K embali ke atas panggung. Ketika golok lawan menyambar ke arah pinggangnya
K embali ke atas panggung. Ketika golok lawan menyambar ke arah pinggangnya
Wiro sengaja tidak menangkis dengan Kapak Naga Geni 212. Dia hindarkan serangan orang dengan melompat ke samping. Begitu serangannya luput, Boronowo langsung susul dengan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun pengerahan tenaga dalam yang begitu besar membuat luka dalamnya yang masih belum sembuh menjadi kambuh kembali. Dadanya langsung menyesak sakit! Tapi orang ini berlaku nekad! Dalam keadaan begitu rupa dia masih berusaha lepaskan pukulan.
Wuuuuuttt! Angin deras menerpa ke arah Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng ini balas
menangkis dengan pukulan tangan kosong yaitu tangan kiri. Sang pendekar tampak tergontai-gontai sebaliknya Boronowo terjajar beberapa langkah. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur yang kemudian diludahkannya ke bawah panggung. Tangan kirinya diangkat memegangi dada.
“Kucing buduk!” Wiro berkata seenaknya. “Jika kau mau memerintahkan anak-anak buahmu menghentikan perkelahian, akan kuampuni selembar nyawamu!” “Setan alas! Bangsat rendah!” menyumpah Boronowo. “Kalau malam itu aku tak dapat membunuhmu, saat ini jangan harap nyawa anjingmu bisa lolos dari tanganku!”
Lalu dia melompat ke depan. Goloknya berputar ganas dan aneh. Rupanya dia tengah mengeluarkan jurus-jurus ilmu goloknya yang paling hebat. Wiro merasa seperti ada selusin golok mencurah ke arah tubuhnya mulai dari kepala sampai ke pinggang. Murid Sinto Gendeng dipaksa harus bergerak cepat untuk selamatkan diri. Dia melompat kian kemari namun tubuhnya seperti satu magnit yang menarik senjata lawan. Golok itu terus mengikuti kemana dia bergerak.
Breet……brrreeeeeettt! Pakaian Pendekar 212 robek besar di bagian dada dan perut. Wiro melompat
jauh sambil meringis kecut. Tengkuknya terasa dingin. Baru sekali ini dia menghadapi orang memiliki ilmu golok begitu luar biasa! Karenanya ketika Boronowo kembali menyerbunya tanpa tunggu lebih lama murid Sinto Gendeng angkat tangan kanannya.
Terdengar suara menggaung disertai berkilatnya sinar putih perak menyilaukan. Traang! Golok di tangan Boronowo patah dua dan terpental lepas dari tangannya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya jatuh duduk di lantai panggung. Tangan kanannya terasa kaku dan panas. Dia berusaha bangkit tapi belum lagi tubuhnya terangkat satu tendangan melabrak dadanya! Tubuh Boronowo tercampak ke bawah panggung, bergulingan beberapa kali lalu terhenti di depan serumpun semak belukar liar.
Buuukk! Satu pukulan keras menghajar tengkuk Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng
tersungkur ke puanggung. Pangkal lehernya seperti patah dan sakitnya bukan main. Tapi kemarahan pendekar inipun bukan olah-olah. Sambil gulingkan diri ke kiri dia menyaksikan pemimpin Serikat Setan Merah siap menghujamkan sebuah senjata berbentuk tombak pendek ke arah perutnya!
“Setan Merah keparat! Beranimu membokong dari belakang! Rasakan kapak Naga Geni 212 ini!” teriak Wiro marah. Setangah berlutut dia hantamkan senjata mustikanya ke depan, menyongsong tusukan tombak. Untuk kedua kalinya ditempat itu terdengar suara berdentrangan. Tombak di tangan pemimpin Serikat Setan Merah patah tiga dan patahannya mencelat ke udara. Pemiliknya sendiri tampak sudah melompat dengan muka pucat. Sekujur tangan kanannya terasa panas sekali!
“Sudah saatmu membuka kain penutup kepala itu! Perlihatkan tampangmu manusia setan!” ujar Wiro seraya melangkah mendekati. Yang didekati tiba-tiba membuka tangan kirinya dan melemparkan sesuatu yang sejak tadi dipegangnya.
Wuss! Terdengar suara mendesis keras. Saat itu juga panggung itu terbungkus oleh
asap tebal berwarna kebiruan, membuat pemandangan Pendekar 212 jadi terhalang, pemimpin Serikat Setan Merah ini segea melompat dari panggung, berkelebat ke arah kiri!
