Keterkaitan Peran Politik NU dengan Khittah NU 1926

C. Keterkaitan Peran Politik NU dengan Khittah NU 1926

  Dalam Khittah NU Keputusan Muktamar XXVII NU No. 02MNU-271984, ditegaskan bahwa Nahdlatul Ulama didirikan atas kesadaran dan keinsyafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan bathin, saling bantu-membantu dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan (al-ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasysrakatan yang baik dan harmonis. Dalam hal ini khittah Nahdlatul Ulama didefinisikan sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan

  Oleh sebab itu khittah Nahdhatul Ulama (1984) mengatur pula prinsip-prinsip yang membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi untuk:

  1. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.

  2. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.

  3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah serta berjuang.

  4. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwah), persatuan (al-ittihad) serta kasih mengasihi.

  5. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak.

  6. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan Negara.

  7. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

  8. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya.

  9. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia.

  10. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong memacu dan mempercepat perkembangan masyarakatnya.

  11. Menjunjung tinggi kebersamaan ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Selanjutnya dalam melalui khittah tersebut diatur pula bagaimana pola hubungan NU dengan kehidupan bernegara. Dalam hal ini ditegaskan beberapa hal penting sebagai berikut:

  1. Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan Nasional Bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses perjuangan mencapai dan memperjuangkan kemerdekaan, serta ikut aktif dalam penyusunan UUD 1945.

  2. Keberadaan Nahdlatul Ulama yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama dan segenap warganya selalu aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Oleh karenanya, setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warga Negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.

  3. Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwwah), toleransi (at-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama warga Negara yang mempunyai keyakinanagama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.

  4. Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan Nahdlatul Ulama berusaha secara sadar untuk menciptakan warga Negara yang menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan Negara.

  5. Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga Negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang.

  6. Didalam hal warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak-hak politiknya harus melakukan secara bertanggung jawab, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hokum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah, dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.

  Dari uraian tersebut, penegasan kembali ke khittah 1926 dinyatakan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Situbondo pada Desember 1983, yang sekaligus mempertegas status NU sebagai Jami’iyah Diniyah Islamiyah dan bukan lagi organisasi politik. Kebijakan kembali ke khittah 1926 diambil oleh NU bertepatan dengan keputusan

  NU menarik diri dari politik kooptatif yang mungkin dirasakan tidak menguntungkan bagi organisasi dan demokrasi. Namun, identitas politik tidak bisa lepas begitu saja setelah penegasan khittah 1926 karena solidaritas massa NU tetap tidak terusik. NU tetap memiliki makna politis sebagai kekuatan sosial terbesar dan tangguh berhadapan dengan kekuasaan. Solidaritas primordial massanya telah membuat NU menjadi kekuatan ekstra parlementer dalam paradigma Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

  Setelah kembali ke khittah 1926, NU memasuki era baru perjuangan politik dengan mengambil bentuk politik moralitas (kultural). NU merasakan keperluan memperluas cakupan fatwa meliputi persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang melandasi kiprah NU mengatasi masalah kemiskinan, ketimpangan dan pembangunan masyarakat. Perhatian besar terhadap keadilan sosial, demokrasi dan toleransi antar agama. Prinsip-prinsip, nilai-nilai dan etika politik bahkan dipertegas, misalnya wacana mengasosiasikan pajak dengan zakat, dan dukungan bersyarat terhadap pemerintahan netral dalam Dar Sulh (bukan Negara agama).

  Lebih lanjut, apabila dikaitkan dengan keberadaan khittah NU 1926 maka peran politik NU tidak bisa untuk berdiri sendiri. Peran ini harus didukung pula oleh fungsi sosial NU seperti; pendidikan (maarif), kesejahteraan sosial (mabarrot), penyebaran agama (dakwah) dan perekonomian (muamalat). Politik bagi NU tidak sekedar berkenaan dengan kekuasaan belaka tetapi juga esensi ideologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianutnya. Adapun prinsip-prinsip yang digunakan dalam peran politnya adalah sikap tawasuth (tengah), I’tidal (lurus), hindari fatharruf (ekstimitas), dan sikap tasamuh (toleran). Keterkaitan antara fungsi sosial dan peran politik NU, dapat dengan jelas dilihat pada gambar dibawah ini;

  Peran Opinion Leader

  Kesejahteraa

  Penyebaran

  n Sosial

  Gambar 3.3 Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik dan Khittah NU 1926

  Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa peran politik NU dibangun bersama fungsi sosialnya. Keberadaan setiap komponen menjadi sangat penting dan vital, sehingga bangunan ini akan roboh disaat salah satu komponen tidak ada. Pelaksanaan peran politik dengan meninggalkan fungsi sosial NU tidak hanya mengingkari khittah 1926 tetapi juga membuat rapuhnya bangunan peran politik NU itu sendiri. Dengan demikian fungsi sosial NU adalah merupakan landasan atau pondasi keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan sedangkan peran NU dalam politik lebih merupakan upaya untuk melindungi tatanan sosial kemasyarakatan yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

  Sesuai dengan peran sosialnya maka dalam pelaksanaan peran NU sebagai opinion leader di bidang politik lebih difokuskan pada pelembagaan perilaku politik berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Perilaku politik yang dimaksud adalah tindakan- tindakan politik yang disebabkan cara pandang warga NU terhadap sistem politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan politik (pemerintah). Sesuai khittah 1926, nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah menjadi cara pandang NU pada segala hal, tidak terkecuali dalam bidang politik. Dengan demikian, pelembagaan perilaku politik NU berarti juga membangun konsep budaya politik NU berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

  Budaya politik masyarakat idealnya tetap sebagai pola orientasi dan sikap yang mampu berkontribusi melalui tindakan-tindakan konstruktif dalam sistem politik. Pemilihan umum yang damai, pilkada yang tidak bergejolak dan semakin berkurangnya konflik politik di masyarakat, menjadi ciri bahwa budaya politik semakin membaik. Kondisi tersebut akan berdampak secara positif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan yang terpilih. Namun fenomena yang sering terjadi, sebagai misal pasca pemilu 2004 atau 2009 atau pilkada sepanjang tahun 2006 sampai 2010 ini, menunjukkan bahwa setelah memenangkan pemilu atau pilkada dan berhasil menjadi pemimpin, mereka lupa diri dan bahkan mereka tidak lagi perduli pada rakyat. Sudah dipastikan tidak ada sosok yang mampu menjadi panutan masyarakat.

  Padahal untuk membangun budaya politik dibutuhkan keteladanan sikap dari para elite politik, pejabat negara dan tokoh-tokoh yang duduk pada lembaga tinggi maupun lembaga publik di tingkat daerah. Proses membangun kualitas keteladanan para pelaku politik tersebut tidak bisa berlangsung secara instan, karena harus terpolakan dan tersistematisasikan secara baik. Hal inilah yang kemudian mendorong NU untuk menuntut adanya moralitas berpolitik bagi para kadernya. Sebuah kecenderungan untuk menyesuaikan budaya politik dengan tatanan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.