Rasulullah saw. melarang penjualan dengan dua transaksi pada satu barang` .
Terkait dengan hadits ini para ulama berselisih dalam penafsirannya, menjadi lima pendapat:
1. Bentuk Pertama
Transaksi jual-beli antara harga tunai dan harga kredit berbeda. Dan harga kredit lebih tinggi. Seperti, saya jual mobil
ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta.
Transaksi jenis pertama biasa disebut Bai` Bits-Tsaman Ajil atau disingkat menjadi BBA dan ini disepakati bolehnya oleh
ulama.
2. Bentuk Kedua
Sama dengan pendapat pertama, tetapi transaksi itu terjadi kemudian berpisah tanpa ada kejelasan mana yang diambil.
Seperti, saya jual mobil ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta. Keduanya sepakat tanpa menjelaskan transaksi mana yang
diambil. Para ulama melarang jenis kedua ini, karena ada ketidakjelasan
pada transaksi tersebut. Tetapi jika sebelum berpisah ada kejelasan akad, yaitu memilih salah satunya maka boleh, dan
itu seperti transaksi pada jenis pertama. Namun demikian kedua transaksi itu dilarang jika barangnya berupa harta riba,
misalnya emas, atau perak atau uang.
3. Bentuk Ketiga
Membeli barang dengan harga tertangguh, dengan syarat barang itu dijual kembali kepadanya secara tunai dengan harga
155
yang lebih rendah.Transaksi jenis ketiga ini diharamkan dalam Islam karena ada unsur riba. Dan transaksi ini disebut juga
dengan ba`iul `inah.
4. Bentuk Keempat
Transaksi ini mensyaratkan penjualan lagi. Seperti menjual suatu barang yang tidak ditentukan barangnya dan harganya.
Atau ditentukan harga dan barangnya. Seperti A membeli sebuah rumah dengan harga 1 Milyar dari B dengan syarat B
membeli mobilnya dari A seharga 1,5 Milyar. .Transaksi jenis keempat ini juga termasuk yang dilarang dalam Islam dan
disebut juga bai`u wa syart.
5. Bentuk Kelima
Mensyaratkan manfaat pada salah seorang diantara yang melakukan transaksi. Misal, saya jual rumah ini dengan syarat
saya tinggal
dahulu satu
tahun. Transaksi jenis kelima diperselisihkan ulama. Madzhab Malik
dan Hambali membolehkannya, sedangkan madzhab Syafi`i melarangnya.
Bai` Bits-Tsaman Ajil Istilah Bai` Bits-Tsaman Ajil sesungguhnya istilah yang baru
dalam literatur fiqih Islam. Meskipun prinsipnya memang sudah ada sejak masa lalu.
Secara makna harfiyah, Bai`maknanya adalah jual-beli atau transaksi. Tsaman maknanya harga dan Ajil maknanya
bertempo atau tidak tunai. Jenis transaksi ini sesuai dengan namanya adalah jual-beli yang uangnya diberikan kemudian
atau ditangguhkan. Tsaman Ajil maknanya adalah harga
156
belakangan. Maksudnya harga barang itu berbeda dengan bila dilakukan dengan tunai.
Contohnya, sebuah mobil bila dibeli dengan tunai, harganya 100 juta. Tetapi karena pelunasannya memerlukan waktu 5
tahun ajil, maka harganya menjadi 150 juta. Pelunasan yang membutuhkan waktu sampai lima tahun ini berkonsekuensi
kepada harga yang ikut naik.
Namun yang menjadi batas halal atau haramnya adalah kapankah harga itu disepakati. Bila sejak awal sebuah harga
atas suatu barang sudah disepakati, meskipun dimark-up, akad itu adalah halal. Tetapi bila harga mark-upnya tidak dipastikan
sejak awal, itu adalah akad yang haram. Maksudnya bila kesepakatan itu memungkinkan dalam perjalanannya untuk
dirubahnya harga menjadi naik atau turun. Misalnya, bila bila masa pelunasan bisa lebih cepat, maka mark-upnya lebih
sedikit tapi bila masa pelunasannya lebih lama, maka mark- upnya lebih banyak lagi. Ini adalah kesepakatan yang
diharamkan bila dilakukan dalam masa pelunasan.
Jadi yang harus ditentukan adalah harga yang pasti sejak awal dan tidak dirubah-rubah lagi selama masa pelunasannya.
