Dikembangkan dari PEDOMAN KONSELING PENANGGULANGAN HIV/AIDS SEKTOR AGAMA ISLAM diterbitkan oleh DEPARTEMEN AGAMA RI
26 Dikembangkan dari PEDOMAN KONSELING PENANGGULANGAN HIV/AIDS SEKTOR AGAMA ISLAM diterbitkan oleh DEPARTEMEN AGAMA RI
Kecemasan yang kemudian menjadi kesulitan dalam kehidupan seseorang dengan HIV, menggambarkan ketidakpastian yang berkaitan dengan infeksi.
Berbagai penyebab dari kecemasan meliputi hal-hal sebagai berikut : Prognosa jangka pendek dan jangka panjang. Resiko infeksi dengan penyakit lain. Resiko menularkan HIV pada orang lain. Penolakan kehidupan sosial, kehidupan seksual dan pekerjaan. Dikucilkan, diisolir dan ketakutan secara fisik. Ketakutan akan mati dalam kesakitan dan tidak dihargai. Ketidakmampuan merubah lingkungan dan tanggung jawab terinfeksi. Bagaimana memastikan pemeliharaan kesehatan terbaik dimasa yang akan datang. Kemampuan keluarga dan orang-orang yang dicintai untuk menerima. Kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan perawatan gigi. Kehilangan hal-hal yang bersifat pribadi dan kemandirian. Penolakan terhadap kehidupan sosial dan seksual dimasa mendatang. Penurunan kemampuan dan kehilangan kemandirian dibidang keuangan.
D" & Sebagai orang merasa sangat marah karena merasa “tidak beruntung” mendapatkan infeksi HIV. mereka merasa bahwa
berita tentang mereka diberikan secara buruk. Kemarahan dapat merupakan akibat dari rasa menyalahkan diri sendiri mendapatkan infeksi HIV atau dapat pula merupakan perwujudan dari perilaku merusak diri sendiri / bunuh diri.
E" Mereka yang menderita HIV positif, mempunyai kecenderungan peningkatan pemikiran bunuh diri. Bunuh diri dianggap
merupakan jalan keluar dari kesakitan, ketidakmampuan, dan perasaan malu terhadap orang-orang yang dikasihi. Bunuh diri dapat dilakukan secara aktif (menyakiti diri sendiri sampai mati) atau pasif (merahasiakan komplikasi yang dapat berakibat fatal)
2F" Penolakan oleh teman, kekasih, kenalan, dapat mengakibatkan perasaan kehilangan kemandirian dan identitas sosial,
sehingga menyebabkan perasaan kehilangan harga diri. Hal ini dapat pula diikutkan dengan pengaruh infeksi HIV seperti kerusakan wajah, penurunan kondisi fisik dan lain-lain.
22" Masalah kesehatan dan perubahan fisik atau perasaan dapat mengakibatkan hypochondria. Hal ini dapat terjadi langsung
setelah didiagnose dan dapat menetap pada mereka yang memiliki kesulitan untuk menerima penyakitnya (HIV) 25" $ Perasaan tentang kematian, kesepian dan kehilangan kontrol dapat meningkatkan perhatian ke masalah spiritual dan
agama. Perasaan berdosa, bersalah, pemberian maaf, damai, dan penerimaan dapat merupakan bagian dari diskusi keagamaan.
Sebagai Agama yang ajarannya penuh rahmat bagi penghuni dunia ini (rahmatan li ‘alamin), Islam telah memberikan tuntunan-tuntunan bagi pemeluknya. Ajaran Islam sarat dengan tuntunan untuk menghindari penyakit, sebagaimana juga sarat dengan tuntunan untuk merawat dan memperlakukan orang yang sakit dengan baik. ‘Iyadh al-maridh yang sangat digalakkan oleh Islam sebenarnya tidak hanya berarti menengok orang sakit, sebagaimana yang dipahami selama ini, melainkan juga berarti merawat dan mengobati orang sakit.
