2.3 Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih Overtraining Syndrome
Sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome adalah
sebuah gangguan medis kompleks yang terjadi pada atlet, namun belum banyak penelitian mengenai hal ini. Menurut dr. D. C. Parmenter, pelatihan
fisik berlebih atau overtrain merupakan kondisi yang sulit untuk dideteksi
dan dideskripsikan, evaluasi harus fokus pada muatan latihan, nutrisi, tidur dan istirahat, stres kompetisi dan status psikologi Lewis
et al., 2010. Overtrain merupakan stimulus dan overtraining syndrome adalah
konsekuensi dari overtrain Bott, 2003.
Secara terminologi, overtraining syndrome adalah sebuah respon
maladaptif dari sebuah pelatihan fisik dengan beban berlebih dalam periode yang panjang biasanya 2 minggu, yang merupakan hasil dari
overreaching overwork yang berkepanjangan. Sementara overreaching overwork adalah
fase akut yang terjadi saat beban pelatihan fisik intensitas dan volume meningkat secara signifikan Lewis
et al., 2010. Telah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan hasil maksimal dan
risiko minimal pada pelatihan, diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu
Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan tiga sampai empat kali per minggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari dua
hari, dengan intensitas kurang lebih 72 - 87 dari denyut jantung maksimal: 220
– umur dalam tahun. Lama latihan sekitar 30 sampai 60 menit. Latihan didahului pemanasan selama 15 menit, dilanjutkan latihan inti
35 menit, diakhiri pendinginan 10 menit Pangkahila, 2011.
Gambar 2.5
Ilustrasi proses overtraining Lewis et al., 2010
Pelatihan berlebih seringkali akibat dari Hatfield, 2001: 1
Volume pelatihan yang terlalu banyak 2
Intensitas pelatihan yang terlalu banyak 3
Durasi pelatihan terlalu panjang 4
Frekuensi pelatihan yang terlalu sering Insidensi dan prevalensi mengenai sindrom pelatihan fisik berlebih atau
overtraining syndrome pada literatur tidak disebutkan secara jelas. Estimasi angka kejadian
overtraining syndrome adalah 7 hingga 20 dari jumlah atlet yang melakukan pelatihan. Lebih dari dua per tiga atlet lari pernah
mengalami gejala dan tanda-tanda overtraining syndrome¸ dimana angka
resiko tertinggi terdapat pada atlet lari, balap sepeda, dan renang. Overtraining syndrome sering terjadi pada individu yang memiliki motivasi
tinggi dan goal-oriented, juga pada atlet yang merancang pelatihan fisiknya
sendiri tanpa berkonsultasi dengan ahlinya .
Resiko dari overtraining syndrome antara lain performa buruk
berkepanjangan, trauma, penyakit, dan pensiun dini. Volume dan intensitas
latihan serta kurangnya waktu istirahat merupakan penyebab tersering dari sindrom pelatihan fisik berlebih atau
overtraining syndrome Lewis et al., 2010.
Adapun penyebab dari overtraining syndrome antara lain Safran et al.,
2012: 1.
Intensitas pelatihan fisik yang tinggi 2.
Volume pelatihan fisik yang ekstrim 3.
Tidur terganggu 4.
Travelling 5.
Penggunaan obat-obatan 6.
Konsumsi alkohol Faktor resiko dari
overtraining syndrome antara lain Safran et al., 2012:
1. Kesehatan umum kurang baik
2. Nutrisi tidak adekuat
3. Status
mood dan kepribadian 4.
Usia lanjut 5.
Laki-laki 6.
Siklus menstruasi terganggu
Gejala overtraining syndrome Bott, 2003; Safran et al. ,2012; Lewis et
al., 2010: 1.
Psikologi: kelelahan, anhedonia nafsu makan dan libido menurun, gangguan emosi iritabilitas, anxietas, hingga depresi,
gangguan tidur insomnia atau hipersomnolen, indera persepsi abnormal keluhan pada organ tanpa disertai penyakit pada organ
tersebut 2.
Kardiovaskular: reduksi VO2 maksimum, menurunnya stroke
volume, kontraksi otot jantung, dan volume plasma 3.
Muskuloskeletal: kekakuan otot, penurunan performa, overuse
injury 4.
