PERKEMBANGAN SAREKAT ISLAM SURAKARTA TAHUN 1918-1919
3. Eksistensi SI Surakarta Pasca Pindahnya SI Pusat dari Surakarta ke Surabaya 1918-1919
Pada masa dominasi Cokroaminoto dalam Sarekat Islam (SI) terus menguat, Surakarta tetap menjadi ingatan dalam masyarakat sebagai tempat lahir dan besarnya SI. Ingatan tersebut juga lekat pada posisi H. Samanhudi sebagai pendiri SI. Tetapi kejayaan SI Surakarta hanya sebatas pada memori kolektif masyarakat Hindia Belanda. Karena terserang berbagai macam masalah, SI
Surakarta mengalami kemunduran, tidak bisa bergerak dan hampir kehilangan massa pengikutnya. 5
Kejayaan masa lalu SI Surakarta yang didukung oleh para pedagang batik dan aristokrat Kasunanan telah berlalu. Kondisi yang demikian bergeser ketika terjadi perubahan inti pada orang nomor satu di SI. Perpindahan kekuasaan dari Samanhudi ke Cokroaminoto membawa dampak besar bagi kejayaan SI Surakarta. Pergeseran kekuatan dari Surakarta ke Surabaya yang dimulai sejak tahun 1915, juga berarti pergeseran pemasukan dana serta pendapatan SI. Uang- uang dari SI lokal berhenti mengalir ke tangan pimpinan SI Surakarta. Para saudagar batik yang pernah memberi dukungan tidak dapat membiayai lagi aktivitas SI Surakarta karena lonjakan harga bahan mentah untuk produksi batik akibat Perang Dunia I.
SI mencoba mempertahankan eksistensinya yang ditunjukkan dengan adanya pergeseran metode dari boikot dan beating (fisik/berkelahi), menjadi Rally (pengumpulan massa/rapat) dan propaganda. Metode Rally bukanlah metode asli dari SI. Metode Rally diterapkan pertama oleh Indische Partij (IP) yang didirikan oleh EFE Douwes Dekker. IP yang menyebut diri mereka sebagai “Children Of The Country ” (anak-anak negeri), menggunakan rapat umum terbuka sebagai metode pembelajaran untuk massa. Rapat Umum terbuka menjadi andalan organisasi pada waktu itu. Kelebihan cara ini adalah mampu mengumpulkan massa dalam jumlah banyak dari berbagai golongan. Konsep kedua yang telah digagas dan dijalankan oleh IP adalah dimaklumkannya pembicaraan politik secara terus terang dan terbuka mengenai sistem kemasyarakatan kolonial, serta SI mencoba mempertahankan eksistensinya yang ditunjukkan dengan adanya pergeseran metode dari boikot dan beating (fisik/berkelahi), menjadi Rally (pengumpulan massa/rapat) dan propaganda. Metode Rally bukanlah metode asli dari SI. Metode Rally diterapkan pertama oleh Indische Partij (IP) yang didirikan oleh EFE Douwes Dekker. IP yang menyebut diri mereka sebagai “Children Of The Country ” (anak-anak negeri), menggunakan rapat umum terbuka sebagai metode pembelajaran untuk massa. Rapat Umum terbuka menjadi andalan organisasi pada waktu itu. Kelebihan cara ini adalah mampu mengumpulkan massa dalam jumlah banyak dari berbagai golongan. Konsep kedua yang telah digagas dan dijalankan oleh IP adalah dimaklumkannya pembicaraan politik secara terus terang dan terbuka mengenai sistem kemasyarakatan kolonial, serta
dengan rapat umum terbuka dan penggunaan media massa (meskipun kemudian cara ini condong berbelok pada saat kemunculan SI Merah).
