksidatif. Akumulasi kerusakan oksidatif ini selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan molekul tubuh, jaringan, penurunan fungsi organ, penuaan, dan berbagai penyakit lainnya.

2.4.1Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan

Pembentukan nonenzimatik derivat prostaglandin tidak banyak diketahui sebelum tahun 1990. Beberapa studi mengungkapkan bahwa pembentukan F2isoprostan melalui jalur cyclooxygenase (COX) dari sel trombosit dan monosit manusia, namun pembentukan melalui jalur ini sangatlah minimal. Tidak seperti prostaglandin primer, isoprostan tidak memerlukan cyclooxgenase untuk pembentukannya, oleh karena itu F2-isoprostan tidak dapat disebut sebagai prostaglandin (Basu, 2008).

Mekanisme pembentukan isoprostan dengan prekusor asam arakhidonat melalui berbagai tahap, yaitu (Basu, 2008):


(51)

1. Pemisahan atom hidrogen yang labil

2. Penambahan molekul oksigen pada asam arakhidonat yang

menghasilkan empat bentuk radikal peroksil 3. Endocyclization

4. Penambahan molekul oksigen yang membentuk empat

PGG2-like bicyclic endoperoxide intermediates yang tidak stabil

5. Reduksi PGG2-like bicyclic endoperoxide intermediates oleh glutation yang kemudian menghasilkan bentuk awal isoprostan yang akan berubah menjadi bentuk yang bermacam-macam. Bentuk isoprostan ditentukan oleh letak ikatan regioisomer atom karbon dengan gugus hidroksil, apakah terletak pada seri ke 5-, 8-, 12-, atau 15- regioisomer. Dan karena komponen ini isomer dengan PGF2 primer, maka komponen disebut juga F2-isoprostan 2.4.2 Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi F2-Isoprostan

Farmakokinetik dari F2-isoprostan belum diketahui secara detail. Hasil studi menunjukkan bahwa isoprostan diproduksi secara in situ pada sel yang rusak, terutama dalam bentuk ester, kemudian dimetabolisme menjadi bentuk asam bebas. Setelah melewati tahap biosintesis dalam jaringan, komponen ini siap diabsorbsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh dalam bentuk asam bebas maupun ester. Setelah diubah menjadi bentuk bebas, isoprostan dilepaskan ke dalam sirkulasi perifer kemudian mengalami hidrolisis dan metabolisme lanjutan. Isoprostan primer dan produk oksidasinya dapat ditemukan dalam darah maupun urin (Basu, 2008).


(52)

Gambar 2.8

Skema sederhana biosintesis F2-isoprostan (Basu, 2003)

2.4.3F2-Isoprostan Sebagai Biomarker Peroksidasi Lipid dan Stres Oksidatif

Kadar F2-isoprostan telah diketahui meningkat pada beberapa keadaan yang berkaitan dengan cedera oksidatif, sehingga kadar F2-isoprostan pada jaringan dan cairan tubuh dapat menjadi penanda peroksidasi lipid akibat radikal bebas secara in vivo. Pada cedera oksidatif, kadar F2-isoprostan sepuluh kali lebih tinggi daripada PGF2 enzimatik pada plasma. Bentuk bebas dari F2-isoprostan dapat dengan mudah ditemukan dalam jaringan dan cairan tubuh. Perhitungan bentuk ester dan bentuk bebas dari isoprostan dapat dilakukan pada jaringan, yang menggambarkan adanya stres oksidatif pada jaringan tersebut (Basu, 2008).

Perhitungan kadar MDA (malondialdehyde) untuk melihat adanya stres oksidatif dilaporkan kurang sensitif bila dibandingkan dengan kadar


(53)

isoprostan. Namun tidak ada hubungan antara peningkatan isoprostan dengan kadar MDA. Walaupun isoprostan dapat menggambarkan adanya oksidasi asam arakhidonat dengan baik, namun ada kemungkinan merupakan hasil dari lipid lain yang juga teroksidasi. Selain itu, pengambilan sampel yang kurang baik, persiapan yang buruk (selama proses ekstraksi, purifikasi, dan hidrolisasi), dan pengawetan sampel sebelum dilakukan analisa juga dapat menyebabkan kesalahan dalam analisa isoprostan (Basu, 2008).

2.4.4F2-Isoprostan dan Pelatihan Fisik Berlebih

Peningkatan isoprostan terjadi pada keadaan pelatihan fisik berlebih seperti lari ultramaraton yang dapat mencetuskan terjadinya lipid peroksidase. Pada studi terdahulu juga ditemukan bahwa kadar F2-isoprostan meningkat pada subyek sehat setelah melakukan pelatihan fisik berupa knee extensor

selama tiga jam (Fischer et al., 2004; Fischer et al., 2006). Menururt Sacheck

et al. (2003), peningkatan kadar F2-isoprostan hingga 5 ng/ml dapat ditemukan 72 jam setelah pelatihan fisik ekstrem akibat kerusakan pada otot.

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 12 subyek sehat yang diberi perlakuan berupa overtraining selama 12 minggu, terbagi dalam empat fase yang setiap fasenya terdiri dari beban latihan fisik bervariasi, dengan durasi tiga minggu per fase, dan jarak istirahat 96 jam antar fase, didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan F2-isoprostan yang berbanding lurus dengan peningkatan beban latihan. Pada saat istirahat selama 96 jam setelah diberi pelatihan fisik yang berat, terdapat penurunan F2-isoprostan secara signifikan (Margonis et al., 2007).


(54)

2.5 Antioksidan

Antioksidan merupakan molekul yang dapat mencegah teroksidasinya molekul lain oleh radikal bebas, dengan cara mendonorkan elektronnya sehingga radikal bebas menjadi stabil. Antioksidan yang ideal harus mudah diabsorbsi, mampu melawan radikal bebas, terlibat dalam kelasi redoks metal dan ekspresi gen dengan cara yang positif (Rahman, 2007).

2.5.1Klasifikasi Antioksidan

Manusia memiliki sistem antioksidan yang kompleks (enzimatik dan nonenzimatik), yang bekerja secara sinergis, dan bersama-sama melindungi sel dan organ tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh adanya radikal bebas. Antioksidan enzimatik yang paling efisien antara lain gluthatione peroxidase, catalase, dan superoxide dismutase. Sedangkan antioksidan nonenzimatik dibagi menjadi antioksidan metabolik dan nutrien. Antioksidan metabolik terdiri dari lipoid acid, glutathione, L-ariginine, coenzyme Q10,

melatonin, uric acid, bilirubin, metal-chelating proteins, transferrin, dan sebagainya. Antioksidan nutrien berasal dari luar tubuh (eksogen) terdiri dari vitamin E dan C, thiol antioxidants (gluthatione, thioredoxin, dan lipoic acid), melatonin, karotenoid, flavonoid natural, trace metals (selenium, mangan, zinc), asam lemak omega-3 dan omega-6, dan lain-lain (Droge, 2002; Willcox et al., 2004). Beberapa antioksidan dapat berinteraksi dengan antioksidan lain yang disebut juga jaringan antioksidan (Sies et al., 2005).

Berdasarkan asalnya, antioksidan dapat berasal dari dalam tubuh (endogen) maupun dari luar tubuh (eksogen), misalnya dari diet dan suplementasi makanan. Antioksidan endogen memiliki peran penting dalam menjaga fungsi sel secara optimal yang selanjutnya mempengaruhi kesehatan


(55)

tubuh. Namun pada keadaan stres oksidatif, jumlah antioksidan endogen tidak mencukupi sehingga diet tinggi antioksidan eksogen mungkin dibutuhkan. Beberapa komposisi yang terdapat dalam makanan tidak berfungsi untuk menetralisir radikal bebas secara langsung, melainkan mengaktivitasi antioksidan endogen, sehingga dapat juga diklasifikasikan sebagai antioksidan (Rahman, 2007).

2.5.2Klasifikasi Mekanisme Kerja Antioksidan

Berbagai efek antioksidan dalam sistem biologi dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, seperti yang dijabarkan pada halaman berikut ini (Pham-Huy et al., 2008; Kostyuk dan Potapovich, 2009).

Klasifikasi mekanisme kerja antioksidan (Pham-Huy et al., 2008; Kostyuk dan Potapovich, 2009):

1. Chain breaking effects atau efek memutuskan rantai reaksi radikal bebas.

Ketika radikal bebas mengambil satu elektron dari molekul lain, ia membuat molekul tersebut menjadi kehilangan elektronnya sehingga berubah menjadi radikal bebas. Contoh paling umum dari reaksi rantai radikal bebas adalah lipid peroxidation. Antioksidan juga bersifat sebagai kompetitor dari beberapa radikal bebas, contohnya NO sehingga mencegah dampak negatif NO terhadap sel.

2. Preventive effects atau efek mencegah terjadinya pembentukan radikal bebas.


(56)

Antioksidan yang bersifat mencegah terjadinya inisiasi rekasi rantai radikal bebas dengan menstabilkan transisi radikal metal (copper dan iron) antara lain gluthatione peroxidase, catalase, dan superoxide dismutase. 2.6 Pasak Bumi

2.6.1Deskripsi dan Ekologi Pasak Bumi

Pasak bumi memiliki nama latin Eurycoma longifolia. Bagian dari tanaman pasak bumi yang sering dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah akarnya. Akar pasak bumi disebut juga sebagai Tongkat Ali / Bedara Merah / Bedara Putih di Malaysia, dan Cay Ba Bihn di Vietnam, Tung Saw / Phiak / Hae Pan Chan di Thailand (Goreja, 2004; Susilowati, 2010). Pasak bumi juga memiliki nama lokal antara lain: bidara laut / mempoleh di Bangka, widara putih di Jawa, penawar pahit di Melayu, besan di Sumatera Utara (Susilowati, 2010).


(57)

Gambar 2.9

Pohon pasak bumi (kiri), akar pasak bumi (kanan) (Riceplex.com)

Pasak bumi memiliki kedudukan taksonomi adalah sebagai berikut (Suhartinah, 2006):

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Sapindales

Famili : Simaroubaceae

Genus : Eurycoma

Spesies : Eurycoma longifolia

Utami, (2008) menyatakan bahwa tanaman pasak bumi merupakan pohon dengan tinggi mencapai 6 meter. Batang tanaman pasak bumi umumnya tidak bercabang, atau sedikit bercabang, warna coklat keabu-abuan licin dengan diameter sekitar 15 cm. Daunnya melingkar (rosette) dengan panjang 0,3-1 meter dan warna anak daunnya hijau tua berukuran 5-25 cm x 1,25-3 cm. Bunga tanaman pasak bumi merah jingga dengan lebar bunga 0,6 cm (Susilowati, 2008). Buah tanaman pasak bumi kira-kira panjang 1,25 cm, berbentuk oblong, berwarna merah ketika masak. Akar pasak bumi berupa akar tunggang yang tumbuh tegak lurus menghujam tanah hingga kedalaman 2 meter dan sedikit memunculkan cabang akar. Akar dan batang pasak bumi tidak memiliki perbedaan mencolok, kecuali pada morfologi akar yang meruncing ke arah ujung sementara batangnya berbentuk silindris (Mandang dan Andianto, 2007).

