Profil Masyarakat Desa Ngeposari

A. Profil Masyarakat Desa Ngeposari

1. Kondisi Geografis

Penelitian ini dilakukan di Desa Ngeposari Kecamatan Semanu Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara administratif Desa Ngeposari termasuk wilayah Kecamatan Semanu Kabupaten Daerah Tingkat II Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Ngeposari ini berada di 186 mdl dari permukaan

laut dengan suhu rata-rata 24 0 - 32 0 . Tinggi curah hujan 2.200Mm dengan jumlah bulan hujan 6 bulan. Secar orbitrasi Desa Ngeposari ini jarak dari kota kecamatan ada 2 km, dari kota kabupaten 9 Km. Desa Ngeposari secara administratif berdampingan atau dibatasi oleh desa atau kelurahan yang lain adapun batas-batas wilayahnya adalah:

Tabel 1 : Batas wilayah Desa Ngeposari. Batas Wilayah

Desa/Kelurahan

Karangmojo Timur

Sumber : Data monografi Kelurahan Desa Ngeposari Tahun 2012

RT an 5 RW. Garis besar tata guna lahan desa Ngeposari dibagi menjadi tiga bagian yaitu sawah, tanah kering (pemukiman) dan prasarana umum. Pembagian tataguna lahan desa Ngeposari secara jelas dapat kita lihat pada tabel berikut:

Tabel 2 : Penggunaan lahan Desa Ngeposari.

NO TATA GUNA LAHAN

LUAS LAHAN (Ha)

3 Prasarana umum

100 Sumber: Data monografi Desa Ngeposari Tahun 2012

2. Kondisi Demografis

Desa Ngeposari memiliki jumlah penduduk 9.402 jiwa yang terdiri dari 4.473 laki-laki dan 4.929 perempuan.

a. Komposisi Penduduk menurut Usia

Penduduk Desa Ngeposari sesuai dengan usia sesuai dengan data monografi tahun 2012 dapat disajikan pada tabel berikut :

No

Usia (Th)

Jumlah (Jiwa)

Sumber: Data monografi Desa Ngeposari Tahun 2012

b. Komposisi Penduduk menurut Tingkat Pendidikan

Berdasarkan catatan yang terdapat dalam profil Desa Ngeposari tahun 2012, tingkat pendidikan yang terdapat di Desa Ngeposari sebagai berikut : 1.) Jumlah penduduk tidak tamat SD/sederajat

: 2037 orang 2.) Jumlah penduduk tamat SD/sederajat

: 3726 orang 3.) Jumlah penduduk tamat SLTP/sederajat

: 1983 orang 4.) Jumlah penduduk tamat SLTA/sederajat

: 1120 orang 5.) Jumlah penduduk tamat D-1

: 47 orang 6.) Jumlah penduduk tamat D-2

: 52 orang 7.) Jumlah penduduk tamat D-3

: 39 orang 8.) Jumlah penduduk tamat S-1

: 19 orang 9.)

Jumlah penduduk tamat S-2 : 19 orang

Penduduk yang dimaksud disini adalah penduduk yang sudah bekerja, yaitu berusia 17 tahun keatas. Komposisi penduduk menurut mata pencaharian dapat digunakan untuk mengetahui jenis mata pencaharian penduduk dominan, perbandingan antara jumlah penduduk yang bermata pencaharian tertentu dengan yang bermata pencaharian lainya, serta gambaran struktur ekonomi daerah.

Bentuk mata pencaharian yang dilakukan oleh masayarakat desa Ngeposari adalah petani, nelayan, pengusaha, buruh, pedagang, pengangkutan dan pegawai negeri.

Mata pencaharian yang paling dominan di desa Ngeposari adalah : petani. Berikut ini disajikan tabel komposisi penduduk menurut mata pencaharian.

Tabel 4 : Komposisi penduduk menurut mata pencaharian desa Ngeposari.

No

Mata Pencaharian

Jumlah Jiwa

1 Petani

2 Buruh tani

6 Pembantu Rumah Tangga

7 TNI & Polri

Sumber : Data monografi Desa Ngeposari Tahun 2012 Sumber : Data monografi Desa Ngeposari Tahun 2012

Sarana pendidikan merupakan unsur yang terpenting guna menunjang kemajuan dan perkembangan bagi suatu daerah, karena hal tersebut sangat berhubungan erat dengan sikap tingkah laku masyarakat di suatu daerah. Sarana pendidikan yang memadai akan memungkinkan perkembangan masyarakat dan budaya semakin baik. Tingkat pendidikan yang tinggi maka akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga dapat membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih maju.

Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor desa Ngeposari setempat dapat diketahui tingkat pendidikan penduduk desa Ngeposari pada akhir tahun 2012 masih terbilang rendah walau sudah ada yang lulus perguruan tinggi. Angka tertinggi menunjukan penduduk yang berlulusan SD yaitu 3,726 jiwa. Penduduk yang lulus perguruan tinggi atau tingkat akademi hanya 176 jiwa .

