K arena sahabat dari Kemala maka malam itu Wiro diberikan sebuah kamar yang
K arena sahabat dari Kemala maka malam itu Wiro diberikan sebuah kamar yang
bagus di sebuah bangunan berbentuk joglo kecil di halam belakang gedung Kadipaten. Dasar orang rimba persilatan, pendekar itu merasa risih tidur di dalam kamar tersebut. Sepanjang malam dia tak bisa memicingkan mata. Lampu minyak dipadamkannya namun teteap saja dia tak bisa tidur. Akhirnya diam-diam sang pendekar keluar dari kamar. Keluarnyapun tidak lewat pintu melainkan melalui jendela.
Saat itu lewat tengah malam. Udara di luar dingin. Pendekar 212 duduk di sebuah bangku batu yang terletak dalam taman kecil di belakang gedung. Seluruh gedung diselimuti kesunyian dan gelap. Wiro duduk mendekam seperti patung batu. Ketika dia hendak bangkit berdiri untuk masuk kembali ke dalam kamar, saat itulah dia melihat ada dua bayangan manusia muncul dari balik tembok belakang lalu melompat masuk ke dalam halaman belakang gedung. Meskipun tempat sekitar situ gelap namun Wiro dapat melihat kedua orang yang menyelinap masuk itu mengenakan pakaian dan ikat kepala merah.
“Anggota-anggota Serikat Setan Merah!” desis Wiro tak pelak lagi. “Berani benar mereka menyusup ke tempat kediaman Adipati! Mau merampok?! Heran….. mana pengawal gedung? Tak satupun kelihatan batang hidungnya! Dua bedebah ini harus dibekuk hidup-hidup biar diketahui siapa dedengkot mereka! Tapi sebelum dibekuk biar kuhajar dulu sampai babak belur!”
Wiro segera bergerak bangkit. Menyusup ke tempat yang lebih gelap, memintas gerakan dua orang di sebelah sana dari arah kiri. Tapi gerakan Pendekar 212 segera terhenti ketika dilihatnya dua orang berpakaian merah itu melangkah cepat justru ke arah kamar tidurnya. Di tangan masing-masing kini tampak terhunus sebilah golok panjang.
“Heh….. apa tujuan mereka sebenarnya?” tanya Wiro dalam hati dan terus memperhatikan. Dua penyusup itu tidak menuju ke pintu kamar melainkan menyelinap ke samping ke arah jendela kamar. Jendela yang memang tidak terkunci itu dengan mudah mereka buka. Keduanya lalu melompat masuk ke dalam kamar. Wiro bergerak cepat ke arah pintu kamar dan menunggu di sana sambil rangkapkan kedua tangan d depan dada.
Di dalam kamar terdengar suara “Keparat! Kamar ini kosong!” “Kemana perginya manusia itu?!” suara lain menyahuti. Sesaat kemudian pintu kamar terbuka, menyusul ucapan orang yang membuka
pintu itu dari dalam. “Tak mungkin dia pergi begitu saja. Pasti ada di sekitar sini…..” “Aku ada di depanmu kisanak!” Wiro Sableng yang tegak di depan pintu membuka mulut membuat orang ayang tadi bicara tersentak kaget sebelu sempat bersurut mundur satu jotosan mendera mata kanannya! Orang ini melolong kesakitan, tubuhnya seperti dibanting ke belakang lalu roboh di lantai kamar. Goloknya telah lebih dulu berdentrangan jatuh di lantai. Dia tak kuasa berdiri lagi. Matanya sebelah kanan bengkak lebam dan mengucurkan darah. Kawannya walaupun kaget tapi bisa cepat menguasai keadaan. Golok panjang di tangannya segera menderu dibabatkan ke arah kepala murid Sinto Gendeng.
