BROKEN MIRROR/CERMIN YANG RETAK ‘Kisah nyata Pecandu Narkoba’ , DAWN TAN, Grasindo.
17 BROKEN MIRROR/CERMIN YANG RETAK ‘Kisah nyata Pecandu Narkoba’ , DAWN TAN, Grasindo.
Selama kejadian itu, sang anak menyaksikannya dengan mata yang terbuka lebar dan penuh rasa takut. Sekali lagi, ayah maupun anak harus dibawa ke kantor polisi.
Masalah menjadi lebih buruk. Bukan hanya sang ayah tidak merasa bersalah, dia malah berusaha untuk memindahkan kesalahan kepada anaknya! Dia mengaku tidak mengetahui apa yang anaknya lakukan selama ini. Secara kasar sang ayah menuduh anaknya berusaha menjerumuskan dia. Sang anak hanya mampu menggelengkan kepalanya dengan mata yang penuh dengan air. Tetapi kenyataannya adalah para pelanggan ayahnya telah menunjuk dia sebagai pengedar mereka.
Saya belumlah menjadi seorang ayah, tapi saya sudah melihat banyak masa kanak-kanak yang tidak bersalah berada dalam penganiayaan di dalam keluarga yang berlatar belakang Narkoba. Pemikiran / konsep perlindungan orang tua terhadap anak- anaknya menjadi tidak berguna saat kita berhadapan dengan para pengedar dan pecandu Narkoba yang memiliki anak. Mereka tidak menyadari bahwa kewajiban mereka bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya.
Para pecandu sering tidak berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa mereka menggunakan Narkoba dari anak-anak mereka. tidaklah aneh jika menemukan bungkusan ataupun suntikan heroin bekas pakai di laci maupun lemari pada saat anak-anak mereka berada di sana.
Kisah menyedihkan lainnya yang pernah saya alami adalah pada saat melakukan penggerebekan di sebuah rumah susun di Bedok. Kami menggeledah rumah pengedar narkotik dan menagkap dia setelah menemukan heroin yang disembunyikan di berbagai tempat. Kami mengetahui bahwa para pecandu secara teratur akan datang ke sana untuk membeli narkotik, sehingga kami menunggu di sana untuk menagkap basah si pecandu yang datang karena tidak dapat menghindar untuk membeli narkotik.
Kemudian datanglah seorang wanita dengan bayi dalam gendongannya tiba di pintu itu. Dia terkejut ketika saya membukakan pintu. Merasa ada yang tidak beres, dia mengembalikan ketenangannya dan berbalik seperti hendak pergi. Saya segera menangkap dia dengan tuduhan penggunaan Narkoba. Dia memprotes keras bahwa dia tidak bersalah dan meminta penjelasan mengapa CNB menagkap seorang ibu yang tidak berbahaya dan bayinya. Dia mengaku hendak mengunjungi temannya. Ketika saya bertanya berapa nomor telepon temannya, dia tidak dapat memberikan saya sebuah nomor pun. Dia lupa, katanya.
Saya melihat dia membawa uang yang dikepal erat dalam tangan kirinya dan bertanya apa yang akan dia lakukan dengan uang itu. Itu adalah uang kertas $ 10 - jumlah yang tepat untuk membeli selinting heroin. Dia mengaku hendak mengembalikan uang yang dia pinjam dari temannya. Dari kartu identitasnya diketahui bahwa dia tinggal di daerah Jurong.
Cerita dia tidaklah mengada-ada. “Maksudmu kamu datang dari Jurong ke Bedok hanya untuk mengembalikan uang $ 10 kepada temanmu? Dan kamu tidak
mempunyai nomor telepon rumahnya untuk mengecek apakah dia ada di rumah atau tidak?
Merasa kebohongannya terbongkar, dia berubah menjadi diam seribu bahasa. Kami menempatkan dia dan bayinya di sofa menunggu pecandu lainnya datang. Selama dalam penantian, para petugas berdiam diri untuk menyembunyikan keberadaan mereka.
Itu dapat berarti menagkap basah tersangka atau kehilangan mereka. tes urin yang positif dapat berarti enam bulan hingga tujuh tahun di balik jeruji. Bahkan akan lebih lama lagi bagi para pemakai yang pernah berada dalam pusat rehabilitasi.
Oleh karena itu kami berusaha untuk benar-benar tidak bersuara. komunikasi dilakukan dengan berbisik dan gerakan tangan. Tiba-tiba bayi itu menagis dengan sangat keras. Kami tertegun karena merasa tidak mungkin penyebab tangisan bayi itu adalah tekanan dari keberadaan kami mendadak di sana ataupun penangkapan secara keras yang dilakukan terhadap ibunya. Siapa yang tahu mengapa bayi itu menangis? Mungkin karena dia merasa tidak enak perut? Atau karena dia merasa capai? Apa pun alasannya, kami khawatir tangisan bayi yang demikian keras itu akan menimbulkan kecurigaan para pecandu yang akan mengunjungi rumah itu.
Apa yang saya lihat kemudian benar-benar mengejutkan saya. Saya memperhatikan si ibu dengan seksama dan melihat bahwa dia sengaja mencubiti bayinya agar menangis. Kami segera mengambil bayi itu dan menjauhkannya dari dia dan memborgol tangannya di depan. Dia memprotes perlakuan ‘kasar’ saya, dan berkata, “bagaimana kamu memperlakukan seorang ibu seperti ini?”