Masyarakat Desa Ngeposari karena mempunyai pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki mereka rendah, maka secara tidak langsung masyarakat petani hanya mampu melanjutkan dan meniru apa yang telah dilakukan oleh orang terdahulu.

b. Agama dan Kepercayaan

Masyarakat desa Ngeposari sebagian besar penduduknya beragama Islam, di samping ada juga yang secara taat dan patuh memeluk agama Masyarakat desa Ngeposari sebagian besar penduduknya beragama Islam, di samping ada juga yang secara taat dan patuh memeluk agama

Tabel 5 : Jumlah Pemeluk Agama desa Ngeposari.

Agama

Jumlah (orang)

Sumber: Data monografi Desa Ngeposari Tahun 2012

Disamping itu juga terdapat tempat-tempat peribadatan yang dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 6 : Jumlah Sarana Peribadatan desa Ngeposari.

Sarana Peribadatan

Sumber: Data monografi Desa Ngeposari Tahun 2012

Pemeluk agama yang terdapat di desa Ngeposari pada umunya termasuk ke dalam golongan yang taat dalam menjalankan kehidupan agama, baik Islam maupun Kristen. Sejumlah pemeluk agama Islam Pemeluk agama yang terdapat di desa Ngeposari pada umunya termasuk ke dalam golongan yang taat dalam menjalankan kehidupan agama, baik Islam maupun Kristen. Sejumlah pemeluk agama Islam

Masyarakat desa Ngeposari masih berpegang pada kejawen, yang masih menghormati kepercayaan asli yang tumbuh dalam masyarakat. Kepercayaan asli tersebut berupa sistem religi animisme dan dinamisme, yang merupakan inti dasar tradisi kebudayaan Jawa yang asli dijelmakan dalam bentuk penyembahan roh nenek moyang. Sistem religi animisme dan dinamisme ini telah mengakar dalam alam pikiran dan tradisi suku bangsa Jawa sejak belum masuknya pengaruh Hindu dan Budha.

Masyarakat desa Ngeposari masih menghormati dan percaya terhadap mahkluk halus, kekuatan gaib, kekuatan sakti dan lain sebagainya. Kepercayaan yang berkembang didalam masyarakat desa Ngeposari selain percaya kepada roh nenek moyang juga percaya terhadapa roh - roh lain atau roh danyang penunggu suatu tempat. Kepercayaan adat-istiadat dan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka masih merupakan hal utama dalam kehidupan mereka.

Budaya ini selalu berupaya agar dapat menyatu secara utuh dengan keadaan dan tempat. Umumnya tradisi Jawa tidak bersifat homogen, setidaknya dapat terbagi menjadi tradisi budaya Jawa pesisiran dan daerah pegunungan atau daerah yang jauh dari pesisir. Dan tradisi budaya Jawa tidak bersifat tetap tetapi selalu mengalami perubahan sesuai dengan perjalanan jaman. Tradisi budaya Jawa juga bersifat adaptif, dan tebal rasa mawas diri. Budaya Jawa yang mengandung tradisi memuat, atau menampung menjadikan beraneka ragam tradisi spiritual yang ada mudah menyatu secara utuh dengan budaya lain.

Kebudayaan Jawa juga bersifat evolusif, sesuai dengan sifat orang Jawa yang selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan lingkungannya. Oleh karena itu, tradisi budaya sepertinya tidak mengalami perubahan. Padahal bisa diperhatikan secara seksama, nyatanya setiap tradisi budaya pasti mengalami perubahan, sesuai dengan filosofi orang Jawa “alon-alon waton kelakon ” (pelan-pelan asal tercapai tujuan). Perubahan yang terjadi sepertinya tidak terasa dan tidak diketahui oleh warga pada tata kehidupan yang masih memakai tradisi budaya tersebut.

Kepercayaan terhadap penunggu suatu tempat seperti gua berkembang, mayoritas penduduk desa memeluk agama Islam kejawen atau agama Jawa. Hal ini disebabkan oleh keyakinan masyarakat bahwa keselamatan terhadap desanya juga disebabkan oleh bantuan dari penunggu

Islam santri atau ekstrim semua itu dianggap Musrik. Masyarakat desa Ngeposari pada khususnya, dalam hal ini turut serta dalam segala ritual yang dilakukan guna menjaga keselamtan dirinya dan desanya.

Masyarakat Ngeposari melakukan tradisi nenek moyang seperti rasulan dan mengikuti tata cara yang selalu dilakukan setiap tahunnya tetap dilaksanakan, maka mereka pada khususnya dan masyarakat Ngeposari pada umumnya akan dijaga keselamatanya serta diberi rizki yang melimpah. Adat-istiadat atau tradisi yang masih sering dilakukan oleh masyarakat Ngeposari antara lain : Bersih gua, Rasulan, nyadran dan kirim doa dan lain sebagainya.

Upacara - upacara adat istiadat masyarakat Ngeposari mengadakan upacara Rasulan di gua Jlamprong pada setiap tahunnya yang tujuanya untuk mendoakan arwah para leluhur serta sungkem kepada arwah Gus bandol dan Jlamprong yang selama ini dipercaya telah menjaga masyarakat Ngeposari dari segala bentuk marabahaya. Masyarakat Ngeposari selama ini masih masih melakukan berbagai ritual rasulan ini karena merupakan warisan nenek moyangnya. Masyarakat Ngeposari juga menganggap bahwa upacara-upacara yang mereka lakukan mengandung maksud untuk membina kerukunan antar anggota masyarakat.

Cerita rakyat Gua Jlamprong yang ada di Desa Ngeposari ini merupakan cerita rakyat yang hingga kini masih berkembang di masyarakat. Saat ini cerita rakyat Gua Jlamprong ini terbagi menjadi dua versi yaitu versi lesan dan versi tertulis. Versi lesan cerita rakyat Gua Jlamprong ini diceritakan langsung oleh Mbah Harjo sebagai juru kunci Gua Jlamprong dan versi tertulisnya dibuat oleh pemerintahan desa Ngeposari sebagai dasar panduan wisata. Kedua versi cerita rakyat tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan namun secara inti dasar cerita lebih detail untuk versi lisannya. Pada versi lisan hanya lebih menekankan pada cerita asal-usul gua Jlamprong dan pada versi tertulisnya menceritakan secara lengkap mulai dari awal mulanya daerah dan juga asal-usul gua Jlamprong.

1. Versi Lisan

Cerita lisan yaitu tradisi lisan yang berupa kisah bentuk cerita prosa rakyat atau cerita yang merakyat. Prosa rakyat yang mudah diingat oleh pemiliknya. Terutama tokoh-tokoh penting yang sering menjadi idola. Tidak sedikit prosa rakyat yang dijadikan sebagai pedoman penting dalam aneka kegiatan ritual.

Versi lisan cerita rakyat Gua Jlamprong yang berasal dari Desa Ngeposari Kecamatan Semanu Kabupaten Gunung Kidul yang mengisahkan tentang asal mula gua yang dulunya ditunggu oleh harimau putih.

Gua tersebut dinamakan Gua Jlamprong, konon nama tersebut berasal dari nama harimau yang menunggu gua. Harimau tersebut merupakan keturunan dari

karena yang berada di gua adalah macan yang bernama Jlamprong. Dahulu bukan bernama Gua Jlamprong, melainkan Lebuh-Luweng. Kalau orang sekitar menyebut gua dengan istilah luweng. namun saat ini berhubung sudah modern maka nama gua itu sekarang menggunakan Gua Jlamprong, yang tadinya luweng Lebuh. Mulanya, Gua Lebuh dahulu merupakan tempat penyimpanan barang2 dari Semuluh (hak milik orang Semuluh) yang disimpan di tempat itu. Pada jaman dahulu (jaman brandal) ketika jaman Belanda, Tempat itu perkuburan/pemakaman bernama Alas Landa. Alas berarti hutan, istilahnya perkebunan. Landa berasal dari orang Belanda, Landa yang ingin mengambil merampas barang dan makanan orang Semuluh itu lari terbirit-birit karena ditemui kalajengking dan kelabang. Kelabang itu sebesar batang kelapa, kelabang itu menghadang di gua itu. Orang Belanda yang berani nekat pasti diserang hingga mati di situ, digigit kelabang. Oleh karena itu diberi nama Alas Landa, sedangkan kalajengking itu sebesar batang pisang. itulah cerita orang tua jaman dahulu.

Hingga pada suatu hari Jlamprong berburu ke hutan kemudian ia mencari sasaran hewan lain yang akan menjadi santapannya. Dapatlah ia seekor mangsa lalu memakannya, namun disaat ia memakan mangsa hasil buruannya, mulutnya tertusuk tulang dan tidak bisa dikeluarkan. Harimau tersebut hanya bisa meraung- raung kesakitan. Jlamprong bertemu dengan Mbah Bodho, Mbah Bodho ingin menolong harimau namun rasa takut menghinggapi diri Mbah Bodho. Dengan

mengambil tulang yang menancap di mulut sang harimau tersebut. Akhirnya tulang tersebut dapat diambil dan si harimau sangat berterima kasih karena telah ditolong. Harimau tersebut berjanji akan membalas budi karena telah terlepas dari maut yang mengancam jiwanya. Sehingga setiap saat datang ia membawakan binatang hasil buruannya, tidak hanya itu harimau tersebut sangat menurut dengan Mbah Bodho. Setiap malam pada saat panen ketela harimau tersebut selalu setia menemani Mbah Bodho di dekat perapian yang dibuat dari kumpulan kotoran hewan untuk menunggu hasil tanaman yang akan dipanen Mbah Bodho. Karena saking setianya maka harimau tersebut diberi kalung Gentha sebagai tanda kasih sayang karena telah sering membantu manusia terutama penduduk sekitar padukuhan Mojo. Maka untuk mengenang budi baik harimau tersebut, dimana hewan yang buas namun tetap baik budinya dengan sering menolong penduduk, sampai sekarangpun masyarakat sekitar Padukuhan Mojo masih percaya kalau Jlamprong masih melindungi mereka. Maka gua tempat tinggal harimau tersebut dinamakan Gua Jlamprong. karena letaknya yang dibawah dan di ketiga mulut guanya ditumbuhi pepohonan yang rindang membuat udara disekitar gua menjadi sejuk sampai menusuk ke hati.

Gua Jlamprong sendiri merupakan kebanggaan masyarakat Kelurahan Ngeposari khususnya Padukuhan Mojo. Ketika perang antara Majapahit dan Demak yaitu perang antara ayah dan anak. Kekalahan Kerajaan Majapahit menyebabkan kekuasaan berpindah ke Kerajaan Demak, sehingga sang ayah Gua Jlamprong sendiri merupakan kebanggaan masyarakat Kelurahan Ngeposari khususnya Padukuhan Mojo. Ketika perang antara Majapahit dan Demak yaitu perang antara ayah dan anak. Kekalahan Kerajaan Majapahit menyebabkan kekuasaan berpindah ke Kerajaan Demak, sehingga sang ayah

Prajurit Majapahit, Gus Bandhol bersama dengan rekannya Gus Kartijo dan Gus Kartiman sampailah pada suatu tempat yang banyak terdapat pohon mojo, maka daerah tersebut Dinamakan Padukuhan Mojo. Selain itu juga Eyang Kramawati. Oleh karena itu, meskipun Majapahit membawa nama harum negara tetapi bekas keraton Majapahit tidak ada, karena Majapahit berontak. Pada jaman itu, orang-orang yang mempunyai kelebihan pergi mengembara mencari keselamatan. Berhubung mereka dapat hidup di alam gaib dan sudah merasakan enak serta nyaman sehingga dapat menghilang kecuali bertemu dengan orang- orang tertentu. Adapun air yang mengaliri Gua Jlamprong adalah Sumber Kecemut, tatkala jaman dahulu ketika belum maju, di tempat ini jarang air. Suatu ketika diadakan sayembara siapa yang pertama dapat menerjang sumber air “tuk” yang dahulu berada di dalam belikan maka akan ditanggapkan Janggrung. Tayub tersebut diutus untuk menari bersama orang yang pertama kali menemukan sumber air.

Di daerah ini Gus Bandhol beserta para prajurit lainnya menyatu dengan rakyat, mereka banyak memberi bimbingan pada para kawula di bidang pertanian sehingga sampai saat ini walaupun Gunung Kidul terkenal daerah yang gersang namun masih bisa untuk bercocok tanam, selain itu mereka juga mengajarkan seni dan kebudayaan antara lain yaitu seni ukir batu ornamen yang hingga sampai saat Di daerah ini Gus Bandhol beserta para prajurit lainnya menyatu dengan rakyat, mereka banyak memberi bimbingan pada para kawula di bidang pertanian sehingga sampai saat ini walaupun Gunung Kidul terkenal daerah yang gersang namun masih bisa untuk bercocok tanam, selain itu mereka juga mengajarkan seni dan kebudayaan antara lain yaitu seni ukir batu ornamen yang hingga sampai saat

Gus Bandhol dan dan beberapa pengikut Sang Prabu yang terpesona dengan keindahan alam Gua Jlamprong tinggal disitu untuk bersemedi hingga muksa atau jasadnya hilang tanpa bekas. Sebelum kepergiannya beliau sempat berpesan “ Papan kang suci iki ora kena dileboni wanita kang lagi sesuker, apa maneh kanggo tumindak kang murang susila ” maksud dari pesan tersebut yaitu tempat tersebut tidak boleh dimasuki wanita yang sedang menstruasi serta tidak boleh untuk berbuat yang tidak senonoh. Hingga saat ini arwah dari Gus Bandhol dipercaya masih berada di dalam Gua Jlamprong dan Jlamprong menjadi piaraannya yang akan selalu melindungi masyarakat sekitar. Mengingat kebaikan budi dari Gus Bandhol dan para prajurit maka sampai saat ini masyarakat sekitar masih mengenangnya dengan memberi sesaji dan membersihkan Gua yang menjadi tempat tinggal Jlamprong dan sekitar tempat Gus Bandhol bertapa hingga muksa.

3. Versi Tertulis

Cerita versi tertulis ini mendasarkan pada sumber-sumber cerita yang menyusun cerita secara turun menurun menjadi sebuah tulisan untuk digunakan sebagai panduan bagi para pengunjung yang ingin datang melihat gua Jlamprong untuk berwisata. Cerita yang berada didalamnya tidak berbeda jauh dengan cerita Cerita versi tertulis ini mendasarkan pada sumber-sumber cerita yang menyusun cerita secara turun menurun menjadi sebuah tulisan untuk digunakan sebagai panduan bagi para pengunjung yang ingin datang melihat gua Jlamprong untuk berwisata. Cerita yang berada didalamnya tidak berbeda jauh dengan cerita

keluarga dan pada abdi dalem yang tidak mau tunduk ke Demak dan tetap setia kepada sang Prabu , menyingkir ke Gunungsewu sesuai dengan sasmito gaib yang diterimanya.

