Analisis Psikologi Sastra

B. Analisis Psikologi Sastra

Penelitian pada novel Raumanen menggunakan pendekatan psikologi sebagai “studi tipe dan hukum-hukum” yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik,

analisis yang akan dilakukan diarahkan pada perilaku tokoh utamanya sehingga akan terungkap faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku trauma psikis tokoh utama secara menyeluruh.

Freud berpendapat bahwa kepribadian tersusun dari tiga sistem pokok yakni Id , Ego, dan Superego. Pada hakikatnya perilaku yang terbentuk dari ketiga Freud berpendapat bahwa kepribadian tersusun dari tiga sistem pokok yakni Id , Ego, dan Superego. Pada hakikatnya perilaku yang terbentuk dari ketiga

Pada suatu keadaan di mana keinginan insting merasa terancam, maka timbulah perasaan takut, dan apabila perasaan takut itu tidak dapat dikendalikan oleh Ego, maka Ego akan diliputi kecemasan.

Tangapan seseorang yang dilanda kecemasan berbeda-beda tergantung kondisi psikis mereka. Seseorang yang diliputi rasa cemas cenderung untuk lari dari daerah yang mengancam, menghalangi impuls yang membahayakan, atau menuruti suara hati. Namun, terkadang kecemasan atau ketakutan itu tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif. Keadaan inilah yang dinamakan keadaan traumatik. Gejala-gejala traumatik dibagi menjadi tiga yakni trauma awal, penghindaran diri, dan timbulnya hiper.

Penelitian ini akan mengungkapkan gejala psikologi dibalik gejala bahasa dalam sebuah karya sastra. Hal yang paling dominan dalam karya sastra adalah tokoh. Secara spesifik, analisis akan diarahkan pada perilaku tokoh utama, sehingga terungkap faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku trauma psikis tokoh utama secara menyeluruh.

1. Perilaku Manen Menurut Teori Psikoanalisis Freud

Freud membedakan tiga sistem dalam hidup psikis, yakni Id, Ego, dan Superego . Dalam peristilahan psikoanalisis, tiga faktor ini dikenal juga sebagai tiga “instansi” yang menandai hidup psikis (Bertens, 2006:32).

Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi, kelengkapan prinsip- prinsip operasi, dinamisme, dan mekanisme masing-masing, ketiga sistem kepribadian itu satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas.

a. Id Id adalah bahan dasar bagi pembentukan psikis yang lebih lanjut. Di dalam Id , prinsip-prinsip kesenangan masih maha kuasa dan tidak terpengaruhi oleh kontrol pihak Ego dan prinsip realitas serta tidak mengenal waktu atau urutan waktu. Hukum-hukum logika (khususnya prinsip kontradiksi) tidak berlaku bagi

Id , tetapi sudah ada struktur tertentu, berkat pertentangan antara dua macam naluri. Naluri kehidupan dan naluri kematian. Gambaran yang dapat diperoleh dari sini adalah bahwa Id dalam menjalankan fungsi dan operasinya, dilandasi oleh maksud menghindari

keadaan tidak menyenangkan dan mencapai keadaan menyenangkan. “Kau kedinginan, sayang?‟ Monang segera merapatkan badannya ke sisi Manen, seraya memel uknya. „mari, dekat sama kakak!” (Katoppo, 2006 : 34). “„Monang tetap memeluk Manen. „biasanya kalau cewek bilang dia kedinginan, artinya memang minta dipeluk!‟” (Katoppo, 2006 : 35).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Manen mau dipeluk Monang karena kedinginan, tanpa memperhatikan orang lain yang berada di sekitarnya bahwa perbuatan mereka tidak layak dilakukan di tempat umum.

Untuk keperluan mencapai maksud dan tujuan itu, Id memiliki perlengkapan berupa dua macam proses. Proses yang pertama adalah tindakan-tindakan refleks, yakni suatu bentuk tingkah laku atau tindakan yang mekanis, kerjanya Untuk keperluan mencapai maksud dan tujuan itu, Id memiliki perlengkapan berupa dua macam proses. Proses yang pertama adalah tindakan-tindakan refleks, yakni suatu bentuk tingkah laku atau tindakan yang mekanis, kerjanya

Proses yang kedua adalah proses primer, yakni suatu proses yang melibatkan sejumlah reaksi psikologis yang rumit. Dengan proses primer ini dimaksudkan bahwa Id (dan organisme secara keseluruhan) berusaha mengurangi tegangan dengan cara membentuk bayangan dari objek yang bisa mengurangi tegangan. Manen berusaha mengurangi tegangan baik amarah dan kekecewaan dengan cara membentuk bayangan dari sebuah objek yang dapat mengurangi tekanan tersebut. Dalam hal ini, Manen membayangkan dirinya menjadi seorang yang berguna dan sumbangan pikiran-pikirannya dapat dimanfaatkan untuk hal-hal

yang lebih baik. Hal itu tercermin dalam kutipan berikut. “Kalau bukan karena Monang, tentu aku pun sudah menjadi tokoh masyarakat sekarang. Namaku dan

potretku tentu sering muncul di surat kabar. Perbuatanku dan pemikiranku tentu dianggap turut membangun masyarakat, turut mengarahkan terlaksananya cita-

cita mereka.” (Katoppo, 2006:3). Pikiran Manen sering berandai-andai, membayangkan suatu hal yang menyenangkan dan membuatnya tenang. Hal itu sering dilakukan untuk meringankan beban dan r asa sedih serta kecewa dalam dirinya. “Barangkali nenek akan datang lagi. Barangkali aku akan ikut dengannya kali itu. Tetapi

sekarang aku masih belum bersedia. Aku masih menunggu.” (Katoppo, 2006:50).

Proses primer pada orang yang haus, sebagai contoh adalah membayangkan (berkhayal) minum atau meminum minuman segar. Tindakan memuaskan suatu kebutuhan yang berlangsung dalam mimpi, misalkan mimpi minum, oleh Freud Proses primer pada orang yang haus, sebagai contoh adalah membayangkan (berkhayal) minum atau meminum minuman segar. Tindakan memuaskan suatu kebutuhan yang berlangsung dalam mimpi, misalkan mimpi minum, oleh Freud

Kalimantan, ke nama saja di dunia ini….tetapi tak terucapkan olehnya.” (Katoppo, 2006 : 64).

Manen membayangkan jika Monang menyatakan cinta padanya, ia akan bersedia mengikutinya ke manapun. Hal ini merupakan proses sekunder atas Id Manen yang menginginkan jawaban kenapa Monang menciumnya tempo hari. “Barangkali kalau kita sudah menikah secara sah, akan berubah sikapku

terhadap Monang, terhadap semua ini. Mudah-mudahan. Karena kita toh akan menikah. Kita akan menjadi kawan seterusnya dalam hidup yang singkat ini.” (Katoppo, 2006: 70).

Hal ini juga merupakan proses sekunder atas Id Manen. Manen membayangkan menikah dengan Monang, orang yang dicintainya. Keinginan Manen yang demikian itu didasari oleh timbulnya insting-insting yang sifatnya refleks, sebagai reaksi dari dorongan unsur Id untuk mencapai suatu ketenangan. Dalam proses ini, Id berfungsi sebagai penyeimbang gejolak emosi yang disebabkan oleh impuls-impuls negatif yang menyudutkannya.

Bagi Id, objek yang dihadirkan selalu melalui proses primer itu nyata. Tetapi bagaimanapun, menurut prinsip realitas objektif, proses primer dengan objek yang dihadirkan itu tidak akan sungguh-sungguh mampu mengurangi tegangan. Misal, orang yang haus tidak akan hilang hausnya hanya dengan membayangkan atau bermimpi minum minuman segar.

Organisme atau individu dengan demikian, membutuhkan sistem lain yang bisa mengarahkannya kepada pengurangan-pengurangan tegangan secara nyata atau sesuai dengan kenyataan. Sistem yang dibutuhkan ini adalah Ego.

b. Ego Ego tidak boleh disamakan dengan apa yang dalam psikologi non analitis

diberi nama Ego atau “aku”. Menurut Freud, Ego terbentuk dengan deferensiasi dari Id karena kontaknya dengan dunia luar, khususnya orang di sekitar lingkungan. Aktifitasnya bersifat sadar, pra sadar, maupun tidak sadar. Untuk sebagian besar Ego bersifat sadar dan sebagai contoh aktivitas sadar boleh disebut persepsi lahiriah, persepsi batin, proses-proses intelektual. Aktivitas pra sadar adalah dikemukakan fungsi ingitan. Dan aktivitas tak sadar Ego dijalankan dengan mekanisme pertahanan.

Ego dikuasai oleh prinsip realitas, seperti tampak dalam pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial yang rasional. Tugas Ego adalah mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar, untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain.

“Manen menarik napas panjang. Aku tak tahu, pikirnya. Seharusnya aku bahagia, karena Monang sudah berusaha membuka jalan ke arah pernikahan kami. Tetapi aku tidak bahagia, cuma merasa bersalah karena kejadian di Bungalow itu. Lagi pula aku takut. Aku takut masa depan. Haruskah aku menjadi istri Monang sekarang? Membagi hidupku dengannya, mengarahkan cita-citaku agar sesuai dengan cita-citanya ?” (Katoppo, 2006: 65).

Ego dikatakan mengikuti prinsip kenyataan, dan beroperasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip kenyataan adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Untuk Ego dikatakan mengikuti prinsip kenyataan, dan beroperasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip kenyataan adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Untuk

Monang yang lama tak datang mengunjungi Manen membuat Manen gelisah, untuk mengusir kecemasannya ia mencoba mengalihkan perhatiannya pada kertas kerja. Tetapi pikiran Manen terus tertuju pada Monang.

“Ah, sedikit-sedikitnya dapat diusahakannya menyelesaikan persiapan kertas kerjanya. Kalau Monang toh tidak datang malam ini, baiklah waktu ini akan dimanfaatkan untuk pelajaran. Tetapi Manen sulit konsentrasi. Tiba- tiba didengarnya bunyi mobil di luar. O…Monang datang juga! Manen berlari ke jendela, mengintip ke luar. Tetapi bukan jip dinas Monang yang

diparkir di situ. Sedan putih….Norah?” (Katoppo, 2006:89).

Proses sekunder adalah prinsip realistik. Dengan proses sekunder Ego menyusun rencana untuk memuaskan kebutuhan dan kemudian menguji rencana itu. Biasanya melalui suatu tindakan untuk melihat apakah rencana itu berhasil atau tidak. Orang yang haus akan berpikir dimana ia dapat menemukan minuman dan kemudian pergi ke tempat itu. Ini disebut sebagai pengujian terhadap kenyataan (reality testing). Untuk melakukan peranannya secara efisien, Ego mengontrol semua fungsi kognitif dan intelektual, proses-proses jiwa ini dipakai untuk melayani proses sekunder.

Manen merasa gelisah karena akhir-akhir ini Monang jarang datang menemuinya. Ia juga penasaran dengan saudara Monang yang baru datang dari Sibolga. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan berikut ini. “Malam itu Monang

tidak datang. Manen makin gelisah. Kini sudah hampir seminggu sejak ia tidak datang. Manen makin gelisah. Kini sudah hampir seminggu sejak ia

tetapi apakah Manen harus terdesak begini.” (Katoppo, 2006: 89). Manen berusaha mencari tahu dengan cara datang ke rumah Monang,

meskipun ada rasa takut di hatinya bila bertemu dengan ibu Monang. “„Norah,‟ katanya, „Ini penting sekali. Antarkan aku ke Kebayoran, ke rumah Monang.‟

Sebetulnya tak diketahuinya apa yang akan dilakukannya di sana. Maju tak gentar sampai ke pintu, mengetuk, dan minta bicara dengan Monang? Andai kata ibu Monang yang buka pintu, apa yang akan dikatakannya?” (Katoppo, 2006: 91).

Ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi lingkungan ke mana ia akan memberikan respon, dan memutuskan insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan fungsi ini, Ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan Id, Superego, dan dunia luar yang sering bertentangan.

Ego merupakan bagian Id yang terorganisasi yang hadir untuk memajukan tujuan-tujuan Id dan bahkan mengecewakannya, dan seluruh dayanya berasal dari Id. Peranan utamanya adalah menengahi kebutuhan-kebutuhan instingtif dari organisme dan kebutuhan-kebutuhan lingkungan sekitarnya. Tujuannya adalah mempertahankan kehidupan individu dan memperhatikan bahwa spesies

dikembangbiakkan. “Manen tahu apa maksud Monang. Kalau sudah cukup jauh dari lampu-lampu cemerlang di Jembatan Semanggi, akan dicarinya tempat

sunyi. Sesudah ciuman di bukit Dago itu, Monang semakin berani belaiannya, semakin menuntut tindakannya. Dan Manen sendiri tidak mengerti. Mengapa sunyi. Sesudah ciuman di bukit Dago itu, Monang semakin berani belaiannya, semakin menuntut tindakannya. Dan Manen sendiri tidak mengerti. Mengapa

c. Superego Superego merupakan dasar hati nurani moral. Aktifitas Superego

menyatakan diri dalam konflik dengan Ego yang dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain sebagainya. Sikap-sikap seperti observasi diri, kritik diri, dan inhibisi berasal dari Superego (Bertens, 2006:34).

“Apa yang terjadi sesudah itu seakan-akan suatu mimpi buruk bagi Manen. Siapa yang akan dipersalahkannya? Penjaga bungalow, yang kebetulan

sedang mencari kesempatan „ngobjek‟ di luar pengetahuan majikannya? Monang, yang begitu mahir merayu? Dirinya sendiri yang tak sanggup bertahan?. Manen menangis tersedu-sedu, dan Monang tampaknya menyesal. Diusap-usapnya rambut Ma nen, seraya berkata: „Raumanen, jangan menangis. Raumanen, aku akan bertanggung jawab atas kejadian ini.

Kita kawin saja...‟” (Katoppo, 2006: 63).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Manen merasa bersalah dan menyesal karena telah melakukan hubungan badan dengan Monang tanpa adanya ikatan pernikahan.

Fungsi-fungsi pokok Superego adalah (1) merintangi impuls Id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif, karena inilah impuls-impuls yang pernyataannya sangat dikutuk oleh masyarakat. (2) mendorong Ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuan-tujuan merealistis. (3) mengejar kesempurnaan. Jadi, Superego cenderung untuk menentang baik Id maupun Ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri. akan tetapi Superego sama seperti Id bersifat tidak rasional dan sama seperti Ego, Superego melaksanakan kontrol atas insting-insting akan tetapi Superego tetap berusaha untuk merintanginya.

Ketika pergi dengan Norah, mendadak Manen ingin pergi ke rumah Monang karena ingin menyampaikan bahwa ia telah hamil, tetapi ketika sampai ia tidak ingin bertemu dengan Monang dan memaksa Norah untuk pulang. “Manen berbisik, „Norah, kita pulang saja….‟. „tidak‟ kata Norah. „kalau kita sudah datang sejauh ini, hendaknya kita beritahukan kepada Monangmu itu bahwa kita dat ang.‟. „jangan, Norah!‟ pekik Manen. Tetapi wanita Amerika itu sudah turun.” (Katoppo, 2006 : 92-93).

Pada akhirnya, ketiga sistem kepribadian ini saling berinteraksi satu sama lain dan harus diingat, bahwa Id, Ego, dan Superego tidak dipandang sebagai orang-orang yang menjalankan kepribadian. Ketiga sistem tersebut hanyalah nama-nama untuk berbagai proses psikologis yang mengikuti prinsip-prinsip sistem yang berbeda. Dalam keadaan yang biasa, prinsip-prinsip yang berlainan ini tidak bentrok satu sama lain dan tidak bekerja secara bertentangan. Sebaliknya, mereka akan bekerja sama seperti suatu tim dengan diatur oleh Ego.

Kepribadian biasanya berfungsi sebagai satu kesatuan dan bukan sebagai tiga bagian yang terpisah. Secara umum Id dapat dipandang sebagai komponen biologis kepribadian. Sedangkan Ego sebagai komponen psikologis dan Superego sebagai komponen sosialnya.

“Permainan itu selalu sama saja jalannya. Ciuman dan elusan yang begitu merangsang, lalu pada titik terakhir harus dihentikan. Biasanya oleh Manen.

Pernah ia bertanya pada Monang, „Mengapa sebetulnya kita sedungu ini ? menyiksa diri…kau tahu, dan aku tahu bahwa titik itu tak akan kita lampaui.‟. Aku takkan berkeberatan bila mau kau lampaui !‟. „Aku takkan melampauinya dengan orang yang tak cinta padaku !‟. „Raumanen! Apa katamu? Jadi tak usah nikah dulu?‟. „Sangkamu semua orang menunggu sampai sudah menikah?‟” (Katoppo, 2006 : 59).

Percakapan antara Manen dan Monang tersebut menunjukkan bahwa keinginan mereka untuk melakukan hubungan badan dapat dilakukan asalkan

Monang mencintai Manen. Manen tahu bahwa hal itu tidak dibenarkan sebelum adanya ikatan pernikahan, namun Manen tidak memedulikannya.

2. Perilaku Monang Menurut Teori Psikoanalisis Freud

Tokoh yang juga sangat berperan penting dalam novel Raumanen yaitu Monang. Monang mempunyai andil besar dalam jalannya cerita, karena Monang merupakan penyebab dari trauma psikis yang dialami oleh tokoh utama yaitu Manen. Oleh karena itu, tokoh Monang juga perlu diteliti perwatakannya secara psikologi dengan teori psikoanalisis Freud.

a. Id Id adalah bahan dasar bagi pembentukan psikis yang lebih lanjut. Di dalam Id , prinsip-prinsip kesenangan masih maha kuasa dan tidak terpengaruhi oleh kontrol pihak Ego dan prinsip realitas serta tidak mengenal waktu atau urutan waktu. Hukum-hukum logika (khususnya prinsip kontradiksi) tidak berlaku bagi

Id , tetapi sudah ada struktur tertentu, berkat pertentangan antara dua macam naluri. Naluri kehidupan dan naluri kematian. “Tadi malam aku bermimpi tentang Raumanen. Rupanya kuteriakkan namanya —karena ketika aku bangun, gemetar dan basah keringat, nama itu masih bergema dalam kepekatan kamar tidurku.”(Katoppo, 2006:5).

Kenangan Monang akan Manen di masa lalu membuat Monang merasa tertekan dan kecewa. Kekecewaan dan rasa tertekan yang tak diungkapkan kepada orang lain membuat Monang merasa selalu dihantui bayang-bayang masa lalunya. Hal itu terealisasi dalam mimpi-mimpinya. Mimpi-mimpi tersebut selalu datang apabila Monang mencoba untuk melupakan masa lalunya. Hal itu Kenangan Monang akan Manen di masa lalu membuat Monang merasa tertekan dan kecewa. Kekecewaan dan rasa tertekan yang tak diungkapkan kepada orang lain membuat Monang merasa selalu dihantui bayang-bayang masa lalunya. Hal itu terealisasi dalam mimpi-mimpinya. Mimpi-mimpi tersebut selalu datang apabila Monang mencoba untuk melupakan masa lalunya. Hal itu

hidupku, aku terpaksa hidup terpisah darimu.”( Katoppo, 2006:7). Kenang-kenangan masa lalu dapat terealisasi menjadi mimpi dikarenakan terjadi proses primer dalam diri seseorang guna memuaskan suatu kebutuhan yang sedang berlangsung. Dalam kasus Monang, kenangan masa lalunya muncul dikarenakan Monang bertemu dengan temannya yakni Patrik yang

mengingatkannya terhadap Manen. “Ah, sekarang kutahu mengapa sampai bermimpi Raumanen semalam. Karena kemarin berpapasan dengan Patrik. Dia lah yang membawa Raumanen ke rumah Namboru dulu….Pertemuan yang tak terhapuskan dari kenangan…” ( Katoppo, 2006:8).

Gejolak emosi Monang memuncak ketika ibunya datang menanyakan perihal apakah istrinya telah hamil setelah bertahun-tahun mereka menikah. Ibu Monang berperan sebagai impuls-impuls negatif yang menyudutkan id Monang

sehingga menyebabkan emosi Monang bergejolak. Hal itu dikarenakan ibu Monang menentang hubungan Monang dengan Manen karena perbedaan suku, dan menjodohkan Monang dengan gadis pilihannya.

“Dan ingin kuteriakkan kepada perempuan tua ini, yang selalu menangani nasibku sejak aku dilahirkannya ke bumi ini: „Jangan kau harapkan cucu dariku! Inilah upah kekerasan hatimu! Ganjaran yang kau terima bagi kecongkakanmu…..Dulu kau tak sudi mengaku anakku sebagai cucumu, bila darahnya bukan darah Batak murni. „Berbahagialah kau sekarang dengan kemurnianmu Sombu ma roham, inang! ” ( Katoppo, 2006:79).

b. Ego

Id tidak serta merta dapat mengurangi tegangan dalam diri manusia. id membutuhkan sebuah sistem yang dapat membantu mengurangi tegangan dengan nyata atau realistik. Ego adalah sebuah sistem yang membantu id mengurangi dan menghilangkan tegangan.

Monang mengurangi tegangan dalam dirinya karena slalu dihantui mimpi- mimpi buruk tentang Manen dengan cara melukis wajah Manen yang muncul dalam mimpinya tersebut. “Akhirnya, aku berhenti menggambar rumah. Kuambil kertas baru, dan kugambarkan Raumanen yang kulihat dalam mimpi. Lebih manis dari foto tua itu. Pasti jauh lebih menarik dari keadaannya sekarang.” (Katoppo, 2006:51). Selain itu pemenuhan kebutuhan untuk merintangi impuls-impuls negatif adalah rencana untuk menengok Raumanen. “Ah, mungkin aku harus pergi menengok Raumanen. Istriku takkan tahu, dan kalaupun ia tahu, apa yang akan dikatakannya?” ( Katoppo, 2006:7).

Mimpi buruk yang selalu dialami Monang adalah sebuah reaksi psikologi yang rumit disebabkan ketidakseimbangan antara id dan pemenuhan kebutuhan dalam mengurangi tegangan. Dalam hal ini Monang merasa kekecewaan dan kesedihan yang teramat dalam karena telah menjerumuskan Manen dalam “kegelapan”.

Masa lalu Monang dilalui dengan indah bersama Manen. Berawal dari pertemuan yang singkat hingga akhirnya mereka mulai dekat dan jatuh cinta. “„Raumanen,‟ nyanyi Monang, „Ku selalu cinta padamu! Raumanen, engkau gadis idamanku!....Wah Raumanen,‟ katanya mendadak, memutuskan lagu yang dikarangnya sendiri. „Aku betul-betul jatuh cinta pada namamu. Kurasa kelak akan kuberikan nama itu kepada anakku.‟” ( Katoppo, 2006:30).

Id yang berkuasa terhadap naluri kehidupan dan seksual, menyebabkan Monang ingin memuaskan kebutuhan tersebut dengan tindakan nyata. Hal tersebut terlihat dari kutipan berikut.

“„Tanganmu dingin,‟ kata Monang, dan mulai mengosok-gosokkan tangan Manen di antara kedua belah tangannya. „Nah, coba kasih yang satu lagi!‟ Tiba- tiba Manen diciumnya.” ( Katoppo, 2006:37). “Monang memeluknya, serta menciumnya lagi. „Jangan menangis. Aku tak bermaksud menyakiti hatimu…‟” ( Katoppo, 2006:38).

“Permainan itu selalu sama saja jalannya. Ciuman dan elusan yang begitu merangsang, lalu pada titik terakhir harus dihentikan. Biasanya oleh Manen.

Pernah ia bertanya pada Monang, „Mengapa sebetulnya kita sedungu ini ? menyiksa diri…kau tahu, dan aku tahu bahwa titik itu tak akan kita lampaui.‟. Aku takkan berkeberatan bila mau kau lampaui !‟. „Aku takkan melampauinya dengan orang yang tak cinta padaku !‟. „Raumanen! Apa katamu? Jadi tak usah nikah dulu?‟. „Sangkamu semua orang menunggu sampai sudah menikah?‟” (Katoppo, 2006 : 59).

Naluri seksual yang terdapat dalam diri Monang semakin besar, hingga ego lebih mementingkan prinsip kenikmatan dari pad prinsip kenyataan. Prinsip kenikmatan lebih tertuju pada apakah hal itu menyakitkan atau menyenangkan, sedangkan prinsip kenyataan lebih tertarik pada apakah hal itu ada dalam kenyataan serta apakah hal itu baik atau tidak.

Monang tidak dapat menahan libido dalam dirinya hingga melakukan hubungan seksual dengan Manen tanpa adanya ikatan pernikahan. “Apa yang terjadi sesudah itu seakan-akan suatu mimpi buruk bagi Manen.

Siapa yang akan dipersalahkannya? Penjaga bungalow, yang kebetulan sedang mencari kesempatan „ngobjek‟ di luar pengetahuan majikannya?

Monang, yang begitu mahir merayu? Dirinya sendiri yang tak sanggup bertahan. Manen menangis tersedu-sedu, dan Monang tampaknya menyesal. Diusap- usapnya rambut Manen, seraya berkata: „Raumanen, jangan menangis. Raumanen, aku akan bertanggung jawab atas kejadian ini. Kita kawin saja….‟” (Katoppo, 2006: 63).

Yang dimaksud dengan “kejadian ini” adalah melakukan hubungan badan. Reality testing atau pengujian terhadap kenyataan digunakan ego untuk melihat Yang dimaksud dengan “kejadian ini” adalah melakukan hubungan badan. Reality testing atau pengujian terhadap kenyataan digunakan ego untuk melihat

Monang membawa adiknya untuk menguji apakah adik-adiknya bisa menerima dan mendukung hubungan Manen dan Monang. Hal itu dikuatkan dengan kutipan berikut.“Monang tampaknya puas, mengajak „ketiga adik- adikku‟ pergi menonton, disusul acara makan bakso di jalan Sabang. „Tahap pertama konfrontasi sudah berjalan dengan baik,‟ gurau Monang malam itu, ketika mengantar Manen. „Tampaknya mereka menyukaimu. Padahal Ria biasa nya begitu pemalu….‟” (Katoppo, 2006: 65).

Ego Monang agar dapat menikah dengan Manen dan hidup bahagia kini mulai pudar ketika ibunya melarang mereka berhubungan dan menjodohkan Monang dengan wanita pilihan ibunya.

Ego itu tampak saat Manen mengungkapkan perihal kehamilannya yang saat itu sudah diketahui oleh teman Manen yakni Philip. Monang lebih memilih untuk menggugurkan kandungan Manen daripada bertanggung jawab dan menikahi Manen. Monang memilih kenikmatan guna memenuhi Id dan menghidarkan diri dari ketidaknyamanan dengan prinsip kenikmatan. “„Maukah ia menolongmu?‟ Monang salah mengerti. „Ya, Raumanen, barangkali itu jalan terbaik, sekalipun itu melanggar hukum…‟” (Katoppo, 2006: 122).

Yang dimaksud dengan kata “menolong” adalah membantu menggugurkan kandungan Manen. Hal itu diperkuat dengan adanya kata “melanggar hukum”.

c. Superego

Kecenderungan dari Superego adalah merintangi Id dan Ego dalam melaksanakan kontrol atas insting-insting. Rasa bersalah, menyesal adalah aktivitas Superego dalam menghadapi konflik dengan Ego . “Sesaat aku tak tahu di mana aku berada. Lalu istriku menyalakan lampu. Dipandangnya aku dengan muka cemberut, mata menuduh. Jadi kutahu, benar, tadi kuteriakkan nama keksih itu. Sungguh tak termaafkan, dan pasti menyayat hati istri y ang setia.”

(Katoppo, 2006: 5). Dalam situasi tersebut Monang merasakan rasa bersalah yang ditujukan kepada istrinya karena mengigau meneriakkan nama kekasihnya, yakni Raumanen.

Rasa bersalah Monang kepada Manen terrepresentasikan lewat mimpi- mimpinya tiap malam. Hal itu dikarenakan perbuatan Monang yang membuat Manen merasa sengsara hingga akhirnya bunuh diri.

“Hubunganku dengan Raumanen adalah hubungan terindah, tersempurna, yang dapat didambakan oleh seorang manusia. Tetapi aku sewenang-

wenang merusakka nnya…dan Raumanen hancur.” (Katoppo, 2006: 78). “Ke manakah kini kecerahan jiwamu, kegairahan senyummu? Sudah lama

aku tak pergi menengoknya. Karena memang aku tak sanggup melihat akibat perbuatanku.” (Katoppo, 2006: 6).

Rasa bersalah dan penyesalan Monang karena telah mencampakkan Manen dan membuat Manen bunuh diri sangatlah dalam. Karena penyesalan tersebut ia merasa hari- hari yang dilaluinya bagaikan di neraka. “Pernah Raumanen mengatakan padaku bahwa neraka bukannya suatu tempat ngeri penuh nyala api, melainkan suatu keadaan teramat dingin —kedinginan rohani yang mematikan jiwa, akibat terputusnya semua hubungan dengan tuhan dan dengan sesama manusia. Kalau begitu aku sudah lama hidup dalam neraka.” (Katoppo, 2006:

Monang juga merasa bahwa hari-harinya merupakan sebuah hukuman dari tuhan karena telalh membebankan penderitaan kepada Manen kekasihnya.

“Setiap hari kurasakan hukumanNya itu. Pagi hari, bila bangun disambut wajah cemberut istri pilihan ibuku. Malam hari, bila terlelap tersiksa impian keindahan

hari-hari lampau itu. O. celakanya manusia! Yang sudah memegang kebahagian dalam kedua telapak tangannya, lalu mencampakkannya, memijaknya karena mengejar kepalsuan dunia ini! Raumanen takkan penah kembali kepadaku. Dan lebih dari itu…”(Katoppo, 2006: 79).

