Pemikiran KH. M Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan

A. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan

Pemikiran jender KH. MA. Sahal Mahfudh merupakan angin segar bagi kaum perempuan untuk mengembangkan potensi secara maksimal agar mampu menunjukkan eksistensi dan aktualisasi diri di ruang publik dalam rangka memberikan kemanfaatan yang besar bagi kemajuan bangsa. Jika hal ini terjadi, maka masyarakat akan merasakan manfaat besar dari kehadiran perempuan dalam semua aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, politik, budaya, sosial, teknologi, dan

lain-lain. 1 Untuk mempermudah dan mempertajam dalam menganalisa, maka penulis

hanya akan membahas beberapa hal saja terutama dalam bidang perkawinan.

1. Wali Mujbir

Menurut Sahal Mahfudh bahwa setiap insan tentu ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan perkawinan. Suatu keinginan yang mulia dan sangat wajar. Tak seorang pun mengingkari, dalam diri manusia terdapat hajah atau jinsiyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang sengaja diberikan oleh Allah SWT untuk menjaga perkembangbiakan manusia (tannasul) sebagai prasyarat proses imarah al-ard (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan. Sudah

1 Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi Lima Ciri Utama) , (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 272.

pasti pula, dengan perkawinan diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir batin, suatu keadaan yang sering diistilahkan dengan penuh mawaddah, mahabbah dan rahmah yang karenanya gagasan tent ang “rumahku surgaku di dunia” dapat menjadi nyata. 2

Menurutnya, penentuan calon pendamping baik istri maupun suami merupakan masalah yang paling serius bagi yang berhasrat akan menikah. Proses tersebut hendaknya dilakukan dengan penuh kasih kehati-hatian, karena akan sangat mempengaruhi secara langsung terhadap tujuan pencapaian perkawinan yang diidealkan. Permasalahannya menjadi agak rumit, tatkala dalam memilih jodoh ternyata seseorang tidak bisa lepas dari keterlibatan orang tua, sebagai pihak

yang menjadi perantara kehadirannya di dunia. 3 Di samping alasan moral tersebut, Sahal Mahfudh mengatakan bahwa orang

tua juga merasa memiliki alasan ikut menentukan sang calon, berupa keinginan membahagiakan anaknya, menjaga nama baik, meneruskan misi, dan lain-lain serta serangkaian cita-cita yang sangat wajar dan normal bagi mereka. Akan tetapi, keterlibatan mereka akan menyebabkan terjadi proses tarik-menarik antara harapan dan kepentingan si anak dengan harapan dan kepentingan orang tua, yang memang tidak selamanya sama. Bahkan kadang-kadang cenderung berlawanan, misalnya

2 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2010), h. 239. 3 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 239.

anak menginginkan suami yang sederhana asal berbudi luhur, sedangkan orang tua lebih memprioritaskan aspek material daripada pertimbangan moral keagamaan. 4

Sahal Mahfudh berpendapat bahwa perbedaan tersebut pada gilirannya akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dalam membuat kriteria calon yang diinginkan, apabila tidak bisa dikompromikan lewat pencarian solusi yang memuaskan kedua pihak, tidak mustahil akan terjadi perbuatan-perbuatan yang nekat dan irasional, seperti kawin lari, bunuh diri, atau menjerumuskan diri ke dalam dunia hitam yang justru merugikan diri sendiri. Hal ini adalah suatu kenyataan yang sangat disesalkan. Selanjutnya, bagaimana sikap (ulama atau ahli fiqh) dalam masalah tersebut? Ini merupakan permasalahan yang layak untuk dikedepankan di tengah-tengah giatnya upaya emansipasi perempuan pada zaman ini yang kadang-kadang secara salah kaprah dimengerti sebagai persamaan dalam segala aspek kehidupan tanpa melihat sisi-sisi perbedaan sehingga terjebak dalam

sikap ifrath. 5 Dalam Mazhab Syafi‟i, sebagaimana termaktub pada literatur fikihnya,

ternyata diakui adanya wali mujbir yaitu bapak atau kakek yang memiliki hak memaksa anak perempuannya bukan perawan untuk menikah dengan laki-laki tanpa persetujuannya. Pendapat tersebut secara implisit mengakui orang tua sebagai pihak yang lebih tahu dan berpengalaman menentukan pasangan anaknya. Nilai lebih itu kemudian dilengkapi adanya rasa kasih sayang yang sudah menjadi

4 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240. 5 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240.