Kalau di atas panggung Wiro tidak dapat melihat kemana lenyapnya lawannya, lain halnya dengan orang-orang yang brada jauh di bawah panggung. Hampir semua orang diantaranya Kemala dan Pendekar Budiman, sempat melihat kearah mana kaburnya pimpinan Serikat Setan Merah itu. Merasa tidak ada gunanya meneruskan perkelahian, apalagi dia dalam keadaan terdesak pula maka Kemala yang sampai saat itu masih berada dalam penyamaran sebagai seorang “nenek” keluarkan bentakan keras, menghantam dengan bambu serta golok rampasan yang ada di kedua tangannya. Begitu lawan tersibak, kesempatan ini dipergunakan si gadis untuk menyelinap keluar dari kalangan perkelahian dan lari ke jurusan timur.
Sambil lari Kemala berteriak “Wiro ikuti aku! Bangsat itu lari ke arah lereng timur!” Dalam keadaan terbatuk-batuk keluar dari kepungan asap lalu melompat ke jurusan di mana dilihatnya Kemala berkelebat. Hal yang sama juga dilakukan Pendekar Budiman begitu mendengar teriakan Kemala. Jauh-jauh datang untuk menuntut balas malah ada anak muridnya yang sudah jadi korban maka kalau sampai kehilangan musuh besarnya itu, dia akan mati penasaran! Di lain pihak, mengetahui bahwa pimpinan mereka melarikan diri, apalagi setelah menyaksikan matinya Boronowo, para anggoa Serikat Setan Merah menjadi patah semangat kalau tak mau dikatakan putus nyali. Semuanya memilih melarikan diri. Mereka berserabutan ke berbagai penjuru Bukit Batu Merah itu.
Ternyata pemimpin Serikat Setan Merah yang melarikan diri tidak memiliki ilmu lari yang bisa menyelamatkan dirinya. Dalam waktu sebentar saja Kemala berhasil mengejarnya, lalu Wiro dan terakhir menyusul Pendekar Budiman.
“Manusia setan! Permainanmu berakhir saat ini! cepat kau buka kain merah penutup kepalamu! Atau aku yang membukanya bersama-sama batang lehermu!” berkata Wiro sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada.
Sepasang mata di balik kain merah itu tampak melotot ketakutan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan. “Jangan harap bisa lolos dari tangan kami!” membentak Pendekar Budiman. “Lekas katakan di mana muridku Griyati kau sekap!” “Kalau….. kalau kuberi tahu di mana gadis itu berada, kalian harus berjanji untuk tidak membunuhku dan membiarkan aku pergi!” berkata pemimpin Serikat Setan Merah.
Kemala melengak kaget ketika mendengar suara pemimpin Serikat Setan Merah. Sebelumnya dia hanya mendengar dari kejauhan. Berada sedekat seperti saat Kemala melengak kaget ketika mendengar suara pemimpin Serikat Setan Merah. Sebelumnya dia hanya mendengar dari kejauhan. Berada sedekat seperti saat
“Paman Suro Kenanga!” teriak Kemala ketika kain pembunkus kepala pemimpin Serikat Setan Merah berhasil direnggutnya dan dia serta Wiro dan Pendekar Budiman kini dapat melihat jelas kepala serta wajah orang itu! “Aku tidak bermimpi……” desis Kemala seraya menggosok-gosok kedua matanya. Ketika ingat kalau saat itu dia masih menyamar sebagai nenek, dengan tangan kirnya Kemala menanggalkan topeng kanji yang menutupi wajahnya.
“Kemala, keponakanku….. Aku sudah duga. Memang kau rupanya…..” Suro Kenanga merasakan lututnya seperti goyah, akhirnya dia terduduk di tanah. Wiro dan Pendekar Budiman tertegak bengong. Tapi di lain kejap orang tua berpakaian compang camping itu sudah melompat ke depan dan menekankan ujung tongkat akar kayunya ke tonggorokan adipati Solotigo itu. Sekali dia menekan menusukkan maka tertembuslah leher sang Adipati.
“Lekas katakan di mana murid perempuanku! Atau kubunuh kau saat ini juga!” mengancam Pendekar Budiman dengan suara bergetar menahan amarah dan dendam kesumat.