3. Trauma Psikis Manen

Menen adalah seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Manen aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan dan menjadi salah satu pengurusnya. Pertemuannya dengan seorang laki-laki bernama Monang dalam suatu acara kemahasiswaan membuahkan rasa cinta di antara keduanya. Mereka menjalin hubungan walau hubungan itu tidak disetujui oleh teman-teman Manen dan keluarga Monang. Segala prinsip yang dipegang teguh Manen selama ini dilupakan begitu saja hanya karena Monang, hingga ia menyerahkan “keperawanannya” kepada Monang.

Manen telah melanggar prisipnya yang telah dipegang teguh selama ini, hanya karena seorang laki-laki dan kenikmatan sesaat. Manen memberikan kesuciannya kepada Monang, hal itu terdapat dalam kutipan berikut.

“Akhirnya mereka pergi berteduh di suatu bungalow dekat situ.” (Katoppo, 2006 : 62).

“Apa yang terjadi sesudah itu seakan-akan suatu mimpi buruk bagi Manen. Siapa yang akan dipersalahkan?... Monang, yang mahir merayu? Dirinya sendiri, yang tak sanggup bertahan? (Katoppo, 2006 : 63).

“Raumanen, jangan menangis. Raumanen, aku akan bertanggung jawab atas kejadian ini, kita kawin saja….”(Katoppo, 2006 : 63).

Id manen menunjukkan adanya energi yang tidak sepadan dengan emosi yang meledak-ledak, kekecewaan yang mendalam, serta ketakutan yang luar biasa saat ia mendengar vonis bahwa ia hamil dan menderita penyakit “Dan tiba-tiba dianggapnya dirinya menjadi makhluk yang terhina, terkeji, yang pernah hidup di dunia. Semua pegangannya, segala sesuatu yang pernah dibanggakannya kini sudah hancur seluruhnya di sekitarnya. Harapannya tertindih puing-puing perbuatannya. Tak ada jalan keluar terhormat. Tak ada kata- kata penghiburan” (Katoppo, 2006 : 126).

Saat semua ketakutan dan kecemasan meliputinya, otaknya mulai membentuk suatu pemikiran yang tidak realistis dan membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. “Tetapi kalau aku berjalan terus di jalan yang kini terpaksa ku tempuh… sterpaksa kubunuh anakku yang tak bersalah. Kata Philip anakku itu pasti akan cacat. Aku pernah belajar ilmu kesehatan di sekolah, dan aku tahu betapa ngerinya bentuk cacat yang disebabkan oleh penyakit sipilis keturunan.”

(Katoppo, 2006 : 126). Manen berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan pemikiran yang “membesar-besarkan” dirinya. “Bukan salahku, kata Philip, salah Monang. Dosa Monang, yang kotor hidupnya, dan telah turut menjerumuskan aku ke dalam kekejian perilakunya…Bukankah aku sudah dewasa, …Pada persimpangan jalan,

kutahu betul mana yang salah dan mana yang benar. Namun kubiarkan diriku dirayu memilih jalan yang salah.” (Katoppo, 2006 : 127).

Penenangan ini diharapkan akan membawa pada pengurangan tekanan yang selanjutnya akan menuju pada pemenuhan Ego Manen.

Ego yang muncul membuatnya termotivasi dan menyebabkan adanya suatu tindakan untuk merealisasikan berbagai kebutuhan yang bersumber dari insting- insting dasar yang ia bawa. Pembawaan yang ditampilkan akan mendapat dukungan terhadap segala tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya.

Manen memberitahu Monang perihal kehamilannya. Hal itu dilakukan supaya Monang mau bertanggung jawab dan segera menikahinya. “„Ada gejala-gejala

tertentu,‟ katanya tanpa nada, „yang menunjukkan bahwa bukan Cuma kau dan aku dan keluarga masing-masing yang terlibat dalam soal ini... tetapi juga seorang

makhluk kecil...‟” (Katoppo, 2006 : 99). Namun Ego Manen berubah menjadi tidak mau mempertimbangkan baik dan

buruknya sesuatu saat ia mendengar Monang ingin agar bayi itu digugurkan. “„tak pernah kusangka,‟ kata Manen pelan, putus asa. „tak pernah terdugakan olehku bahwa inilah sifatmu yang sebenarnya. Kau cuma mau enaknya saya. Biar aku yang menderita batin, biar Philip melanggar sumpahnya, biar anakmu terbunuh.

Asal kau luput dari semuanya itu. Luput dari tanggung jawab...‟” (Katoppo, 2006 : 122).

Superego akan memunculkan batasan-batasan yang dijadikan sebagai ukuran moral bagi bentuk perilaku untuk merealisasikan suatu kebutuhan. “Barangkali

kalau kita sudah menikah secara sah, akan berubah sikapku terhadap Monang, terhadap semua ini. Mudah-mudahan. Karena kita toh akan menikah. Kita akan menjadi kawan seterusnya dalam hidup yang singkat ini.” (Katoppo, 2006: 70).

Superego merupakan aspek sosiologi kepribadian yang mempunyai fungsi pokok menentukan benar-salahnya atau susila tidaknya sesuatu. Dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat. Pada awalnya, Manen Superego merupakan aspek sosiologi kepribadian yang mempunyai fungsi pokok menentukan benar-salahnya atau susila tidaknya sesuatu. Dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat. Pada awalnya, Manen

Manen mulai takut menghadapi lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, ia semakin senang menyendiri dan mengasingkan diri. Jiwanya tertekan dan kecemasan menguasai dirinya saat berhadapan dengan orang lain, ia mulai cemas seakan-akan orang- orang itu tahu bahwa dirinya hamil. “ Terkucilkah ? Ah, bukankah aku yang mengucilkan diriku…Mencari ketenangan, yang lebih berharga dari pada kebahagiaan…Aku mau tenang saja. Dan sebetulnya aku berhasil. Cuma akhir- akhir ini kurasa makin sering kegelisahan memercik jiwaku” (Katoppo, 2006 : 47).