Orang yang sakit, apapun sebabnya harus tetap mendapatkan tempat khusus dalam mayarakat Muslim. Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah SWT mengatakan :
“Wahai hamba-ku, aku ini ‘sakit’ tetapi kamu tidak mau menjenguk dan merawat-ku. Hamba menjawab, “bagaimana aku dapat menjenguk dan merawat-MU sedangkan Engkau adalah Rabbul ‘Alamin?”. Allah menjawab : “seorang hamba-ku sakit, apabila kamu menjenguk dan merawatnya tentu kamu akan menjumpai-ku di sana”.
Dalam hadis ini Allah SWT. Telah menempatkan kedudukan orang-orang yang sakit seolah-olah Allah Ta’ala sendiri yang sakit. Ini artinya manusia dituntut agar selalu memperhatikan orang-orang yang sakit dengan memberikan bantuan baik moril maupun materiil, sehingga mereka tidak terkucil, khususnya secara moral dari masyarakat. Sementara itu, ajaran Islam juga sarat dengan tuntunan untuk menghindari hal-hal yang membahayakan, apalagi penyakit yang berpotensi untuk menular. Nabi Muhammad SAW menegaskan :
Artinya : “Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan orang lain” Artinya :
“Bahaya itu harus dihilangkan”
Bahkan sekiranya ada dua faktor tarik-menarik antara bahaya (kerugian) dan kepentingan (keuntungan), maka yang diprioritaskan adalah menghilangkan bahaya. Kaidah fiqh menuturkan :
Artinya : “Menghindari kerusakan-kerusakan itu harus didahulukan dari mencari keuntungan-keuntungan” Karenanya, tanpa harus mengurangi perlakuan baik kepada orang yang sakit, Islam mengajarkan agar kita mewaspadai, dan
menghindari kemungkinan penularan penyakit dari orang yang sakit tersebut.
Penyakit HIV/AIDS dimana sekitar 80% – 90% dari penyebabnya adalah berzina, merupakan penyakit yang sangat berbahaya, khususnya bagi orang-orang yang memiliki akhlak yang tidak terpuji. Penyakit ini merupakan musibah yang dapat menimpa siapa saja termasuk orang-orang yang berakhlakul karimah. Orang yang terkena musibah belum tentu akibat dosa yang diperbuatnya, tetapi boleh jadi merupakan korban perbuatan orang lain.
Apabila sekitar 80% - 90 % dari penyebab HIV/AIDS adalah perbuatan zina, maka upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS yang paling efektif adalah menghilangkan penyebabnya itu sendiri yaitu perbuatan zina. Seperti tersebut di atas, Nabi Muhammad SAW. Mengatakan bahwa :
“Apabila zina dan riba sudah menjadi perbuatan umum dalam suatu negeri, maka hal itu berarti penduduk negeri itu
telah menghalalkan (mengundang) azab Allah”
Karenanya prinsip “menjaga lebih baik daripada mengobati” juga berarti menghilangkan sebab lebih baik daripada mengobati penyakit yang diakibatkan oleh sebab tersebut.
Anjuran Islam untuk memperhatikan dan memperlakukan dengan baik kepada orang-orang yang sakit itu juga termasuk orang-orang yang sakit terkena virus HIV/AIDS. Namun tentunya, jangan sampai perlakuan yang baik itu justru akan mengorbankan orang lain yang tidak terkena HIV/AIDS menjadi terkena HIV/AIDS. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Kaidah Fiqh menyebutkan :
Artinya: “Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain”
Karenanya diperlukan upaya-upaya yang sangat bijaksana agar para penderita HIV/AIDS itu dapat dirawat, diobati dan diperlakukan secara manusiawi tetapi tidak mengorbankan pihak lain sehingga menjadi HIV/AIDS yang baru. Kebijaksanaan ini akan lebih diperlukan karena sebagai manusia, penderita HIV/AIDS akan selalu berhubungan dengan orang lain misalnya, ketika menginjak dewasa ia perlu menikah, ketika meninggal dunia perlu mendapat perawatan jenazahnya dan lain sebagainya.
