Dinamika Konsep Penodaan Agama
B. Dinamika Konsep Penodaan Agama
Penistaan/penghinaan terhadap Tuhan, dikenal dengan istilah Blas-
SU
phemy (Inggris) atau Goldslastering (Belanda). Blasphemy berasal dari
Bahasa Yunani yaitu blasphemein, yang merupakan paduan dari kata blaptein ("to injure” = melukai/ merusak) dan pheme (reputasi), sehingga
blaspheimein mengandung arti “melukai reputasi/nama baik” 8 . Sedang- kan untuk penghinaan terhadap agama dalam artian luas, kerap disebut dengan “ defamation of religion”
Dalam arti luas, blasphemy dapat diartikan sebagai penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang tak boleh diserang (tabu). Bentuk umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan ter- hadap agama-agama yang mapan. Di beberapa negara tindakan tersebut dilarang oleh hukum. Blasphemy dilarang keras oleh tiga agama Ibra- him (Yahudi, Kristen dan Islam). Dalam agama Yahudi, blasphemy adalah menghina nama Tuhan atau mengucapkan hal-hal yang mengandung ke- bencian terhadap Tuhan. Dalam Kristen, alam Kitab Perjanjian baru dika- takan menista roh kudus adalah dosa yang tak diampuni dan pengingkar- an terhadap Trinitas juga digolongkan sebagai blasphemy. Dalam Kitab perjanjian lama, pelaku blasphemy diancam hukuman mati, dengan cara dilempari batu. Dalam Islam, blasphemy adalah menghina Tuhan, Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang diakui dalam Al Qur’an serta menghina Al Qur’an itu sendiri. Budha dan Hindu tak mengenal adanya blasphemy,
paling tidak secara resmi 9 . Blasphemy menjadi hukum negara sejak munculnya teokrasi, di-
mana terjadi penyatuan antara kekuasaan agama degan kekuasaan poli- tik. Negara-negara Eropa pada Abad ke-17 menetapkan pelaku penistaan agama sebagai tindak kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman berat. Be- gitu juga di belahan-belahan bumi lain, dimana terjadi penyatuan antara agama dan politik, baik itu negara Kristen, Yahudi maupun Islam. Tujuan memidanakan penistaan agama adalah untuk membatasi kebebasan ber- bicara, tidak melanggar norma sosial mengenai kesopanan dan hak orang lain.
Selain Blasphemy, terdapat konsep yang lebih luas yang disebut dengan berbagai istilah yaitu “penodaan”, “penghinaan”, atau “penistaan”
8 Margiyono, Anotasi Putusan UU No. 1/PNPS/1965 Tetang Pencegahan Penodaan Aga-
ma Dilihat dari Hak Atas Kebebasan Berekspresi , ILRC, Jakarta, 2010 9 ibid
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi V/2015] Jurnal Keadilan Sosial [Edisi V/2015]
S U nama Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke Komisi HAM PBB, dan Mesir S atas nama Afrika, dalam Durban Conference. Resolusi ini merupakan upa- R ya untuk ”menghentikan polarisasi, diskriminasi, ekstrimisme dan missin- U tepretasi terhadap Islam” karena Islam sering dikaitkan dengan terorisme K dan pelanggaran HAM, khususnya setelah peristiwa 11 September yang S
I menguatkan sentimen Islamophobia.
Namun demikian, dalam Konferensi Durban review II di Jenewa, re- solusi-resolusi mengenai “ defamation of religions” dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia, karena terlalu sempit pada perlindungan Is- lam (awal mula draftnya berjudul “ defamation of Islam”), konsep tersebut melindungi agama (yang esensinya adalah idiologi) bukannya melindungi hak individu, terlalu mempertentangkan pada dan agama, mempreteli hak atas kebebasan berekspresi, ditulis dengan bahasa yang terlalu umum dan tidak jelas, termasuk dalam penggunaan istilah “penistaan” ( defamation).
Berdasarkan evaluasi yang disampaikan oleh beberapa pelapor khusus PBB, penerapan konsep “ defamation of religion” di beberapa ne- gara, seperti Pakistan, Iran dan Mesir, justru menimbulkan masalah hak asasi manusia, seperti pembungkaman kebebasan berekspresi, xenopho- bia dan ketegangan antar umat beragama. Sehingga, konsep ini kembali
dipertanyakan 10 . Terdapat sejumlah alasan serius untuk mempertanyakan konsep
defamation of religion. Yaitu : Pertama, sebagai persoalan tehnis, penodaan adalah sebuah kon-
sep hokum yang didesain untuk melindungi individu dari kerugian yang menyangkut reputasi. Tidak jelas, bagaimana agama bisa menuntut per- lindungan dari hal ini.
Kedua, lepas dari persoalan tehnis, gagasan tentang ‘penodaan aga- ma” secara inheren adalah sesuatu yang samar-samar dan sulit untuk di- terapkan. Pengaturan tentang penodaan agama dapat digunakan oleh pi- hak yang berkuasa bagi perlindungan terhadap agama mayoritas daripada agama minoritas atau yang tidak popular, untuk menyokong rejim otoriter, menghukum kelompok lawan politik yang berbeda dan untuk memperkuat faksi-faksi agama yang sejalan atau tidak sejalan dengan apa yang dianut
oleh penganut individual 11 .
Pada tahun 2008, total suara ‘menolak” dan abstain melampaui jum- lah suara “setuju” untuk pertamakalinya. Penolakan ini bukan dikarena-
10 Op.cit, Margiyono
11 Tore Lindholm, Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? : Sebuah
Referensi , Jakarta, Kanisius, Yogyakarta 2010,halaman 28 30 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi V/2015] Referensi , Jakarta, Kanisius, Yogyakarta 2010,halaman 28 30 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi V/2015]
ditemukan untuk melindungi nilai-nilai semacam itu, tanpa mengancam
kebebasan berekpresi dan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang
lainnya. Selanjutnya pembahasan mengenai penodaan agama lebih meng-
UR
arah kepada upaya mencegah “hasutan untuk melakukan diskriminasi,
permusuhan atau kekerasan” sebagaimana diijinkan dalam Pasal 20 (2)
ICCPR.