S aat itu matahari telah condong ke barat. Kemala memacu kuda utihnya menuju
S aat itu matahari telah condong ke barat. Kemala memacu kuda utihnya menuju
bukit kecil di sebelah timur. Gadis ini tahu bahwa di balik bukit itu terdaat sebuah sungai. Dan sepanjang sungai pada kaki bukit terletak desa Kalimukus yang terkenal sebagai desa subur. Penduduknya hidup dari mata pencaharian bercocok tanam, memelihara tambak ikan serta beternak. Kira-kira setangah hari perjalanan dari desa itu, ke arah barat terletak Solotigo, kota yang menjadi tujuan Kemala.
“Tak mungkin aku sampai di Solotigo sebelum malam tiba…..” berkata Kemala dalam hati. “Agaknya lebih baik bermalam saja di Kalimukus. Besok pagi baru berangkat ke Solotigo…..”
Di lereng bukit Kemala menoleh ke belakang. Kuda coklat bersama penunggangnya yaitu Wiro Sabelng masih terus mengikutinya terpisah beberapa belas tombak. Dia berusaha mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri dari pemuda iut. Namun niatnya itu tidak dilakukannya karena ketika dia mencapai puncak bukit, di bawah sana dia melihat satu pemandangan yang mengejutkan.
Desa Kalimukus tampak hanya tinggal tumpukan malapetaka belaka. Rumah- rumah penduduk musnah dalam kobaran api. Asap mengepul hitam ke udara. Dari atas bukit tampak orang-orang berlarian di antara ternak yang berhamburan ketakutan kian kemari.
“Itu bukan kebakaran biasa! Desa itu seperti sengaja dibakar!” Satu suara terdengar di samping Kemala. Berpaling ke kiri sang dara dapatkan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama kuda coklatnya sudah berada di sampingnya. Kemala tak menjawab. Wiro letakkan tangan kirinya di atas kening untuk menghidarkan silaunya sinar matahari. “Astaga! Aku melihat ada beberapa sosok tubuh tergantung! Satu di pohon. Dua lainnya di pintu rumah yang sedang terbakar!” Wiro gebrak pinggul kudanya. Kuda coklat itu menghambur ke depan lalu berlari kencang menuruni bukit menuju desa yang dilamun api. Kemala cepat mengikuti. Begitu keduanya sampai di desa yang terbakar itu apa yang tadi mereka saksikan dari kejauhan di atas bukit, kini terpampang lebih jelas dan mengerikan.
Beberapa sosok mayat bergelimpangan di tepi jalan, di halaman rumah, di tepi kali. Tubuh mereka penuh bekas bacokan senjata tajam. Lalu di beberapa tempat terdengar suara erangan orang-orang yang tergelimpang dalam keadaan luka-luka. Suara lenguh sapi yang ketakutan dan embik kambing bercampur baur dengan gaduhnya suara ayam serta itik yang berhamburan kian kemari, jadi satu dengan jerit pekik penduduk yang berlarian dalam kekalutan. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang perempuan dan laki-laki tua serta anak-anak.
Ketika Kemala muncul bersama Wiro, beberapa orang penduduk lari menjauh ketakutan. Seorang di antaranya berteriak. “Mereka datang lagi! Mereka datang lagi! Lari! Selamatkan diri kalian! Selamatkan anak-anak……!”
Wiro kerenyitkan kening. “Kemala….. Orang-orang itu ketakutan melihatmu!” ujar Wiro. “Ada yang tidak beres!” manyahuti Kemala. Dia melompat turun dari atas kuda. Menghadang seorang lalki tua yag lari ka belik rumah sambil mendukung seorang anak perempuan lalu mencekal tangannya.
“Demi Tuhan! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku……! Jangan bunuh cucuku!” lelaki tua itu menjerit berulang kali sambil berusaha melepaskan pegangan Kemala.
“Tidak ada yang akan membunuhmu atau mengganggu cucumu! Lekas katakan apa yang terjadi……..!” berseru Kemala. Si kakek tampak melotot lalu kembali menjerit dan meronta-ronta. “Manusia macam apa kau ini!” Orang tua itu berkata dengan suara gemetar dan tubuh menggeletar. “Setelah kau dan kawan-kawanmu membunuh, merampok dan menculik masih bisa bertanya apa yang terjadi?! Mengapa kau kembali? Apa masih belum puas membakari rumah-rumah kami?! Apa masih murang jarahan yang kalian rampas?!”