fitrahnya. Perpaduan antara pengalaman, kebijaksanaan, dan kasih sayang ini bila berjalan sebagaimana mestinya tampaknya cukup menjamin hak memaksa yang

dimiliki tidak akan membawa pada keputusan keliru. 6 Sahal Mahfudh mengatakan bahwa sangatlah berbahaya bila masalah hukum

hanya didasarkan atas kasih sayang semata. Karenanya hak ijbar (memaksa) tersebut hanya bisa diberlakukan jika telah memenuhi beberapa persyaratan yang sangat ketat, seperti antara anak dan wali tidak terjadi permusuhan yang jelas diketahui masyarakat sekitar, anak tidak terlibat permusuhan dengan calon pasangan, baik secara terang-terangan maupun tidak, sang calon harus setara dan kaya dalam arti mampu pula membayar mahar. Kalau keempat syarat tersebut

tidak dipenuhi, maka pernikahannya tidak sah. 7 Selain itu, menurut Sahal Mahfudh ada satu hal lagi yang bila tidak dipenuhi,

maka sang wali berdosa, meski pernikahannya tetap sah, yaitu jumlah mahar tidak kurang dari mahar mitsil (sesuai dengan mahar yang diterima saudara-saudara perempuan dan kerabatnya). Berupa mata uang yang lazim digunakan di

daerahnya serta diserahkan secara kontan. 8 Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arabnya al-kufu adalah sederajat

atau setingkat dalam aspek nasab status (kemerdekaan, profesi, dan agama). Perempuan yang salehah tidak setara dengan laki-laki yang tidak bermoral.

6 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240-241. 7 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240-241.

8 Pendapat tersebut beliau kutip dari Muhammad Jawad Mughniyah, al- Fiqh „ala al- Madzahib al-Khamsah, (Beirut: Dar al-Jawad, 1996), h. 368.

Perempuan yang berasal dari keluarga dengan profesi terhormat tidak setara dengan yang berprofesi kurang terhormat. 9 Kesetaraan merupakan hak anak dan

orang tua. Si anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya, orang tua juga berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Jika seorang perempuan mempunyai hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak

atau melakukan al-adhal. 10 Perlu juga diperhatikan, hak ijbar yang telah memenuhi syarat tersebut,

menurut Muktamar Nahdlatul Ulama, dengan merujuk pada kitab Hasyiyah Sulaiman Al-Bujairi mi „ala Al-Khatib‟, hanya diperkenankan jika tidak dikhawatirkan membawa akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung bahwa yang

dimaksud “diperkenankan” pada kasus ijbar di sini bukan berarti mubah, melainkan makruh, yang berarti perkawinan semacam itu sebaiknya tetap dihindari. 11 Sebaliknya dianjurkan (sunnah) meminta izin dan persetujuan si anak.

Hak ijbar juga dijumpai dalam Madzhab Maliki dan Hanbali. 12 Selain pendapat tersebut, ada juga ulama yang tidak mengakui hak ijbar

terhadap anak perempuan yang telah baligh secara mutlak, baik perawan maupun janda. Mereka adalah pendukung Madzhab Hanbali. Pendapat itu sangatlah beralasan. Sebab jika dalam masalah jual beli saja unsur taradhi (kerelaan, lawan

9 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 241. 10 KH. MA. Sahal Mahfudh mengutip pendapat tersebut dari Zainuddin bin Abdul Aziz Al-

Malibary, Fath Al- Mu‟in, (Beirut: Daar al-Kutub, 1996), h. 317.

11 Lebih lengkap lihat Sulaiman bin Muhammad al-Bujarimi, Hasyiyah Sulaiman Al-

Bujairimi „ala Al-Khatib, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1951), h. 245. 12 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 241.

dari ikrah, paksaan) menjadi syarat keabsahan akad, tentu hal yang sunnah bahkan lebih baik juga berlaku dalam perkawinan yang jauh lebih penting. Karena hal ini mencakup kehidupan seseorang secara langsung dalam jangka panjang. Pendapat itu diperkuat asumsi, yaitu setiap manusia mempunyai hak untuk menentukan

nasib sendiri. 13 Disamping alasan-alasan rasional, mereka juga menyalurkan dalil tekstual

(naqli) berupa hadis riwayat Ibnu Majah yang dinukil dalam isi kitab Al-Halal wa al-Haram fi Al-Islam , yang mengesahkan tentang seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW Mengadukan nasib telah dinikahkan bapaknya dengan laki-laki saudaranya (keponakan) yang tidak disukainya. Dalam arti, dia diberi hak

membatalkan perkawinan tersebut. Anehnya dia tidak mau, bahkan berkata, “Saya memperbolehkan tindakan bapakku, akan tetapi saya ingin memberitahukan kepada para perempuan bahwa orang tuanya tidak berhak apa-apa atasnya. Artinya

mereka tidak berhak memaksa”. 14 Dari uraian di atas, maka dapatlah ditarik satu kesimpulan, bahwa menurut

Sahal Mahfudh persetujuan calon mempelai hendaknya mendapat perhatian sewajarnya. Meminta persetujuan si anak, selain dianggap baik dari sisi pengamatan ajaran Rasulullah SAW, juga didukung kaidah fikih al-khuruj min al-

13 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 242. 14 Baca Yusuf Qardhawi, al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1960).