Putra dalem dan para pendherek setia antara lain : P. Bondan Kejawen bersama istrinya Nyai Nawangwulan, Pangeran Buntaran, Pangerran Buntoro, Pangeran Buntar Lapangan, patih Kudo Panelih dan Kudi Rerangin yang kemudian berganti nama : Jugul dan Mudo, Senopati wanita Nyai Gadung Mlathi bersama suaminya Rono Joyo, Empu Subandriyo yang lebih dikenal dengan Empu Jenggot, Empu Dempul, Kyai Gusti, Bagus Ndorowati, Nyai Kromowati, Gus Bandhol, Janur Wendo dan lain-lain.

Sesampainya didekat kadipaten Glinggang, sempat dicegat dan dikepung orang-orang kadipaten yang tidak mengetahui siapa yang datang. Saat dikepung (dikalang-kalang) tiba-tiba ada angin menerpa dengan memancarkan bau wangi/harum semerbak, maka tempat tersebut disebut Kalangbangi sebagai suatu kenangan pada waktu dikepung dikalang-kalang tiba-tiba ada angin menerpa dengan bau wangi.

Di pinggir sungai di bawah pohon Ingas dan Jambu Klampok rombongan beristirahat, sementara ada penderek yang melaksanakan semedi di bawah pohon nangkayang tidak jauh dari Kalangbangi, namun terjadilah hal-hal yang aneh dan di Di pinggir sungai di bawah pohon Ingas dan Jambu Klampok rombongan beristirahat, sementara ada penderek yang melaksanakan semedi di bawah pohon nangkayang tidak jauh dari Kalangbangi, namun terjadilah hal-hal yang aneh dan di

Dekat Kadipaten Glinggang do sebelah Timur terdapat pohon-pohon besar namun mengapa tidak dimanfaatkan untuk perabotan rumah, sebagian warga menjawab “biarlah tumbuh subur/lemu”. sebagai kenangan, maka tempat tersebut

diberi nama Padukuhan Munggur sebagai ungkapan dari pohon-pohon lemu-lemu kok nganggur/tidak dimanfaatkan untuk perabotan rumah, konon cerita jaman dulu.

Kegembiraan para kawulo tiada tergambarkan setelah bertemu dengan Sang Prabu dan para Punggowo dari Majapahit karena bisa berdampingan manunggaling kawulo lan gusti, secara langsung dapat menimba ilmu tata cara bercocok tanam, beternak, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta mendapatkan tuntunan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Alam semesta.

Sementara ada pengikut yang bernama Kyai Gusti diperintahkan untuk mencari sumber mata air ke sebelah Timur, kurang lebih satu kilo meter dari Kalangbangi ditemukannya mata air tersebut yang sedang dipergunakan untuk bersuci para prajurit dari demak Bintoro. Karena tempat tersebut sebagai tempat bertemu antara prajurit Demak dengan Majapahit, maka dikenang dengan nama Temon dan sumber mata airnya disebut Sumber Temon.

Dekat sumber Temon terdapat bangunan masjid, kaena kurang mendapat respon dari kawulo Majapahit yang masih kental keyakinannya, maka Masjid tersebut Dekat sumber Temon terdapat bangunan masjid, kaena kurang mendapat respon dari kawulo Majapahit yang masih kental keyakinannya, maka Masjid tersebut

Perjalanan rombongan dari Majapahit dilanjutkan, kecuali Kudo panelih dan Kudo Rerangin yang tinggal fi Kalangbangi untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kebaikan hidup kepada para kawula. Tidak jauh dari sumber Temon terlihat ratusan burung cangak sedang mencari makan di ladang, untuk mengenang tempat ini maka disebutlah Cangakan yang sekarang dikenal dengan nama Padukuhan Gunungsari. Sesampainya di sebuah gunung kecil yang puncaknya tumbuh pohon sengon tekik yang besar dan terdapat gua alami yang didalamnya terdapat binatang tokok yang sedang berbunyi sangat keras dan nyaring, maka tempat tersebut diberi nama Gunung Tekik dan guanya dipergunakan untuk semedi mohon petunjuk Yang widi.

Agar rombongan tidak dicurigai untuk pergi berperang, maka sebagian senjata disimpan di tempat itu, dikubur sebagaimana mengubur jasad manusia dengan diberi nisan di atasnya kemudian ditinggalkan. Terbukti di lokasi ini banyak ditemukan benda-benda bertuah tersebut.