Wuuuuuuttttt!! Sambaran golok deras dan dingin. Membuat Wiro terkejut dan sadar si baju
merah yang satu ini memiliki kepandaian yang tidak sembarangan. Cepat-cepat dia merah yang satu ini memiliki kepandaian yang tidak sembarangan. Cepat-cepat dia
“Edan!” maki Wiro. Dia membuang diri ke samping seraya dorongkan tangan kiri, melepaskan pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam. Orang yang memegang golok tampak tergontai-gontai. Tangannya yang membacok seperti kaku, dan dia berusaha menahan diri dari dorongan keras angin pukulan yang dilepaskan Wiro. Sesaat kemudian tanagn kanannya yang tadi tampak kaku tiba-tiba mampu bergerak kembali. Kini ujung golok ditusukkan ke arah dada Wiro.
“Ah, yang satu ini tidak sembarangan!” membatin Wiro seraya menggeser kuda-kuda kedua kakinya ke samping lalu secepat kilat pukulkan tangan kiri untuk menghantam sambungan siku lawan.
Ternyata si pemegang golok tidak bodoh. Dia seperti sudah membaca gerakan Wiro. Dengan memutar kedudukan lengannya maka pukulan Wiro berhasil dikelit sebaliknya golok di tangan kanannya menggelicir ke atas. Kalau tadi menusuk ke arah dada maka kini bagian ujung dan tajam dari senjata itu melesat menyambar bahu kanan.
Breeett! Buuukk!! Dua suara itu disusul dengan suara berkerontangannya golok jatuh ke lantai. Bahu kanan pakaian putih Pendekar 212 robek besar. Wiro melompat mundur
dengan paras berubah. Terlambat saja dia mengatur gerakan tidak dapat tidak bahunya pasti akan putus, paling tidak luka parah. Di depannya orang berbaju merah tampak tersandar ke tiang bangunan sambil pegangi dadanya yang sesak. Dadanya sakit bukan main. Mukanya tampak pucat. Dia terbatuk dua kali, bukan ludah yang keluar tapi darah yang membersit dari mulutnya.
“Manusia jahanam……!” merutuk orang itu. tiba-tiba kaki kanan bergerak menendang goloknya yang tercampak di lantai. Ini bukan satu tendangan biasa karena begitu ditendang golok tersebut mencelat dengan bagian tajamnya melesat lebih dulu ke arah Wiro, tidak beda seperti sebilah tombak yang dilemparkan.
Wiro berseru kaget dan marah, membuat lompatan untuk selamatkan diri. Golok menderu lewat, menancap di tiang bangunan. Ketika Pendekar 212 hendak mengebrak ke depan, orang beraju merah itu ternyata sudah melarikan diri melompati tembok. Wiro lepaskan pukulan tanagn kosong “kunyuk melempar buah”. Satu gelombang angin menderu dahsyat menghantam bagian atas tembok hingga hancur berantakan. Tapi orang yang diarah berhasil meloloskan diri dan lenyap dalam kegelapan.
“Apa yang terjadi di sini?!” satu bentakan keras menggeledak terdengar. Wiro berpaling. Yang membentak adalah Adipati Suro Kenanga yang datang bersama tiga orang pengawal. Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah lelaki berpakaian merah yang menggeletak di lantai dengan mata kanan mengucurkan darah.
“Dua anggota Serikat Setan Merah berusaha menyusup ke sini…..” menjelaskan Wiro. Lalu dia membungkuk dan menarik kaki orang itu, menyeretnya ke luar kamar yang lebih terang agar sang Adipati dapat melihat lebih jelas.
“Kurang ajar! Benar-benar berani mampus!” rutuk Suro Kenanga marah. “Manusia seperi ini tidak pantas dibiarkan hidup!” lalu tiba-tiba sekali sang Adipati merampas tombak yang berada dalam genggaman salah seorang pengawalnya.
“Tunggu! Jangan dibunuh dulu!” seru Wiro mencegah.
Tapi tombak itu sudah dihunjamkan oleh Adipati Solotigo ke dada lelaki yang terkapar di lantai. Tepat di arah jantungnya. Orang ini membeliakkan matanya besar- besar lalu nyawanya putus tiada suara keluar dari mulutnya.
“Sayang……sayang…..” kata Wiro berulang kali seraya garuk-garuk kepalanya. “Kalau saja dia bisa dibiarkan hidup sesaat, pasti bisa dikorek keterangan di mana markas mereka dan siapa pemimpin mereka. Sialnya lagi, yang satu tadi sempat melarikan diri!” Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepalanya.