Isu-Isu Jender dalam Bidang Fiqh Munakahat

B. Isu-Isu Jender dalam Bidang Fiqh Munakahat

Beberapa isu jender dalam bidang Hukum Perkawinan yang akan dibahas dalam skripsi ini, diantaranya:

1) Perwalian

Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-wali dengan bentuk jamak awliya yang berarti pencinta, saudara, atau penolong. 9 Dalam istilah

lain, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa.

Pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria). 10

Perwalian adalah seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap seseorang lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung. Sedangkan seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta haknya lantaran ia tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang

lain. 11 Amir Syarifuddin mendefinisikan wali nikah sebagai seseorang yang

bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah. Akad nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan

9 Louis Ma‟luf, Al Munjid, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1975), h. 919. 10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 1007.

11 Hammudah Abd. al „Afi, Keluarga Muslim, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h. 89-90.

oleh walinya. 12 Sedangkan Abdurrahman Al-Jaziry mengatakan tentang wali dalam al- Fiqh „ala Mazhab al-Arba‟ah:

Artinya: “Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah akadnya tanpa adanya (wali)”. 13

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah. Wali yang bersifat umum dan yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau negara yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda.

Yang berhak menempati kedudukan wali ada dua kelompok, yaitu: wali nasab atau wali yang berhubungan dengan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan menikah, dan wali hakim atau orang yang menjadi wali dalam kedudukannya

sebagai hakim atau penguasa. 14 Secara urutan, orang yang berhak menjadi wali nikah adalah: ayah, kakek

(bapaknya bapak), saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki- laki saudara kandung, anak laki-laki saudara seayah, paman sekandung, paman

12 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 77. 13 Abdurrahman Al Jaziry, Al- Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), Juz

4, h. 29. 14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 75.

seayah, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah, keluarga yang mendapatkan ashabah. Jika tidak ada maka beralih ke wali hakim. 15

Eksistensi seorang wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang mesti. Akad nikah yang tidak dilakukan oleh wali hukumnya tidak sah. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan, dan dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut.

Ayat yang menjelaskan wali nikah adalah sebagai berikut:

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia- Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur ayat 32)

Dalam mendudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan akad terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Terhadap mempelai yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan, ulama sepakat dalam mendudukannya sebagai rukun atau syarat dalam pernikahan. Alasannya ialah bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad

dengan sendirinya dan oleh karena itu akad tersebut dilakukan oleh walinya. 16

15 M. Al-Khin, dkk., Al-Fiqhu al-Manhaji ala Mazhabi al-Imam al- Syafi‟i, Vol. 2., (Damaskus: Dar al-Qolam, 2005), h. 59.

16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 69.

Namun terhadap perempuan yang telah dewasa (baligh) baik ia sudah janda atau masih perawan, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab

Maliki, Syafi‟i, dan Hambali mensyaratkan adanya wali nikah baginya, 17 sedangkan ulama mazhab Hanafi tidak mensyaratkan adanya wali baginya, dan dia

berhak menikahkan dirinya sendiri atau menjadi wali bagi perempuan lain. Ulama mazhab Hanafi yang membolehkan perempuan sudah baligh dan cakap hukum untuk melangsungkan pernikahan untuk dirinya dan orang lain

berpedoman kepada Hadis Nabi SAW. 18

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis

dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim) 19

Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) yang tidak mengesahkan wali perempuan berpedoman kepada hadis Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut riwayat Ibn Majah:

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh

17 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1966), h. 9. 18 Al Kasani, Bada‟i al-Shana‟i, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1982), h. 241-247.

19 Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Terjemah A. Hasan, (Bandung: Diponegoro, 1996). h. 297-298.

mengawinkan dirinya sendiri. Perempuan yang berzina adalah perempuan yang mengawinkan dirinya sendiri 20 ”. (HR. Ibnu Majah).

Dari kedua pendapat di atas beserta dalil-dalilnya, Hafiz Muhammad Anwar merajihkan pendapat jumhur ulama yang tidak memperbolehkan seorang perempuan menjadi wali nikah atas dirinya atau orang lain karena dalil mereka lebih kuat lagi jelas, dan pendapat mereka lebih membawa kemaslahatan bagi banyak orang terutama keluarga perempuan, sebab bagaimanapun juga sang calon suami akan menjadi bagian dari keluarga itu maka seyogyanya dia adalah laki-laki yang direstui keluarga tersebut, dibuktikan dengan adanya wali nikah. Sedangkan hadis yang mereka jadikan pedoman di atas bahwa “seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya”. Bermaksud perempuan lebih berhak untuk menentukan calon pendamping hidupnya, bukan lebih berhak menikahkan

(menjadi wali) dirinya. 21 Selama ini ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan

menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Hal ini menimbulkan asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak

20 Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, h. 298. 21 Hafiz Muhammad Anwar, Wilayat al- Mar‟ah fi al-Fiqh al-Islamy, (Riyadh: Dar

Balansiyah, t.th), h. 579.

ijbar. Hak ijbar dipahami oleh banyak orang sebagai hak memaksakan suatu perkawinan oleh orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya. 22

Istilah wali mujbir sudah dikenal dalam perkawinan, yaitu wali nikah yang mempunyai hak terhadap anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk

dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. 23

Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya. Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat

sebagai berikut: 24 1) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu. 2) Jika mahar yang diberikan calon suaminya sebanding dengan kedudukan putrinya. 3)

Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan. 4) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya dengan laki-laki tersebut.

5) Jika putrinya tidak mengikrarkan dia tidak perawan lagi. Menurut beberapa Ulama Mazhab, wali mujbir dalam daerah perwalian (wilayah) terhadap anak gadis, khususnya adalah Ayah maka baginya boleh memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan pilihan sang Ayah. Pendapat ini merupakan pendapat dari Ulama Syafi‟iyah dan Malikiyah. Berbeda dengan pendapat lain, Abu Hanifah menyatakan bahwa anak gadis yang telah dewasa

22 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 78.

23 Imamul Muttaqin, Jurnal AL-HUKAMA, Vol. 2, No. 1, Juni 2012, h. 23. 24 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 202.

tidak boleh dipaksa untuk menikah. Pendapat ini juga senada dengan pendapat al- Auza‟i. 25

Adapun konsekuensinya, hak untuk menentukan jodoh dan melakukan perkawinan adalah hak pribadi perempuan itu sendiri sehingga tidak tergantung atau terpengaruh kepada wali nikah. Jika perkawinan tetap dilakukan juga oleh wali, yakni yang ijabnya diucapkan oleh wali, tetap dinyatakan sah, tetapi dipersyaratkan harus mendapatkan persetujuan dari calon mempelai perempuan yang bersangkutan. Begitu juga dalam persoalan orang-orang yang berhak menjadi wali. Dengan dibolehkannya perempuan menikahkan dirinya sendiri, maka wajar

jika dibolehkan pula menjadi wali nikah kerabatnya. 26 Tentang wali mujbir, penulis cenderung kepada pendapat ulama mazhab

hanafi yang melarang wali menikahkan perempuan yang ada di bawah perwaliannya kecuali atas izin darinya selama perempuan tersebut sudah dewasa dan cakap hukum. Artinya, perempuan yang sudah dewasa dan cakap hukum berhak menentukan calon pendamping hidupnya sendiri sesuai hati nuraninya, sedangkan peran wali sebagai pemberi pertimbangan dan masukan-masukan berharga. Karenanya, penulis tidak sepakat atas hak ijbar bagi perempuan dewasa dan cakap hukum dengan alasan, adanya nash-nash yang mensyaratkan izin perempuan dan nash-nash yang menyebutkan penolakan Rasulullah SAW terhadap

25 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid Juz II. Dapat dilihat juga Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender, h. 83-88.

26 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-KAHFI, 2008), h. 232.

pernikahan tanpa izin perempuan. Hadis riwayat Imam Muslim di atas secara tegas mensyaratkan adanya izin dari anak perempuan dalam pernikahan.

2) Nafkah

Kata ةقفن berasal dari akar kata ق - ف - ن yang memiliki arti sebagai berikut: „Nafaqa‟ dengan jamak „Anfaq‟ artinya „jalan terowongan atau jalan bawah tanah yang lancar‟. „Nafaqa‟ dengan bentuk masdar „Nafaqan‟ artinya pasar yang bersirkulasi aktif atau semarak. „Nafaqa‟ dengan masdar قوفن ‘ ‟ artinya „hilang, hancur dan habis‟. Jadi, kata ةقفن yang bentuk jamaknya adalah „Nafakat‟ dan „Nifak‟ secara bahasa mengandung makna „sesuatu yang bersirkulasi karena dibagi

atau diberikan kepada orang dan yang membuat kehidupan orang yang mendapatkannya tersebut berjalan lancar, lalu karena dibagi atau diberikan maka nafkah tersebut secara fisik habis atau hilang dari pemiliknya‟. Secara syara‟ dan istilah ةقفن diartikan sebagai „Maa Yajibu min al-Maal li al-Ta‟min al-Dharuriyyat li al- Baqa‟, yaitu „Sesuatu yang wajib diberikan berupa harta untuk memenuhi kebutuha n yang diperlukan dalam mempertahankan hidup‟. Dari pengertian ini terlihat bahwa termasuk di dalam nafkah adalah math‟am (makanan), malbas (pakaian), dan maskan (tempat tinggal). 27

Ulama fikih menyimpulkan kewajiban memberi nafkah terjadi pada tiga tempat dan sebab; istri dengan sebab perkawinan, kaum kerabat karena sebab nasab, dan hamba ataupun orang-orang lainnya sebab di bawah penguasaan.

27 Muhammad Rowas Qal „aji dan Hamid Sodiq Qanibi, Mu‟jam lughah al-Fuqaha, (Beirut: Dar al- Nafa‟is, 1985), h. 485.

Kewajiban disebabkan perkawinan merupakan dasar pertama dan lebih utama dari kedua sebab lainnya, sementara kewajiban karena nasab lebih utama dari kewajiban karena pemilikan. Kewajiban karena nasab berurutan dari mulai yang

paling dekat sampai seterusnya. 28 Dalil-Dalil nash yang dikemukakan para ulama dalam hal kewajiban nafkah

ini:

Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar ”.

Kesimpulan hukum pemikiran para ulama dari dasar-dasar hukum nafkah sebagaimana disebut sebelumnya adalah menempatkan suami sebagai pihak yang dibebankan kewajiban nafkah kepada istrinya. Sementara ketika suami tersebut telah dikaruniai anak, ia pun dibebankan pula kewajiban nafkah baik kepada

istrinya maupun anak-anaknya. 29

28 M. Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah-Qismu al-Zawaj, h. 228. 29 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al- „Arabi, 1973), h. 169-170.

Keterangan di atas semakin menegaskan bahwa nafkah sesungguhnya menjadi tanggung jawab kaum laki-laki dan tidak dibebankan kepada kaum perempuan. Hukum asal kewajiban laki-laki atas nafkah, berawal dari konteks hubungan akad nikah yang menempatkan perempuan sebagai objek (muqtadha al- „aqd; tuntutan yang terdapat dalam akad). Oleh karena itu, akad nikah seolah menjadi ruang yang mana perempuan tertanggung (ihtibas) kehidupannya di dalam ruang itu. Maka suami menjadi aktor paling penting tentang kepemilikan terhadap ruang gerak istrinya, sehingga suami secara utuh berkewajiban untuk memberi nafkah.

Mufid Abdullah menjelaskan, terkait dengan persoalan nafkah, perlu ditegaskan bahwa ulama fiqh mengemukakan persoalan penting yang berkaitan

dengan nafkah istri. 30 Pertama, keengganan suami membayar nafkah atau suami tidak mampu. Apabila suami enggan membayar nafkah istrinya, sedangkan ia telah

menentukan nafkah istrinya atau hakim telah menetapkan nafkah wajib yang harus dibayarkannya, maka menurut ulama fiqh hukumnya sebagai berikut. Apabila suami itu orang yang mampu dan memiliki harta, maka hakim berhak menjual harta itu secara paksa dan membayarkan nafkah istrinya sesuai dengan kebutuhannya. Apabila harta suami yang mampu itu tidak diketahui dan istrinya menuntut kepada hakim, maka hakim boleh menjarakannya sampai ia membayar nafkah istrinya tersebut. Akan tetapi, apabila ternyata suami itu memang tidak mempunyai harta, maka ia tidak boleh dipenjarakan sekalipun istrinya mengajukan

30 Mufid Abdullah, Pemberian Nafkah Narapidana Kepada Istrinya; Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Kedungpane Semarang , Skripsi, (Semarang: IAIN Walisongo, 2006), h. 63-

gugatan kepada hakim karena Allah SWT. menyatakan apabila seseorang dalam kesulitan maka harus ditunggu sampai ia berkelapangan.