&$ $+$ &$ $+$ 1$ - .* $/ $ . -$ #. .*/ $ /=!$/
HIV/AIDS adalah penyakit menular yang sangat berbahaya dimana ia telah mengancam eksistensi manusia di dunia dan dapat menimpa siapa saja tanpa memAndang jenis umur dan profesi. Karenanya, HIV/AIDS dinilai sebagai Al-Dhaar Al- ‘Amm (bahaya global)
. Euthanasia tidak dibenarkan atas penderita AIDS, baik euthanasia pasif maupun aktif. Sebagai dalil-dalilnya adalah :
a. Hidup dan mati adalah di tangan Tuhan.
Firman Allah SWT yang Artinya:
“Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk : 2)
b. Islam melarang bunuh diri dan membunuh orang lain kecuali dengan hak.
Firman Allah SWT yang Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (An-Nisaa’ : 29)
Firman Allah SWT yang Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (Membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar” (Al-An’aam : 151)
c. Islam memerintahkan untuk berobat dan melarang putus asa.
Sabda Rasulullah SAW. Yang artinya :
“Hai hamba-hamba Allah ! berobatlah ! Sesungguhnya Allah SWT tidak menciptakan penyakit, kecuali diciptakannya pula obat penyembuhnya, kecuali lanjut usia”
Firman Allah SWT. yang Artinya:
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf : 87)
d. Islam memerintahkan untuk sabar dan tawakkal menghadapi musibah.
Firman Allah SWT. yang Artinya:
“bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (Luqman : 17)
e. Islam memerintahkan banyak Istighfar dan berdo’a.
f. Memakai dalil maslahat untuk membenarkan euthanasia tidak tepat, karena di antara syarat penggunaan maslahat itu sebagai dalil syar’i tidak boleh bertentangan dengan nash.
g. Penggunaan qiyas yakni mengqiyaskan penderita HIV/AIDS dengan wanita hamil yang kandungannya membahayakan jiwa calon ibu karena sama daruratnya, adalah tidak tepat, karena bagi penderita HIV/AIDS belum memenuhi keadaan darurat untuk tindakan euthanasia.
& /=!$/ Menularkan HIV/AIDS hukumnya haram. Hal ini berdasarkan hadis Rosulullah SAW. yang artinya :
“tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan orang lain”
G /=!$/
Perkawinan antara penderita HIV/AIDS dengan orang yang tidak menderita HIV/AIDS : Apabila HIV/AIDS itu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan (maradh daim), maka hukumnya makruh.
Tersebut dalam Kifayah al-Akhyar III halaman 38 yang artinya sbb. :
“Keadaan kedua yaitu laki-laki yang mempunyai biaya perkawinan, namun ia tidak perlu menikah, baik karena ketidakmampuannya melakukan hubungan seksual sebab kemaluannya putus atau impoten maupun karena sakit kronis dan
lain sebagainya. Laki-laki seperti ini juga makruh menikah”.
Tersebut dalam Al Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, VII halaman 32 yang artinya :
“Menurut mazhab Syafii, orang yang sakit seperti lanjut usia atau sakit kronis atau impoten yang tidak sembuh atau hilang
zakar dan buahnya sehingga tidak memiliki nafsu birahi lagi, makruh menikah”
Apabila HIV/AIDS itu selain dianggap sebagai penyakit yang sulit disembuhkan (maradh daim), juga diyakini membahayakan orang lain (tayaqun al-idhrar), maka hukumnya haram. Tersebut dalam Al Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu,
VII halaman 83 yang artinya :
“Apabila laki-laki yang akan kawin yakin bahwa perkawinannya akan menzhalimi dan menimpakan kemudharatan atas perempuan yang akan dikawininya, maka hukum perkawinannya itu adalah haram”
Perkawinan antara dua orang (laki-laki dan wanita) yang sama-sama menderita HIV/AIDS hukumnya boleh.
