Analisis atas Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan dari Perspektif Jender

B. Analisis atas Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan dari Perspektif Jender

Keunikan pendapat Sahal Mahfudh dibandingkan dengan pendapat para ulama klasik yaitu menurut penulis terletak pada keutamaan mementingkan maslahat pada pencarian solusi terhadap masalah yang ada pada zaman sekarang ini, seperti permasalahan mengenai wali mujbir, nafkah, hadhanah dan nusyuz. Sehingga Sahal Mahfudh tidak terpaku pada pendapat salah satu ulama klasik yaitu misalnya Imam Syafi‟i saja, akan tetapi, beliau tidak ragu juga merujuk pada pendapat berbagai ulama seperti Imam Hambali, Imam Hanafi, dan Imam Maliki. Bahkan berbeda dengan pendapat para ulama klasik. Hal tersebut dapat membedakan Sahal Mahfudh dengan ulama-ulama NU lainnya yang terkadang fanatik terhadap salah satu mazhab.

Melihat pemikiran Sahal Mahfudh sebelumnya, maka penulis ingin menganalisis bahwa pemikiran Sahal tersebut sudah memenuhi kriteria keadilan jender atau justru kebalikannya. Oleh karena itu, untuk mengetahuinya, maka dapat dijelaskan terlebih dahulu, diantaranya:

1. Wali Mujbir

Sahal Mahfudh dalam bukunya mengatakan bahwa wali mujbir tetap harus minta izin kepada calon perempuan supaya bangunan yang dirajut bisa sakinah,

27 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 263.

mawaddah wa rahmah. Hal ini jelas berbeda dengan pendapat ulama klasik yang mengatakan bahwa wali mujbir boleh memaksa anak perempuan menikah tanpa adanya izin terlebih dahulu kepada calon perempuan tersebut.

Oleh karena itu, pendapat Sahal Mahfudh mengenai wali mujbir ini sudah berkeadilan jender. Hal tersebut terlihat dalam pendapatnya bahwa meskipun wali mujbir mempunyai hak untuk memaksa anak perempuan menikah tanpa izin terlebih dahulu, akan tetapi alangkah baiknya jika meminta izin terlebih dahulu, guna terciptanya rasa ikhlas/kerelaan calon perempuan dalam menentukan pilihannya serta terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

2. Nafkah

Dalam pembahasan mengenai nafkah ini, Sahal Mahfudh memiliki dua pendapat, yaitu hak istri atas nafkah pasca perceraian dan hak anak atas nafkah. Ia mengatakan bahwa istri dan anak memiliki hak untuk mendapatkan nafkah setelah cerai. Menurut Sahal Mahfudh, pengabaian nafkah pasca perceraian oleh ayah telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala cara. Kerapkali kita dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk mencukupi nafkah anaknya setelah ditinggal suami.

Selain itu dalam bahasannya mengenai hak anak atas nafkah, Sahal pun membahas tentang hak istri atas nafkah. Ia berpendapat, kalau nafkah merupakan hak istri, dan pada saat yang sama menjadi kewajiban suami, jika suami tidak mampu membayar nafkah maka istri berhak mengajukan perceraian.

Oleh karena itu, hal tersebut sudah mengandung unsur keadilan jender apabila si suami malas dan tidak mau bekerja. ketika suami seperti itu, maka istri boleh mengajukan permohonan cerai kepada suaminya. Karena hal tersebut tidak adil bagi perempuan dan dapat merugikan perempuan. Lain halnya dengan suami yang sudah bekerja keras akan tetapi tidak memenuhi kebutuhan istri, kemudian istri mengajukan permohonan perceraian kepada suami, maka hal tersebut justru tidak adil bagi laki-laki. Dengan demikian, hal yang baik dilakukan terhadap suami seperti itu adalah istri mendoakannya serta menyemangatinya agar dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya. Bukan justru menceraikan atau meninggalkan suaminya tersebut.

3. Hadhanah

Menurut Sahal Mahfudh, hak asuh anak lebih kepada ibunya daripada ayahnya. Hal tersebut dikarenakan ibu lebih sabar dan lembut daripada ayah, kemudian ketika anak masih kecil, anak tersebut lebih membutuhkan ASI ibunya, dan hubungan batin anak dengan ibunya lebih kuat. Selanjutnya biaya pemeliharaan anak tetap tanggung jawab ayah berdasarkan kemampuannya.

Menurut penulis, bahwa pendapat Sahal Mahfudh mengenai hadhanah ini belum termasuk keadilan jender, karena menurutnya ibu mempunyai rasa kasih sayang yang kuat terhadap anaknya. Akan tetapi, pada kenyataanya tidak sedikit kasih sayang seorang ayah pun mampu sama seperti kasih sayangnya seorang ibu, sehingga tidak ada yang tidak mungkin, bahwa ayah bisa mengasuh anak secara baik. Oleh karena itu, apabila ingin berkeadilan jender seharusnya pengasuhan Menurut penulis, bahwa pendapat Sahal Mahfudh mengenai hadhanah ini belum termasuk keadilan jender, karena menurutnya ibu mempunyai rasa kasih sayang yang kuat terhadap anaknya. Akan tetapi, pada kenyataanya tidak sedikit kasih sayang seorang ayah pun mampu sama seperti kasih sayangnya seorang ibu, sehingga tidak ada yang tidak mungkin, bahwa ayah bisa mengasuh anak secara baik. Oleh karena itu, apabila ingin berkeadilan jender seharusnya pengasuhan

4. Nusyuz

Dalam masalah ini Sahal Mahfudh menegaskan, ketika istri nusyuz (melakukan pembangkangan) maka lebih baik diam dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif dan menghindari cara-cara kekerasan. Hal ini sedikit berbeda dengan pendapat para ulama klasik.

Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Sahal Mahfudh dalam penjelasan ini, lebih berkeadilan jender. Dengan mementingkan dialog antara suami-istri agar mendapat solusi yang terbaik diantara keduanya daripada harus memukul istri meskipun untuk tujuan mendidik atau menasehati.