Kebutuhan Pada Jenis Transaksi ini
Adanya jenis trnasaksi ini di dalam Islam tentu memberikan banyak keringanan dan kemudahan. Sebab tidak semua orang
mampu membeli barang kebutuhan dengan sekali bayar. Pada barang kebutuhan itu memang sesuatu yang mutlak
diperlukan. Apalagi para pegawai yang penghasilannya terbatas. Tidak mungkin bisa dapat membeli barang
kebutuhan hidupnya seperti rumah, kendaraan atau perabot
157
rumah tangga yang harga berkali-kali lipat dari gaji bulanannya.
Sebenarnya seseorang yang penghasilannya pas-pasan bisa saja menabung dan bersabar untuk tidak membeli barnag yang
harganya mahal itu secepatnya. Tetapi kita sekarang ini hidup di zaman yang serba cepat dan kebutuhan akan barang-barang
itu sedemikian penting. Sehingga kalau pun menabung, maka akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa
memilikinya. Apalagi tidak semua orang punya bakat untuk menabung, sebab ketika uang ada di tangan, seringkali orang
tergoda untuk membelanjakannya.
Di sisi lain, para penjual barang pun berusaha untuk membuat barangnya segera laku terjual. Sebab bila stok barang hanya
menumpuk di toko, maka kerugian sudah pasti terbayang. Maka lebih baik barnag bisa segera terjual meskipun
pembayarannya ditangguhkan. Itu jauh lebih baik ketimbang barang hanya menghiasi etalase tanpa ada yang kuat untuk
membelinya.
Jadi baik pembeli maupun penjual sama-sama punya kepentingan. Pembeli butuh barang segera tapi uangnya
kurang. Sedangkan penjual butuh barangnya segera laku meski pembayarannya tidak tunai. Dan jalan keluar dari semua itu
adalah Bai` Bits-Tsaman Ajil ini.
Aplikasi Bai` Bits-Tsaman Ajil Pada Bank Syariah Bai` Bits-Tsaman Ajil tidak hanya terbatas antara pembeli
dan penjual di pasar. Tetapi sebuah lembaga keuangan seperti bank pun bisa melakukan akad ini. Namun sebenarnya bank
hanya memiliki uang dan tidak memiliki barang. Maka bila ada seseorang yang ingin membeli barang, pihak bank tidak bisa
158
menyediakan barang itu. Pihak bank harus membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan pembeli. Idealnya, pihak bank
akan datang ke pasar dan membeli barang yang dibutuhkan lalu menjualnya kepada pembeli dengan mengambil
keuntungan harga.
Kita harus memahami bahwa bai` adalah akad mu`awadloh, yaitu tukar menukar barang dengan uang. Maka barang yang
dijual harus sudah menjadi milik sepenuhnya pihak penjual. Dalam istilah fiqih dikenal dengan sebutan milkiyyah
tammah.Bank berposisi sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
Namun dalam prakteknya, untuk pengadaan barang, pihak penjual bank akan kerepotan bila harus bolak bali ke pasar
untuk membeli barang. Sehingga untuk mudah dan efisiennya, pihak bank bisa mewakilkan pembelian barang dari pasar
kepada calon pembelinya dengan akad wakalah atau ijaroh dengan konsekwensi hukum masing-masing.
Akad wakalah maksudnya adalah pihak bank mewakilkan pembeli untuk membeli barang. Atau lebih mudahnya bank
minta tolong kepada pembli untuk membelikan barang. Namun kepemilikan barang itu ketika dibeli adalah jelas milik
bank. Si pembeli hanya dititipi saja untuk membeli barang. Dan pihak bank yang sesungguhnya menjadi penjual harus
mengecek dan yakin bahwa barang yang akan dijual benar- benar telah dibeli. Salah satunya misalnya dengan ditunjukkan
faktur pembelian oleh pembeli yang dititip untuk membeli. Hal ini untuk menghindari kemungkinan barang tidak dibeli
dengan uang tersebut sehingga menjadi pinjaman uang dengan pengembalian lebih.
159
Resiko yang terjadi dalam proses pengadaan barang, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual, bukan resiko
calon pembeli. Sebab mulai berlakunya akad jual-beli adalah ketika barang itu sudah diterima oleh pihak pembeli dalam
keadaan selamat. Sehingga dalam praktek BBA harus ada dua akad yaitu :
1. Akad Wakalah : antara bank dengan nasabah.