Unsur Intrinsik Novel Raumanen

A. Unsur Intrinsik Novel Raumanen

Unsur intrinsik adalah segala sesuatu yang membentuk sebuah karya sastra dari dalam karya itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik novel Raumanen karya Marianne Katoppo yang dibahas meliputi alur, penokohan, latar, tema, dan amanat.

1. Alur

Novel Raumanen memiliki alur yang unik. Pada dasarnya, jalan cerita novel Raumanen adalah maju. Dimulai dengan menceritakan keadaan sekarang, namun pada tahap-tahap tertentu, cerita ditarik ke belakang, yakni pada masa 10 tahun sebelum kejadian tersebut. Penarikan cerita dari masa kini ke masa lalu tersebut tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, namun berkali-kali.

Ada tiga bagian cerita yang terpisah, yaitu bagian yang diberi judul Manen, kemudian bagian yang diberi judul Monang, selanjutnya cerita utama yang tidak berjudul, tetapi ditandai dengan coretan. Pembaca tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada tokoh utama tanpa membaca keseluruhan cerita dalam novel tersebut. Hal tersebut dikarenakan alurnya meloncat-loncat dan tidak saling berhubungan antara bab pertama dengan bab selanjutnya. Jadi pembaca baru akan mengetahui Ada tiga bagian cerita yang terpisah, yaitu bagian yang diberi judul Manen, kemudian bagian yang diberi judul Monang, selanjutnya cerita utama yang tidak berjudul, tetapi ditandai dengan coretan. Pembaca tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada tokoh utama tanpa membaca keseluruhan cerita dalam novel tersebut. Hal tersebut dikarenakan alurnya meloncat-loncat dan tidak saling berhubungan antara bab pertama dengan bab selanjutnya. Jadi pembaca baru akan mengetahui

Novel ini dimulai dengan bab yang berjudul Manen. Dalam bab ini dikisahkan keadaan Manen yang menderita akibat perbuatan yang dilakukan Monang. Tidak dikisahkan lebih lanjut tentang penderitaan apa yang dialami Manen, dan perbuatan apa yang dilakukan Monang. Pengungkapan keadaan tersebut lebih menonjolkan segi estetika bahasa, karena gaya penceritaan diungkapkan secara tidak langsung serta menggunakan ungkapan-ungkapan. Bab selanjutnya adalah bab yang berjudul Monang, yang menceritakan bagaimana kesedihan dan penyesalan yang dirasakan Monang di masa sekarang. Sama halnya dengan bab yang berjudul Manen, bab ini juga lebih menonjolkan estetika bahasa dan tidak mengungkap secara langsung penyesalan dan kekecewaan macam apa yang dihadapi Monang.

Rangsangan terhadap cerita sudah terjadi pada kedua bab yang mengawali novel ini. Rangsangan tersebut menarik rasa penasaran pembaca untuk mengetahui tentang apa yang terjadi pada tokoh-tokoh ini sepuluh tahun silam.

Bab selanjutnya adalah bab yang tidak berjudul, namun bertanda seperti tanda coretan garis-garis. Bab ini adalah awal mula kisah Manen dan Monang 10 tahun silam. Konflik belum tampak pada bab ini, karena masih berupa pemaparan dan perkenalan tokoh-tokohnya.

Cerita terus berlanjut hingga mulai timbul percikan-percikan yang memicu munculnya konflik. Kedekatan antara Manen dan Monang menumbuhkan perasaan suka di hati keduanya, dan hal ini yang menimbulkan konflik-konflik yang terjadi selanjutnya. Meski sudah sering diperingatkan oleh teman-temannya, Cerita terus berlanjut hingga mulai timbul percikan-percikan yang memicu munculnya konflik. Kedekatan antara Manen dan Monang menumbuhkan perasaan suka di hati keduanya, dan hal ini yang menimbulkan konflik-konflik yang terjadi selanjutnya. Meski sudah sering diperingatkan oleh teman-temannya,

melakukan hubungan badan di sebuah bungalo di Cibogo. “Apa yang terjadi sesudah itu seakan-akan suatu mimpi buruk bagi Manen. Siapa yang akan

dipersalahkannya? Penjaga bungalow, yang kebetulan sedang mencari kesempatan „ngobjek‟ di luar pengetahuan majikannya? Monang, yang begitu

mahir merayu? Dirinya sendiri yang tak sanggup bertahan.” (Katoppo, 2006: 63). Konflik terus berlanjut ketika Manen mengetahui dirinya hamil, namun Monang menyuruh Manen menggugurkan kandungan, karena belum siap bertanggung jawab. Hal itu dipicu karena keluarga Monang tidak setuju dengan hubungan Manen dan Monang.