2.6.2Manfaat Akar Pasak Bumi


(58)

Beberapa manfaat akar pasak bumi antara lain:

-Menurut penelitian Varghese et al. (2013) terhadap manusia akar pasak bumi bermanfaat sebagai penangkal radikal bebas karena kandungan antioksidannya

-Menurut penelitian Novianti (2015) yang dilakukan pada tikus dan penelitian George dan Henkel (2013) terhadap manusia akar pasak bumi terbukti meningkatkan kadar testosteron total

-Menurut penelitian Wahab et al. (2010) terhadap tikus jantan terbukti mampu memperbaiki spermatogenesis tikus yang dipapar estrogen -Menurut penelitian Solomon et al. (2013) dengan subyek penelitian laki-laki terbukti dapat meningkatkan konsentrasi, motilitas, morfologi,

dan mitochondrial membrane potential dari sperma

-Menurut penelitian Ang et al. (2003; 2004) terhadap tikus jantan terbukti mampu meningkatkan sexual arousal dan kualitas seksual -Menurut penelitian Tee et al. (2007) terhadap MCF-7 human breast cell ekstrak akar pasak bumi terbukti mampu menginduksi apoptosis sel kanker sehingga diduga memiliki efek anti-kanker, dan sebagainya Akibat dari banyaknya manfaat akar pasak bumi, maka secara tidak langsung akar pasak bumi dapat memperbaiki kualitas hidup dan sebagai

antiaging (Lunenfeld dan Nieschlag, 2007; Talbott et al., 2013).

Manfaat akar pasak bumi dalam meningkatkan testosteron diduga melalui beberapa mekanisme. Mekanisme aksi yang mungkin terjadi adalah peningkatan biosintesis androgen oleh peptida yang terdapat di dalam ekstrak air pasak bumi. Eurypeptide, peptida yang terkandung dalam pasak bumi, mengaktifkan enzim CYP17 (17 a-hidroksilase/17, 20 lyase) meningkatkan


(59)

metabolisme pre-hormon pregnenolone dan 17-OH-pregnenolone, kemudian menghasilkan dehydroepiandrosterone (DHEA). Progesteron dan 17-OH-progesteron lalu dimetabolisme menjadi 4-androstenedione dan testosteron. Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah adanya peningkatan produksi testosteron oleh sel Leydig tikus melalui inhibisi fosfodiesterase dan aromatase oleh eurycomanone (Low et al., 2013a), meningkatkan kadar cAMP pada tikus (Pihie, 2004), menginduksi sintesis testosteron, LH, dan FSH namun dengan menurunkan kadar estrogen plasma / efek down-regulate

dari oestrogen-mediated-feedback pada tikus (Prakash, 2007; Low et al., 2013b) maupun pada manusia (Talbott et al., 2013), melepaskan ikatan testosteron oleh SHBG pada manusia (Henkel et al., 2013), menambah ukuran sel sperma dan meningkatkan aktivitas sel Leydig sehingga dapat menaikkan kadar hormon testosteron pada tikus (Novianti, 2015). Atas dasar penelitian-penelitian di atas, ekstrak akar pasak bumi dapat dianggap sebagai

testosterone maintainer atau restorer yang dapat me’normalisasi’ kadar

testosteron pada subyek yang mengalami penurunan testosteron, namun tidak meningkatkan testosteron pada subyek yang kadar testosteronnya normal (Low et al., 2013b).

Pada tikus betina yang mengalami irregular oestrous cycle dan

polycystic ovarian syndrome (PCOS), juga terbukti dapat menurunkan penyakit sistem reproduksi (Abdulghani et al., 2012). Akar pasak bumi dapat mengaktifasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast (Vanderschueren et al.,

2004), meningkatkan produksi nitric oxide (NO) pada tikus betina dan jantan (Zakaria et al., 2004), menginhibisi formasi osteoklas dan resorpsi tulang pada subyek manusia (Michael et al., 2005; Wimalawansa, 2010), prevensi