G /=!$/
Penyakit HIV/AIDS dapat dijadikan alasan untuk menuntut perceraian, apabila salah satu dari suami-istri menderita penyakit tersebut. Sebagai dasar-dasar adalah sebagai berikut :
1. Undang-undang No. 1 tahun 1974, pasal 39 bagian penjelasan
2. PP. No. 9 tahun 1975 pasal 19
3. Kompilasi hukum Islam
Apabila pasangan suami-istri atau salah satunya menderita HIV/AIDS, maka mereka boleh bersepakat untuk meneruskan perkawinan mereka. dalilnya adalah hadis Nabi SAW. Yang artinya:
“orang-orang Islam terikat dengan perjanjian mereka, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal”
Suami atau istri yang menderita HIV/AIDS dalam melakukan hubungan seksual wajib menggunakan alat, obat atau metode yang dapat mencegah penularan HIV/AIDS. Sabda Rosulullah SAW. Yang artinya :
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan orang lain”
Disamping itu suami atau istri yang menderita HIV/AIDS seyogyanya berusaha untuk tidak memiliki keturunan. Apabila seorang ibu menderita HIIV/AIDS hamil maka ia tidak boleh menggugurkan kandungannya. Dalilnya adalah Firman Allah SWT. yang artinya :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan” (Al-Israa’ : 31)
Wanita penderita HIV/AIDS yang hamil karena ia berzina perlu dirawat dengan baik dalam rangka menyadarkan dirinya untuk bertobat. Firman Allah SWT. yang artinya :
“Dan sungguh kami telah memuliakan anak-cucu Adam” (Al-Israa’ : 70)
Hadis tentang wanita al-Ghamidiyah yang hamil karena berzina di mana Nabi SAW menyuruh walinya untuk berbuat baik kepadanya.
“Seorang perempuan dari Juhaniah menghadap Nabi SAW dan mengaku telah berzina. Ia mengatakan : “Saya hamil”. Rosulullah SAW memanggil walinya dan mengatakan kepada walinya : “perlakukanlah perempuan ini dengan sebaik- baiknya. Setelah ia melahirkan bayinya kelak, maka bawalah ia kembali kepada saya” (HR. Muslim)
Wanita hamil yang menderita HIV/AIDS akibat suntikan obat-obat terlarang yang tercemar HIV/AIDS diperlakukan secara manusiawi, akan tetapi harus disadarkan atas perbuatan dosanya dan dibimbing untuk bertaubat. Sebagai dalil adalah dalil yang terdapat dalam masalah tersebut di atas.
# /=!$/ Dianjurkan kepada keluarga di mana anggotanya menderita HIV/AIDS untuk merawatnya di tengah keluarga, dan perlu
diadakan penyuluhan secara medis kepada mereka agar dapat merawat dan dapat menghindar dari penularan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW. yang artinya :
“kasih sayanglah kepada orang-orang yang di atas bumi, maka yang ada di langit akan kasih sayang kepada kamu”.
Anak yang menderita HIV/AIDS tetap wajib dikhitan, sepanjang hal itu tidak membahayakan dirinya, dan proses khitan seyogianya dilakukan oleh tim medis / paramedis yang terlatih untuk menghindari penularan.
Penderita HIV/AIDS yang mengalami kecelakaan, misalnya ditabrak mobil di jalan raya, tetap wajib ditolong dengan tetap mewaspadai kemungkinan adanya penularan dengan menggunakan alat pencegahnya.
H /=!$/
Penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia wajib diurus sebagaimana layaknya jenazah (dimandikan, dikafani dan dikuburkan). Cara memandikannya hendaknya mengikuti petunjuk Departemen Kesehatan tentang pengurusan jenazah. Dalam hal tidak dapat dimandikan seperti yang termaktub dalam petunjuk Departemen Kesehatan, mayat tersebut tetap dimandikan sedapat mungkin dengan cara menyemprotkan air.