“„Habis, bagaimana?‟ Tanya Monang tidak sabar. „tak usah begitu dramatis, Raumanen. Coba realitis dulu. Pikirkanlah, kau mau hidup dari apa nanti? Gajiku cuma 8000 rupiah sebulan, sangkamu kita bisa hidup dari gaji itu,

apalagi kalau sudah ada anak nanti? „aku harus berusaha berdamai dulu dengan keluargaku. Dan kalau sekarang kita terus mulai dengan

menyodorkan anak yang terlalu cepat lahir….sulit sekali.‟” (Katoppo, 2006: 122).

“„Tak pernah kusangka,‟ kata Manen pelan, putus asa. „Tak pernah terdugakan olehku bahwa inilah sifatmu yang sebenarnya. Kau cuma mau enaknya saya. Biar aku yang menderita batin, biar Philip melanggar sumpahnya, biar anakmu terbunuh. Asal kau luput dari semuanya itu. Luput

dari tanggung jawab...‟” (Katoppo, 2006 : 122).

Klimaks dari cerita ini adalah ketika Manen mengetahui kandungannya bermasalah karena terinfeksi sifilis. Hal itu diketahui ketika Manen memeriksakan

kandungannya kepada temannya yang bernama Philip. “Philip berdiri. Ia tak melihat pada Manen ketika dilanjutkannya, „Dengar, Manen. Anakmu takkan mungkin sehat. Wasserman test ternyata positif.‟” (Katoppo, 2006: 125).

Manen merasa terpukul atas kenyataan itu. Beban yang ditanggungnya sudah terasa berat, kini muncul masalah baru yang entah bagaimana untuk Manen merasa terpukul atas kenyataan itu. Beban yang ditanggungnya sudah terasa berat, kini muncul masalah baru yang entah bagaimana untuk

dikandungnya terlahir cacat pun muncul. “Tetapi kalau aku berjalan terus di jalan yang kini terpaksa ku tempuh… terpaksa kubunuh anakku yang tak bersalah. Kata

Philip anakku itu pasti akan cacat. Aku pernah belajar ilmu kesehatan di sekolah, dan aku tahu betapa ngerinya bentuk cacat yang disebabkan oleh penyakit sifilis keturunan.” (Katoppo, 2006 : 126).

Konflik mulai mereda ketika akhirnya Manen menyadari bahwa hubungannya dengan Monang tidak akan mungkin terus berlanjut. Ia mulai menyesali semua dosa yang dilakukannya selama ini. Dosa yang dilakukan karena terjerat cinta Monang. Hingga membuat dirinya melepaskan kehormatannya kepada Monang. Manen merasa kotor dan nista di hadapan Tuhan, maupun keluarga dan teman. Hingga Manen merasa bahwa kematian adalah jalan keluar bagi segala permasalahannya, itu adalah sebuah penebusan bagi semua

dosa yang telah dilakukannya. “Dan tiba-tiba dianggapnya dirinya menjadi makhluk yang terhina, terkeji, yang pernah hidup di dunia. Semua pegangannya, segala sesuatu yang pernah dibanggakannya kini sudah hancur seluruhnya. Harapannya tertindih puing-puing perbuatannya. Tak ada jalan keluar terhormat. Tak ada kata- kata penghiburan” (Katoppo, 2006 : 126).

Pada tahap tersebut terjadi penyelesaian yang ditandai dengan bunuh dirinya Manen. Konflik sudah berhenti bagi hidup Manen. “Tetapi pisau itu sudah jatuh

ke lantai. Dan Raumanen terkapar di atas ranjang, menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Dan darah yang mengalir dari pergelangan tangannya, dalam remang-remang cahaya bulan itu tampaknya seperti pita-pita merah yang ke lantai. Dan Raumanen terkapar di atas ranjang, menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Dan darah yang mengalir dari pergelangan tangannya, dalam remang-remang cahaya bulan itu tampaknya seperti pita-pita merah yang

tertentu, peristiwa ditarik ke belakang yakni masa 10 tahun sebelumnya. Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alur dalam novel Raumanen ini dari segi teknis pengalurannya dikategorikan sebagai alur balik (back tracking ). Alur balik adalah teknik pengaluran di mana jalan cerita dan peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang (Esten,1993:26).

2. Penokohan

Novel Raumanen memiliki beberapa tokoh, baik tokoh utama atau tokoh tambahan yang menjadi pendukung jalannya cerita.

a. Manen. Raumanen atau biasa dipanggil dengan Manen merupakan tokoh utama

dalam novel ini. Dari segi fisiologis, Manen digambarkan sebagai seorang gadis remaja bermuka bundar kekanak-kanakan berusia ± 18 tahun, berkulit langsep, mata besar dan cerah.

“Memang Manen sendiri seorang gadis remaja bermuka bundar, berkulit langsep, sebagaimana umumnya dianggap menjadi ciri-ciri khas putri

Manado. Memang dia sendiri pun menganggap dirinya “orang Manado”, sekalipun Minahasa tanah leluhurnya ditinggalkannya sejak masih bayi,

dan ia besar di kota Jakarta” (Katoppo, 2006: 21). “„Umurnya baru delapan belas,‟ suara ilyas menerangkan.” (Katoppo, 2006: 12).

Aspek sosiologis Manen sendiri digambarkan dengan gamblang. Manen adalah penganut nasrani, lahir di Manado, keturunan Minahasa. Ia seorang aktifis gerakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, dan tinggal di Jakarta.

“Memang dia sendiri pun menganggap dirinya „orang Manado‟, sekalipun Minahasa tanah leluhurnya ditinggalkannya sejak masih bayi,

dan ia be sar di kota Jakarta.” (Katoppo, 2006: 21). “Monang, kan kau sudah tahu ini Raumanen, sekretaris pengurus pusat kami...” (Katoppo, 2006: 11).

Sisi psikologis Manen digambarkan dengan jelas, Manen merupakan seorang gadis yang tegas, idealis, rajin, dan giat dalam bekerja. Ia suka berbicara terus terang, dari pada banyak basa-basi. Ia berpikiran modern dan terbuka, kurang setuju dengan pemikiran-pemikiran kolot yang mengatasnamakan tradisi dan budaya.

“Manen masih cukup idealis, dan tak mau menggunakan masa perkenalan ini sebagai suatu masa pembayatan, membuat mahasiswa

baru jadi objek pelampiasan sadisme tersempunyi para senior. Baginya, masa perkenalan itu betul-betul harus bermutu dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.” (Katoppo, 2006: 32). “Bagi Manen dan keluarganya, soal kesukuan itu sudah kadaluwarsa.

Dari kelima kakaknya, Cuma seorang yang mempersunting gadis sesukunya. „Bhineka Tunggal Ika!‟ kata ayahnya bangga, menghimpun

anak-anak mantu di sekelilingnya. Syukurlah bahwa orang tuaku begitu luas pandangannya, begitu lapang hatinya, pikir Manen. Bagi mereka „Indonesia‟ itu bukan Cuma suatu istilah kosong saja, yang dapat

sewaktu-waktu didesak oleh kesetiaan yang berlebih-lebihan pada peninggalan leluhur Minahasa.” (Katoppo, 2006: 22-23). “Bukankah sekarang kita semuanya orang Indonesia?apakah manusia

sendiri berwenang menentukan suku bangsa kelahirannya? Dan apa gerangan yang menjadikan suku bangsa yang satu lebih bermutu, lebih

„Indonesia‟, dari yang lain(Katoppo, 2006: 23).

b. Monang Penggambaran tokoh Monang seperti juga Manen. Tokoh Monang juga digambarkan dari sisi fisiologis, sosiologis, maupun psikologis. Monang adalah seorang pemuda dengan raut muka tampan, khas orang Sumatra, rambut ikal. “Seorang laki-laki berambut ikal, raut muka tampan, tetapi dalam kerlingan matanya Manen melihat unsur keganasan yang selalu diasosiasikannya dengan orang Sumatera. Siapakah dia?” (Katoppo,

2006:10). “Seseorang” di sini yang dimaksud adalah Monang. Hal itu ditunjukkan dengan kutipan selanjutnya yang menegaskan hal itu. “Siapapun dia, sangat lucu lawaknya. Manen turut tertawa dengan tamu-

tamu lainnya. „Abangku sudah ada lima orang, tetapi selalu masih ada lowongan seorang lagi, kalau berminat!‟ celetuknya lincah. Tepat waktu itu, ibu rumah muncul. „Monang!‟ sentaknya, „Apa-apaan lagi kau ini, menakut- nakuti tamuku? Mari, nak,‟ katanya kepada Manen.”( Katoppo, 2006: 10).

