PEMAKNAAN DOSEN TERHADAP GAYA PAKAIAN KULIAH MAHASISWA FISIP UNS

MAHASISWA FISIP UNS

Disusun Oleh : DESTA ARIYANI ASTUTI

D 0306029

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Telah Disetujui Untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pembimbing

Dr. Mahendra Wijaya, MS NIP. 19600723 198702 1 001

Telah Disetujui dan Diujikan Oleh Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Hari

Tanggal

Penguji :

Ketua

1. Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si NIP. 19660112 199003 1 002 (………..……………..) Sekretaris

2. Siti Zunariyah, S.Sos, M.Si NIP. 19770719 200801 2 016

(……………………...) Penguji

3. Dr. Mahendra Wijaya, MS NIP. 19600723 198702 1 001

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Dekan

J “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al Baqarah: 186)

J You have to endure caterpillars if you want to see butterflies. (Anda harus tahan terhadap ulat jika ingin dapat melihat kupu-kupu). (Antoine De

Saint)

J Mensyukuri sekecil apapun anugerah, dan menghadapi setiap kesulitan

dengan ikhlas adalah kunci ketenangan hati. (Desta Ariyani Astuti)

J Menunda pekerjaan dan membuang-buang waktu sama saja menunda kesuksesan. (Desta Ariyani Astuti)

Dengan segala kerendahan diri, kupersembahkan Skripsi ini kepada :

J Ibuku, Ayahku tercinta yang sangat luar biasa atas doa, semangat, dan

kasih sayangnya selalu kepada penulis. J Adikku sayang ”Dhina” atas doa dan semangatnya. J ”Masku”, atas semangat, doa, dan kasih sayang. J Sahabat-sahabatku tersayang dan terbaik Dila, Putri, Liedha yang selalu

memberikan semangat dan motivasi. J Richa, Lya, dan Ulunc atas kebersamaan serta keceriaan kita saat-saat di

Luftanza J Almamaterku.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pemaknaan Dosen Terhadap Gaya Pakain Kuliah Mahasiswa FISIP UNS”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat bapak Dr. Mahendra Wijaya, MS selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Drs. Supriyadi SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan bagi penulis selama belajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Seluruh informan beserta semua pihak yang telah membantu dalam menyusun skripsi ini.

7. Ibuku, Ayahku tercinta yang sangat luar biasa, atas doa, semangat, dan kasih sayangnya selalu kepada penulis.

8. Adikku “Dhina” atas motivasi kepada penulis.

9. Masku, atas doa, semangat, dukungan, dan perhatian yang luar biasa

10. Sahabatku tersayang Dila, Putri, Liedha yang selalu ada disetiap suasana serta semangat yang diberikan bagi penulis.

11. Teman seperjuanganku Novita, Pakde Yanto, atas semangatnya

12. Keluarga besar Sosiologi angkatan 2006 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaanya selama ini.

Akhirnya semoga Allah SWT membalas budi baik dan amal mereka yang tiada tara dan anugerah yang berlipat ganda atas jasa yang tiada ternilai harganya. Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Namun, besar harapan penulis semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

Surakarta, Agustus 2010

H. Metodologi Penelitian ...........................................................

1. Jenis Penelitian ................................................................

2. Lokasi Penelitian .............................................................

3. Teknik Pengumpulan Data ..............................................

4. Teknik Pengambilan Sampel ..........................................

5. Validitas Data ..................................................................

6. Teknik Analisa Data........................................................

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI DAN TATA TERTIB BERPAKAIAN MAHASISWA FISIP UNS ...............................................................

A. Sejarah Perkembangan Universitas Sebelas Maret ...............

B. Visi, Misi, dan Tujuan Universitas Sebelas Maret................

C. Sejarah Perkembangan FISIP UNS.......................................

D. Visi.Misi, dan Tujuan FISIP UNS ........................................

E. Tujuan Strategis ....................................................................

F. Susunan Organisasi FISIP UNS ............................................

G. Tata Tertib Berpakaian di FISIP UNS ..................................

H. Fasilitas Tata Tertib Berpakaian Mahasiswa FISIP UNS .....

I. Petugas Penegak Tata Tertib Berpakaian mahasiswa FISIP UNS ............................................................................

BAB III PEMAKNAAN DOSEN TERHADAP GAYA PAKAIAN KULIAH

FISIP UNS ............................................................................

C. Kepatuhan Mahasiswa terhadap Tata Tertib Berpakaian yang Berlaku di FISIP UNS...........................................................

D. Gaya Pakaian Kuliah Mahasiswa FISIP UNS dan Etika Berpakaian ............................................................

E. Pemaknaan Dosen Terhadap Gaya Pakaian Kuliah Mahasiswa FISIP UNS .........................................................

F. Petugas Penegak Tata Tertib Berpakaian Mahasiswa FISIP UNS ............................................................................

G. Fasilitas Penegak Tata Tertib Berpakaian Mahasiswa FISIP UNS ............................................................................

H. Sanksi bagi mahasiswa yang tidak mengindahkan Tata tertib berpakaian di FISIP UNS ....................................

127 BAB IV PEMBAHASAN .................................................................

A. Etika Berpakaian Mahasiswa ................................................

B. Gaya Pakaian Kuliah Mahasiswa FISIP UNS ......................

C. Pemaknaan Dosen terhadap Gaya Pakaian Kuliah Mahasiswa FISIP UNS .........................................................