Individu-individu yang telah terlibat dalam peristiwa traumatik akan mengalami tekanan psikologi berkaitan dengan kejadian tersebut. dalam kebanyakan kejadian, ini adalah reaksi yang biasa kepada keadaan yang luar biasa. Kejutan kelanjutan reaksi yang ber-emosi ini mungkin wujud dari selepas peristiwa traumatik tersebut ataupun selepas beberapa minggu, bahkan beberapa bulan kemudian. Tanda-tanda dan gejalanya mungkin berbeda-beda dari segi masa dan kadar kesannya.

Gangguan tekanan kejadian traumatik adalah keadaan yang melemahkan diri yang menyusul satu peristiwa yang mengerikan. Gejala-gejalanya mungkin tidak terlalu buruk sebagai contoh individu tersebut menjadi mudah marah atau meledak-ledak, murung, menyendiri, dan lain-lain. Namun ada dalam beberapa Gangguan tekanan kejadian traumatik adalah keadaan yang melemahkan diri yang menyusul satu peristiwa yang mengerikan. Gejala-gejalanya mungkin tidak terlalu buruk sebagai contoh individu tersebut menjadi mudah marah atau meledak-ledak, murung, menyendiri, dan lain-lain. Namun ada dalam beberapa

4. Kategori Umum Gejala-Gejala Traumatik

Terdapat tiga kategori utama gejala-gejala yang berlaku selepas peristiwa traumatik. Yaitu mengalami trauma awal, penghindaran diri, dan timbulnya hiper.

a. Mengalami Trauma Awal Umumnya orang yang menghadapi trauma akan mempunyai episode- episode saat mengalami peristiwa traumatik awal dalam bentuk ingatan yang datang secara tiba-tiba dan yang jelas yang diikuti oleh perasaan emosi yang menyakitkan. Ini disebu t satu “imbasan kembali”, satu kenangan yang sangat kuat sehingga individu tersebut menganggap yang dirinya sebenarnya mengalami semula trauma itu atau melihat dirinya berada di hadapan matanya sendiri. Pengalaman trauma ini berlaku di dalam bentuk drama yang berulan- ulang.

Pada Manen, gejala trauma awal terjadi pada dirinya, namun penggambaran pada cerita tidak terlalu jelad. Dalam novel ini hanya penulisan kondisi tersebut dengan menggunakan kiasan- kiasan. “Karena pernah kita begitu bahagia bersama-sama. Menghayati bersama-sama kecerahan hari hidup kita. Lalu badai menyambar kita sehingga kita terpisahkan. Tetapi itu bukan cuma salahmu,

Monang....Kapalku kandas, sedangkan kapalmu berlayar terus tanpa harapan” (Katoppo, 2006 : 4).

Gejala trauma awal yang dialami Manen membuatnya merasa tertekan, seakan-akan semua orang menyalahkannya atas tindakannya melakukan

hubungan badan tanpa ikatan pernikahan. “Apalagi sekarang, pikirnya. Setiap detik menyeretku ke saat terkutuk itu, aku akan ditelanjangi di hadapan orangtuaku dan orangtua Monang, keluargaku dan keluarga Monang, teman- temanku dan teman- temannya....” (Katoppo, 2006: 117).

b. Penghindaran Diri Mereka yang mengidap trauma selalu menghindari hubungan emosi yang erat dengan keluarga, rekan sekerja, dan teman-teman. Orang tersebut merasa kaku, mempunyai emosi yang berkekurangan dan sering mengatakan mereka tidak punya emosi terutama terhadap mereka yang paling akrab.

“Manen sebetulnya tidak mendengarkan semua itu lagi. Ia merasa bersalah melihat betapa rajinnya Lani mencatat semua tanya jawab, tetapi

pikirannyabetul-betul terlalu kacau. Akhirnya ia berdiri, minta izin kepada ketua sidang untuk meninggalkan rapat.” (Katoppo, 2006 : 84). “„Sar, nanti kupinjam catatanmu, ya? Aku tak enak badan, lebih baik pulang saja …‟ suaranya gemetar. Sebelum Sara sempat menjawab, Manen sudah bergegas- gegas pergi.” (Katoppo, 2006 : 87). “Manen membuang muka, mencoba menyembunyikan air mata….Manen berbisik, „Norah, kita pulang saja….‟. „tidak‟ kata Norah. „kalau kita sudah

datang sejauh ini, hendaknya kita beritahukan kepada Monangmu itu bahwa kita datang.‟” (Katoppo, 2006 : 92).

Percakapan antara Manen dan Norah di atas menunjukkan bahwa Manen enggan menemui Monang karena ingin menghindar dari Monang. “Manen berpaling, dan pergi dari situ, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Masih didengarnya Monang memanggil namanya, tetapi ia sudah tak mau berbalik lagi.” (Katoppo, 2006 : 123).

c. Timbulnya Hiper Freud pernah mengatakan, bahwa di dalam diri seseorang manusia, akan ada tiga personality yang sama dan saling melengkapi atau pun berlawanan, tergantung kepada keadaan psyche dan keselarasan neurosis yang ada di dalam seseorang individu. Keadaan psyche individu sedikit banyak dipengaruhi masyarakat sekitar yang menjadi penghantar kepada gagasan (mind) dan sanubari seseorang. Tiga personality ini adalah Id, Ego, dan Superego (Hall and lindzey, 1993:63).

Orang yang mengalami trauma mungkin bersikap bahwa mereka terancam oleh trauma itu secara terus-menerus. Mereka menjadi jengkel dan sukar untuk memfokuskan perhatian. Mereka sering terkejut oleh bunyi-bunyi yang kuat.

Adakalanya mereka yang mengalami trauma mengidapi serangan cemas di mana gejala-gejalanya melibatkan rasa takut yang keterlaluan yang menyerupai perasaan yang dirasakan semasa trauma tersebut. Mereka bisa saja berkeringat, sesak napas dan jantung berdebar yang meningkat.