(1)

metabolisme pre-hormon pregnenolone dan 17-OH-pregnenolone, kemudian menghasilkan dehydroepiandrosterone (DHEA). Progesteron dan 17-OH-progesteron lalu dimetabolisme menjadi 4-androstenedione dan testosteron. Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah adanya peningkatan produksi testosteron oleh sel Leydig tikus melalui inhibisi fosfodiesterase dan aromatase oleh eurycomanone (Low et al., 2013a), meningkatkan kadar cAMP pada tikus (Pihie, 2004), menginduksi sintesis testosteron, LH, dan FSH namun dengan menurunkan kadar estrogen plasma / efek down-regulate dari oestrogen-mediated-feedback pada tikus (Prakash, 2007; Low et al., 2013b) maupun pada manusia (Talbott et al., 2013), melepaskan ikatan testosteron oleh SHBG pada manusia (Henkel et al., 2013), menambah ukuran sel sperma dan meningkatkan aktivitas sel Leydig sehingga dapat menaikkan kadar hormon testosteron pada tikus (Novianti, 2015). Atas dasar penelitian-penelitian di atas, ekstrak akar pasak bumi dapat dianggap sebagai testosterone maintainer atau restorer yang dapat me’normalisasi’ kadar testosteron pada subyek yang mengalami penurunan testosteron, namun tidak meningkatkan testosteron pada subyek yang kadar testosteronnya normal (Low et al., 2013b).

Pada tikus betina yang mengalami irregular oestrous cycle dan polycystic ovarian syndrome (PCOS), juga terbukti dapat menurunkan penyakit sistem reproduksi (Abdulghani et al., 2012). Akar pasak bumi dapat mengaktifasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast (Vanderschueren et al., 2004), meningkatkan produksi nitric oxide (NO) pada tikus betina dan jantan (Zakaria et al., 2004), menginhibisi formasi osteoklas dan resorpsi tulang pada subyek manusia (Michael et al., 2005; Wimalawansa, 2010), prevensi


(2)

terhadap hilangnya kalsium tulang pada tikus yang dikastrasi (Shuid et al., 2011b), memperbaiki kekuatan tulang pada tikus jantan (Saadiah et al., 2012) melalui elevasi kadar testosteron yang menekan kadar c-terminal telopeptide dari kolagen tipe I (CTX), sebuah marker resorpsi tulang, yang meningkat pada tikus yang dikastrasi (Shuid et al., 2012).

Akar pasak bumi dapat meningkatkan kadar testosteron kemudian menurunkan kadar high-density lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL) dan kolesterol total pada laki-laki hipogonad (Monroe dan Dobs, 2013).

Selain itu juga memiliki efek antihiperglikemik, namun pada subjek normoglikemik efek ini tidak terlihat, sehingga lebih tepat disimpulkan bahwa tanaman ini menormalisasi kadar gula darah daripada menurunkannya, seperti yang terjadi pada efek restorasi kadar testosteron (Talbott et al., 2013). Namun mekanisme molekular untuk efek ini belum diketahui secara pasti. 2.6.3Kandungan Senyawa Akar Pasak Bumi

Sejauh ini setidaknya terdapat 65 komponen yang berhasil diisolasi dari akar pasak bumi (Kuo et al., 2003). Akar tumbuhan ini sangat kaya akan komponen bioaktif seperti eurycomaoside, eurycolactone, eurycomalactone, eurycomanone dan pasakbumin-B dimana alkaloid dan kuasinoid memegang porsi terbesar (Bhat dan Karim, 2010). Komponen kuasinoid eurycomanone digunakan sebagai marker pada standardised water extract menurut standart SIRIM (Malaysian Standards, 2011) dan terbukti dapat meningkatkan kadar testosteron serta produksi sperma pada binatang coba (Zanoli et al., 2009; Low et al., 2013b). Ekstrak akar pasak bumi dikenal sebagain adaptogen (Tambi dan Kadir, 2006) dan pengobatan anti-aging terutama pada pria untuk


(3)

meningkatkan level energi, mood, fungsi seksual dan libido yang menurun seiring dengan bertambahnya usia (Adimoelya, 2000; Cyranoski, 2005).