Keadaan SI Surakarta bertambah lesu ketika SI Semarang pada 1917 mulai tumbuh dengan kekuatan serikat buruh di bawah kendali Semaoen. SI Batavia dibawah pimpinan Goenawan juga menurun akibat kasus keuangan yang menimpa SI Batavia. Kubu Cokroaminoto memperkuat SI Jawa Barat sebagai pesaing SI Batavia. Ditengah tumbuhnya kekuatan SI, kubu SI Surabaya di bawah
Cokroaminoto dan SI Semarang di bawah Semaoen saling berebut pengaruh. 7 SI Semarang di bawah Semaoen menjadi SI dengan kekuatan sosialis. 8 Hal
ini dikarenakan pada tahun 1916 mulai terjadi gerakan buruh secara besar-besaran di perusahaan kereta api yang ada di Semarang. Gerakan ini kemudian menjalar kepada gerakan buruh-buruh yang lain di pabrik-pabrik besar di Semarang. Gerakan-gerakan tersebut umumnya meminta kenaikan gaji dan melarang pemecatan buruh. Gerakan buruh inilah kemudian didukung oleh SI Semarang dan diperjuangkannya.
Pada tanggal 27 Januari 1918, SI Surakarta mengadakan algeemene vergadering (pertemuan umum) untuk membahas kondisi internal SI di Surakarta.
6 Soewarsono, 2000, Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaon, Lkis: Yogyakarta, Hlm. 16-18
7 Suradi, 1997, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 27
8 Dewi Yuliati, 2000, Semaoen; Pers Bumi Putra dan Radikalisasi Sarekat Islam
Tujuan rapat tersebut untuk membahas berbagai permasalahan internal SI, juga
mengenai kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan segenap anggotanya. 9 Kurang aktifnya SI Surakarta tidak berarti vakumnya kegiatan SI Surakarta secata total. Secara organisasi SI Surakarta masih ada, meskipun pengurusnya hanya sedikit orang. Fokus kegiatan SI Surakarta lebih kepada soal pendidikan dan syiar keislaman. Hal ini untuk mengimbangi kegiatan zending yang ada di Surakarta. SI Surakarta pernah membentuk komite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) dalam menyelesaikan kasus yang dipicu oleh surat kabar Djawi Hisworo, tetapi komite tersebut tidak berjalan dengan baik. Kas komite habis untuk mengadakan rapat dan tidak ada kemajuan yang berarti dari pembentukan komite tersebut. Pengurus komite dianggap diam saja terhadap permasalahan yang ada. Baik soal kasus Djawi Hisworo, misi penyebaran agama Nasrani, dan janji pendirian sekolah yang berpedoman pada agama Islam.
Pengurus komite bahkan diistilahkan sebagai pers berkepala hitam. 10 Sejak kongres CSI Central Sarekat Islam (CSI) pada 1918, kekuatan SI mulai disokong oleh serikat buruh dan gerakannya. Perjuangan ekonomi yang disepakati pada kongres CSI 1918 menjamin posisi unggul Cokroaminoto dalam SI. Walaupun pada saat itu banyak serikat buruh yang dipelopori oleh SI Semarang dan Yogyakarta, kekuatan dari keduanya tidak mengubah kontrol Cokroaminoto dalam SI. Baik itu SI Semarang yang diketuai oleh Semaoen dan serikat buruh Yogyakarta yang dipelopori oleh Soerjopranoto.
9 Djawi Hisworo, 28 Januari 1918
Pada kongres SI September 1918, para pengurus CSI hampir tidak ada tokoh yang berasal dari SI Surakarta. 11 Susunan inti dari pengurus CSI sebagai berikut : Ketua
: Cokroaminoto
Wakil Ketua
: Abdoel Moeis
Sekretaris
: Sosrokardono
Wakil Sekretaris
: Brotosoehardjo
Wakil Bendahara
: Cokroaminoto
Komisaris
: Moehammad Joesoef : Dojosoediro : Hasan Djajadiningrat : Soerjopranoto : Cokrosoedarmo : Semaoen : Wignjadisastra : Mohammad Samin : Soekirno : H Moh. Arip : Prawoto Soedibyo
Penasihat
: KH Ahmad Dahlan : H. Ahmad Sjadzili
Berdasarkan sususan pengurus CSI tersebut, SI Surakarta tidak mendapatkan tempat meskipun secara status masih sebagai pemimpin dari SI.