“Orang tua, kami baru saja sampai di desa ini. siapa yang melakukan perampokan dan pembunuhan serta penculikan itu?!” Wiro ikut bicara. “Ya, lekas katakan siapa yang melakuan pembakaran di tempat ini?!” menyambung Kemala. Orang tua itu tidak menyahut. Dia mengereahkan seluruh tenaganya lalu menarik kuat-kuat hingga pegangan Kemala terlepas. “Manusia iblis! Dosamu tidak berampun! Kutukan Tuhan akan datang atas dirimu dan komplotanmu!” habis berkata begitu orang tua itu lari meninggalkan Wiro dan Kemala. Si gadis hendak mengejar. Tapi Wiro mencegah dan memberi isyarat agar mengikutinya. Di pintu depan dua buah rumah yang terbakar mereka melihat dua sosok tubuh digantung. Salah satu di antaranya mulai dijilat kobaran api. Lalu tak berapa jauh dari tempat itu sosok tubuh ketiga tampak digantung pada cabang sebuah pohon, kaku ke atas kepala ke bawah. Wajah orang yang tergantung ini tertutup lumuran darah yang masih mengucur dari luka besar di batang lehernya.
Tiab-tiba Wiro mendengar suara berdesing. Dia cepat membungkuk menyambar potongan kayu dan melemparkannya ke belakang. Terdengar suara berdentrangan. Ketika berpaling ke belakang Kemala sempat melihat bagaimana potongan kayu itu menghantam mental sebatang tombak yang semula melesat ke arah punggungnya!
“Kurang ajar! Siapa yang berani membokong?!” teriak Kemala matrah. Dia melihat satu sosok berpakaian hitam berkelebat menghilang di balik reruntuhan rumah besar yang masih diamuk kobaran api. Tanpa tunggu lebih lama si gadis yang diikuti Wiro cepat mengejar. Orang berpakaian hitam itu ternyata adalah seorang pemuda yang lengan kirinya luka parah hampir putus sedang kepalanya di bagian kening tampak koyak. Darah yang mengucur membasahi mukanya sehingga kelihatan menggidikkan.
“Kau masih bisa bertahan hidup! Tapi jika tidak segera memberi tahu mengapa kau hendak membunuhku, kupatahkan batang lehermu saat ini juga!” mengancam Kemala.
“Kau apakan diriku aku tidak takut! Kau dan orang-orangmu membunuh ayahku! Istriku kalian culik! Bunuh! Ayo bunuh!” Pemuda itu tiba-tiba berteriak seperti gila. Lalu tubuhnya tersungkur jatuh, lemah karena terlalu banyak darah yang mengucur dari luka di tangan dan keningnya.
“Siapa yang kau maksudkan dengan kalian?!” membentak Kemala. Pemuda yang terduduk di tanah menyeringai. Dia mengeluarkan tangan
hendak mencakar muka Kemala tapi tubuhnya yang terlalu lemah membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan kanannya. “Perempuan iblis…. Kau masih bisa pura- pura bertanya. Memang belasan mayat yang kalian bunuh tidak bisa memberi kesaksian. Kepala desa dan dua pamong desa yang kalian gantung tidak bisa bicara! Tapi aku Gentolo menyaksikan sendiri apa yang kau lakukan bersama komplotanmu Serikat Setan Merah!”
“Ah!” Kemala mengeluarkan seruan tertahan sementara Wiro kepalkan tangan.
“Saudara, kau salah sangka. Kawanku ini bukan anggota komplotan Serikat Setan Merah. Hanya kebetulan saja dia mengenakan pakaian marah!” berkata Wiro. Lalu dia menotok beberapa bagian tubuh si pemuda hingga darah berhenti mengucur. Wiro juga salurkan tenaga dalam dingin ke tubuh Gentolo. Kalau tadi pemuda malang ini merasakan tubuhnya lemah dan panas, kini ada hawa sejuk yang membuat dia sanggup bertahan.
“Saudara, mengapa orang-orang Serikat Setan Merah melakukan keganasan ini……?” bertanya Kemala. “Tanyakn sendiri pada pimpinanmu!”sahut Gentolo. “Aku tidak percaya kau bukan anggota Serikat Setan Merah! Mengapa kau tidak membunuhku saja saat ini! Jika kau biarkan aku hidup, aku bersumpah menuntut balas! Menabas batang lehermu, mencincang mayatmu!”