Lihat juga Terjemahan oleh Mu‟ammal Hamidy, Halal dan Haram dalam Pandangan Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), h. 160.

khilaf mustahab , keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda adalah sunnah.

2. Nafkah

Sahal Mahfudh membahas mengenai hak anak atas nafkah pasca perceraian, ia berpendapat bahwa seorang suami tetap harus memberi nafkah kepada anak- anaknya meskipun telah bercerai dengan istrinya.

Kewajiban memberikan nafkah anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman Allah SWT:

Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka

upahnya...” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Menurut Sahal Mahfudh, secara sosiologis, pengabaian nafkah pasca perceraian oleh ayah telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala cara. Kerapkali kita dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk

mencukupi nafkah anaknya setelah ditinggal suami. 15 Selain itu dalam bahasannya mengenai hak anak atas nafkah, Sahal pun

membahas tentang hak istri atas nafkah. Ia berpendapat, kalau nafkah merupakan hak istri, dan pada saat yang sama menjadi kewajiban suami, jika suami tidak

15 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 274.

mampu membayar nafkah maka istri berhak mengajukan perceraian. Hal tersebut tentu bila nafkah minimal tidak dapat dipenuhi suami.

Karena itu dalam sebuah hadis riwayat Abdull ah ibn Mas‟ud, Rasulullah SAW. bersabda:

Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu membayar biaya(ongkos) pernikahan maka kawinlah. Karena sesungguhnya nikah dapat mencegah penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa yang belum

mampu, maka berpuasalah. Karena sesungguhnya puasa dapat menjadi benteng. 16 Para ulama mengartikan al- ba‟ah dengan kemampuan memberi nafkah dan mahar . Jadi, anjuran menikah oleh Rasulullah SAW. Ditujukan kepada pemuda

yang secara ekonomis sudah mapan. Karena setelah berubah status menjadi suami, ia wajib menafkahi diri sendiri dan istrinya. Dan setelah menjadi ayah, menafkahi anaknya.

Dalam kitab-kitab fikih terdapat 3 (tiga) kategori suami; kaya, sedang, dan fakir. 17 Seorang istri yang salehah semestinya menyadari kemampuan suaminya.

Tidak sepatutnya menuntut suami di luar kemampuannya. Sikap qana‟ah (menerima) perlu diutamakan. Demikian pula sebaliknya, suami yang baik tidak bakhil , tetapi bersikap sakha‟ (dermawan). Ada ulama yang membagi nafkah menjadi dua, yaitu nafkah rohani atau batin dan jasmani atau lahir. Nafkah batin

16 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Muhirrah al-Bukhari, Kitab Shahih al-Bukhari hadis ke-5066, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 955.

17 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 277.

adalah melakukan hubungan suami istri (jimak). Sedangkan nafkah jasmani adalah kebutuhan sandang, papan dan pangan. 18

Sahal Mahfudh mengatakan, Jika suami impoten (al- „unnah), istri berhak mengajukan perceraian, sebab sang suami tidak bisa memberikan nafkah batin. Demikian halnya kalau suami tidak mampu memberikan nafkah jasmani. Bahkan yang kedua jauh lebih penting. Karena ketiadaan nafkah jasmani membawa dampak yang lebih serius daripada kekurangan atau ketiadaan nafkah batin. Hal ini sesuai dengan hirarki kebutuhan yang dibuat oleh sebagian psikolog yang menempatkan kebutuhan fisikologis makanan atau minum pada urutan pertama.

Orang dapat hidup meskipun kebutuhan seksual tidak terpenuhi. 19 Sahal Mahfudh juga berpendapat bahwa seorang Tenaga Kerja Wanita

diperbolehkan bekerja ke luar negeri tanpa didampingi mahramnya. Artinya, hal tersebut berbeda dengan pendapat para ulama klasik yang melarangnya. Namun, menurutnya hal tersebut diperbolehkan jika sudah masuk dalam kategori bekerja wajib, yaitu ia sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga, atau dirinya sendiri, tidak ada lapangan pekerjaan di daerah atau di negaranya, dan kondisinya tidak

mengkhawatirkan. 20

18 Kompilasi Hukum Islam Pasal 116. 19 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 277.

20 Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi Lima Ciri Utama) , h. 269.