Imunitas: peningkatan frekuensi infeksi saluran nafas atas dan infeksi bakteri lain, penurunan sekresi IgA dan IgA serum, penurunan
fungsi sel natural killer
5. Perubahan biokomia darah:
negative nitrogen balance, penurunan glikogen otot, deplesi mineral zinc,
cobalt, alumunium, selenium,
copper, peningkatan kortisol, penurunan testosteron 6. Lain-
lain: gangguan menstruasi
Gambar 2.6
Tanda dan gejala kelelahan kronis Lewis et al., 2010
2.3.1 Patofisiologi Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih Overtraining
Syndrome
Patofisiologi dari sindrom pelatihan fisik berlebih overtraining
syndrome belum diketahui secara jelas. Terdapat beberapa model atau hipotesis yang menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit ini, salah satu
diantaranya adalah hipotesis sistem saraf otonom, hipotesis neuroendokrin, hipotesis glikogen glutamin asam amino bercabang
branch chained amino acids BCAA, dan hipotesis sitokin Lewis et al., 2010.
A. Hipotesis sistem saraf otonom
Disfungsi otonom yang berhubungan dengan pelatihan fisik berlebih atau
overtraining diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu simpatis gejala
Basedowian dan parasimpatis gejala Addisonoid. Bentuk simpatis gejala Basedowian berhubungan dengan hipertiroid dan ditandai dengan adanya
gejala dari peningkatan stimulus adrenergik dan non-adrenergik, yaitu agitasi, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan berat badan, dan
insomnia. Bentuk parasimpatis gejala Addisonoid ditandai dengan adanya insufisiensi adrenal berupa depresi, kelelahan, peningkatan libido,
hipersomnolen, dan mialgia Lewis et al., 2010.
Penemuan objektif yang mendukung hipotesis ini antara lain adanya penurunan
adrenocorticotropic hormone ACTH, penurunan kadar kortisol, peningkatan dini katekolamin sebelum latihan fisik dan setelah latihan fisik,
penurunan eksreksi katekolamin urin basal, dan penurunan denstitas reseptor beta pada
overtraining syndrome. Penurunan sensitivitas tubuh terhadap jalur simpatis dapat dilihat sebagai mekanisme umpan balik negatif setelah
paparan berulang dari pelatihan fisik yang menginduksi pelepasan katekolamin.
Overtraining parasimpatis kemudian menampakkan hasil dari umpan balik negatif tersebut sebagai respon dari stimulus berlebih dan
berulang tanpa disertai waktu istirahat yang adekuat. Hipotesis ini juga menjelaskan mengapa atlet dengan
non-exerciserelatefd life stressor cenderung lebih mudah mengalami sindrom pelatihan fisik berlebih atau
overtraining syndrome Lewis et al., 2010. B.
Hipotesis neuroendokrin Sindrom pelatihan fisik berlebih atau
overtraining syndrome menekan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, ditandai dengan adanya penurunan
hormon hipofisis anterior, atau hormon di bawahnya. Adapun gangguan
hormonal yang ditemukan antara lain supresi aksis hipotalamus-hipofisis- adrenal penurunan ACTH dan kortisol, penurunan
growth hormone, penurunan sekresi
thyroid stimulating hormone TSH, penurunan sekresi luteinizing hormone LH, penurunan rasio testosteron bebas terhadap
kortisol, penurunan sekresi prolaktin, dan peningkatan kadar norepinefrin dan epinefrin Lewis
et al., 2010. Belum ada penjelasan yang lengkap mengenai hubungan antara
overtraining dengan ketidaknormalan sistem endokrin tersebut, dan kejadiannya bervariasi selama rangkaian sindrom pelatihan fisik berlebih atau
overtraining syndrome. Hipotesis neuroendokrin dan perubahan hormonal yang terjadi akibat
overtraining berhubungan dengan hipotesis otonom dan sitokin, pada beberapa kasus juga merupakan respon sekunder dari perubahan
otonom dan inflamasi Lewis et al., 2010.
C. Hipotesis glutamin asam amino bercabang glikogen
Glutamin adalah asam amino dengan jumlah terbesar yang terdapat pada otot dan plasma, disintesis di otot, paru, hepar, otak, dan jaringan lemak.