Ketika saya katakan apa yang saya lihat, dia terdiam. Sangat sukar untuk dipercaya perbuatan licik yang dilakukan perempuan itu. Tetapi kemudian hal ini tidaklah mengejutkan. Dia menggunakan bayinya untuk menghindari kecurigaan orang. Dan rencananya mungkin pernah berhasil. Sebelum kejadian ini, petugas penangkapan belum mencurigai ibu dengan bayi dalam gendongan.
Bagaimana mungkin seorang ibu dapat melakukan hal itu? Pemikiran yang mengganggu ini menimbulkan pertanyaan lain yang lebih membuat stres: apakah sang ibu mengkonsumsi heroin selama mengandung? Jika ya, dia dapat membahayakan jiwa bayi itu. Anaknya dapat lahir sebagai bayi yang ‘cacat’; kecanduan heroin pada saat kelahiran dan kerusakan permanen pada otak.
Ini adalah pikiran-pikiran saya selama kami menanti dalam hening sambil menunggu kedatangan pecandu lainnya.
Kami menangkap 8 tersangka dalam waktu tiga jam sebelum akhirnya kembali ke kantor polisi. Kami mengijinkan si ibu menggendong bayinya setelah dia mengaku sebagai pemakai heroin. Dia menginginkan menggendong bayinya untuk yang terakhir kali sebelum dikirim ke tempat penahanan. Di kantor polisi, dia meminta saya untuk menggendong bayinya pada saat menjalani tes urin. Pada saat itu saya berada di ruangan tempat tes urin yang biasanya berisikan berbagai macam pecandu heroin, yang biasanya adalah juga mereka yang mempunyai catatan kriminal atas perampokan dan berbagai pelanggaran lainnya, melihat dengan pasrah dan menggendong bayinya itu dalam tangan saya. Itu adalah saat yang akan selalu terpatri dalam ingatan saya.
Ironi yang sangat mengejutkan. Sang ibu meminta saya menggendong bayinya. Dia mempercayakan bayinya kepada saya selama dia menjalani tes urin. Hal ini benar-benar memukul saya. Jika hasil tesnya positif, maka saya adalah orang yang bertanggung jawab atas pengiriman ibu bayi ini ke tempat penahanan.
Sangatlah menyedihkan, ibu itu benar-benar dinyatakan positif dan dikirim ke tempat penahanan. Malam itu, suaminya datang ke kantor polisi dan dengan menangis dia berjanji pada istrinya bahwa dia akan merawat bayi mereka dengan sebaik- baiknya.
Perasaan sedih yang mendalam menghantui diriku. Itu adalah suatu kesia-siaan yang tragis melihat bagaimana orang merusak dirinya sendiri dengan narkotik, bagaimana mereka menyia-nyiakan hidup ini dan pada saat mereka tertangkap, itu adalah nilai terakhir yang harus mereka bayar atas hal-hal yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan.
60 juta penduduk dunia terinfeksi HIV. 21 juta diantaranya telah meninggal dunia. HIV ditemukan paling banyak di usia 15-29 tahun. Diperkirakan 25 juta anak-anak akan menjadi yatim piatu di tahun 2010 karena karena orang tua mereka meninggal dunia karena HIV/AIDS.
Epidemi AIDS di Indonesia sudah berlangsung hampir 20 tahun namun diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang tidak mudah diatasi. Menurut estimasi nasional tahun 2006 di Indonesia terdapat 196.000 sampai 216.000 orang tertular HIV, dan akan menjadi satu juta orang dalam 10 tahun kalau kita tidak melakukan upaya penanggulangan yang serius serta didukung oleh semua pihak.
Di Jawa Barat, diperkirakan 23.000 orang terinfeksi HIV. 14.000 dari kalangan pengguna narkoba suntik. Ingat, setiap detik ada satu orang di antara kita terinfeksi.
Dalam sebuah rumah berdinding semen dan berkamar tiga di Sorong, Papua Barat, impian Angelina pun perlahan memudar. Dulu, ia pernah bercita-cita ingin menjadi polisi wanita. ”karena saya melihat mereka membantu dan melindungi orang”, ujar Angelina. Namun, sudah lama impian itu sirna. Pada Juni 2002, suaminya yang bekerja sebagai ahli mekanik meninggal. Baru pada bulan Oktober ia tahu penyebabnya. Belum juga hilang kesedihannya, perempuan 21 tahun itu diberitahu bahwa ia terinfeksi HIV. Kemungkinan besar suaminya terjangkit virus itu dari pekerja seks. Angelina hanya salah satu korban yang polos dan tidak tahu menahu tentang HIV di Indonesia. Ia hanya orang biasa yang bahkan tidak pernah melakukan tindakan berisiko tetapi tertular
oleh orang yang berkelakuan tidak baik. 18
Permasalahan HIV/AIDS telah sejak lama menjadi isu bersama yang terus menyedot perhatian berbagai kalangan, terutama sektor kesehatan. Namun sesungguhnya masih banyak informasi dan pemahaman tentang permasalahan kesehatan ini yang masih belum diketahui lebih jauh oleh masyarakat.
Penemuan kasus HIV/AIDS pertama kali terjadi sekitar 1981 oleh ahli kesehatan di Kota Los Angeles, Amerika Serikat, ketika sedang melakukan sebuah penelitian kasus seri terhadap empat pemuda/mahasiswa. Di dalam tubuh ke-empat pemuda tadi ditemukan penyakit pneumonia (Pneumonic Carinii) yang disertai dengan penurunan kekebalan tubuh (imunitas). Dari hasil penelitian, para ahli kesehatan menemukan jalan untuk penemuan penyakit AIDS.
Virus HIV sendiri baru diketahui sekitar 1983 oleh Lug Montaigneur -seorang ahli mikrobiologi Perancis. Pada 1984,