3. Hadhanah

Menurut Sahal Mahfudh, dalam menentukan siapa yang lebih berhak melakukan hadhanah, dibedakan antara anak yang belum mumayyiz dan anak yang mumayyiz. Anak dianggap sudah mumayyiz apabila telah mampu makan, minum, buang air kecil dan besar sendiri. Ada yang memberi batasan sampai umur

7 (tujuh) tahun. Pada perkembangan ini (mumayyiz), orang tua diperintahkan menyuruh anaknya melakukan shalat supaya kelak setelah dewasa (mukallaf atau

baligh 21 ) menjadi terbiasa dan terlatih. Dalam KHI pasal 156, dijelaskan anak yang belum mumayyiz berhak

mendapatkan hadhanah dari ibunya. Bila ibu meninggal, kedudukannya digantikan oleh: 1) perempuan-perempuan dalam garis lurus dari ibu, 2) ayah, 3) perempuan- perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah, 4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, 5) perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Secara lebih detail, kitab Al-Fiqh Al-Manhaji menerangkan, pemegang hadhanah harus memenuhi persyaratan, yaitu: 1) Beragama Islam bila mana anaknya muslim, 2) al-iffah dan al-amanah (tidak fasik), 3) tidak bepergian, 4) tidak bersuami lagi, 5) tidak mengidap penyakit berbahaya yang bisa mengganggu

pekerjaan hadhanah, seperti buta maupun tuli. 22

21 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 280-281. 22 Pendapat tersebut dikutip oleh KH. MA. Sahal Mahfudh dari kitab Musthofa al-Bugha,

dkk., Al-Fiqh Al-Manhaji, Juz 2. (Damaskus: Dar al-Qolam, 1992), h. 186-187.

Berdasarkan keterangan di atas, maka hak asuh ibu didahulukan atas ayah. Hal ini di samping bersandar pada dalil naqli juga didukung dalil aqli. Dalam satu hadis dari Abdullah Ibn Umar, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. Didatangi oleh seorang perempuan. Perempuan itu berkata kepada beliau, “Wahai

Rasulullah, sesungguhnya ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang dia minum, dan di bilikku tempat berkumpulnya (bersamaku), dan sesungguhnya bapaknya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku”.

Mendengar pengaduan itu Rasulullah SAW. Memberi keputusan seraya berkata, “Kamu lebih berhak atas anak itu selama engkau tidak menikah lagi”. 23

Jadi, Sahal Mahfudh berpendapat bahwa ibu lebih berhak memelihara anak, dengan pertimbangan kasih sayang ibu („athifah al-umumah) pada umumnya lebih besar dari ayah. Hubungan batin ibu dengan anak lebih kuat. Anak membutuhkan ASI dan hanya dimiliki ibu. Perempuan juga lebih sabar dan lembut sehingga lebih sesuai untuk melakukan tugas mengasuh dan merawat anak.

Satu hal yang seringkali dilupakan, ketika anak di bawah pengasuhan ibu semua biaya hadhanah dan nafkah anak tetap menjadi tanggungan ayah menurut

kemampuannya. 24 Jadi, tidak dibenarkan apabila ayah secara tidak bertanggung jawab lepas tangan dalam urusan nafkah anak. Akibatnya, semua biaya perawatan

atau nafkah ditanggung oleh ibu.

23 Musthofa al-Bugha, dkk., Al-Fiqh Al-Manhaji, h. 182. 24 Kompilasi Hukum Islam Pasal 156.

4. Nusyuz

Sahal Mahfudh membahas mengenai nusyuz, ia mengatakan kebolehan memukul istri bila melakukan nusyuz (pembangkangan) seperti pendapat para ulama klasik. Akan tetapi, ia juga menegaskan bahwa meskipun dibolehkan, namun lebih baik diam dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif

dan menghindari cara-cara kekerasan. 25 Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin (masyarakat) terhindar dari dampak negatif yang timbul dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang

dilarang oleh Allah 26 ”. (HR. Ahmad)

Didahulukannya lisan dari tangan pada hadis di atas karena dampak yang ditimbulkannya bisa lebih fatal dari tangan. Yang terluka akibat lisan adalah hati dan perasaan, yang jelas lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Ucapan yang tidak baik semakin dicela jika dilakukan terhadap orang-orang yang semestinya dihormati seperti kedua orang tua dan suami atau istri.

Kalau kemudian ditemukan kekurangan-kekurangan atau ketidakpuasan pada pasangannya, sebaiknya diadakan dialog untuk mencari solusi yang efektif. Dan

25 KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 263. 26 Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Hanbal, (Kairo: Mu‟assasah Qurtubah, t.th),

h. 266.

hendaknya tiap-tiap pihak menyadari, tidak ada manusia yang baik dan benar secara mutlak. 27