Glutamin adalah sumber nutrien yang penting untuk monosit, limfosit, dan sel natural killer. Pada atlet yang diberi pelatihan fisik berlebih, dengan
intensitas pelatihan yang tinggi dan istirahat yang tidak adekuat, kadar glutamin menurun plasma, dan menyebabkan tubuh lebih beresiko
mengalami penyakit infeksi. Telah terbukti sekresi IgA dan konsentrasi IgA serum menurun pada atlet yang diberikan pelatihan fisik berlebih. Selain itu
sitotoksisitas sel natural killer juga menurun. Lebih spesifik lagi, beberapa
studi telah membuktikan adanya peningkatan angka kejadian infeksi saluran nafas atas pada atlet yang diberi pelatihan fisik berlebih Lewis
et al., 2010. Hipotesis asam amino bercabang
branched chain amino acid BCAA mengungkapkan bahwa pada
overtraining syndrome terjadi peningkatan 5
hydroxytryptamine 5-HT, atau serotonin, yang kemudian menimbulkan central fatigue. Menurut hipotesis ini, pelatihan fisik intensif menyebabkan
deplesi glikogen, sehingga mengharuskan tubuh menggunakan sumber energi alternatif yang didapat dari susunan otot. BCAA
leucine, isoleucine, valine kemudian dioksidasi menjadi glukosa bersamaan dengan peningkatan kadar
asam lemak. Asam lemak berkompetisi dengan triptofan dalam menempati albumin binding sites. Setelah melewati blood brain barrier triptofan
dikonversi menjadi 5-HT, atau serotonin Lewis et al., 2010.
Glikogen adalah sumber energi utama pada pelatihan fisik intensif hingga
moderate. Menurut hipotesis glikogen, deplesi glikogen dapat menyebabkan
overtraining syndrome melalui tiga mekanisme, yaitu: secara langsung peningkatan kadar glikogen otot menyebabkan kelelahan otot dan
menurunkan performa, melalui peningkatan BCAA yang kemudian menyebabkan
central fatigue, dan melalui reaksi katabolik Lewis et al., 2010.
D. Hipotesis sitokin
Hipotesis sitokin menjelaskan bahwa pada cedera jaringan kronik yang terjadi tanpa penyembuhan regeneratif, terdapat inflamasi sistemik dan
respon imun. Hal ini terjadi akibat aktivasi NADPH oxidase yang terdapat di
dalam neutrofil . NADPH oxidase bertanggungjawab atas peningkatan
regulasi faktorfaktor imunitas dan terbentuknya radikal bebas terutama ROS Lewis
et al., 2010; Dong et al, 2011. Faktor imunitas yang mengalami peningkatan antara lain interleukin,
interferon, TNF, sitokin dan faktor pro-inflamasi lainnya. Peningkatan faktor imunitas
ini memiliki
andil dalam
terjadinya exercise-induced
immunosuppression, yang kemudian menimbulkan gejala seperti central fatigue, anoreksia, depresi, status katabolik, dan perubahan aksis
hipotalamus-hipofisisadrenal dan hipotalamus-hipofisis-gonad Lewis et al.,
2010; Dong et al, 2011.
Peningkatan produksi ROS di dalam tubuh dapat menyebabkan peroksidasi lipid membran sel dan mencetuskan terjadinya kerusakan
oksidatif pada molekul biologi tubuh, contohnya DNA Dong et al, 2011.
Gambar 2.7
Skema kerusakan DNA pada pelatihan fisik berlebih Dong et al, 2011
2.3.2 Preventif Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih Overtraining Syndrome
Langkah preventif overtraining syndrome dapat dilakukan dengan cara
memberikan periode latihan sesuai dengan beban latihan yang baik. Dengan memberikan periode pelatihan fisik, disertai waktu yang cukup untuk
pemulihan, maka pelatihan fisik akan optimal. Rencana jangka panjang berupa pelatihan fisik selama 52 minggu per tahun yang terbagi dalam
beberapa fase dan intensitas sangatlah penting Safran et al., 2012.
Langkah preventif sangatlah penting, namun apabila overtraining
syndrome sudah terjadi maka terapi paling tepat adalah beristirahat selama kurang lebih 2 minggu. Setelah periode istirahat ini, pelatihan fisik ringan
harus dilakukan dengan metode, aktivitas, dan intensitas yang berbeda dari pelatihan sebelumnya yang telah mencetuskan
overtraining syndrome. Peningkatan intensitas harus dilakukan secara bertahap dan memperhatikan
ada tidaknya tanda-tanda overtraining syndrome. Kemungkinan adanya
gangguang kesehatan seperti malnutrisi, depresi, penyakit tiroid, dan anemia harus disingkirkan sebelum memulai terapi Safran
et al., 2012.
2.4 F2-Isoprostan