“Sesaat Manen menjadi pucat, dan mata Philip tiba-tiba waspada. Memang istilah „dibajak‟ itu digunakan sahat secara bergurau, seperti sudah menjadi

kebiasaan mereka. Tetapi kahir-akhir ini Manen begitu perasa. Menganggap bahwa semua rekannya sudah kenal rahasianya, sudah tahu bahwa Manen bukan seorang gadis murni lagi, tetapi betul- betul sudah dibajak Monang.” (Katoppo, 2006 : 82). “Manen merasa dingin mendengar pertanyaan temannya. Apakah Philip sudah menduga rahasianya? „Minum, Phil,‟ jawabnya, seraya tertawa agak gelisah. „Mengapa? Tampangku masih avitaminose?‟” (Katoppo, 2006 : 119).

Pengalaman tokoh utama juga memiliki keterkaitan dengan kecemasan realistis, yaitu pada saat ia merasakan bahaya yang mengancam dirinya akibat penyakit sifilis. “Manen menggelengkan kepala. Tak mungkin sehat? Positif?

Apa artinya semua itu? Seakan-akan Philip berbicara dalam suatu bahasa asing, Apa artinya semua itu? Seakan-akan Philip berbicara dalam suatu bahasa asing,

Kecemasan neurotis juga dialami oleh tokoh Manen. Kecemasan ini merupakan kecemasan yang bersumber dari faktor yang membahayakan sebagai akibat karena pemilihan suatu objek dorongan Id (naluri). Manen mengalami suatu kenyataan yang menimpa dirinya, sehingga ia tidak memiliki pengendalian diri yang normal dan tidak realistis.

“Manen mengigil. Baru sekarang makna perkataan Philip meresap sepenuhnya ke padanya. “Dan tiba-tiba dianggapnya dirinya menjadi makhluk yang terhina, terkeji, yang pernah hidup di dunia. Semua pegangannya, segala sesuatu yang pernah dibanggakannya kini sudah hancur seluruhnya di sekitarnya. Harapannya tertindih puing-puing perbuatannya. Tak ada jalan keluar terhormat. Tak ada kata- kata penghiburan” (Katoppo, 2006 : 126).

Selain itu, kecemasan moral atau perasaan-perasaan bersalah juga dialami oleh Manen. Kecemasan ini bersumber dari ancaman-ancaman terhadap sistem Ego (ketakutan terhadap hati nurani sendiri) karena Superego-nya berkembang dengan baik dan menimulkan perasaan malu, bersalah, serta berdosa bila melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan Ego ideal atau moralnya yang diberikan dalam kepribadian individu tersebut oleh orangtua dan lingkungan. Kecemasan ini timbul akibat tekanan Superego atas Ego individu berhubung individu telah atau sedang melakukan tindakan yang melanggar moral (Freud dalam Koeswara, 1986: 45). “Kata Philip anakku itu pasti akan cacat. Aku pernah belajar ilmu kesehatan di sekolah, dan aku tahu betapa ngerinya bentuk cacat yang disebabkan oleh penyakit sipilis keturunan. Bukan salahku, kata Philip, salah Monang. Dosa Monang, yang kotor hidupnya, dan Selain itu, kecemasan moral atau perasaan-perasaan bersalah juga dialami oleh Manen. Kecemasan ini bersumber dari ancaman-ancaman terhadap sistem Ego (ketakutan terhadap hati nurani sendiri) karena Superego-nya berkembang dengan baik dan menimulkan perasaan malu, bersalah, serta berdosa bila melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan Ego ideal atau moralnya yang diberikan dalam kepribadian individu tersebut oleh orangtua dan lingkungan. Kecemasan ini timbul akibat tekanan Superego atas Ego individu berhubung individu telah atau sedang melakukan tindakan yang melanggar moral (Freud dalam Koeswara, 1986: 45). “Kata Philip anakku itu pasti akan cacat. Aku pernah belajar ilmu kesehatan di sekolah, dan aku tahu betapa ngerinya bentuk cacat yang disebabkan oleh penyakit sipilis keturunan. Bukan salahku, kata Philip, salah Monang. Dosa Monang, yang kotor hidupnya, dan

Dalam hal ini pikiran Manen melayang, membayangkan perasaan takut jika anaknya terlahir cacat karena penyakit sifilis keturunan. Di sisi lain, ia mencoba menenangkan dirinya dengan menyalahkan orang lain atas keadaan tersebut.

Isolasi dengan dunia luar semakin mempertinggi tekanan kecemasan yang semakin kuat, sehingga menimbulkan gerak impuls neurosis. Raumanen tidak lagi dapat mengendalikan diri dan emosinya, tidak lagi bisa mengarahkan energinya untuk mencari solusi terbaik, namun cenderung untuk menepis beberapa harapannya untuk sembuh. Khayalan akan penyakitnya, harapannya yang kandas untuk membangun rumah tangga bersama Monang, ayah dari anak yang dikandungnya, membuatnya ingin segera mengakhiri hidupnya untuk m enebus segala dosa yang telah diperbuatnya. “Tetapi pisau itu sudah jatuh ke lantai. Dan Raumanen terkapar di atas ranjang, menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Dan darah yang mengalir dari pergelangan tangannya, dalam remang-remang cahaya bulan itu tampaknya seperti pita-pita merah yang sangat indah, yang tak pernah dapat disambung lagi ” (Katoppo, 2006 : 128).

Berdasarkan kriteria di atas, Manen memiliki sifat-sifat tersebut. Dengan demikian, kesimpulannya dapat ditemukan bahwa Manen menderita trauma psikis disebabkan masalah-masalah yang dihadapinya antara lain hubungannya dengan Monang yang ditentang orangtua Monang, kehamilan yang terkena penyakit sifilis keturunan, serta Monang yang tidak mau bertangguang jawab atas kehamilannya tersebut.

Masalah-masalah tersebut membuat Manen mengalami trauma psikis yang luar biasa hingga dia tidak dapat mengendalikan Ego dan Superego-nya untuk menghalangi Id. Ketika Id mulai menguasai dan Ego serta Superego tidak lagi berfungsi, maka apa yang dilakukan Manen tidak lagi realistis. Ia tidak mencoba memecahkan masalah dan mencari solusinya, namun melakukan tindakan yang membahayakan dirinya sendiri dan anak dalam kandungannya, yakni bunuh diri.