Perang Kepentingan Dalam Elit SI Pasca Polemik Surat Kabar Djawi

A. Perang Kepentingan Dalam Elit SI Pasca Polemik Surat Kabar Djawi

Hisworo

Sebagai organisasi massa terbesar pada zamannya, SI pun mengalami perebutan di pucuk pimpinan oleh beberapa kubu. Kubu Cokroaminoto-Abdoel Moeis dengan kubu Goenawan-Samanhudi. Di lain pihak Semaoen juga menggagas dibukanya SI untuk semua golongan, sebagai tindakan penyelamatan SI dari organisasi yang sektarian. Di beberapa wilayah di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Cokroaminoto dianggap sebagai ratu adil. Hal yang sama juga terjadi pada Goenawan yang dielukan sebagai ratu adil di kawasan Sumatra dan Jawa Barat. Tarik ulur kekuatan antara keduanya juga sangat berpengaruh di kepengurusan SI. Tidak heran bahwa beberapa cabang SI menuntut perwakilan yang sepadan. Sebagai contoh, pada kongres SI di Surabaya 1915, hanya wakil SI Medan yang diberi jabatan komisaris (Moh. Samin). SI lokal di Sumatera, yang memberikan sumbangan dana lebih besar justru tidak mendapatkan jabatan apapun.

1. Perselisihan Antara Kubu Cokroaminoto-Abdoel Moeis dengan Kubu Goenawan-Samanhudi dalam Tubuh SI Pusat

Ketertarikan rakyat terhadap SI mulai menurun setelah sering mengalami

Ratu Adil juga mengalami penurunan. Hal tersebut menyebabkan tulisannya mulai tidak menarik. Dalam Sinar Djawa 16 April 1914 sudah muncul komentar bahwa SI sudah menjadi masa lalu, mulai ditinggalkan orang ibarat "habis

menonton wayang”. Ketika Cokroaminoto baru memegang kepemimpinan pada April 1914, pada akhir Juni tahun itu masih ada 60 SI lokal diresmikan, tetapi ini

lebih banyak nama saja. Selama Juli 1914-Juni 1915 hanya 18, sedangkan Juli 1915-akhir 1916 hanya berjumlah ll.

Perkembangan ini mengakibatkan menyusutnya sumber keuangan SI. Iuran yang diwajibkan pada anggota tidak berjalan dengan maksimal. Tjokroaminoto masih melakukan rutinitas dengan terus mengunjungi daerah- daerah di Jawa dan mengadakan rally. Dari kunjungan kedaerahannya Cokroaminoto, SI lokal yang baru memang masih saja terbentuk, namun

demikian, SI lokal yang lama praktis mengalami kelesuan. 1

Pada kongres SI di Surabaya bulan Juli 1915, Goenawan bersekutu dengan Samanhoedi dan mengundang semua wakil SI lokal di Sumatera yang tidak mendapat kedudukan komisaris. Pada Desember 1915, Goenawan mengumumkan rencana anggaran dasar CSI untuk Jawa Barat dan Sumatera dalam Pantjaran Warta . Sebulan kemudian, SI se-Jawa Barat dan Sumatera mengadakan rally, sekaligus meresmikan terbentuknya CSI untuk wilayah tersebut. Samanhoedi terpilih menjadi ketua, sedang Goenawan terpilih menjadi sekretaris merangkap sebagai bendahara.

1 Takashi Shiraishi,1997, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: PT.Pustaka Utama Grafiti, hlm. 109-110.

Pertikaian kedua pemimpin ini merupakan pertanda betapa dangkalnya kemampuan organisasi SI, yang besar dalam jumlah anggota itu, di bawah kepemimpinan Cokroaminoto. Hal tersebut tercermin dalam perselisihannya dengan Goenawan. Bermaksud mendirikan CSI sendiri untuk Jawa Barat dan Sumatera, Goenawan mendasarkan tantangannya semata-mata pada perubahan perimbangan kekuasaan geografik karena seakan terpusat di Jawa. Persoalan pokoknya adalah uang dan hubungan kekuasaan antara mereka berdua, samasekali bukan mengenai tujuan organisasi, bagaimana pemimpinnya harus bertindak, dan ke arah mana organisasi dipimpin. Goenawan dan Cokroaminoto, dua-duanya berkutat dengan soal sepele.

Hal tersebut menyebabkan SI di bawah Cokroaminoto memang besar, tetapi hampa (colossal but empty). Baik gagasan maupun gaya yang baru tak ada lagi muncul dari tangan Cokroaminoto. Teknik rally sendiri mengadopsi dari strategi Indische Partij yang diterapkan oleh tiga serangkai. Cokroaminoto tetap saja seorang satria di bawah perlindungan kekuasaan negara. Sementara itu, dunia

sedang berada dalam zaman yang berubah cepat menjelang akhir PD I. 2 Menanggapi manuver dari kubu Goenawan, Kubu Cokroaminoto tidak tinggal diam, ia menunjuk Ardiwinata dan SI Batavia menjadi bendahara CSI dengan harapan bisa lebih mudah memindahkan iuran. Hal ini tidak berjalan dengan baik karena Ardiwinata berada di bawah Goenawan dalam segala hal. Lalu pada Desember 1915 Cokroaminoto mengungkapkan penyelewengan Goenawan sebesar 60.000 gulden dari kas SI.

