Epidemiologi H. pylori Terapi Eradikasi Infeksi H. pylori

3 baik pada ekologi tersebut dan mampu masuk ke dalam mukus, berenang, menyesuaikan diri dalam mukus, berikatan dengan sel epitel, menghindari respon imun, dan pada akhirnya bisa mengadakan kolonisasi dan transmisi yang persisten Suerbaum, 2002. Gambar 2.2 H. pylori dan virulensinya Tiwari, 2011 Urease merupakan enzym paling penting yang diproduksi oleh H. pylori untuk dapat bertahan pada lingkungan pH yang rendah dan juga sebagai alat bantu kolonisasi pada membran mukosa lambung Radosz-Komoniewska, 2005. Urease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan amonia, sehingga memungkinkan H. pylori untuk bertahan pada suasana lambung yang asam. Aktivitas enzym diatur oleh pH-gated urea chanel UreI yang terbuka pada pH rendah dan menghentikan influks urea pada kondisi netral Suerbaum, 2002. Infeksi H. pylori biasanya didapatkan saat anak-anak. Infeksi akutnya menyebabkan hipoklorida yang bersifat sementara dan jarang terdiagnosis. Gastritis kronik akan berkembang pada hampir semua orang dengan koloni yang 4 menetap, tetapi 80-90 biasanya asimtomatis. Perkembangan klinis selanjutnya sangat bervariasi dan tergantung pada faktor bakteri dan host. Pasien dengan sekresi asam yang tinggi cenderung lebih dominan dengan gastritis antrum yang mempengaruhi terjadinya ulkus duodenum, sedangkan pasien dengan sekresi asam yang lebih rendah cenderung dengan gastritis pada korpus lambung, predisposisi menjadi ulkus lambung, dan dapat menyebabkan terjadinya kanker lambung. Walaupun jarang infeksi H. pylori juga dapat merangsang terjadinya limfoma MALT pada mukosa lambung, yaitu limfoma maligna yang timbul dari jaringan limfoid mukosa Gambar 2.3 Suerbaum, 2002. Gambar 2.3 Perjalanan alamiah infeksi H. pylori Suerbaum, 2002. Berbagai faktor virulensi yang terlibat pada patomekanisme infeksi H. Pylori meliputi: berbagai enzym seperti urease, katalase, lipase, fosfolipid dan protease, toksin seperti vacuolating cytotoxin VacA dan cytotoxin-associated gene CagA yang berlokasi pada pathogenicity island PAI. PAI juga terdiri dari sejumlah gen 5 lain yang bertanggung jawab untuk virulensi dan ekspresi sitokin proinflamasi terutama interleukin IL-8 pada sel epitelial Radosz-Komoniewska, 2005. Tabel 2.1 Faktor virulensi H. pylori Cellini, 2000 Faktor Gen Fungsi Urease Fosfolipase Flagel Nap Adhesin IceA VacA Cag PAI CagA Ure operon Gen FlaA FlaB NapA BabA1, BabA2 IceA1 IceA2 VacA 31 gen CagA Toksisitas mukosal netralisasi asam lambung, pencampuran nitrogen organik Gangguan pertahanan mukosa lambung Motilitas bakterial Aktivasi neutrofil Berikatan dengan epitel lambung Homolog N Ia III endonuklease restriksi Sitotoksisitas untuk epitelial lambung C-X-C famili kemokin meningkatkan infiltrasi neutrofil kedalam epitelial lambung Antigen imundominan 2.1.4 Diagnosis Infeksi