D. Ketertiban Mahasiswa FISIP UNS dalam berpakaian ..........

E. Penyimpangan Mahasiswa terhadap Tata Tertib

A. Kesimpulan ...........................................................................

166

B. Implikasi................................................................................

167

1. Implikasi Teoritis ..............................................................

167

2. Implikasi Metodologis ......................................................

170

C. Saran .......................................................................................

172

1. Saran untuk Mahasiswa ..................................................

172

2. Saran untuk Dosen ..........................................................

173

3. Saran untuk Pegawai Pelaksana Administrasi ................

173

4. Saran untuk Pelaksana Akademik (Jurusan) ...................

174

5. Saran untuk Pimpinan Fakultas.......................................

174 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................

176 LAMPIRAN ......................................................................................

179

Bagan 1. Kerangka Berpikir ..............................................................

25 Bagan 2. Triangulasi Data .................................................................

34 Bagan 3. Model Analisis Interaktif ...................................................

36 Bagan 4. Struktur Organisasi FISIP UNS .........................................

71

Tabel 1. Jurusan dan Program Studi di FISIP UNS .......................

51 Tabel 2. Jumlah Dosen FISIP UNS berdasarkan Jurusan

Tahun 2009 ......................................................................

54 Tabel 3. Jumlah Pegawai Administrasi FISIP UNS ......................

57 Tabel 4. Data Mahasiswa FISIP UNS tahun 2005-2009 ...............

60 Tabel 5. Fasilitas Penunjang Tata Tertib Berpakaian ....................

69

Matrik 1. Pemahaman Informan terhadap Tata Tertib Berpakaian

di FISIP UNS .................................................................

82 Matrik 2. Penilaian Dosen terhadap derajat kepatuhan mahasiswa

terhadap tata tertib berpakaian .......................................

87 Matrik 3. Pelanggaran Mahasiswa FISIP UNS terhadap

tata tertib berpakaian ......................................................

90 Matrik 4. Kesesuaian gaya pakaian kuliah mahasiswa

FISIP UNS dengan etika ................................................

94 Matrik 5. Sikap dosen terhadap mahasiswa yang gaya pakaiannya

tidak sesuai dengan etika di kampus ..............................

101 Matrik 6. Gaya pakaian yang diinginkan mahasiswa ....................

107 Matrik 7. Gaya pakaian kuliah mahasiswa yang diharapkan dosen

109 Matrik 8. Petugas penegak tata tertib berpakaian FISIP UNS .......

113 Matrik 9. Efektifitas fasilitas tata tertib berpakaian mahasiswa ....

122 Matrik 10. Cara meningkatkan efektifitas fasilitas tata tertib

Berpakaian mahasiswa FISIP UNS................................

126 Matrik 11. Sanksi pelanggaran tertib berpakaian kepada

mahasiswa di FISIP UNS ...............................................

Gambar 1. Peringatan tertib berpakaian di loby gedung 1.... .........

63 Gambar 2. Peringatan di pintu masuk ruang TU ...........................

63 Gambar 3. Peringatan di pintu ruang dekanat ................................

64 Gambar 4. Peringatan di pintu ruang jurusan Sosiologi ................

64 Gambar 5. Peringatan di papan pengumuman Ilmu Komunikasi ..

65 Gambar 6. Mahasiswa memakai sandal .........................................

66 Gambar 7. Mahasiswa memakai sandal .........................................

66 Gambar 8. Mahasiswa memakai kaos oblong ................................

67 Gambar 9. mahasiswa memakai kaos oblong ................................

67 Gambar 10. Peringatan tertib berpakaian di loby gedung 1.... .......

80 Gambar 11. Peringatan di pintu masuk ruang TU .........................

81 Gambar 12. Peringatan di pintu ruang dekanat ..............................

81 Gambar 13. Peringatan di pintu ruang jurusan Sosiologi ..............

81 Gambar 14. Peringatan di papan pengumuman Ilmu Komunikasi

82 Gambar 15. Mahasiswa memakai kaos oblong .............................

96 Gambar 16. Mahasiswa memakai sandal .......................................

96 Gambar 17. Mahasiswa memakai sandal .......................................

DESTA ARIYANI ASTUTI, 2010, D0306029. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. PEMAKNAAN DOSEN TERHADAP GAYA PAKAIAN KULIAH MAHASISWA FISIP UNS

Tujuan penelitian ini adalah untuk Mmengetahui pamaknaan dosen terhadap gaya pakaian kuliah dan tindakan dosen sebagai dampak dari pemaknaan terhadap gaya pakaian kuliah mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam menggali data-data dari lapangan, yaitu melalui teknik wawancara mendalam, dan observasi langsung. Data primer diperoleh dari hasil wawancara. Untuk menguji validitas data digunakan triangulasi data yaitu merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu seperti dokumentasi gambar. Triangulasi mencerminkan suatu upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti. Pengambilan sampel penelitian ini adalah melalui purposive sampling yaitu pemilihan sampel secara sengaja dengan maksud menemukan apa yang sesuai dengan tujuan penelitian. Sebagai respondennya adalah 7 orang mahasiswa, 4 orang dosen, 4 orang pimpinan dan unsur akademik (jurusan), dan 3 orang pegawai pelaksana administrasi FISIP UNS.

Dari serangkaian data di lapangan dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian mahasiswa tidak begitu memahami bagaimana etika berpakaian yang berlaku di kampus FISIP UNS yakni Surat keputusan Rektor No. 487A/J27/KM/2005 dalam Tata Tertib Kehidupan Mahasiswa sub F dijelaskan pula tentang tata tertib busana dan etika kesopanan yang berlaku dalam masyarakat yang menganut adat ketimuran. Dosen dan mahasiswa sendiri menilai bahwa mahasiswa sebagian besar belum mematuhi etika berpakaian yang berlaku di FISIP UNS. Faktor penyebab mahasiswa tidak mengikuti etika berpakaian dikarenakan mahasiswa mengikuti tren berpakaian, ingin santai, tidak ingin dianggap ketinggalan jaman, dan rendahnya minat membaca aturan yang sudah dipasang di berbagai tempat di FISIP UNS.