Artinya: “Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Allah memberikan kelapangan sesudan kesempitan”. (QS. Al-Thalaq : 7)

Menurut jumhur ulama, ketidakmampuan suami membayar nafkah istrinya bukan berarti kewajibannya membayar nafkah itu gugur sama sekali, tetapi tetap menjadi hutang bagi suami yang harus dibayar ketika ia telah mampu, bahkan menurut Mazhab Syafi‟i dan Hanbali, apabila suami tidak mampu sama sekali

membayar nafkah, istrinya boleh meminta fasakh. Namun, menurut Mazhab Hanafi dan Maliki, suami yang tidak mampu membayar nafkah istrinya tidak boleh dipisahkan (diceraikan). Menurut Mazhab Hanafi, nafkah yang belum dibayarkan suami itu menjadi utang baginya yang harus dibayarnya ketika ia telah mampu. Bahkan, menurut Mazhab Maliki, karena suami tidak mampu membayar nafkah istrinya, maka selama ketidakmampuan itu kewajiban nafkah gugur dari

suami. 31 Adapun pendapat Mali ki, Syafi‟i, Imamiyah dan satu Jama‟ah: suami hanya

wajib memberikan tempat tinggal (maskan) dan tidak wajib memberikan makan serta pakaian. Pendapat ini mendasarkan diri pada zhahir lafaz ayat 6 surat at-

31 Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014, h. 160-161.

thalaq di atas. Selain itu, hadis dari Fatimah bint Qays tetapi melalui riwayat Maliki dimana Nabi menyuruh Fatimah bint Qays untuk menjalankan „iddahnya di rumah Ummu Maktum tanpa memerintahkan untuk memberinya nafkah. 32

Pendapat ini merupakan konsekuensi dari prinsip golongan ini, yang menyandarkan pemberian nafkah pada kemungkinan suami me- wathi‟ isterinya, sedangkan dalam talak ba‟in suami tidak memiliki kemungkinan itu.

Adapun hadis tersebut:

Artinya: Telah menceritakan kepada Yahya dari Malik dari Abdullah bin Yazid mantan budak al-Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf dari Fatimah binti Qais bahwa Abu „Amru bin Hafsh menjatuhkan talak ba‟in kepadanya, padahal dia sedang berada di Syam. Lalu Abu „Amru mengutus wakilnya untuk mengirimkan gandum kepadanya, hingga menjadikan Fatimah marah kepada Abu „Amru berkata, “Demi Allah, kamu tidak berhak atas apapun dariku.” Fatimah bin Qais lantas mendatangi Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam dan mengkisahkan kejadian itu kepada beliau. Beliau lalu bersabda: “Kamu tidak berhak mendapatkan nafkah darinya.” Kemudian beliau

32 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 103; Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al Syakhsiyyah-Qisma al-Zawaj , h. 383.

menyuruhnya untuk menunggu masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Setelah itu beliau bersabda: “Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh para

sahabatku. Maka tunggulah masa iddahmu di rumah Abdullah bin Ummi Maktum, dia adalah seorang yang buta, sehingga kamu dapat meletakkan pakaianmu di

sisinya. Jika masa iddahmu telah selesai maka beritahukanlah kepadaku.” Fatimah berkata, “Ketika masa iddahku telah selesai, aku ceritakan kepada beliau bahwa Mu‟awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm bin Hisyam telah melamarku. Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam lalu bersabda: “Jahm itu seorang laki- laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya, sedangkan Mu‟awiyah adalah seorang laki-laki miskin yang tidak mempunyai harta. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Sebenarnya aku tidak menyukainya.” Maka aku pun menikah dengannya, dan ternyata Allah menjadikan kebaikan di dalam

pernikahan itu, hingga aku merasa bahagia.” 33

Pendapat Ahmad bin Hanbal, Abu Daud dan Abu Tsaur, Ishaq, dan satu Jama‟ah: suami tidak wajib memberikan tempat tinggal, makan dan pakaian.