H. pylori

Indikasi untuk pemeriksaan H. pylori: penyakit ulkus peptikum, pasien dengan uninvestigated dyspepsia usia45 tahun, dan yang tanpa tanda alarm perdarahan, anemia, cepat kenyang, kehilangan berat badan yang tidak terjelaskan, disfagia progresif, odinofagia, muntah berulang, riwayat keluarga dengan kanker gastrointestinal, dan keganasan esofagogastrik sebelumnya, limfoma MALT, setelah reseksi endoskopik kanker lambung stadium awal, dan pasien dengan kekerabatan kanker lambung tingkat 1 Stenstrom, 2008. Keadaan yang belum direkomendasikan tidak konklusif untuk pemeriksaan H. pylori meliputi: dispepsia fungsional, gastroesophageal reflux disease GERD, pasien yang mengkonsumsi non-steroidal anti-inflammatory drugs NSAID, anemia defisiensi besi, dan pasien dengan risiko tinggi terjadinya kanker lambung Chey, 2007; Stenstrom, 2008. 6 Pilihan tes untuk H. pylori tergantung pada ketersediaan sarana dan biaya termasuk perbedaan tujuan antara tes yang digunakan, apakah untuk menegakkan diagnosis atau untuk mengkonfirmasi terapi eradikasi. Tes untuk H. pylori dibedakan menjadi dua: tes invasif dengan biopsi dan tes non-invasif Atherton, 2010. Pemeriksaan H. pylori: 1. Tes invasif: H. pylori dideteksi dengan pemeriksaan endoskopi dengan biopsi yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi, kultur atau tes urea. a. Pemeriksaan histologi, dari bahan biopsi menggunakan pewarnaan Giemsa atau Warthin-Starry untuk mengidentifikasi bakteri. Bahan biopsi diambil dari antrum dan korpus. Pemeriksaan histologi dapat memberikan informasi tambahan tentang derajat, pola inflamasi, atrofi, metaplasia, dan displasia Atherton, 2010; Micu et al., 2010. b. Pemeriksaan kultur, isolasi mikrobiologi secara teori merupakan standard baku untuk mengidentifikasi berbagai infeksi bakteri. Spesifisitasnya tinggi, tapi kurang sensitif karena sulitnya mengisolasi H. pylori Hunt et al., 2011. c. Rapid urea test RUT, tes biopsi urease dengan bahan biopsi dari antrum yang ditempatkan pada gel berisi urea dan sebuah indikator, hindari konsumsi antibiotik dan PPI minimal 2 minggu untuk menghindari hasil positif palsu Atherton, 2010. d. Polymerase chain reaction PCR digunakan untuk mengidentifikasi genom spesifik H. pylori dengan sensitivitas 90 dan spesifisitasnya hampir 100 Micu et al., 2010. 7 2. Tes non-invasif a. Urea breath test UBT, untuk mendapatkan aktivitas urease pada lambung, secara kualitatif dapat mendeteksi infeksi dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90. Tes ini diindikasikan pada diagnosis awal adanya infeksi dan untuk follow-up terapi eradikasi Suerbaum, 2002. Deteksi H. pylori non-invasif dengan urea 13 C berdasarkan prinsip bahwa larutan berlabel urea dengan karbon 13 akan dihidrolisis dengan cepat oleh enzyme urease yang diproduksi oleh H. pylori. UBT mendeteksi aktivitas urease lambung dengan mengukur perubahan 13 C pada sampel pernapasan ekspirasi setelah mengkonsumsi urea berlabel 13 C. Bahan yang mirip tetapi bersifat radioaktif yaitu urea 14 C Logan, 2001. Test 14 C tidak direkomendasikan untuk diagnosis awal tetapi lebih untuk evaluasi terapi eradikasi H. pylori Bakri, 2012. b. Tes serologi, digunakan secara luas untuk mendiagnosis infeksi H. pylori pada pasien sebelum diberikan terapi Suerbaum, 2002. Antibodi IgG H. pylori dapat dideteksi dengan enzyme-linked immunosorbent assay ELISA atau tes aglutinasi lateks. Tes ini umumnya sederhana, dapat direproduksi, dan dapat dilakukan pada sampel yang telah disimpan sebelumnya Logan, 2001, sebagai prediktor pada infeksi dengan prevalensi tinggi di negara berkembang Hunt et al., 2011. c. Pemeriksaan antigen feses, tes ini memiliki sensitivitas 89-98 dan spesifisitas lebih dari 90 Suerbaum, 2002, mendeteksi adanya antigen H. pylori pada feses dengan menggunakan ELISA, tes ini dapat 8 dilakukan pada studi epidemiologi dengan skala yang luas Logan, 2001. Perbandingan tes untuk infeksi H. pylori seperti pada Tabel 2.2 meliputi sensitivitas, spesifisitas, ketersediaan dan perkiraan biaya. Tabel 2.2 Perbandingan akurasi, ketersediaan dan biaya tes H. pylori Logan, 2001 Tes Sensitivitas Spesifisitas Ketersediaan Biaya Invasif Histologi 88-95 90-95 √ √ √ √ + + + + Kultur 80-90 95-100 √ √ + + + Tes Urease 90-95 90-95 √ √ √ √ + + + Non-Invasif 13 C UBT 90-95 90-95 √ √ √ √ + + + 14 C UBT 86-95 86-95 √ √ √ + + Serologi ELISA 80-95 80-95 √ √ √ + NPT 60-90 70-85 √ √ √ √ + + Antigen Feses 90-95 90-95 √ √ + +