Perjalanan rombongan dilanjutkan ke arah selatan, tiba-tiba dikejutkan seorang penggembala yang sedang kebingungan mencari kerbaunya yang hilang di gunung yang bersebelahan dengan gunung tekik. Karena di gunung itu ada kerbau yang hilang, maka gunung tersebut dinamakan Gunung Bolang (kebo ilang).

diselimuti pohon-pohon besar yang lebat sehingga terkesan gelap walaupun di siang hari bolong. Di tengah kegelapan dan keremangan terlihat bayangan manusia yang sedang berjalan (kecumat-kecumut) mengambil air, maka sumber air tersebut diberi nama Sumber Kecemut berasal dari kata kecumat-kecumut.

Tempat yang indah dengan panorama yang mempesona, banyak para pengikut yang tertarik untuk tinggal di tempat ini diantaranya Bagus Ndarawati, Kramawati dan Kyai Dempol serta beberapa pengikut yang lain. Beliau banyak memberikan bimbingan kepada para kawulo di bidang pertanian, kesehatan, seni budaya dan lain- lain. Di samping memberikan bimbingan kepada para kawulo, beliau juga membuat perhiasan dari emas, sehingga tidak mustahil sampai saat ini banyak warga masyarakat yang menemukan butiran maupun potongan-potongan emas.

Karena teraliri darah seni budaya dari nenek moyang maka generasi muda sekarang terampil membuat ukir batu ornamen di pedukuhan Mojo dan sekitarnya yang penasarannya bisa merambah mancanegara.

Berbagai macam pusaka dan benda-benda purba seperti lonceng, bende serta berbagai jenis bebatuan banyak ditemukan warga masyarakat, hal ini merupakan bukti nyata bahwa tempat tersebut mempunyai nilai sejarah peninggalan nenek moyang.

Sebelah barat sumber kecemut banyak ditumbuhi pohon Mojo yang buahnya besar bulat sebesar buah kelapa namun rasanya sangat pahit. sebagai kenangan maka

Majapahit. Sebelah selatan Padukuhan Mojo adalah Padukuhan Semuluh. Nama Padukuhan ini untuk mengenang seorang wanita pertapa yang telah nyingkur ing kadunyan bernama Nyai Muluh. Nyai Muluh adalah adik Kyai Temon yang teguh hatinya tidak m au bergabung kakaknya menjadi satu di Padukuhan Temon, walaupun sumber air kecemut yang tadinya mengalir sampai wilayah Semuluh dibuntu sehingga tidak bisa mengalir, sedangkan jarak dari Semuluh ke sumber Kecemut ± 1,5 km Nyai mUluh sampai akhir hayatnya tidak menikah (Nyingkuring Kadunyan) Katungkul mesu budi anggagang aking amrih mulyo uripe ing jaman kelanggengan ing tembe, setelah meninggal dunia beliau dimakamkan didekat tempat bersemedi tepatnya sebelah timur Padukuhan Semuluh sampai saat ini banyak warga masyarakat ziarah ke tempat/makam beliau.

Kurang lebih 500 meter sebelah timur laut makan Nyai mUluh terdapat gua yang indah dengan panorama yang mempesona udara sejuk menusuk kalbu karena di mulut gua terdapat pohon-pohon besar dan rindang serta dihiasi batu-batu alam menganggumkan, gua tersebut oleh masyarakat dikenal dengan nama gua Labuh yang berarti tempat pembuangan, dan sekarang terkenal dengan nama Gua Jlamprong yaitu sebuah nama dari seekor harimau keturunan harimau putih bernama kyai Kepek penghuni gua tersebut. Jlamprong adalah binatang buas namun baik budinya, tidak menganggu manusia bahkan suka membantu dan sangat bersahabat sering memberikan binatang hasil buruan yang didapatnya. konon ceritanya harimau ini Kurang lebih 500 meter sebelah timur laut makan Nyai mUluh terdapat gua yang indah dengan panorama yang mempesona udara sejuk menusuk kalbu karena di mulut gua terdapat pohon-pohon besar dan rindang serta dihiasi batu-batu alam menganggumkan, gua tersebut oleh masyarakat dikenal dengan nama gua Labuh yang berarti tempat pembuangan, dan sekarang terkenal dengan nama Gua Jlamprong yaitu sebuah nama dari seekor harimau keturunan harimau putih bernama kyai Kepek penghuni gua tersebut. Jlamprong adalah binatang buas namun baik budinya, tidak menganggu manusia bahkan suka membantu dan sangat bersahabat sering memberikan binatang hasil buruan yang didapatnya. konon ceritanya harimau ini

Gua Jlamprong memiliki tiga mulut gua yang bergandengan sangat bagus untuk meditasi atau semedi, tempat-tempat meditasi masih lestari sampai sekarang bahkan juga dimanfaatkan oleh warga yang memerlukan. Ibarat dalam cerita wayang, Raden ontoseno bisa ngambah sajroning bumi, hal ini pun bisa kita laksanakan, yaitu berada dalam bumi memasuki/menelusuri lorong gua sejauh ± 1 km dengan jarak tempuh ± 2 jam perjalanan. dengan penerangan lampu baterai atau obor di dalam gua yang cukup luas ini kita akan mengagumi kebesaran Sang Pencipta alam, serta kita dapat introspeksi bahwa kita termasuk makhluk yang kecil dan lemah.