2. Tampilnya Cokroaminoto sebagai Anggota Volksraad (Dewan Rakyat)

Pada 20 Maret 1918 Oetoesan Hindia, mengumumkan hasil pemufakatan internal SI mcngcnai pengangkatan Cokroaminoto, Pemimpin besar CSI, sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Dari cabang SI yang diakui CSI, 28 cabang di antaranya menyetujui masuknya Cokroaminoto sebagai wakil SI di dalam Volksraad , sedangkan 26 cabang lainnya menyatakan tidak setuju, dan 1 blangko kosong serta 3 suara tidak sab. Dengan hasil ini, Cokroaminoto kemudian dapat

dengan tenang melenggang di dalam forum Volksraad. 3

Adanya dukungan dari segenap cabang-cabang SI, Cokroaminoto, Ketua Umum CSI akhirnya menyatakan bersedia menjadi anggota Volksraad. Sesaat setelah diperoleh permufakatan dari segenap cabang-cabang SI (Sarekat Islam) se- Jawa dan Madura mengenai hal tersebut, Cokroaminoto segera menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul Graaf van Limburg Stirum,

untuk mcnyatakan kescdiaannya duduk di dalam keanggotaan Volksraad. 4 Strategi Cokroaminoto dalam menanggapi kasus Djawi Hisworo sangat halus dan tepat sasaran. Dari kasus yang menggerakkan ribuan orang untuk kembali mendukung Islam (Sarekat Islam) sekaligus mengumpulkan dana, Cokro berhasil menjadikannya senjata ampuh untuk dapat masuk ke dalam Volksraad.

Fokus utama dari pergerakan Cokroaminoto ini bukan tanpa alasan. Pada pokoknya, visi perjuangan Tjokroaminoto adalah perwakilan rakyat dalam Hindia Belanda untuk pada akhirnya otonomi serta pemerintahan sendiri

3 Slamet Muljana, 2008, Kesadaran nasional: dari kolonialisme sampai kemerdekaan, Yogyakarta :LKis, hlm. 124.

(selfgovernment), bukan kemerdekaan. Pendapat Cokroaminoto ini dijelaskan ketika menjawab Darnakoesoema, wakil Insulinde pada sebuah perdebatan di surat kabar:

Apakah artinya suatu negeri Hindia yang memerintah diri sendiri tetapi tak mampu mempertahankan diri dan menggempur musuh? Lebih banyak hak-hak haruslah diberi seiring dengan banyaknya kewajiban. Kewajiban dan hak haruslah sama banyaknya. Ini merupakan tuntutan yang masuk akal. Kita memang harus punya ke- merdekaan, tetapi kita juga harus menaati hukum yang sehat.

Ketertiban dan kemerdekaan itu sama dan sebangun. 5

Organisasi yang tidak ambil pusing dengan langkah Cokroaminoto dan Abdoel Moeis adalah Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Ketika Cokroaminoto mengu-mumkan keabsahannya menjadi anggota Volksraad, ISDV justru mengadakan rapat di Dagen, Jogjakarta. Agendanya, apalagi kalau bukan masalah hak-hak buruh dan perlawanan tehadap kaum kapitalis. Tamu yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Adolf Baars, tokoh sosialis asal Belanda.

Pada 21 Maret 1918, Neratja memaparkan hasil referendum Centraal Sarekat Islam (CSI) beberapa waktu sebelumnya. Referendum tersebut memutuskan bahwa CSI akan mengirimkan wakilnya dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Mekanisme referendum terpaksa ditempuh karena terjadi perselisihan internal di dalam tubuh CSI. Ketidaksepakatan tersebut gara-gara pcngurus Sarekat Islam (SI) cabang Semarang, Semaoen dan Darsono, yang menentang kcikutsertaan CSI dalam Volksraad. Bagi Darsono dan Semaoen keikutsertaan CSI dalam Volksraad menjadikan SI kooperatif dan tunduk kepada kaum kolonial.

Di tengah konflik antar cabang SI dan kasus Djawi Hisworo yang masih mengambang, Cokroaminoto menyusun sebuah surat permohonan (rekest) yang cukup panjang kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia. Melalui rekest tersebut Cokroaminoto memohon supaya pemerintah Kolonial membahas lagi mengenai bencana kelaparan yang melanda warga Bumiputera di Trenggalek, Jawa Timur. Sebab pihak kolonial, belum berbuat apapun untuk mengatasi masalah tersebut.