Gaya pakaian kuliah yang diharapkan dosen dan mahasiswa adalah kemeja, kaos berkerah, pakaian yang tidak terlampau ketat atau terbuka, celana rapi dan bersih, serta memakai sepatu. Mahasiswa boleh mengikuti tren pakaian yang sedang marak asalkan sopan dan rapi sesuai etika yang berlaku di kampus. Pakaian kuliah merupakan cerminan dan ekspresi pribadi mahasiswa. Namun sebagai masyarakat terdidik mahasiswa hendaknya mencitrakan dirinya sebagai mahasiswa yang santun melalui pakaian kuliahnya.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan bekal bagi seseorang yang tidak ternilai harganya. Seseorang akan lebih bermartabat, bernilai, dihargai, dan dihormati karena pendidikan. Perguruan tinggi merupakan institusi yang melahirkan banyak ahli, profesional, dan tenaga terlatih sesuai bidangnya. Perguruan tinggi selain memberi pengetahuan akademis dan keterampilan, juga membangun jiwa sosial dan jaringan pertemanan, menjadi sarana mengembangkan diri dan kreativitas seseorang. Perguruan tinggi juga membantu menggembleng dan memperkuat mental, fisik, disiplin, dan rasa tanggung jawab, juga membentuk jiwa spiritual seseorang.

Sebagai pencetak akademisi, perguruan tinggi juga menanamkan nilai- nilai dan norma yang mengandung moral dan etika. Dalam etika dan moral terdapat tanggung jawab, nilai dan norma, hak dan kewajiban, serta terbentuknya manusia yang baik yang diterima lingkungan sosialnya. Di dalam perguruan tinggi etika dan moral diajarkan melalui mata kuliah secara langsung, melalui peraturan kampus, maupun secara tidak langsung melalui sosialisasi dan interaksi antar sivitas akademika.

Perguruan tinggi atau lazim disebut kampus merupakan sebuah wadah yang terdiri atas beribu-ribu macam karakter manusia. Tidak semua Perguruan tinggi atau lazim disebut kampus merupakan sebuah wadah yang terdiri atas beribu-ribu macam karakter manusia. Tidak semua

Perubahan yang nampak saat ini dan mempengaruhi sikap mahasiswa adalah perubahan gaya hidup maupun tata perilaku. Mereka lebih memikirkan diri sendiri bila dibanding lingkungan sekitarnya. Makin tinggi pendidikan seseorang, akan diikuti makin baiknya sikap dan perilaku orang tersebut. Pernyataan tersebut akan menjadi suatu kenyataan, jika dalam proses perkuliahan ada suatu perlakuan yang mengarah pada sikap dan perilaku yang baik. Banyak mahasiswa masih bersikap, berpakaian, bertutur kata, dan berperilaku yang kurang menunjukkan figur seorang mahasiswa.

Kebebasan yang sangat sering dilakukan mahasiswa di lingkungan kampus maupun saat kuliah adalah kekebasan berpakaian. Mahasiwa tidak lagi mengindahkan etika berpakaian yang sudah ditetapkan kampus. Banyak mahasiswa memakai kaos oblong, sandal jepit, celana robek dan pakaian ketat saat kuliah. Mungkin tidak semua dosen memperhatikan pakaian mahasiswanya, namun sebagian besar lain, dosen tidak suka melihat

dianggap tidak sopan, bahkan tidak beretika. Ukuran sopan-tidak sopan, pantas-tidak pantas memang relatif bagi tiap individu. Selama norma di kampus mengatakan bahwa memakai kaos oblong, sandal , busana serba terbuka, celana jeans yang ketat atau disebut celana pensil sedangkan mahasiswi memakai rok mini dan pakaian ketat atau pakaian sedikit terbuka adalah perilaku yang tidak sopan, maka siapapun tidak dibenarkan menggunakannya di area kampus. Karena area kampus dan proses perkuliahan mempunyai norma yang harus ditaati semua unsurnya sebagai acuan dalam berperilaku di kampus.

Persis seperti semboyan kaos oblong Dagadu ” Smart and Smile “, kaos oblong mengajarkan bagaimana hidup modern harus dijalani: berpenampilan cerdas, ringkas, tangkas, sekaligus santai. Hidup dengan segala tetek-bengeknya yang rumit ternyata tidak harus dijalani dengan rumit pula, melainkan bisa dijalani dengan “seperlunya dan santai”. Dalam perspektif ini, papan pengumuman di kampus-kampus yang berbunyi “Dilarang memakai kaos dan sandal” adalah warisan dari kehidupan masa lalu yang “serius” dan sebentuk “pendisiplinan gaya”, yang tidak lagi cocok dengan semangat smart and smile . Karena itu mahasiswa tetap saja berkaos oblong di kampus, pertama-tama bukan untuk menunjukkan perlawanan langsung mereka kepada aturan hidup yang lama, melainkan untuk menunjukkan bahwa diri mereka sendirilah yang paling berhak atas penampilannya. Dan bagaimana mereka Persis seperti semboyan kaos oblong Dagadu ” Smart and Smile “, kaos oblong mengajarkan bagaimana hidup modern harus dijalani: berpenampilan cerdas, ringkas, tangkas, sekaligus santai. Hidup dengan segala tetek-bengeknya yang rumit ternyata tidak harus dijalani dengan rumit pula, melainkan bisa dijalani dengan “seperlunya dan santai”. Dalam perspektif ini, papan pengumuman di kampus-kampus yang berbunyi “Dilarang memakai kaos dan sandal” adalah warisan dari kehidupan masa lalu yang “serius” dan sebentuk “pendisiplinan gaya”, yang tidak lagi cocok dengan semangat smart and smile . Karena itu mahasiswa tetap saja berkaos oblong di kampus, pertama-tama bukan untuk menunjukkan perlawanan langsung mereka kepada aturan hidup yang lama, melainkan untuk menunjukkan bahwa diri mereka sendirilah yang paling berhak atas penampilannya. Dan bagaimana mereka