Dewasa ini, berbagai pihak, mulai kalangan LSM, pemerintah, hingga masyarakat umum, menghadapi tantangan penyebaran virus HIV yang dinilai demikian pesat penyebarannya. Virus mematikan yang menyebabkan penyakit Aids yang hingga hari ini belum diketemukan obatnya itu, menjadi perhatian khusus para pemuka agama, khususnya Islam dan Kristen, beberapa waktu lalu dalam sebuah forum yang diselenggarakan badan PBB khusus urusan Aids (UNAIDS), di London, Inggris.
Forum yang bertajuk Konsultasi Tingkat Tinggi Tokoh Agama, “Lifting The Veil: Islam, Christianity and Challenges of Aids” menghadirkan para pemuka kedua agama dari Afrika, Asia, dan Pasifik, serta Eropa, pada 28-30 Maret, di istana Winsort, Castle, kediaman resmi Ratu Elizabeth. Dilihat dari tempat penyelenggaraannya, menunjukkan bahwa Ratu Elizabeth memiliki perhatian yang besar terhadap penyakit mematikan tersebut.
Tampaknya, berkembangbiaknya penyakit Aids ini tidak lepas dari dampak globalisasi yang meniscayakan pertukaran budaya secara bebas, bahkan tanpa nilai sekalipun. Atas nama hak asasi manusia, orang dengan leluasa melakukan hubungan seks bebas. Di beberapa negara bahkan, perilaku semacam itu dilegalkan. Di sinilah agama dituntut untuk dapat memberikan kontribusinya bagi pemecahan jalan keluar pemberantasan masalah Aids.
Tidak berlebihan bila forum tersebut dipandang penting. Setidaknya, seperti diungkapkan Prof Majidi, pengajar di Harvard University, Amerika, bahwa agama, melalui para tokohnya, dapat menjadi jembatan alternatif bagi upaya pemecahan secara moderat bagi masalah Aids. “Keprihatinan kita semua adalah, bagaimana penyakit itu demikian pesat menular, sementara pencegahannya sangatlah lambat. Karena itu, agama mestilah lebih dilibatkan lagi dalam proses pemberantasan tersebut,” ujarnya.
Pakar studi Islam asal Uganda itu menjelaskan, pemberdayaan agama, selain melalui para tokohnya, juga dapat dilakukan melalui masjid-masjid dan majelis taklim. Kedua tempat itu, katanya, potensial bagi sosialisasi tentang bahaya yang ditimbulkan dari seks bebas, yakni penyakit Aids.
Sementara itu, Prof Yusuf Akbar, intelektual asal Pakistan yang mengajar di salah satu universitas di Inggris mengatakan, bila orang melaksanakan ketentuan agama dengan baik dan benar, dapat mencegah dari penyakit Aids. “Semua agama memiliki komitmen yang sama dalam mencegah penyakit Aids. Tapi, terpulang kepada umatnya. Kalau pengamalan ajaran agama benar dan konsisten, maka tidak akan terjadi hubungan seks bebas, terlebih lagi munculnya Aids,” papar Akbar.
Karena itulah, tambah Akbar, kerjasama antartokoh agama di dunia mutlak diperlukan untuk membantu mempercepat pencegahan, bahkan kalau bisa, pemberantasan secara total penyakit Aids. “Ini harus menjadi proyek bersama yang membutuhkan komitmen kebersamaan pula. Semua pihak harus mendukung upaya tersebut,” paparnya.
Keprihatinan mendalam atas makin berkembangnya penyakit Aids dewasa ini juga menjadi sorotan intelektual dan tokoh Muhammadiyah KH Dr dr Tarmizi Taher, yang menjadi wakil Asia Tenggara dalam forum tersebut. Bagi rektor Universitas Islam Azzahra, Jakarta dan Ketua Dewan Direktur CMM ini, kalau ingin kampanye pemberantasan Aids berhasil dengan baik, maka para ulama dan tokoh agama harus diberi tempat dan dilibatkan secara maksimal.