Sisi sosiologis tokoh Monang digambarkan sebagai seorang yang berdarah Batak, namun ia kuliah kerja, dan tinggal di Jakarta. ia lulusan ITB, bekerja di sebuah proyek, dan mengajar di akademi teknik swasta. “„Bukan urusanku...tetapi sebaiknya kau lupakan Monang itu! Tak berwatak!‟ orang Batak tak berwatak? Pikir Manen. Dan ia tertawa sendiri.” (Katoppo, 2006:

95). Sisi psikologis tokoh Monang digambarkan sangat manusiawi. Ia sosok yang humoris, ramah, pandai, gila perempuan dan sering berganti pacar. “Baru kali ini Monang begitu serius berbicara dengannya, dan Manen tak

tahu bagaimana akan menghadapinya. Monang yang selalu kebal, acuh tak acuh , gila perempuan, itulah Monang yang dikenalnya” (Katoppo, 2006: 41).

Monang bisa menjadi orang yang kuat dan tangguh, namun dalam situasi tertentu, ia menjadi seorang yang melankolis, pemurung, putus asa. “Monang telah menciumnya. Dan berubah menjadi Monang pemurung,

putus asa, bingung. Monang, yang mengutarakan isi hatinya seperti seorang pria kepada wanita yang dikasihinya.” (Katoppo, 2006: 42).

c. Orangtua Manen

Segi fisiologis dan sosiologis tokoh orangtua Manen tidak digambarkan secara jelas. Penggambaran tokoh lebih ditonjolkan dari sisi psikologis dalam menuntun keluarga terutama anak-anaknya dalam menjalankan hidup.

Tokoh orangtua Manen juga tidak disebutkan namanya. Tokoh ini digambarkan sebagai seorang yang lapang hatinya, sangat terbuka, tidak kolot, dan luas pemikirannya. Tidak terikat dengan adat tanah kelahirannya. Selalu membebaskan anak-anaknya dalam memilih jalan hidupnya. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

“Bagi Manen dan keluarganya, soal kesukuan itu sudah kadaluwarsa. Dari kelima kakaknya, Cuma seorang yang mempersunting gadis

sesukunya. „Bhineka Tunggal Ika!‟ kata ayahnya bangga, menghimpun anak-anak

mantu di sekelilingnya. Syukurlah bahwa orang tuaku begitu luas pandangannya, begitu lapang hatinya, pikir Manen. Bagi mereka

„Indonesia‟ itu bukan Cuma suatu istilah kosong saja, yang dapat sewaktu-waktu didesak oleh kesetiaan yang berlebih-lebihan pada

peninggalan leluhur Minahasa.” (Katoppo, 2006: 22-23).

Selain itu orangtua Manen juga sosok yang bijaksana, penyabar, dan penyayang. Mereka selalu memperhatikan dan mengutamakan pendidikan anak-anaknya, sehingga dapat mandiri dan tidak banyak bergantung pada orang lain. “Ayah Manen, melihat insinyur muda itu tiba-tiba sangat rajin berkunjung, Cuma mengatakan, „Selesaikan pelajaranmu dulu Romi,‟ -nama kesayangan untuk anak bungsunya- „Zaman sekarang seorang wanita sebaiknya dapat berdiri sendiri. Apalagi kalau ia dapat turut membangun masyarakat.‟” (Katoppo, 2006: 43-44).

d. Orangtua Monang Sama halnya dengan orangtua Manen, orangtua Monang

penggambarannya lebih ditonjolkan dari segi psikologisya. Orangtua

Monang adalah pebisnis kaya, memiliki hotel di Medan. Mereka merupakan keturunan Batak yang masih memegang teguh adat Batak. Mereka berpegang teguh pada aturan dan hukum adat terutama yang berkaitan dengan pernikahan. Orangtua Monang juga sangat keras, dan sangat menguasai serta mengatur kehidupan anak-anaknya di segala bidang. Mereka mengatur jalan yang harus diambil anak-anaknya bahkan mengatur dalam menentukan pendamping hidup anak-anaknya. “„Keadaan memang gawat,‟ keluh Monang. „ibuku sama sekali tak mau mengerti. Ayah cuma mau bersikap sedih saja, bertanya mengapa aku tega memijak kemauan mereka. Kemarin kami adakan rapat keluarga di Bogor. Mereka bersikeras bahwa aku harus tunduk pada kem auan orangtua….aku minta sedikit- dikitnya mereka bertemu denganmu dulu.‟ ” (Katoppo, 2006: 98).

e. Philip Philip adalah sahabat Manen dan Monang. Ia digambarkan sebagai

seorang laki-laki yang tampan. Ia juga dokter muda yang bekerja sebagai asisten dokter. Selain itu ia seorang semi-arts dan aktifis gerakan mahasiswa di almamaternya. Philip sangat baik hati, perhatian terhadap teman- temannya. “Philip bangkit berdiri dari belakang mejanya. „Sudahlah Manen,‟ katanya menghibur. „Selesaikan besok saja. Tampaknya sekarang kau terlalu capek.‟. „Tetapi besok sudah harus dibawa Sahat !‟ keluh Manen. „Ah, dia kan baru berangkat sore,‟ sahut Philip. „Ayo, kita pulang saja. Aku sudah lapar.‟ (Katoppo, 2006 : 118).

Ia juga yang mengatakan pada Manen bahwa kandungan Manen bermasalah dan terancam lahir dengan kondisi cacat karena penyakit sifilis Ia juga yang mengatakan pada Manen bahwa kandungan Manen bermasalah dan terancam lahir dengan kondisi cacat karena penyakit sifilis

disampaikannya kepada Manen. Dipersilakannya Manen duduk, seraya membaca hasil-hasil tes laboratorium itu sekali lagi. Memang seperti sudah diduga Manen sendiri: ia hamil…” (Raumanen, 2006: 124). “Philip berdiri. Ia tak melihat pada Manen ketika dilanjutkannya, „dengar, Manen. Anakmu takkan mungkin sehat. Wasserman test tern yata positif.‟ ” (Katoppo, 2006: 125).

3. Latar

Latar adalah sebagai pemberi informasi situasi (ruang dan tempat), sangat penting untuk menberikan kesan nyata terhadap suatu cerita. Ada tiga unsur latar yang akan dibahas, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Ada keunikan disetiap latar dalam novel ini.

a. latar tempat Latar tempat menyaran kepada lokasi terjadinya peristiwa. Dalam novel

Raumanen peristiwa-peristiwa diceritakan terjadi di tiga tempat yakni Jakarta, Bandung dan Bogor.

Kota Jakarta adalah kota yang paling sering menjadi latar tempat cerita dalam novel ini, karena tokoh-tokoh dalam novel ini tinggal dan beraktifitas di Jakarta. Misalnya Manen, ia dibesarkan dan tinggal di kota Jakarta. Rumah baru Monang juga terletak di daerah Kebayoran Baru, salah satu nama daerah di Jakarta. “Rumah itu letaknya di Kebayoran Baru. Bagian kota yang baru, pesat dipenuhi bangunan- bangunan baru. Kantor, instansi, asrama....” (Katoppo, 2006 : 67).

Banyak tempat-tempat di daerah Jakarta yang disebutkan oleh pengarang dan menjadi latar tempat dalam novel ini. “Dan baru di tengah jembatan itu, melihat air Ciliwung buas membuih di

bawah sana, disadarinya bahwa mukanya basah air mata.” (Katoppo,

2006 : 88). “Mereka sudah sampai ke Pasar Cikini. Melewati toko-toko kecil yang

memamerkan dagangannya: buah, busana, berlian….”(Katoppo, 2006 : 120)

Bandung juga merupakan salah satu latar tempat di dalam novel ini. Latar tempat berpindah dari Jakarta ke Bandung karena dalam novel ini diceritakan adanya kegiatan kemahasiswaan yakni perkenalan mahasiswa baru yang diadakan di Bandung, tepatnya di bukit Dago. Di kota inilah, kisah kasih

Monang dan Manen mulai terjalin. “Memang, ketika Anton turun, Monang tidak membawanya kembali ke tempat api unggun itu, tetapi ke Bukit Dago. Dimatikannya mesin di suatu tempat yang sunyi, lalu dipegangnya tangan

Manen.” (Katoppo, 2006: 37) Bogor, lebih tepatnya di daerah Cibogo, adalah latar tempat yang membuat

munculnya konflik dalam novel ini. Di daerah Cibogo inilah Manen melepaskan kehormatannya karena tergoda rayuan Monang.

“Turun dari puncak, mobil Monang mogok di Cibogo, di tengah hujan deras. Kali ini yang ditumpanginya bukan impala ibunda, tetapi „gerobak proyek‟, jip dinas Monang.” (Katoppo, 2006: 62). “Apa yang terjadi sesudah itu seakan-akan suatu mimpi buruk bagi Manen.

Siapa yang akan dipersalahkan?... Monang, yang mahir merayu? Dirinya sendiri, yang tak sanggup bertahan? (Katoppo, 2006 : 63)

Dalam kutipan tersebut menunjukkan bahwa “mimpi buruk” yang dimaksud adalah melakukan hubungan badan namun belum ada hubungan

pernikahan.

b. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar waktu dalam novel ini tidak dijalaskan dengan rinci, hanya dalam sebuah paragraf yang berisi pemikiran

Manen. “Masih jauh jalan yang harus ditempuh, pikir Manen. Sekarang, hampir 20 tahun sesudah revolusi, sesudah dua windu lebih penduduk

Nusantara berpengalaman hidup sebagai „orang Indonesia‟, ternyata beban prasangka serta wasangka terhadap suku lain masih belum dapat dilepaskan

orang dengan begitu mudah.” (Katoppo, 2006: 22). Kutipan tersebut dapat memberikan sedikit gambaran tentang waktu terjadinya peristiwa yaitu sekitar tahun 60-an dengan asumsi bahwa 20 tahun sesudah revolusi adalah sekitar tahun 1965, juga sepuluh tahun setelahnya.

“Kadang-kadang kusangka bahwa akhirnya masa lampau itu tak lagi membebani benakku. Lalu di malam hari, engkau meracuni mimpiku. Karena

dalam mimpi itu, kau selalu begitu dekat denganku. Padahal sudah sepuluh tahun, Raumanen. Sudah sepuluh tahun, hampir seperempat hidupku, aku terpaksa hidup terpisah darimu. ” (Katoppo, 2006: 7). Dapat dilihat bahwa latar waktu dalam novel ini terjadi dalam dua kurun waktu yaitu sekitar tahun 1965 dan sepuluh tahun sesudahnya yaitu sekitar tahun 1975.

c. Latar sosial. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dalam novel Raumanen menceritakan kehidupan sosial masyarakat dari berbagai suku yang hidup di kota besar seperti kota Jakarta sekitar tahun 1965, yang masih penuh dengan kekangan-kekangan tradisi kesukuan.

4. Tema

Tema secara struktural merupakan cerita pokok yang menjadi pokok persoalan Tema secara struktural merupakan cerita pokok yang menjadi pokok persoalan

melepaskan “kehormatannya” demi Monang. Orangtua Monang melarang hubungan Monang dan Manen karena Manen

bukan keturunan Batak seperti Monang. Dalam tradisi Batak, pasangan hidup seseorang haruslah berasal dari keturunan Batak dan marga yang telah ditentukan menurut adat budaya zaman dulu. Apabila melanggar, orang tersebut akan dikucilkan serta tidak dianggap saudara dalam masyarakat. Hal inilah yang membuat Monang tidak mau bertanggung jawab terhadap kandungan Manen dan memilih menjalin hubungan dengan wanita yang dipilihkan orangtuanya.

Hal itu menjadi titik munculnya konflik batin yang dialami Manen. Berbagai masalah muncul silih berganti, mulai dari kehamilannya, Monang yang tidak mau bertanggung jawab, serta orangtua Monang yang tidak setuju dengan hubungan mereka, hingga kehamilannya yang terganggu karena penyakit sifilis yang diturunkan Monang.

Hal-hal tersebut memengaruhi kondisi kejiwaan Manen, dan membuat Manen ketakutan, bingung, trauma, hingga akhirnya putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri memotong urat nadi tangannya.

5. Amanat

Amanat adalah pesan atau ajaran moral yang ingin disampaikan oleh pengarang. Setelah menganalisi dan membaca novel Raumanen ini, maka penulis Amanat adalah pesan atau ajaran moral yang ingin disampaikan oleh pengarang. Setelah menganalisi dan membaca novel Raumanen ini, maka penulis

Peran orangtua sangat penting dalam hal ini. Orangtua mempunyai andil besar dalam mengarahkan sikap dan perilaku anak dalam menjalani kehidupan terutama di masa remaja. Mereka mempunyai kewajiban membimbing, mengarahkan, serta mengawasi hal-hal apa saja yang dilakukan anak-anak mereka. Namun bukan berarti orangtua memaksakan apa yang menurut mereka baik kepada anak- anaknya. Hal itu malah akan membebani anak dalam menjalani kehidupannya. Biarkan anak-anak yang memilih jalan mereka sendiri, orangtua hanya memberikan wejangan dan arahan, serta pendapat sehingga anak mempunyai gambaran tentang apa yang seharusnya dilakukan.