2.1.5 Terapi Eradikasi Infeksi H. pylori

Tujuan terapi H. pylori adalah untuk mengeleminasi organismenya secara lengkap. Regimen eradikasi klinis yang relevan terhadap H. pylori harus memiliki tingkat kesembuhan sekurang-kurangnya 80 tanpa efek samping utama dan dengan resistensi minimal. Semua tujuan tersebut tidak dapat dicapai dengan antibiotik tunggal Suerbaum, 2002. Dua faktor penting kesuksesan terapi H. pylori yaitu kepatuhan pasien dengan obatnya dan penggunaan obat H. pylori yang tidak menimbulkan resistensi Atherton, 2010. Asam luminal mempengaruhi efektivitas beberapa obat antimikroba yang aktif melawan H. pylori sehingga antibiotik dikombinasikan dengan proton pump inhibitors PPI atau ranitidin bismuth sitrat. Kombinasi dua atau lebih obat antimikroba meningkatkan tingkat perbaikan dan menurunkan risiko resistensi 9 terhadap H. pylori. Antibiotik utama yang digunakan yaitu amoksisilin, klaritromisin, metronidasol, tertrasiklin, dan bismuth Suerbaum, 2002. Terapi tripel 7-10 hari terdiri dari: PPI, amoksisilin, dan klaritromisin merupakan standar pilihan terapi first line untuk eradikasi H. pylori sejak pertama kali diterima pada panduan internasional tahun 1996 Federico, 2014 dengan dosis omeprazole 2x20 mg, klaritromisin 2x500 mg, dan amoksisilin 2x1g, atau omeprazole 2x20 mg, klaritromisin 2x500 mg, dan metronidasol 2x500 mg yang diberikan dalam waktu 7-14 hari, serta second-line: omeprazole 2x20 mg, bismuth subsalisilat 4x2 tablet, tetrasiklin 4x500 mg, dan metronidasol 3x500 mg diberikan selama 14 hari Atherton, 2010. Skema terapi third line meliputi antibiotik dari kategori lainnya seperti levofloksasin dan rifabutine Micu et al., 2010.

2.2 Dispepsia

Dispepsia didefinisikan sebaga i “rasa nyeri atau rasa tidak nyaman yang kronik atau berulang, yang berpusat pada perut bagian atas” Mapel, 2012. Nama dispepsia berasal dari bahasa Yunani, dari kata “duis” artinya buruk atau sulit dan “peptin” artinya menelan Desai, 2012. Dispepsia merupakan masalah umum yang luas, di Amerika Serikat prevalensinya sekitar 25 Talley, 2005. Diperkirakan sekitar 20-40 populasi mengeluh dispepsia. Kebanyakan 50-70 pasien dengan dispepsia tidak didapatkan kelainan organik non-ulcer dyspepsia, NUD berupa lesi fokal atau struktural yang signifikan ditemukan pada endoskopi Baker, 2006 dan hanya 10 sebagian kecil dengan kelainan organik seperti peptic ulcer disease PUD Abahussain, 1998. Pada sebuah studi investigasi dispepsia, didapatkan tiga struktural utama penyebab dispepsia yaitu: PUD 10, GERD 20, dan keganasan 2 Baker, 2006. Rasa tidak nyaman diartikan dengan berbagai gejala termasuk cepat kenyang atau rasa penuh pada perut bagian atas Talley, 2005. Tidak ada mekanisme patofisiologi definitif untuk dispepsia Loyd, 2011, beberapa patofisiologinya: keterlambatan pengosongan lambung, gangguan penyesuaian lambung terhadap makanan, hipersensitivitas distensi lambung, infeksi H. pylori, perubahan respon terhadap lipid atau asam duodenal, motilitas duodenojejenum abnormal, atau disfungsi sistem saraf pusat Sabih, 2013. Pasien dispepsia berusia lebih dari 55 tahun atau yang dengan tanda alarm perdarahan saluran cerna, anemia, rasa kenyang diawal, penurunan berat badan yang tidak terjelaskan 10, disfagia progresif, odinofagia, muntah yang persisten, riwayat keluarga dengan kanker gastrointestinal, keganasan esofagogastrik sebelumnya, ulkus peptikum sebelumnya, limfadenopati, atau massa abdominal seharusnya diperiksa endoskopi untuk mengeksklusi kemungkinan PUD, keganasan esofagogastrik, dan penyakit jarang lainnya pada traktus gastrointestinal atas Talley, 2005.

2.2.1 Infeksi H. pylori dan Dispepsia

H. pylori diketahui sebagai mikroba utama yang merangsang respon inflamasi gastroduodenal. Dispepsia dapat merupakan tanda infeksi H. pylori akut atau