Kekuatan di dominasi oleh kubu Cokroaminoto dari SI Surabaya. Beberapa tokoh yang masuk dalam kepengurusan CSI berasal dari SI Surabaya, SI Semarang, SI Jawa Barat dan SI Yogyakarta.
Meskipun ada aktivitas dari orang SI Surakarta, kebanyakan terfokus pada kegiatan syiar Islam dan penerbitan. Kondisi yang demikian tentunya tidak muncul begitu saja. Selain hilangnya pamor SI Surakarta dan Samanhudi, beberapa tokoh SI Surakarta ditangkap pemerintah kolonial Belanda atas kegiatan pergerakan mereka. Beberapa diantaranya menjabat sebagai pengurus Inlandsche Joernalist Bond (IJB). Suwardi Suryaningrat tertangkap karena aktivitas radikalnya di Indische Partij. Dr. Tjipto Mangkunkusumo yang juga pernah
tinggal di Surakarta, ditangkap terkait kegiatannya dengan tiga serangkai 12 . Marco
Kartodikromo ditangkap dan dipenjara dari 1915-1917 di penjara Weltreveden karena aktivitas jurnalistiknya di Sarotomo (organ SI) dan Doenia Bergerak, yang juga mendukung SI Surakarta. Penangkapan Marco Kartodrikromo ternyata cukup memberi dampak pada aktivitas politik SI Surakarta. Penangkapan Martodharsono dan penangkapan Marco menjadikan SI Surakarta semakin kehilangan suara nyaring, sedangkan tokoh seperti H Misbach masih berjuang dengan menggunakan media penerbitan media massa sebagai corong untuk menyuarakan kepentingan masyarakat Hindia Belanda.
Perbedaan aktivitas SI Surakarta dengan SI yang lain juga terlihat pada tindakan yang menuntut kebijakan pemerintah kolonial. Pada bulan April 1918, SI Semarang dan SI Surabaya menuntut pemerintah kolonial Belanda untuk mengurangi jumlah perkebunan tebu di Pulau Jawa, dan digantikan oleh tanaman Perbedaan aktivitas SI Surakarta dengan SI yang lain juga terlihat pada tindakan yang menuntut kebijakan pemerintah kolonial. Pada bulan April 1918, SI Semarang dan SI Surabaya menuntut pemerintah kolonial Belanda untuk mengurangi jumlah perkebunan tebu di Pulau Jawa, dan digantikan oleh tanaman
kebijakan pemerintah kolonial. 13 Bahaya kelaparan yang menyerang Hindia
Belanda terjadi juga di Trenggalek Jawa Timur. Bahkan Cokroaminoto menulis sebuah surat permohonan (rekest) yang cukup panjang kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia. Isi rekest tersebut memohon supaya pemerintah membahas lagi dengan serius bencana kelaparan yang terjadi di
Trenggalek, karena pemerintah belum bertindak apapun atas bencana tersebut. 14
Hal yang sama juga dituliskan oleh Marco Kartodikromo, sebagai pengurus SI Yogyakarta, mengkritik kebijakan kolonial lewat tulisan sama rasa sama rata. Dalam tulisannya, Marco mengungkapkan bahwa pentingnya derajat yang sama
bagi manusia. 15 Semangat untuk membangun SI Surakarta untuk bangkit dari kelesuan sebenarnya masih ada dan hal tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya tokoh-tokoh yang loyal terhadap Samanhudi. Pada awal tahun 1919, tokoh-tokoh lokal Surakarta yang pernah aktif di Sarekat Islam membentuk kepengurusan baru sebagai bukti keberadaan SI Surakarta. Dalam beberapa bulan terakhir kondisi SI Surakarta memang lesu, tetapi pembentukan pengurus tersebut mencoba menjawab pertanyaan mengenai permasalahan SI Surakarta. Samanhudi memperoleh jabatan tertinggi diluar kepengurusan yaitu sebagai dewan kehormatan, sedangkan ketua SI Surakarta dipegang oleh Marco Kartodikromo.