Alasan golongan ini adalah berdasarkan hadis tentang Fatimah bint Qays yang dikemukakan Ibn „Abbas dan Jabir Ibn „Abdullah. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa‟i. 34

Menurut Husein Muhammad, bahwa pada dasarnya seorang istri dibebaskan dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk menutupi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk keluarganya. Seluruh kebutuhan istri dan rumah tangga yang menjadi kebutuhan pokok adalah kewajiban suami. Sehingga apabila suami ternyata tidak memberikannya, istri berhak menuntutnya atau mengambilnya meskipun tanpa

izin suami. 35

33 Imam Malik, Al- Muwatha‟, (Kairo: Dar al-Kutub, t.th), h. 359. 34 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 103; Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-

Syakhsiyyah-Qisma al-Zawaj , h. 383. Hadisnya dapat dilihat pada h. 7. 35 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h.

Dari beberapa keterangan di atas, bahwa kewajiban menafkahi itu ada pada suami. Akan tetapi, ketika istri ingin bekerja atau ingin membuka usaha untuk menutupi kebutuhan hidupnya, maka tidak ada larangan baginya. Hal tersebut, dapat dikatakan sudah berkeadilan jender.

3) Hadhanah

Hadhanah berasal dari kata 36 َانْضَح – ُنُضْحَي – َنَضَح yang berarti بنجلا (lambung, rusuk) erat atau dekat, jadi hadhanah ialah “meletakkan sesuatu dekat

dengan tulang rusuk atau di pangkuan”. Seperti kata, hadhanah ath-thoairu baidhohu artinya burung itu menghimpit (mengeram) telur di bawah sayapnya. Demikian juga jika seorang ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan dipangkuannya seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya. Sehingga lebih tepatnya hadhanah secara bahasa ialah memelihara anak dengan

meliputi biaya dan pendidikannya. 37 Para ahli fiqh mendefinisikan hadhanah adalah: melakukan pemeliharaan

anak-anak yang masih kecil atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani,

36 Ahmad Warson Munawar, Al Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 212.

37 Abdurrahman Al Jaziri, al- Fiqh „ala Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikri, t.th.), h. 594.

rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya. 38

Hadhanah merupakan kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri. Kewenangan seperti itu lebih tepat dimiliki kaum wanita karena naluri kewanitaan yang ia miliki dan kesabarannya dalam

menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding laki-laki. 39

Mengenai ketentuan batas pengasuhan, para Imam Mazhab berpendapat diantaranya adalah Imam Hanafi mengatakan: Masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan Sembilan tahun untu k perempuan. Sedang Imam Syafi‟i berpendapat: tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bias menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Apabila anak sudah sampai pada tingkat ini, anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu ataukah ayahnya.

Apabila seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka anak boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya di siang hari, agar ayah bias mendidiknya. Sedangkan apabila anak itu perempuan dan memilih tinggal bersama ibunya, maka dia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam.

38 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah

39 , (Bandung: Al Ma‟arif, t.th), h. 173.

Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Intermasa, 1996), h. 415.

Tetapi anak memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian, apabila anak diam (tidak memberikan pilihan) dan ikut bersama ibunya. 40

Menurut pendapat Imam Syafi‟i ini tidak ada batas waktu yang jelas mengenai pengasuhan akan tetapi ada catatan bahwa sebelum anak bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Maka tetap anak tersebut tinggal bersama ibunya selama anak bisa menentukan pilihannya. Sementara pendapat Imam Hanafi ada batasan waktu dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki masa asuhannya tujuh tahun, sedangkan anak perempuan sembilan tahun. Dan di sini tidak dijelaskan kepada siapa anak memilih untuk dan kapan waktunya, yang jelas ada batas waktu ditentukan pengasuhannya.

Berbeda halnya dengan pendapat Imam Maliki bahwa masa asuh anak laki- laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah. Ketentuan ini batas waktu untuk laki-laki lebih rendah yaitu hingga baligh dan perempuan hingga menikah, ini artinya jauh perbedaan masa asuh laki- laki dengan perempuan. Pendapat lain adalah Imam Hambali dan Imamiyah. Masing-masing berpendapat, Imam Hambali: masa asuh anak laki-laki sama dengan perempuan yaitu tujuh tahun, dan setelah itu ada kebebasan untuk memilih antara ibu atau ayahnya. Sementara pendapat yang terakhir adalah pendapat Imamiyah: masa asuh anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan tujuh

tahun. 41

40 Muhammad Jawad Mughniyah, al- 41 Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 417. Muhammad Jawad Mughniyah, al- Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 418.

