Infeksi H. pylori dan Dispepsia

11 kronis. Studi dengan populasi yang luas menunjukkan peningkatan insiden infeksi H. pylori pada pasien dispepsia Loyd, 2011. Prevalensi infeksi H. pylori pada pasien dispepsia di Kuwait didapatkan sebesar 49,7 Alazmi, 2010, di India sebesar 59 Sodhi et al., 2013, di Myanmar sebesar 48 Myint et al., 2015, dan di Iran didapatkan sebesar 31,2 Niknam, 2014. Studi multicenter di 5 kota besar di Indonesia tahun 2003-2004 mendapatkan prevalensi H. pylori pada pasien dispepsia sebesar 10,2 dengan prevalensi tertinggi di Jogjakarta 30,6 dan terendah di Jakarta 8 Syam et al., 2006. Laporan studi lainnya di Jakarta mendapatkan prevalensi H. pylori sebesar 52,3 dari 310 pasien dispepsia Utia, 2010. Di RS M Djamil Padang prevalensi H. pylori pada pasien dispepsia didapatkan sebesar 45 Zubir, 2000. Hasil meta analisis menunjukkan bahwa prevalensi infeksi H. pylori lebih banyak pada pasien dispepsia dibandingkan kontrol dengan odds ratio 2,3 95 CI, 1,9-2,7 Suzuki, 2011. Prevalensi H. pylori pada pasien dewasa dengan dispepsia di Iran sebesar 31,2 Niknam, 2014, di Malaysia 49,0 Goh, 1997 dan di India sebesar 80 Ahmed et al., 2007. Studi meta analisis 14 studi dengan 2.993 pasien mengkonfirmasi perbaikan gejala dispepsia lebih sering terjadi setelah terapi H. pylori dibandingkan dengan pemberian plasebo odd ratio=1,38, 95 CI 1,18-1,62, p0,0001 dengan tanpa perbedaan antara Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Zullo et al., 2014. Studi Helicobacter Eradication Relief of Dyspeptic Symptoms HEROES yang dilakukan mendapatkan hasil bahwa eradikasi H. pylori pada pasien dispepsia 12 memberikan manfaat yang signifikan perbaikan gejala dan kualitas hidup dibandingkan yang hanya diberikan plasebo dengan number of needed to treat NTT 9 95 CI: 5-59 Mazzoleni et al., 2011. H. pylori menginduksi aktivasi kompleks, menarik sitokin, dan kemokin pada mukosa lambung, menginduksi hipersekresi asam lambung yang berperan pada patogenesis dispepsia. Sekitar 10-15 pasien dengan infeksi H. pylori menunjukkan gastritis yang dominan pada antrum sebagai akibat hipersekresi asam lambung dan merangsang menurunan sekresi somatostatin pada antrum dan menyebabkan peningkatan sekresi gastrin dan meningkatkan sekresi asam lambung Suzuki, 2011. Infeksi H. pylori dapat menyebabkan gejala dispepsia melalui mekanisme seperti perubahan sekresi asam lambung, inflamasi aktif dan persisten pada mukosa lambung, dan perubahan pasca infektif pada mukosa gastroduodenal Zullo et al., 2014. H. pylori dan NSAID merupakan faktor patogenik utama pada penyakit ulkus lambung tetapi interaksi keduanya masih kontroversial. NSAID bersama-sama dengan bakteri memberikan gambaran patologi lambung termasuk kerusakan epitelial lambung, gangguan mikrosirkulasi, dan terjadinya inflamasi kronik Brzozowski et al., 2006.

2.3 Endotelin 1 ET-1

Endotelin ET merupakan vasokonstriktor poten yang awalnya diisolasi dari media kultur sel endotelial aortik Kawanabe, 2011. ET ditranslasi sebagai 200 asam amino preproendothelin yang dipecah oleh enzym furin-like ke bentuk 13 asam amino 38 inaktif proendothelin atau disebut juga big endothelin. Proendothelin dipecah menjadi asam amino 21 ET oleh endothelin converting enzyme ECE ECE1 danatau ECE 2 Gambar 2.4 Hyndman, 2007. Gambar 2.4 Sintesis ET-1 Stow, 2011 Sejak ditemukan faktor turunan ET tahun 1985 dan deskripsi kompleks ET oleh Yanagisawa et al., 1988, tiga bentuk isoform dari ET telah dijelaskan sebagai konstriktor vasoaktif intestinal ET-1, ET-2 dan ET-3. Gen manusia ET- 1, ET-2 dan ET-3 terletak berturut-turut pada kromosom 6, 1 dan 20 Kawanabe, 2011. Gen ET-1 mamalia terdiri dari 5 ekson dan panjang DNA genom ~6,8 kb Stow, 2011. Dari tiga isopeptida ET, ET-1 merupakan yang paling kuat Bohm, 2007. ET-1 matur dibentuk dari pre-pro-ET-1 melalui asam amino intermediet 39 big ET-1. Big ET-1 diproses menjadi ET-1 oleh famili ECE dan enzym lainnya seperti kimases, metaloproteinase non-ECE, dan endopeptidase Bohm, 2007. Dua reseptor ET gabungan transmembran protein G yaitu endotelin A ET A dan