Hasil analisis laboratorium analisis pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana pada November 2014 memberikan hasil analisa dari akar pasak bumi hutan di Kalimantan Barat memberikan hasil kapasitas antioksidannya 5514,58 ppm GAEAC (Gallic Acid EquivalentAntioxidant Capacity), IC 50 % (Inhibition Concentration terhadap radikal bebas DPPH 0,1 mM) sebesar 3,56 mg/ml, kadar total fenol 3,01 % b/b GAE (Gallic Acid Equivalent), kadar tanin 0,63 % b/b TAE (Tannic Acid Equivalent), vitamin C 1496,60 mg/100g, Rendemen 0,35 % b/b (Novianti, 2015). Hasil analisis yang dilakukan pada Maret 2015 di UPT Laboratorium Analitik Universitas Udayana dengan hasil analisis kimia ekstrak etanol akar pasak bumi terdapat 5 formula kimia utama yaitu senyawa ester 3,06%, senyawa phenanthroline 3,85%, senyawa naphthyridin 1,06%, senyawa beta sitosterol 5,77% dan senyawa estragole 1,17% (Novianti, 2015). Hasil analisis terhadap ekstrak akar pasak bumi Kalimantan Timur pada tanggal 20 Oktober 2015 adalah adanya kapasitas antioksidan 495,79 ppm GAEAC dan kandungan flavonoid 163,24 mg/100gQE.

2.6.4Akar Pasak Bumi Sebagai Antioksidan

Penelitian yang dilakukan oleh Varghese et al. (2013) pada relawan yang diberikan ekstrak akar pasak bumi melakukan analisa terhadap diphenyl picryl hyrazine (DPPH) dan stabilitas membran sel darah merah. Hasil dari peneltian ini adalah adanya penurunan persentase absorbsi DPPH yang menggambarkan tingginya akitivitas antioksidan, dan adanya peningkatan stabilitas membran sel darah merah. Sel darah merah merupakan target utama


(4)

dari ROS karena struktur membrannya yang tinggi akan PUFA dan ikatan oksigen sehingga mudah terjadi peroksidasi lipid. Selain itu membran sel darah merah dapat dianalogikan dengan membran sel lisososom karena kemiripannya, dimana lisosom penting dalam mencegah respon inflamasi. Dikarenakan membran sel darah merah analog dengan membran sel lisosom maka peningkatan stabilitas sel darah merah dapat digunakan untuk melihat aktivitas anti-inflamasi. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, inflamasi dan iskemia merupakan sumber radikal bebas yang terjadi secara nonenzimatik. Dengan demikian mekanisme ekstrak akar pasak bumi sebagai antioksidan diduga dengan cara menstabilkan membran sel sehingga mencegah terjadinya peroksidasi lipid dan stres oksidatif.

Quassinoid yang jumlahnya besar dalam ekstrak akar pasak bumi berfungsi sebagai anti-inflamasi yang dapat mencegah pembentukan radikal bebas. Fungsi ini juga diperoleh dari saponin yang terkandung di dalam ekstrak akar pasak bumi (tahap inisiasi). Flavonoid yang terkandung di dalamnya dapat menstabilkan membran sel dengan cara menjaga stabilitas membran sel dan mencegah peroksidasi lipid. Mekanisme ini juga diperoleh dari kandungan tanin yang merupakan polifenol dan kaya akan gugus OH sehingga dapat bertindak sebagai donor elektron untuk radikal bebas reaktif (tahap propagasi) (Schroeter et al., 2002). Kandungan vitamin C mengeliminasi radikal alfa tokoferol yang terdapat pada membran sel dan lipoprotein, dan juga meningkatkan kadar glutation intrasel (tahap terminasi) (Kojo, 2004; Naziroglu dan Butterworth, 2005).