Menurut Zaitunah Subhan, hak sebagai pengasuh itu tidak harus kepada ibunya saja melainkan ayah juga. Hal tersebut menurutnya ibu tidak selamanya berjiwa keibuan, melainkan tidak sedikit laki-laki yang berjiwa keibuan, semangat

dalam mengasuh dan memelihara anak. 42 Dari beberapa keterangan di atas, maka dalam ketentuan hadhanah dari

perspektif jender yakni; yang mengasuh anak itu tidak selamanya harus seorang ibu, melainkan ayah juga dapat mengasuhnya. Dengan beberapa catatan, ketika pada kasus perceraian didasarkan atas selingkuh atau kasus pelanggaran moral yang dilakukan istri, maka lebih baik pengasuhan anak lebih baik kepada ayahnya. Karena ditakutkan nantinya seorang anak akan meniru tingkah laku ibunya yang nakal misalnya. Begitu juga sebaliknya, apabila suami yang melakukan perselingkuhan atau melakukan pelanggaran moral, maka pengasuhan anak lebih baik kepada ibunya. Oleh karena itu, permasalahan pengasuhan tersebut dapat diatasi untuk kemaslahatan suami istri dan terutama untuk masa depan anak-anak.

4) Nusyuz

Kata nusyuz adalah turunan dari akar kata na-sya-za yang memiliki arti “Irtikâb‟ atau “Irtifâ ‘ ba‘da ittido‘”dan „irtifaʻ min makânibi‟ yaitu „mengangkatkan kembali‟ (dari tempat atau keadaannya yang pertama) dan

„Intihâd‟ yaitu melegakan nafas dan membagi secara adil‟.

42 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 318.

Dari surat an- Nisa‟ 34, fuqaha menemukan istilah nusyûz al-mar‟ah atau nusyuz perempuan yang diartikan “pembangkangan istri dan keburukan

kelakuannya pada suami”. Ada juga yang mengartikan “perbuatan isteri m eninggalkan rumah tanpa alasan yang dapat dibenarkan menurut syara‟ yang akibat dari perbuatan ini seorang isteri tidak berhak mendapat nafkah”. 43

Dalam al- Qur‟an turunan kata na-sya-za terdapat pada empat tempat; al- Baqarah 259, surat al-Mujadalah 11, an- Nisa‟ 34 dan 128. Dalam surat yang pertama artinya mengangkatkan kembali, dengan maksud menyusun kembali tulang-tulang burung yang telah dihancurkan menjadi kerangka Dalam surat kedua artinya mengangkatkan diri, dengan maksud menyegerakan dan melaksanakan suruhan kebaikan yang diminta, namun ada juga yang mengartikan „bernafas lega atau berlapang dada‟ yaitu tidak berkeluh kesah; Surat yang ketiga ayat 34 artinya

mengangkat ketaatan, maksudnya membangkang; dan ayat 128 mengangkatkan kebaikan yaitu perilaku suami yang menekan isteri, menyakiti, dan sebagainya. 44

Al- Qur‟an tidak secara tegas menyebutkan bahwa isteri yang nusyuz tidak berhak mendapat nafkah. Para fuqaha menarik kesimpulan ini melalui pemahaman kompensasi hak dan kewajiban antara suami isteri. Dengan mengacu kepada surat an- Nisa‟ ayat 34, fuqaha menetapkan bahwa ketaatan isteri adalah wajib dan merupakan hak suami sebab kalau ketaatan isteri tidak menjadi hak suami maka kepemimpinan suami yang diisyaratkan dalam ayat ini tidak akan terlaksana. Hak

43 Muhammad Rowas Qal „aji dan Hamid Sodiq Qanibi, Mu‟jam lughah al-Fuqaha‟, h. 480. 44 Jalaluddin as-Suyuti, ad-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al- Ma‟tsur, Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub

al- „Ilmiyyah, 1990), Vol. 1, h. 588; vol.6, h. 345; vol.3, h. 277 dan 411.