“Hanya agama yang menyediakan perangkat nilai-nilai pencegahan, seperti perangkat amar makruf nahi munkar. Di agama lain juga sama, ajaran kemanusiaannya selaras. Jadi tak ada alasan untuk tidak melibatkan peran agama di dalamnya,” jelas mantan menteri agama tersebut.
Tarmizi, yang juga mengelola sebuah LSM bergerak di bidang pemberantasan Aids di Indonesia menyebutkan, saat ini upaya pemberantasan penyakit tersebut cukup menunjukkan peningkatan. Meski diakuinya belum menunjukkan hasil yang optimal, namun upaya tersebut patut dihargai. Ia memberikan contoh kiprah UNAIDS yang mulai banyak melibatkan tokoh agama. Hal ini dinilainya cukup positif, terutama bagi pemberdayaan yang lebih besar lagi masyarakat dalam kampanye
pemberantasan Aids, yang dinilai banyak kalangan, bakal menjadi tantangan terbesar di masa mendatang. 27
Diskriminasi dan stigma terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha) harus dihapuskan agar yang bersangkutan bebas dari beban sosial-psikologis dan dapat bekerja secara produktif. Hal itu penting untuk membantu pencegahan penyebaran HIV/AIDS dari para pengidap HIV/AIDS.
Untuk mewujudkan itu, tokoh-tokoh agama dan komunitasnya perlu mendapat pemahaman yang benar tentang penyakit tersebut agar dapat mencegah penyebaran penyakit dan menghilangkan diskriminasi.
Demikian dikatakan Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Susanti Herlambang dalam seminar HIV/AIDS dalam Perspektif Islam di Jakarta.
Menurut Susanti, jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia mencapai 90.000-130.000 orang dan banyak di antara mereka adalah pencari nafkah bagi keluarga. Jika mereka mendapat diskriminasi sehingga tidak dapat bekerja produktif, masalah AIDS bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi. Pemahaman yang kurang mengenai HIV/AIDS menyebabkan diskriminasi di tempat pelayanan kesehatan, sekolah, tempat kerja, dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Faraj, Koordinator Koalisi Muslim AIDS Project yang juga pengidap HIV, Odha sering mendapat stigma buruk dan dituduh sebagai penyebar AIDS dengan melakukan seks bebas. Faraj mengaku, dia juga mendapat diskriminasi dari tempat kerjanya dan dipecat dari sebuah perguruan tinggi swasta tempat dia mengajar. Untuk menghilangkan diskriminasi itu, pemerintah perlu membuat undang-undang antidiskriminasi bagi para Odha. UU tersebut harus melindungi hak dan memberi kewajiban bagi mereka untuk tidak menyebarkan HIV dengan cara apa pun. Di Amerika Serikat, UU itu terbukti berhasil melindungi hak pengidap dan mengurangi penyebaran HIV.
Mantan Menteri Agama Tarmizi Taher mengatakan, di dalam Islam tidak dibenarkan adanya diskriminasi terhadap penderita sakit apa pun, termasuk HIV/ AIDS. "Sebaliknya, umat Islam wajib memperhatikan orang yang sakit dengan menjenguk dan menyantuni," katanya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Islam Progresif Zuhairi Misrawi mengatakan, Islam memandang AIDS sebagai penyakit dan bukan kutukan. "Agama harus melindungi dan memberi kemudahan bagi penderita HIV/AIDS," katanya.
Menurut Zuhairi, para pengidap HIV/AIDS membutuhkan penyadaran, perlakuan yang sama, dan kesempatan. Penyadaran atas keadaan yang mereka alami dan tindakan yang harus dilakukan agar melakukan pengobatan dan tidak menularkan kepada orang lain. Perlakuan yang sama dalam setiap bidang kehidupan agar hidup seperti orang normal. Kesempatan bekerja dan berusaha hidup layak dan mengakses pengobatan.