“Jangan jadi orang tolol!” bentak Wiro. “Jika kawanku ini anggota komplotan biadab itu, sudah sejak tadi kepalamu menggelinding di tanah! Ayo jelaskan mengapa orang-orang Serikat Setan Merah berbuat seganas ini?!”
“Ya! Juga siapa mereka sebenarnya?!” menyambung Kemala. Gentolo mula-mula tak mau membuka mulut. Namun akhirnya dia bicara juga. “Siapa mereka aku tidak tahu! Tidak ada seorangpun yang tahu….. Yang kami tahu mereka mula-mula muncul dan bertindak selaku pelindung di desa ini. untuk itu penduduk harus membayar apa yang mereka sebut uang perlindungan. Dan bukan uang saja, mereka juga meminta harta atau ternak atau hasil ladang seenaknya. Lambat laun jumlah yang mereka minta semakin banyak hingga penduduk tidak mampu untuk memberikan. Lalu mereka mulai bertindak keras. Memaksa dan menghajar siapa saja yang tidak mau memberikan apa yang mereka minta! Ketika banyak penduduk yang mencoba melawan, mereka membunuhi orang-orang desa seperti membunuh lalat saja! Kekeian mereka bukan cuma sampai di situ! Anggota Serikat Setan Merah juga menculik anak gadis atau istri orang! Mereka melakukan kejahatan bukan cuma di desa ini saja tapi juga di banyak kampung dan desa…….!”
“Sejak pertama mereka muncul mengapa kalian tidak melaporkan ke Kadipaten……?” tanya Kemala pula. Gentolo menyeringai pahit. “Setiap yang melapor mengalami nasib mengerikan. Hari ini melapor, besok ditemui mati terkapar seperti anjing di tengah jalan. Tubuhnya penuh bacokan atau tusukan benda tajam!”
“Kemala, kau ingat pada rombongan-rombongan orang-orang berpakaian merah yang kita temui di bukit beberapa waktu lalu……?” tanya Wiro. Kemala mengangguk. “Mereka pasti orang-orang Serikat Setan Merah! Dua di antaranya bernama Sangaji dan Galut! Kau kenal dua nama itu……?’ Gentolo menggeleng. “Mereka bisa punya seribu nama, seribu muka……” “Ada keanehan yang tidak ku mengerti,” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala. “Orang-orang Serikat Setan Merah berani melakukan kejahatan secara terang- terangan. Gentayangan di siang bolong! Apa betul aparat Kadipaten tidak mengetahui macam begini bahkan seharusnya sudah sampai ke Kotaraja!”
“Memang sebelumnya pernah ada dua kali serombongan pasukan dari Kotaraja melakukan pengejaran dan penyergapan. Tapi orang-orang Serikat Setan Merah cepat sekali menghilang sebelum pasukan sampai…….” Menjelaskan Gentolo.
Kemala berpaling pada Wiro dan berkata. “Kita harus mengurus mayat-mayat yang malang itu, menolong penduduk yang cidera……” “Hanya kita berdua apa kau kita bakalan sanggup melakukan itu?” ujar Wiro.
“Gentolo! Kau harus menolong memanggil penduduk yang kabur! Mereka harus kembali kemari untuk membantu kami……!” berkata Kemala. Lalu tangan lelaki muda bernama Gentolo itu ditariknya disuruhnya berdiri.
“Wiro…….” Kata Kemala menyebut nama sang pendekar untuk pertama kalinya. “Salah seorang lelaki berpakaian merah yang kita temui di bukit mengatakan tentang pertemuan hari kelima bulan kelima di Bukit Batu Merah. Aku memutuskan untuk datang ke sana! Aku bersumpah untuk membasmi manusia-manusia laknat itu! Aku bersumpah menghancurkan Serikat Setan Merah sampai ke akar-akarnya!” Kemala mengepalkan tangan kanannya dan meninju-ninjukan ke telapak tangan kirinya.
“Kalau begitu, akupun ikut bersumpah sepertimu!” ujar Wiro seraya mengangkat tangan kanannya ke atas. Lalu dia melanjutkan ucapannya. “Tapi sebelum segala sumpah dilaksanakan, sebaiknya kau tukar dulu baju merahmu itu! semua orang ketakutan melihatmu karena menyangka kau anggota Serikat Setan Merah! Kecuali aku…. Ha….ha…..ha……ha…..! Adalah tolol kalau takut melihat gadis secantik dirimu ha…ha….ha…..!”