suami atas ketaatan istrinya ini lebih tegas lagi diterangkan dalam ayat yang memberikan wewenang kepada suami untuk menghukum istrinya dalam rangka memperbaiki kelakuan istri ( ta‟dib), yaitu mengembalikan ketaatannya kepada suami. 45 Selanjutnya, fuqaha menetapkan bahwa nafkah adalah hak istri sebagai

balasan kewajiban taatnya kepada suami. Jadi, meninggalkan atau melepaskan kewajiban taat oleh isteri kepada suami disimpulkan mengakibatkan gugurnya hak (nafkah) istri dari suaminya.

Walaupun para ulama sepakat bahwa nusyuz menghilangkan hak nafkah istri tetapi mereka berbeda pendapat tentang pengertian dan batasan perilaku nusyuz (tidak taat) yang menyebabkan hilangnya hak nafkah tersebut. Perbedaan ini timbul atas dasar perbedaan pandangan tentang aspek perkawinan yang menimbulkan kewajiban nafkah.

a) Hanafiah: yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah adalah beradanya wanita tersebut di rumah suaminya. Persoalan ranjang dan wathi‟ tidak ada

hubungannya dengan kewajiban nafkah. Karenanya, walaupun istri mengunci dirinya di kamar dan tidak bersedia dicampuri sekalipun tanpa dasar syara‟

yang benar selama dia tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, istri tersebut masih dipandang patuh ( muthi‟ah) dan tidak menggugurkan haknya atas nafkah. Pendapat ini membedakan diri dari seluruh pendapat mazhab lainnya. Oleh karena itu, menurut Hanafi dan juga Imamiyah serta satu

45 Abi Bakr Ahmad ibn „Ali al-Razi al-Jassas, Ahkam al-Qur‟an, h. 375.

golongan dari hanabilah, istri yang sakit, nafkahnya tidak gugur, sedangkan menurut Maliki gugur. 46

b) Mazhab selain Hanafi semuanya berpendapat sama bahwa walaupun istri tidak keluar rumah tetapi jika dia tidak memberikan kemungkinan suami untuk menggaulinya dan berkhalwat dengannya tanpa ada alasan yang logis serta dibenarkan oleh syara‟, maka istri tersebut dipandang nusyuz dan tidak berhak atas nafkah. 47

c) Ulama Syafi‟iyyah bahkan lebih mengkhususkan bahwa walaupun istri masih bersedia digauli dan berkhalwat dengan suami kalau dia bersikap enggan dan tidak menawarkan dirinya seraya mengatakan dengan tegas, “Aku menyerahkan diriku kepadamu”, istri tersebut belum cukup dianggap patuh. 48 Imam Nawawi

menerangkan lebih spesifik bahwa yang dikatakan nusyuz adalah dengan menolak suami berhubungan tanpa ada „uzur dari pihak suami ataupun dari pihak istri. Begitu juga, bila istri keluar dari rumah yang disuruh tempatin oleh suami tanpa izinnya serta bukan untuk kepentingan suami. Termasuk dalam hal ini keluar rumah untuk ibadah haji wajib dan juga ziarah kepada orang tua, umrah, puasa sunnah, dan amal ibadah lainnya. Jadi, tindakan istri yang dilakukan tanpa mengantongi izin suami akan dikategorikan sebagai tindakan

nusyuz, dan konsekuensinya tidak berhak mendapakan hak nafkah dan mut‟ah.

46 Muhammad Jawad Mughniyyah, al- Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 101-102. 47 Muhammad Jawad Mughniyyah, al- Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 101-102.

48 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 59; Muhammad Jawad Mughniyyah, al- Fiqh „ala al- Mazahib al-Khamsah , h. 101-102.