kaos oblong. (http://kunci.or.id/articles/menjadi-modern-dengan-kaos-oleh-antariksa/) Petikan artikel diatas merupakan salah satu contoh betapa banyak fenomena mahasiswa yang berkuasa atas penampilannya tanpa mengindahkan norma yang ada. Hal ini menimbulkan pandangan negatif masyarakat luas. Orang berpendidikan harusnya berpenampilan rapi dan sopan. Mahasiswa yang berpakaian santai dan tidak sopan tidak mencerminkan bahwa mereka adalah orang yang berpendidikan.

Roro Putri (2009) berpendapat bahwa pada era globalisasisaat ini mahasiswa sudah mempunyai respect lagi terhadap kampus. Mahasiswa memakai pakaian yang sangat tipis, yang lebih pantas dikenakan saat tidur. Mahasiswa juga memakai pakaian yang terlampau ketat yang juga tidak sopan bila dikenakan saat kuliah. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa sudah tidak

institusi pendidikan. (www.google.com/roroputri) institusi pendidikan. (www.google.com/roroputri)

Pemaknaan dosen FISIP UNS mengenai gaya pakaian kuliah mahasiswa mungkin akan sangat beragam. Banyak hal yang mempengaruhi dosen FISIP UNS mengenai gaya pakaian kuliah mahasiswa FISIP UNS mungkin beragam. Bagaimana dosen FISIP UNS menyikapi gaya pakaian kuliah mahasiswa, dapat ditarik persepsi untuk mendapatkan sebuah kesimpulan.

B. Rumusan Masalah

Latar belakang masalah di atas menggambarkan fenomena yang terjadi dalam lingkungan kampus yakni adanya kecenderungan kebebasan berpakaian pada saat kuliah maupun di lingkungan kampus FISIP UNS. Banyak mahasiswa yang mengenakan kaos oblong, sandal, celana robek dan pakaian ketat saat kuliah atau di lingkungan kampus. Hal ini jelas menyalahi Surat Keputusan Rektot No. 487A/J27/KM/2005 dalam Tata Tertib Kehidupan Latar belakang masalah di atas menggambarkan fenomena yang terjadi dalam lingkungan kampus yakni adanya kecenderungan kebebasan berpakaian pada saat kuliah maupun di lingkungan kampus FISIP UNS. Banyak mahasiswa yang mengenakan kaos oblong, sandal, celana robek dan pakaian ketat saat kuliah atau di lingkungan kampus. Hal ini jelas menyalahi Surat Keputusan Rektot No. 487A/J27/KM/2005 dalam Tata Tertib Kehidupan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka muncul rumusan masalah yang harus dipecahkan. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut.

1. “Bagaimana pamaknaan dosen terhadap gaya pakaian kuliah mahasiswa?”

2. “Bagaimana tindakan dosen kepada mahasiswa sebagai dampak pemaknaan terhadap gaya pakaian kuliah mahasiswa?”

C. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pamaknaan dosen terhadap gaya pakaian kuliah mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Mengetahui pemaknaan mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta mengenai gaya pakaian saat kuliah.

3. Mengetahui tindakan dosen sebagai dampak dari pemaknaan terhadap gaya pakaian kuliah mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Untuk memaparkan fenomena gaya pakaian kuliah mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Sebagai bahan masukan bagi pihak terkait untuk mengambil kebijakan berkaitan dengan permasalahan etika berpakaian di kalangan mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

E. Tinjauan Pustaka

1. Landasan Teori

Paradigma yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Paradigma Definisi Sosial dimana menempatkan Weber sebagai exemplar, terutama analisa Weber tentang tindakan. Dalam definisi sosial terkandung dua konsep dasar. Pertama konsep Tindakan sosial (social action) dan yang kedua tentang penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) .

Weber membedakan antara tindakan dengan tingkah laku pada umumnya melalui pernyataanya bahwa sebuah gerakan bukanlah sebuah tindakan kalau gerakan itu tidak memiliki makna subyektif untuk orang yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pelaku memiliki sebuah kesadaran akan apa yang sedang ia lakukan yang bisa dianalisis

sebagaimana mereka alami. (Ritzer, 2002: 38) Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat pula tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dan situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan secara sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Ritzer, 2002: 38).

Weber (dalam Bachtiar, 2006: 268) setuju sosiologi berurusan dengan persoalan makna, akan tetapi dia tidak setuju bahwa sosiologi tidak memerlukan prosedur ilmiah. Sosiologi berkepentingan dengan aksi hanya sebatas aksi tersebut mengandung/memiliki makna-makna. Beberapa makna dapat berbentuk dua tipe yaitu : (1) makna yang sebenarnya ada dalam kasus konkrit, atau (2) tipe murni yang dibentuk secara teoritis dan dikenal dengan pelaku-pelaku hipotesis. Makna tidaklah harus merujuk pada sesuatu yang benar secara objektif atau suatu kebenaran dalam arti metafisik. Makna itu merupakan suatu yang disandarkan oleh pelaku di dalam situasi-situasi dan tidaklah makna situasi itu harus menurut seorang ilmuwan atau seorang metafisika.

Dua pertanyaan fundamental mengenai berbagai makna merupakan hal penting bagi Weber. Pertama, seseorang haruslah menyadari tentang Dua pertanyaan fundamental mengenai berbagai makna merupakan hal penting bagi Weber. Pertama, seseorang haruslah menyadari tentang

Kajian mengenai perilaku manusia menunjukkan bahwa makna hanyalah salah satu dari elemen kausa aksi. Untuk beberapa perilaku makna merupakan cerminan akan tetapi perilaku yang lainnya makna hanyalah muncul sisi yang terbaliknya saja. Terkadang pembatasan elemen bermakna dari suatu perilaku merupakan hal yang sulit. Motif yang disadari boleh jadi tersembunyi, bahkan dari pelakunya itu sendiri motif sebenarnya yang melandasi dorongan aksinya. Banyaak situasi akan tetapi sering harus dipahami atau ditafsirkan dengan sangat berbeda menurut makna yang dikandungnya (Bachtiar, 2006: 270)

Verstehen merupakan upaya untuk memahami suatu tindakan sosial. Verstehen (pemahaman subjektif) adalah aspek pemikiran Weber yang paling terkenal, yang mana sebagai metoda untuk memperoleh pemahaman yang valid menganai arti-arti subjektif tindakan sosial. Menurutnya, istilah tersebut tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Introspeksi bisa memberikan seseorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subjektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti Verstehen merupakan upaya untuk memahami suatu tindakan sosial. Verstehen (pemahaman subjektif) adalah aspek pemikiran Weber yang paling terkenal, yang mana sebagai metoda untuk memperoleh pemahaman yang valid menganai arti-arti subjektif tindakan sosial. Menurutnya, istilah tersebut tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Introspeksi bisa memberikan seseorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subjektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti

Selanjutnya Johnsons (1986: 220) menerangkan bahwa rasionalitas merupakan konsep dasar bagi Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe- tipe tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan yang nonrasional. Tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan.

Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber (dalam Johnsons, 1986: 221-222) membedakannya ke dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi empat tipe tindakan dasar, di-antaranya (1) Rasionalitas Sarana-Tujuan. Tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai ‘syarat’ atau ‘sarana’ untuk mencapai tujuan aktor- aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional; (2) Rasionalitas Nilai. Tindakan yang titentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai-nilai perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilannya; (3) Tindakan Afektual. Ditentukan oleh kondisi Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber (dalam Johnsons, 1986: 221-222) membedakannya ke dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi empat tipe tindakan dasar, di-antaranya (1) Rasionalitas Sarana-Tujuan. Tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai ‘syarat’ atau ‘sarana’ untuk mencapai tujuan aktor- aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional; (2) Rasionalitas Nilai. Tindakan yang titentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai-nilai perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilannya; (3) Tindakan Afektual. Ditentukan oleh kondisi

2. Gaya hidup (Life Style) dan Fashion

Dalam abad gaya hidup, penampilan diri itu justru mengalami estetisasi, “estetisasi kehidupan sehari-hari.” Dan, bahkan tubuh/diri (body/self) pun justru mengalami estetisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari pun menjdi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. “Kamu bergaya maka kamu ada!” adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan. Dalam ungkapan Chaney, “penampakan luar” menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi salah satu situs yang penting daripada substansi. Gaya dan desain menjadi labih penting daripada fungsi. Gaya menggantikan substansi. Kulit akan mengalahkan isi. Pemasaran penampakan luar, penampilan, hal-hal yang bersifat permukaan atau kulit akan menjadi bisnis besar gaya hidup. (Chaney, 1996: 16)

dapat memiliki daya tarik seksual yang lebih mendekat. Mode hanya penting di dalam masyarakat yang bersistem kelas sosial. Pada masyarakat homogen yang tidak terdeferensiasi, tidak terdapat perbedaan mode karena semua orang berdandan dan berperilaku hampir sama. Pada masyarakat yang berstrata tegak perhatian atas mode tidak diperlukan karena perbedaan telah ditentukan secara ketat. Mode hanyalah penting pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka. Orang-orang kelas sosial menengah yang aktif adalah orang-orang yang paling memperhatikan mode. Orang-orang kelas sosial atas yang sudah mapan hanya menaruh perhatian kecil terhadap mode. Bahkan mereka kadangkala berpakaian seolah-olah hanya untuk mengamankan tubuh mereka dari serangan air hujan. (Horton, 1996: 187)

Fashion selanjutnya, adalah bagian dari proses aksentuasi kesadaran-waktu yang lebih umum dalam pengetian yang istimewa”. Karena warga masyarakat didorong ke dalam kesadaran akan betapa cepatnya hal-hal berubah dan arena itu betapa cepatnya kemungkinan masa

depan akan terwujud, maka ada konsentrasi kesadaran sosial terhadap kesementaraan: “kita hanya menandakan seperti mode yang menghilang secapat ia muncul”. (Chaney, 1996: 103)

Fashion (mode) adalah suatu topik yang layak menjadi perhatian kita karena jelas merupakan suatu cara aksi yang dirangsang oleh perkembangan aksi industri konsumen. Dinamika perubahan dalam cara- Fashion (mode) adalah suatu topik yang layak menjadi perhatian kita karena jelas merupakan suatu cara aksi yang dirangsang oleh perkembangan aksi industri konsumen. Dinamika perubahan dalam cara-