Ketiga mulut gua yang bergandengan itu bernama gua Gesing yang bermakna nggegesing ati yaitu merasa kecil, ringkih, tak berdaya, nelongso tanpa doyo dibanding kekuasaan Sang Pencipta.

Kedua Gua Jlamprong sebagaimana uraian di atas, dan ketiga gua Sinden yaitu sewaktu memasuki gua tersebut, kaum wanita saat itu pasti bernyanyi melantunkan lagu-lagu atau gending bagaikan waranggana atau sinden. Gua Bandol, pengikut Sang parbu yang masih bujangan pada saat itu sangat terkesan dan terpesona melihat keindahan alam di Gua Jlamprong, sehingga bersama-sama temannya Kedua Gua Jlamprong sebagaimana uraian di atas, dan ketiga gua Sinden yaitu sewaktu memasuki gua tersebut, kaum wanita saat itu pasti bernyanyi melantunkan lagu-lagu atau gending bagaikan waranggana atau sinden. Gua Bandol, pengikut Sang parbu yang masih bujangan pada saat itu sangat terkesan dan terpesona melihat keindahan alam di Gua Jlamprong, sehingga bersama-sama temannya

Perjalanan pengikuti Sang Prabu menuju ke arah barat daya, kurang lebih 2 km dari gua Jlamprong, ditemuinya sebuah mata air yang cukup deras, ibarat sungai sepanjang 25 meter kemudian air masuk lagi ke dalam gua. Di kanan kiri sungai terdapat gua yang indah dengan sekat-sekat batu alam ibarat sebuah kamar antik bersebelahan dengan sungai yang timbul dari kaki gunung yang menjulang tinggui, serta dinaungi berbagai macam pohon yang rindang menghempaskan angin segar menusuk kalbu, maka Bondan Kejawen bersama isteri tercintanya berkenan menempati di sini untuk mensucikan diri, dimanfaatkannya sungai sebagai tempat pemandian dan kamar gua sebagai tempat beristirahat dan bersemedi. Cukup lama beliau beserta sebagian pengikutnya menempat disini dan memerintahkan Empu Supandriyo atau dikenal dengan Empu jenggot untuk membuiat pusaka di puncak gunung Ngreneng. Warga masyarakat sangat yakin bahwa tempat ini sebagai tapak tilas dari Bondan Kejawen dan Nawang Wulan serta Gunung Ngreneng sebagai tempat pembuatan pusaka dengan bukti kuat dan saksi bisu bekas umpak dan basalan tempat pembuatan pusaka masih ditemukan.

Untuk mengenang tempat ini diberilah nama Ngreneng dari ungkapan kata Ngresiki Rogo Kanthi Enenging Cipto yang mensucikan diri dari segala pengaruh

Alam semesta. Pada hari-hari tertentu banyak warga datang ke tempat ini untuk melaksanakan ritual dengan berbagai macam tujuan, dengan mandi kungkum maupun bentuk lain seperti mengambil air yang diyakini akan meluluskan tujuan hidupnya.

Setiap tahun tepatnya pada hari kamis Kliwon bulan Besar (Dzulhijah) selalu dilaksanakan upacara ritual (bersih) di lokasi Ngreneng dengan rangkaian pentas seni tayub yang tidak bisa ditinggalkan dan masih kental diyakini dan dilaksanakan oleh masyarakat Padukuhan Weduutan.

Padukuhan wediutan diambil dari sebuah legenda jaman dahuly ada seseorang yang sedang mengangkut pasir/wedi dipikul dengan menggunakan batang kayu kelor, untuk membuat candi.

Sampai i suatu tempat, kayu yang diperghunakan untuk memikul wedi/pasir itu putus dan pasinya sebagian terlempar dan tumpah di tempat itu sehingga diabadikan dengan nama Wediutah (pasir tumpah) dan yang sebagian tumpah sampai daerah wedi Klaten, sedangkan tempat kayu pikulan putus disebut padukuhan Kelor wilayah Karangmojo.

Setelah dianggap cukup melaksanakan bimbingan kepada para kawulo di berbagai bidang kehidupan serta tata cara pendekatan diri kepada Sang pencipta, sesuai dengan petunjuk gaib yang diterimanya Bondan Kejawen bersama istirinya dan sebagian para penderek melanjutkan perjalanan menyusul ayah handanya di Ngobaran panta selatan wilayah Kecamatan Panggang. Untuk menunggu tempat

Nyai Gandrunglati dan kawan-kawan, guna menjaga kelestarian alam serta bimbingan kepada para kawulo.