Hal ini juga merupakan pendapat mazhab Hanafi yang menjadikan keluar rumah sebagai kriteria fundamental dalam menilai nusyuz seorang istri. Adapun menurut Imamiyah dan Hambali kepergian seorang istri untuk menunaikan ibadah wajib walaupun tanpa izin suami tidak menyebabkan nusyuz dan tidak

menggugurkan hak nafkahnya. 49 Dalam fiqh dinyatakan bahwa apabila terjadi nusyuz, tindakan pertama yang

boleh diambil oleh suami adalah menasihati istri dengan tetap mengajaknya tidur bersama. Tidur bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah tangga. Apabila tindakan pertama ini tidak membawa hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu memisah tempat tidurnya. Apabila dengan tindakan kedua istri tetap melakukan aksi nusyuz, suami boleh melakukan tindakan ketiga, yaitu memisah

tidurnya dan boleh memukulnya. 50 Tindakan demikian menurut kalangan ulama fiqih bisa dilakukan setiap kali

suami menduga kalau istri sedang nusyuz. Dalam suatu kutipan kitab fiqih klasik dinyatakan:

Artinya: “Apabila dikhawatirkan seorang istri akan berbuat nusyuz, nasihatilah; ketika dinasihati membantah dan masih tetap nusyuz, pisahlah tempat tidurnya; dan

49 Yahya Ibn Syarif an-Nawawi, Minhaj al- Thalibin wa „Umdat al-Muftin fi Fiqh Mazhab al- Imam al- Syafi‟i, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1996), h. 154.

50 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 183.

apabila masih saja melakukan nusyuz, pisah dan pukullah, dengan nusyuz ini hak mendapat giliran apabila dia dipoligami hak mendapatkan nafkah menjadi gugur. 51

Apabila kita lihat pernyataan kitab tersebut, baru pada taraf menduga saja, seorang suami sudah boleh mengklaim bahwa istrinya melakukan nusyuz. Jelas, posisi istri dalam hal ini rentan sekali. Istri tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pembelaan diri, apalagi koreksi, terhadap tindakan suaminya sebab setiap bentuk koreksi sehalus apa pun bisa diklaim oleh suaminya sebagai tindakan pembangkangan (nusyuz). Sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat leluasa untuk menentukan apakah tindakan istri sudah bisa dikatakan sebagai nusyuz

atau tidak. 52 Menurut Syafiq Hasyim, dalam merekonsturuksikan konsep nusyuz, fiqih kita

selama ini tidak adil. Fiqih tampak hanya mempertimbangkan kepentingan laki-laki sehingga kedudukan perempuan dalam menegosiasikan hal ini sangat lemah. Untuk itu, dalam memahami persoalan nusyuz, kita harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: pertama, prinsip keadilan. Kita yakin Al- Qur‟an selalu dalam posisi yang adil dalam mengemukakan persoalan, artinya ketika istri melakukan nusyuz, harus dilihat apa sebabnya. Jadi, yang dimaksud dengan prinsip keadilan dalam melihat nusyuz adalah prinsip ketika istri nusyuz tidak hanya dipahami pada sisi ketidaktaatan istri, tetapi harus dipahami secara menyeluruh, misalnya, bagaimana perlakuan suami terhadap istrinya, apakah hak-hak istri sudah dipenuhi suami atau

51 Abu Syuja‟, al-Ghayah wa al-Taqrib, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, t.th), h. 32.

52 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, h. 184.

belum. Kedua, prinsip mu‟asyarah bi al-ma‟ruf. Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip umum dari keseluruhan tata hubungan suami istri, baik istri maupun suami, masing-masing harus saling mempergauli secara baik. Apabila prinsip ini benar-benar

dilaksanakan, kecil kemungkinan akan terjadi nusyuz. 53 Oleh karena itu, tidaklah diperkenankan memukul istri yang nusyuz sebelum mengetahui sebab terlebih dahulu.

Dari penjelasan di atas, maka ketentuan nusyuz tersebut dilihat dari perspektif jender semestinya seorang suami harus meneliti terlebih dahulu mengapa terjadi nusyuz . Apakah tindakan nusyuz istri itu memang semata-mata dilakukan karena istri mempunyai niat membangkang kepada suami, atau disebabkan karena istri ingin mengambil haknya yang tidak diberikan oleh suami? Semua ini harus melihat secara jernih agar tidak mudah menjatuhkan tuduhan nusyuz kepada istri. Oleh karena itu, tidak semestinya suami langsung mengategorikan istri nusyuz tanpa adanya penulusuran lebih lanjut mengenai pembangkangan istrinya tersebut. Karena, terkadang suami langsung menjustifikasi perlakuan negatif yang dilakukan istrinya, tanpa

adanya penjelasan

istrinya tersebut.

53 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, h. 187.