13 Neratja, 3 – 4 April 1918
14 Sin Po, 1 Mei 1918
Berikut ini adalah susunan kepengurusan yang dibentuk pada Januari 1919 tersebut:
Penasihat
: H Samanhudi
Ketua
: Marco Kartodikromo
Wakil Ketua : R. Ng. Wirokoesoemo Bendahara
: M. H. Abdoelsalam
Sekretaris
: R. Hadiasmoro
Sekretaris 2 : R. Wirowongso
M Ng Darmosasmito R. Ng. Djiwopardoto
H. Misbach M. Soekarno
Kandidat kandidat tersebut dipilih secara fleksibel, karena sebagian memang tidak hadir dalam rapat di Surakarta pada 19 Januari 1919. Meskipun demikian, para kandidat tersebut diharapkan mampu mengemban amanah sebagai pengurus SI Surakarta yang baru dan mampu menghidupkan kembali kegiatan SI
Surakarta. 16 Beberapa pengurus baru ini sempat mengeluarkan beberapa tulisan di surat kabar yang mengkritik aktivis pergerakan yang hanya memikirkan gaji saja. Namun sayangnya, kebanyakan dari pengurus baru tersebut memegang dua jabatan pada waktu yang sama di organisasi lain sehingga tidak mampu beraktivitas secara maksimal di SI Surakarta. H Misbach dan Marco Kartodikromo misalnya begitu sibuk mengurus surat kabar mereka masing- Surakarta. 16 Beberapa pengurus baru ini sempat mengeluarkan beberapa tulisan di surat kabar yang mengkritik aktivis pergerakan yang hanya memikirkan gaji saja. Namun sayangnya, kebanyakan dari pengurus baru tersebut memegang dua jabatan pada waktu yang sama di organisasi lain sehingga tidak mampu beraktivitas secara maksimal di SI Surakarta. H Misbach dan Marco Kartodikromo misalnya begitu sibuk mengurus surat kabar mereka masing-
aktif di SI Semarang sebagai pengurus Sinar Hindia. 17
Keberadaan SI Surakarta belum menunjukkan posisi yang berarti pada kongres CSI 1919. Kepengurusan CSI masih didominasi oleh orang-orang dari
kubu Cokroaminoto, dan tidak ada perwakilan dalam CSI tersebut. 18 Sebagaimana
kepengurusan CSI yang terbentuk pada kongres 1919 sebagai berikut ini:
Ketua
: Cokroaminoto
Wakil ketua I
: Abdoel Moeis
Wakil ketua II
Wakil Sekretaris I
: Brotosoehardjo
Wakil Sekretaris II : Rachmat Bendahara
: Cokroaminoto
Wakil Bendahara
: Brotosoehardjo
Komisaris
: Hasan Djajadiningrat : H Agus Salim : Brotonoto : Alimin Prawirodirjo : Abikoesno T : Soekirno : Semaoen : Marco Kartodikromo : Haji Fachroedin
17 Sinar Hindia, 22 Januari 1919
: H. Ahmad Sjadzili : Amir Hamza
Penasihat
: Djojosoediro : KH Dahlan
B. Perubahan Aktivitas Pergerakan di Surakarta Setelah Lemahnya SI
Surakarta tahun 1918-1919
Pada masa awal berdirinya, SI Surakarta adalah perkumpulan orang Jawa yang kuat pengaruhnya di bawah pimpinan pedagang batik dan aristokrat Kasunanan. Anggotanya mencapai puluhan ribu orang. Namun ketika jaman berganti, masa gemilang itu pun berlalu. Ketika orang-orang sudah terbiasa dengan vergadering dan membaca surat kabar, eksistensi SI berkurang. Para priyayi beramai-ramai lari meninggalkan SI Surakarta di tengah keterpurukannya. yang tersisa hanyalah para jurnalis yang kemudian beralih, memegang kendali menjadi pemimpin pergerakan.