Fashion tidak akan ada tanpa keberadaan proses produksi yang menyediakan objek-objek dan aktivitas-aktivitas sosial baru bagi

sasarannya, dan yang menciptakan wacana-wacana terkait dari kritinisme, publisitas, dan dukungan untuk menjelaskan dan membenarkan inovasi- inovasi. Aspek pertama bagi fashion yang relevan, yaitu bahwa fashion menunjukkan eksistensi industri-industri konsumen dan hiburan. Aspek fashion yang kedua adalah terdapat semiotika dan dramaturgi bagi penampilan yang modis. Rincian dari bagaimana barang-barang diartikulasikan dan dimanfaatkan merupakan status konstitutif refleksi modis mereka. Aspek ketiga yang merelatifkan cita rasa tersebut bahwa fashion yang paling jelas berperan sebagai mekanisme bagi inklusi dan eksklusi. Meskipun mengakui bahwa tidak ada standar absolut, pilihan- pilihan lokal menunjukkan afiliasi-afiliasi dan dalam pengertian ini mengindikasikan aspek keempat arti penting fashion menjembatani antara identitas sosial dan personal: “Fashion telah menjadi sumber utama sasarannya, dan yang menciptakan wacana-wacana terkait dari kritinisme, publisitas, dan dukungan untuk menjelaskan dan membenarkan inovasi- inovasi. Aspek pertama bagi fashion yang relevan, yaitu bahwa fashion menunjukkan eksistensi industri-industri konsumen dan hiburan. Aspek fashion yang kedua adalah terdapat semiotika dan dramaturgi bagi penampilan yang modis. Rincian dari bagaimana barang-barang diartikulasikan dan dimanfaatkan merupakan status konstitutif refleksi modis mereka. Aspek ketiga yang merelatifkan cita rasa tersebut bahwa fashion yang paling jelas berperan sebagai mekanisme bagi inklusi dan eksklusi. Meskipun mengakui bahwa tidak ada standar absolut, pilihan- pilihan lokal menunjukkan afiliasi-afiliasi dan dalam pengertian ini mengindikasikan aspek keempat arti penting fashion menjembatani antara identitas sosial dan personal: “Fashion telah menjadi sumber utama

Fashion, pakaian, dan komunikasi. Fashion dan pakaian adalah bentuk komunikasi nonverbal karena tidak menggunakan kata-kata lisan atau tertulis. Kiranya benar secara intuitif untuk menyatakan bahwa seseorang mengirimkan pesan tentang dirinya sendiri melalui fashion dan pakaian yang dipakainya. Berdasarkan pengalaman sehari-hari, pakaian dipilih sesuai dengan apa yang dilakukan pada hari itu, bagaimana suasana hati seseorang, siapa yang akan ditemuinya dan seterusnya, tampaknya menegaskan pandangan bahwa fashion dan pakaian dipergunakan untuk mengirimkan pesan tentang diri seseorang kepada orang lain. (Barnard, 1996: 39-42).

Fashion, pakaian, dan budaya. Fashion dan pakaian, sebagai komunikasi, merupakan fenomena kultural yang di dalam budaya tersebut bisa dipahami sebagai satu sistem penandaan, sebagai cara bagi keyakinan, nilai-nilai, ide-ide dan pengalaman dikomunikasikan melalui praktik- praktik, artefak-artefak, dan institusi-institusi.

Fashion, pakaian, kekuasaan, dan ideologi. Sebagai fenomena kultural, fashion dan pakaian bisa dipahami sebagai praktik-praktik dan institusi-institusi yang di dalamnya relasi kelas dan perbedaan kelas dibuat memiliki makna.karena itu, fashion dan pakaian bukan hanya maerupakan Fashion, pakaian, kekuasaan, dan ideologi. Sebagai fenomena kultural, fashion dan pakaian bisa dipahami sebagai praktik-praktik dan institusi-institusi yang di dalamnya relasi kelas dan perbedaan kelas dibuat memiliki makna.karena itu, fashion dan pakaian bukan hanya maerupakan

Fungsi fashion dan pakaian :

a. Perlindungan

Pakaian melindungi tubuh mulai dari dingin, panas, kecelakaan tak terduga hingga tempat dan olahraga berbahaya, musuh manusia atau hewan, dan bahaya-bahaya fisik atau psikologis.

b. Kesopananan dan Penyembunyian.

Hal-hal yang berkenaan dan berkaitan dengan kesopanan merupakan alasan utama untuk mengenakan pakaian memiliki beberapa

kemiripan

dengan argumen-argumen yang dikemukakan di atas yang berkenaan dengan perlindungan. Argumen untuk kesopanan beredar di seputar ide bahwa bagian tubuh tertentu adalah tak senonoh atau memalukan dan hendaknya ditutupi sehingga tak kelihatan.

c. Ketidaksopanan dan Daya Tarik

adalah tepatnya ketidaksopanan dan eksihibisionisme. Orang menegaskan bahwa tugas pakaian adalah untuk menarik perhatian pada tubuh dan bukan untuk mengalihkan atau menolak perhatian itu. Karena itu, tubuh menjadi lebih terbuka sesuai dengan argumen ketidaksopanan, dan bukannya disembunyikan atau disamarkan, seperti menurut argumen kesopanan.

d. Komunikasi

Roach dan Eicher menunjukkan, misalnya, bahwa fashion dan pakaian secara simbolis mengikat satu komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa kesepakatan sosial atas apa yang dikenakan merupakan ikatan sosial itu sendiri yang pada gilirannya akan memperkuat ikatan sosial lainnya.