(5)

2.6.5Uji Toksisitas Akar Pasak Bumi

Studi keamanan pasak bumi menunjukkan bahwa penggunaan konsentrat pasak bumi sebagai terapi (2.5 µg/ml) tidak memiliki efek buruk

terhadap spermatozoa in vitro (Erasmus et al., 2011). Pada data in vivo oleh

Tambi (2006) didapatkan bahwa ekstrak pasak bumi tidak toksik. Pada studi hewan, tidak ada efek negatif pada keturunannya, seperti malformasi maupun

perubahan berat badan dan jumlah keturunan (Solomon et al., 2013). Pada uji

toksisitas akut yang dilakukan terhadap tikus diungkapkan bahwa LD50 untuk ekstrak etanol dan aqua dari pasak bumi sebesar 2000 dan 3000

mg/kgBB (Satyavidad et al., 1998; Kuo et al., 2003). Penelitian lain juga

menunjukkan bahwa hanya pada dosis di atas 1200 mg/kgBB ekstrak pasak

bumi dapat bersifat hepatotoksik pada tikus (Shuid et al., 2011a). Choudhary

et al. (2012) melakukan investigasi terhadap toksisitas akut, sub-akut, dan

sub-kronik terhadap sebuah ekstrak standardised aqueous pasak bumi

bermerk Physta® yang dilakukan pada tikus Wistar jantan dan betina selama 90 hari dosis 250 mg/kgBB hingga 2000 mg/kgBB. Hasil dari penelitian ini adalah tidak ada perubahan bermakna pada parameter kimia darah, hematologi, histopatologi, mortalitas dan tingkah laku hewan coba.

Endocrine Society menyatakan PCa sebagai kontraindikasi dari terapi

testosteron dalam bentuk apapun (Bhasin et al., 2010). Akan tetapi sejauh ini

belum ada pembuktian ilmiah yang mengklaim terapi testosteron dapat memicu PCa. Dengan mempertimbangkan bahwa ekstrak pasak bumi dapat meningkatkan konsentrasi testosteron serum, maka terapi pasak bumi pada


(6)

pria usia tua mungkin dapat berpotensi gangguan prostat (George dan Henkel, 2013).


Dokumen yang terkait

Uji Efek Ekstrak Etanol Biji Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Aloksan

5 51 113

PENGARUH AKAR PASAK BUMI (Eurycoma Longifolia) TERHADAP PENURUNAN KADAR SERUM GLUTAMIC OXSALOASETIC TRANSAMINASE (SGOT) DAN SERUM GLUTAMIC PYRUVIC TRANSAMINASE (SGPT) PADA TIKUS PUTIH (Rattus novergicus Strain Wistar) YANG DIINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

0 6 25

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Biji Jengkol (Pithechellobium lobatum Benth.) Terhadap Kadar Trigliserida pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley yang Diinduksi Aloksan

1 25 63

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL BIJI JENGKOL (Pithecellobium lobatum Benth.) TERHADAP KADAR HDL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI ALOKSAN.

1 10 59

Pengaruh pemberian akar pasak bumi '(Eurycoma longifolia Jack.) pada fungsi hepar

0 5 6

PENDAHULUAN UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% AKAR KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ALOKSAN.

0 2 4

DAFTAR PUSTAKA UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% AKAR KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ALOKSAN.

0 3 5

PEMBERIAN EKSTRAK AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia) ATAU EKSTRAK AKAR PURWOCENG (Pimpinela Alpina molk) MENINGKATKAN KADAR TESTOSTERON PADA TIKUS WISTAR JANTAN TUA.

0 1 55

Pengaruh Ekstrak Etanol Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) Terhadap Peningkatan Perilaku Seksual Mencit Galur Swiss Webster Jantan.

0 0 45

PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN PARE (Momordica charantia) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR WISTAR

0 0 20