Banyak aktivis SI Surakarta yang beralih ke dunia jurnalistik setelah lesunya iklim keorganisasian di SI. Hal ini menunjukkan ruang gerak aktivis pergerakan di Surakarta berubah arah. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial menggunakan media pers untuk menyuarakan kepentingan masyarakat Hindia. Pada bagian ini, tokoh-tokoh seperti H Misbach, Marco Kartodikromo dan Martodharsono, merupakan pemicu perlawanan tersebut. Setelah bangkrutnya Sarotomo , Marco Kartodikromo mendirikan Doenia Bergerak, sedangkan Martodharsono kembali mengurus surat kabar Darmo Kondo dan Djawi Hisworo.
H Misbach menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin dan mempelopori Islam Bergerak, sebagai media perlawanan dan syiar keislaman. Disamping itu muncul
Menurunnya pengaruh SI Surakarta, berpengaruh pula terhadap nasib Sarotomo , surat kabar ini pun kekurangan dana, padahal organisasi adalah alat untuk mencapai perubahan dan tatanan dunia baru. Kemunculan jurnalis-jurnalis pribumi menjadi jembatan bagi para pembaca pribumi sekaligus sebagai bentuk ekspresi solidaritas masyarakat terjajah. Hal ini merupakan gambaran gelombang perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia, yang lazim disebut sebagai golongan inlander atau kaum “bumiputera”. Gejolak ini menjadi tanda lahirnya kebangkitan nasional yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah perkembangan masa berikutnya. Zaman pergerakan ditandai dengan hadirnya organisasi pergerakan serta kemunculan beberapa koran (sekaligus jurnalis muda)
pergerakan dengan arah gerak yang lebih reaksioner. 19
Pada satu segi kelahiran surat kabar pribumi dapat dipandang sebagai lambang kelahiran modernitas dan kebebasan bersuara bagi kaum Bumiputera pada masa kolonial. Periodisasi pers yang terbit pada abad 19 hingga dengan awal abad ke 20 dideskripsikan sebagai periode “prasejarah” pers nasional. Periode tersebut turut mengubah budaya kebiasaan masyarakat yang awalnya sebagai
pendengar kabar menjadi membaca kabar/berita. 20 Surat kabar pada masa itu
benar-benar menjadi media komunikasi organisasi politik yang strategis dalam membawakan visi misi pada pemimpin gerakan, pendidikan kreatifitas, pembinaan sikap kritis, intelektual dan kemandirian.
19 Indomarxist. Mas Marco Kartodikromo: Dengan Sastra, ia mengasah pena. < http://www24.brink-ster.com/ indomarxist/masmarco.htm >. (diakses tanggal 13 Januari 2010 Pukul 12.35)
20 Santana K, Septiawan, 2005, Jurnalisme Kontemporer, Yogyakarta: Yayasan Obor,
Kemunculan surat kabar-surat kabar yang meramaikan dunia pergerakan di Surakarta satu sisi memang tetap menghidupkan aktivitas penyadaran terhadap masyarakat. Namun di sisi lain, tidak bisa lepas juga dari konflik antar kepentingan baik di dalam tubuh SI maupun kepentingan atar organisasi. Pada awal 1918, kasus Djawi Hisworo naik ke permukaan yang segera disambut oleh Cokroaminoto sebagai mesin pendulang suara. SI di bawah Cokroaminoto perlu diperkuat lagi, sehingga suara-suara yang tidak sepakat dengan Djawi Hisworo dan Martodharsono harus dipersatukan.