e. Ekspresi Individualistik

Fashion dan pakaian adalah cara yang digunakan individu untuk membedakan dirinya sendiri sebagai individu dan Fashion dan pakaian adalah cara yang digunakan individu untuk membedakan dirinya sendiri sebagai individu dan

f. Nilai Sosial atau Status

Pakaian dan fashion sering digunakan untuk menunjukkan nilai sosial atau status, dan orang kerap membuat penilaian terhadap nilai sosial atau status orang lain berdasarkan apa yang dipakai orang tersebut.

g. Definisi Peran Sosial

Pakaian dan fashion pun digunakan untuk menunjukkan atau mendefinisikan peran sosial yang dimiliki seseorang. Pakaian dan fashion itu diambil sebagai tanda bagi orang tertentu yang menjalankan peran tertentu pula sehingga diharapkan berperilaku dalam cara tertentu. Sudah dikemukakan bahwa pakaian yang berbeda, dan jenis pakaian yang berbeda memungkinkan adanya interaksi sosial yang berlangsung mulus dibanding kebalikannya.

h. Nilai Ekonomi atau Status

Status ekonomi berkaitan dengan posisi di dalam suatu ekonomi. Bagian ini kan melihat cara-cara fashion dan pakaian menunjukkan peran-peran produksi atau kedudukan di dalam suatu ekonomi. Fashion dan pakaian merefleksikan statusnya di dalam ekonomi itu.

i.

Simbol politis

Orang-orang ini mengadaptasi fashion dan pakaiannya guna mencoba merefleksikan peran-peran baru di kalangan kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Jadi, upaya untuk merubah relasi kekuasaan di kalangan ras-ras yang berbeda dan jenis kelamin yang berbeda diekspresikan atau direfleksikan dalam butir-butir fashion dan pakaian.

j.

Kondisi Magis-Religius

Pemakaian pakaian untuk menunjukkan hal-hal seperti keyakinan dan kekuatan keyajkinan. Jadi, baik dikenakan secara permanen maupun secara berkala, busana dan pakaian bisa menunjukkan hal-hal seperti keanggotaan, atau afiliasi, pada kelompok atau jamaah kelompok agama tertentu.

k. Ritual Sosial

Fashion dan pakaian akan dipandang hanya dalam artian cara yang digunakan untuk menandai awal dan akhir ritual, dan untuk membuat pembedaan antara yang ritual dan nonritual.

Fashion dan pakaian yang mungkin digunakan sebagai rekreasi atau menunjukkan awal atau akhir masa rekreasi. Yang disebut lebih dulu membutuhkan waktu atau uang dan waktu, dalam hal ini, akan mulai berfungsi sebagai suatu indikator kelas sosial.

(Barnard, 1996: 74-97)

Harus dicacat bahwa sebelumnya, tidak sedikit karyawan dan pelajar Muslimah berjilbab yang dipermasalahkan dan bahkan diusir dari tempat kerja dan sekolahnya. Akan tetapi, pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, ketika jilbabisasi merambah keluarga kelas menengah-atas, berbondong-bondonglah anak dan istri pejabat dan pengusaha yang mengenakan jilbab. Sejak itu, busana Muslimah menjadi trendi dan memakai jilbab

mulai

mencapai prestise tertentu, mungkin mengomunikasikan hasrat menjadi orang modern yang saleh dan sekaligus menjadi Muslim yang modern. (Barnard, 1996: xi-xii).

Pakaian sekolah atau kuliah mempunyai tata krama atau tata cara yang sopan sesuai dengan aturan-aturan bepakaian yang ada di sekolah atau di kampus. Pakaian kuliah adalah pakaian dengan model semi resmi pakaian kerja baik berupa rok, blus, celana dan kemeja yang biasanya dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. (Purwanti, 2007: 20)

Interpretations of fashion’s gendered meanings were contradictory. On one hand, some Ameri-cans understood the less cumbersom styles now gaining in popularity to be symbolic of women’s political, economic, and social progress.4Ameri-can women

employment, and political activism. Many perceived a woman’s in- creasing ability to move comfortably in her cloth-ing to be both a product and a cause of her nascent political, and economic power (Standish187, 195–96; Steele, 234–37). Meanwhile, female fashions had become connected to sexuality in the popular imagination. Christina Simmons argues that in contrast to earlier understandings of female eroticism, which were based primarily on wo-men’s sexual availability within marriage, the model romoted in the 1920s was centered on premarital sexual assertiveness (158). Many Ameri-cans felt that the comparatively revealing clothing and visible cosmetics worn by young women were the cause, or at least a consequence, of this new conception of female sexuality (Fass 280–86;Peiss 154; Steele 237). Carolyn Kitch, James McGovern, and Maureen Turim have demon-strated how such debates originated in the 1900s and 1910s with the icons of the Gibson Girl and the vamp. However, they assumed a particular fervency in the 1920s as public attention fixed on the flapper, who represented the modern young woman in both behavior and appearance (Hirshbein 114).

As cultural critics considered the meanings of women’s fashion choices, so too did individual women, through both public debate and personal decisions. Those who attended Smith joined their peers at other women’s colleges in being at the forefront of changing gender and sexual roles (Solomon 157). Attending college was still rela-tively unconventional; only seven percent of American women aged eighteen to twenty-one did so in 1920, increasing to ten percent by 1930; women made up 47.3 percent of the US college student population in 1920 and 43.7 percent in 1930 (Solomon 63–64). However, as numbers grew, especially among women from upper- and upper- middle-class families, they led to an in-creased social acceptance for women’s higher education. Margaret Lowe notes that most Smith students in the 1920s were white, Protestant, and middle- or upper- middle class; about ten percent were Catholic or Jewish and a small number were African American (‘‘From Robust Appetites to Calorie Counting’’ 37). The normalization of col-lege attendance encouraged more conventional gender and sexual models for college women, particularly when combined with a growing na-tional perception that single women and romantic female friendships were deviant. While academic pursuits were still emphasized, both peer and in-stitutional pressure urged students to turn away from relationships with women in favor of rela-tionships with men. Dating fundamentally trans-formed life at women’s colleges after World War I as student attention shifted away from the college community (Horowitz 282–85).

over the appearance of the college woman. The clothing styles worn on campus ranged from practical skirts and sweaters for classes to formal dresses for prom and other social activities (Figure 1), garments that were either purchased or sewn by students or their mothers (Van Cleave 56). Most signi ficantly, this daily dressing took place in an era when clothing and style seemed remarkably laden with political

and

social

meaning. (http://www3.interscience.wiley.com/journal/123326785)

3. Etika Berpakaian

Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.