“Paman…..!” berseru Kemala. “Bagaimana ini bisa terjadi! Benar kau menjadi pemimpin komplotan orang-orang jahat yang menamakan Serikat Setan Merah itu…..?!”
“Kau melihat sendiri Kemala, memang begitu kenyataannya…..” jawab Suro Kenanga dengan suara perlahan dan sekujur tubuh kuyu. “Dosaku keliwat besar! Silahkan kalian membunuhku saat ini juga!”
“Bangsat! Kau harus mengatakan lebih dulu di mana murid perempuanku!” teriak Pendekar Budiman. “Muridmu berada dalam keadaan aman. Tidak kurang suatu apa. Tak ada yang menyentuh dirinya atau menodainya…..” “Aku tidak bisa percaya kata-katamu Adipati laknat! Sebelum aku melihat sendiri keadaan muridku!” sentak Pendekar Budiman lalu menekankan ujung kayu ke leher Suro Kenanga hingga Adipati ini meringis kesakitan.
“Aku bersumpah tidak mendustaimu. Muridmu berada di ruang bawah bangunan berbentuk candi di halaman belakang gedung Kadipaten………” Pendekar Budiman kembali hendak membentak tetap Kemala lebih dulu membuka mulut “Paman, saya tak habis mengerti dan sangat menyesalkan. Mengapa kau melakukan semua ini…..”
Sepasang mata Suro Kenanga tampak berkaca-kaca. “Aku ……aku melakukannya karena butuh sejumlah besar uang dan harta…..” “Uang dan harta…..? Untuk apa paman?!” tanya Kemala. “Aku harus menyediakan dan memberikan uang serta harta atau apa saja yang
berharga pada seseorang di Kotaraja. Jumlahnya terlalu besar dan aku tak sanggup mendapatkannya kecuali melakukan pemerasan dan penindasan terhadap rakyat. Merampas dan merampok. Ketika keadaanku terancam, aku terpaksa memerintahkan orang-orangku melakukan kejahatan itu. lambat laun mereka berubah menjadi penjahat beneran. Lalu menyusup segala macam maling dan penjarah! Jumlah mereka jadi tambah banyak. Aku tak sanggup lagi mengendalikan mereka….. Ah Gusti Allah. Dosaku terlalu besar dan berat!”
“Paman, kau belum mengatakan untuk apa uang dan harta itu? Lalu kepada siapa kau berikan?” bertanya Kemala
“Uang dan harta itu sebagai suapan agar aku tetap menduduki jabatan Adipati seumur hidup. Kepada siapa aku memberikannya tak mungkin aku beri tahu. Ya Tuhan…. Aku sadar aku ini gila jabatan. Gila kekuasaan…..”
Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia memang sudah bercuriga bahwa pemimpin Serikat Setan Merah itu adalah Suro Kenanga. Dia tidak mau memberi tahukannya pada Kemala. Takut kesalahan. Ternyata dugaanya tidak meleset!
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Wiro meminta pendapat Pendekar Budiman. Tapi orang tua itu tidak membuka mulut. Yang menjawab adalah Kemala. “Paman, kami terpaksa membawamu ke Kadipaten, terus ke Kotaraja. Tak ada
jalan lain. Mudah-mudahan Sri Baginda mengurangi hukuman bagimu….” Suro Kenanga menggelengkan kapala. “Berjalan jauh-jauh ke Kotaraja hanya untuk mendapat tiang gantungan. Kalau aku harus mati menebus dosa-dosaku, lebih baik mati di tempat ini saja. Sekarang!”
Tiba-tiba sekali Suro Kenanga menarik dan menghujamkan keras-keras ke lehernya sendiri tongkat akar kayu milik Pendekar Budiman yang sejak tadi menempel di lehernya!
Darah muncrat. Kemala berteriak. Pendekar Budiman dan Wiro terkesiap kaget. Perlahan-lahan kedua tangan yang memegang kencang tongkat kayu itu terkulai lemas dan jatuh ke samping. Pendekar Budiman tak berani menarik tongkatnya. Ketika senjata andalannya itu dilepasnya, sosok tubuh Adipati Suro Kenanga yang sudah jadi mayat itu langsung jatuh terlentang di tanah. Lereng bukit itu sesunyi di pekuburan. Hanya suara isak tangis Kemala yang terdengar di antara siliran angin yang berhembus.
TAMAT