4. Suntingan Teks

Berdasarkan berbagai versi cerita di atas maka dapat disimpulkan suntingan cerita berdasarkan teks yang ada yaitu : Gua Jlamprong yang berada di Desa Ngeposari Kecamatan Semanu Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta adalah sebuag gua yang dulunya adalah ditunggu oleh seekor keturunan harimau putih yang bernama kyai Kepek yang merupakan penjelmaan dari Janaka (bagi wayang purwa). ketika Janaka bernama Arjuna, dia menjelma sebagai Matengga.

Pada suatu hari harimau putih yang bernama Jlamprong tersebut pergi ke hutan untuk mencari mangsa hewan hutan tapi sial setelah mendapatkan mangsa dan memakannya Jlamprong justru malah tertusuk tulang hewan tersebut hingga harimau tersebut kesakitan dan terus menerus meraung-raung. Lalu Jlamprong berjalan terus sambil meraung-raung hingga ke suatu desa bertemu dengan Mbah Bodho yang memiliki kebun di atas gua. Melihat Jlamprong yang meraung dan terus kesakitan maka Mbah Bodho sambil ketakutan mencoba untuk memberanikan diri menolong Jlamprong. Akhirnya tulang dapat dikeluarkan Mbah Bodho dari mulut harimau tadi hingga harimau itu merasa bisa keluar dari penderita dan jua lepas dari maut yang mengancam jiwanya.

Bodho hingga setiap hari sejak saat itu harimau Jlamprong selalu menemani Mbah Bodho menjaga hasil panen yang ditaruh di dalam gua. Karena saking setianya maka harimau tersebut diberi kalung Gentha sebagai tanda kasih sayang karena telah sering membantu manusia terutama penduduk sekitar padukuhan Mojo. Maka untuk mengenang budi baik harimau tersebut, dimana hewan yang buas namun tetap baik budinya dengan sering menolong penduduk. Sampai sekarangpun masyarakat sekitar Padukuhan Mojo masih percaya kalau Jlamprong masih melindungi mereka maka gua tempat tinggal harimau tersebut dinamakan Gua Jlamprong.

Gua Jlamprong oleh masyarakat mulai lebih tahu tentang gua sejak adanya kedatangan tentara Majapahit yang datang untuk sasmito gaib di gua tersebut. Tentara Majapahit itu datang setelah Majapahit kalah perang dengan kerajaan Demak hingga kemudian Majapahit dikuasai oleh Demak, lalu prabu Brawijaya V dan prajuritnya ke Jawa untuk sasmito gaib. Tiga orang tentara Majapahit yaitu Gus Bandhol, Gus Kartijo dan Gus Kartiman sampai di desa Mojo nama. Kemudian Gus Bandhol dan teman-temannya menyatu dengan rakyat, dan memberi bimbingan pada para kawula di bidang pertanian, sehingga sampai saat ini walaupun Gunung Kidul terkenal daerah yang gersang namun masih dapat digunakan untuk bercocok tanam. Selain itu mereka juga mengajarkan seni dan kebudayaan antara lain seni ukir batu ornamen yang hingga sekarang masih dilestarikan oleh penduduk Ngeposari bahkan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. Karena teraliri darah seni dari Gua Jlamprong oleh masyarakat mulai lebih tahu tentang gua sejak adanya kedatangan tentara Majapahit yang datang untuk sasmito gaib di gua tersebut. Tentara Majapahit itu datang setelah Majapahit kalah perang dengan kerajaan Demak hingga kemudian Majapahit dikuasai oleh Demak, lalu prabu Brawijaya V dan prajuritnya ke Jawa untuk sasmito gaib. Tiga orang tentara Majapahit yaitu Gus Bandhol, Gus Kartijo dan Gus Kartiman sampai di desa Mojo nama. Kemudian Gus Bandhol dan teman-temannya menyatu dengan rakyat, dan memberi bimbingan pada para kawula di bidang pertanian, sehingga sampai saat ini walaupun Gunung Kidul terkenal daerah yang gersang namun masih dapat digunakan untuk bercocok tanam. Selain itu mereka juga mengajarkan seni dan kebudayaan antara lain seni ukir batu ornamen yang hingga sekarang masih dilestarikan oleh penduduk Ngeposari bahkan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. Karena teraliri darah seni dari

Ketiganya selalu melakukan pertapa di gua Jlamprong hingga akhirnya ketiganya muksa jasadnya tidak ditemukan hingga sekarang dipercaya masyarakat bahwa ketiganya masih ada di dalam gua tersebut untuk melindungi masyarakat sekitar. Gus Bandhol dan ketiga rekannya itu dipercaya masih tinggal di gua tersebut bersama harimau putih yang bernama Jlamprong dan mereka bersama menunggu gua dan selalu melindungi masyarakat di sekitarnya. Arwah Gus bandhol dan Jlamprong yang selama ini dipercaya telah menjaga masyarakat Ngeposari dari segala bentuk marabahaya. Masyarakat Ngeposari selama ini masih melakukan berbagai ritual, ini karena merupakan warisan nenek moyangnya. Masyarakat Ngeposari juga menganggap bahwa upacara-upacara yang mereka lakukan mengandung maksud untuk membina kerukunan antar anggota masyarakat.