(Ethics, the study and philosophy of human condunct, with emphasiss on the determination of right and wrong; one of the normative sciences). Etika sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi inilah kita dapati pemakaian etika dengan nilai-nilainya yang filosofis. (Salam, 2000: 3-4).

Etiket sama halnya dengan etika. Etiket berasal dari bahasa Prancis, etiquette , yang pada mulanya berarti label, tanda pengenal, seperti apa yang kita kenal dengan tanda cap atau pengenal yang dilekatkan pada barang; etiket barang merupakan jaminan kualitas dari barang tersebut. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi semacam persetujuan bersama untuk menilai sopan atau tidaknya seseorang dalam (satu jenis) pergaulan. (Etiquette = prescribed or conventional requirements as to social behavior.

maka sebagai salah satu ajaran, etiket itu dimasukkan menjadi bagian dari ajaran etika, terutama Etika Sosial. (Salam, 2000: 34).

Etika berpakaian adalah cara dilakukannya suatu perbuatan, mengenai boleh atau tidak memakai, mengenakan barang (baju, celana, dsb). Apa yang dipakai atau dikenakan menyesuaikan dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku pada lingkungannya. (Wahab, 2009)

Etika berbusana itu adalah suatu ilmu yang memikirkan bagaimana seseorang dapat mengambil sikap dalam berbusana tentang model, warna,

corak atau motif, mana yang tepat, baik sesuai dengan kesempatan, kondisi dan waktu serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menerapkan etika berbusana dalam kehidupan manusia perlu memahami tentang kondisi lingkungan, budaya dan waktu pemakaian yaitu dimana kita berada dan dalam kesempatan apa kita mengenakan busana tersebut. Untuk hal itu baik jenis, model, warna, corak busana perlu disesuaikan dengan ke tiga hal tersebut, agar seseorang dapat diterima dilingkungan masyarakat. Untuk menerapkan etika berbusana sesuai kesempatan perlu mengetahui busana mana yang tepat dan sesuai dipergunakan. (Widjiastuti, 2007: 33- 34)

But he also said he thinks discipline, achievement and climate are all linked to dress. "These days, a school has to create the most optimum environment for learning that you can. ... The intangible effect is it creates a better environment." Some parents and students have already complained that the dress code limits

be defined by your behavior and not how you're dressed." Even if the proposal doesn't move forward, Coveleski said, he believes schools in the district could do a better job of enforcing the current dress code. Julia O'Neal, 14, who will be attending Sussex Technical High School when school resumes, said many schools already ban flip-flops, but youths wear them anyway with no repercussions. Enforcement is a key element of any dress code, both Mitchell and Bunting said. Some teachers have been reluctant to say anything. The difficult situations include male teachers saying something to female students about excessive cleavage or suggestive slogans written across the back of shorts or sweat pants. "It's a very, very touchy thing," Mitchell said. In the Indian River district, the new code takes effect the first day of school, Sept. 4. Under the new code, teachers will be looking for violations in homeroom and will send possibleviolators to the school office for action."The key to all of this is enforcement," Mitchell said. "It's going to have to be enforced by theteachers from the get-go." (http://www.udel.edu/anthro/ackerman/Dress%20codes%20get%20t ough%20on%20teenage%20fashions.pdf)

Di Universitas Sebelas Maret sendiri ada tata tertib yang mengatur kehidupan mahasiswa di kampus. Tata tertib kehidupan mahasiswa adalah ketentuan yang mengatur tentang kehidupan mahasiswa yang mengatur tentang kehidupan mahasiswa yang dapat menciptakan suasana kondusif dan menjamin keberlangsungannya proses belajar mengajar secara terarah dan teratur Tata tertib kehidupan mahasiswa ini telah diatur dalam Surat Keputusan Rektot No. 487A/J27/KM/2005 dalam Tata Tertib Kehidupan Mahasiswa sub F dijelaskan pula tentang tata tertib busana yakni sebagai berikut: Di Universitas Sebelas Maret sendiri ada tata tertib yang mengatur kehidupan mahasiswa di kampus. Tata tertib kehidupan mahasiswa adalah ketentuan yang mengatur tentang kehidupan mahasiswa yang mengatur tentang kehidupan mahasiswa yang dapat menciptakan suasana kondusif dan menjamin keberlangsungannya proses belajar mengajar secara terarah dan teratur Tata tertib kehidupan mahasiswa ini telah diatur dalam Surat Keputusan Rektot No. 487A/J27/KM/2005 dalam Tata Tertib Kehidupan Mahasiswa sub F dijelaskan pula tentang tata tertib busana yakni sebagai berikut:

b. Jenis dan macam pakaian disesuaikan dengan kegiatan yang sedang dilaksanakan.

c. Mahasiswa dilarang mengenakan kaos oblong dan sandal pada saat kegiatan kulikuler di dalam ruang kuliah.