Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik

B. Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik

  Dalam konteks Nahdhatul Ulama, elit politik lokal Nahdhatul Ulama adalah para kiaitokoh yang menjadi pemuka agamapanutan ditingkat lokal yang dapat dilihat dalam 3 kategori;

  1) Pertama, kategori elit berdasarkan status ekonomi

  Elit NU dalam kategori ini dapat berasal dari semua kalangan dengan tingkat kemapanan finansial yang tinggi. Sebagai organisasi nirlaba, pengurusan NU memberi ruang terhadap kelompok tersebut khususnya dalam pendanaan organisasi. Dalam kategori ini elit NU yang dimaksud adalah pengusaha, politisi dan birokrat pemerintahan

  2) Kedua kategori elit berdasarkan kegiatan fungsional;

  Elit NU dalam kategori ini terkait dengan jabatan kepengurusan NU disetiap tingkatan kepengurusan. Akses terhadap kekuasaan sering menjadi latar belakang seseorang untuk Elit NU dalam kategori ini terkait dengan jabatan kepengurusan NU disetiap tingkatan kepengurusan. Akses terhadap kekuasaan sering menjadi latar belakang seseorang untuk

  3) Ketiga, elit berdasarkan kharisma yang diwakili oleh identitas kiai

  Basis NU yang berasal dari pesantren memberi kelas sosial yang tinggi bagi kiai sebagai pimpinan pesantren.Kelompok ini meliputi para ustad atau guru ngaji, da’i pengajian keliling hingga kiai yang memiliki pesantren dengan jumlah santri yang besar.

  Terjadinya dominasi elit NU di tingkatan lokal dapat dilihat dalam beberapa kategori persoalan yang ada pada tabel dibawah ini;

  Tabel 3.3

  Kategorisasi Dominasi Elit NU di Tingkatan Lokal

  1. Faktor keturunan

  Keturunan memiliki

  Belum terbangun budaya yang

  dalam kepemimpin

  fungsi besar untuk

  bangga jika mampu

  ‘membuka pintu’

  berprestasi atau sukses

  dalam membangun

  berdasarkan kerja

  hubungan dengan

  kerasnya sendiri dari

  pihak lain.

  bawah

  2. Basis kepemimpinan Legitimasi akan figur NU sebagai ormas keagamaan pada ideologi bukan atau

  seringkali hanya

  pada figur

  identitas kelompok mengandalkan latar belakang sebagai

  figur

  kekuatan pemimpin

  untuk memimpin organisasi (darah birupendiri NU atau tidak)

  3. Kondisi untuk

  Perseteruan, perselisihan, Terjadi dendam politik sehingga

  memperkuat

  pertikaian, bahkan

  pengurusan NU seringkali

  gelombang

  pemberontakan berlatar

  didasarkan pada kesamaan politik

  regenerasi

  belakang politik dan

  ketua umum dengan ketua umum dengan

  meski potensial seringkali disingkirkan

  4. Pelibatan generasi

  Berpolitik dengan

  Penyiapan generasi

  muda dalam

  program, visi, nilai,

  muda dengan memberi

  proses kaderisasi

  kebijakan, bisa

  mereka karpet merah akan

  kepemimpinan baru memenangkan

  menciptakan anak muda

  pertarungan politik

  yang apolitis, pragmatis,

  demokratis.

  meskipun seolah-olah berpolitik

  5. Kepentingan

  Semua aktivis

  Posisi pengurus yang sebagian

  Ekonomi

  politiklah untuk

  besar memiliki basis ekonomi

  secara konsisten

  yang belum mapan. Oleh sebab

  mengubah

  itu perilaku politik elit NU

  kondisi itu. Politik

  kerapkali mengarah pada bias

  harus dijadikan

  ekonomi pasar, transaksional dan

  sebagai sarana

  ditentukan pada penawaran

  memperjuangkan

  tertinggi

  idealisme, bukan untuk cari makan, cari harta, atau cari kekuasaan

  6. Karakter Building

  Perlu pemimpin yang

  Elit dan politisi NU seringkali

  para Politisi muda

  berani, tegas, berani

  hanya mengandalkan latar

  melakukan terobosan,

  belakang figur

  termasuk dalam

  untuk memimpin. Hal ini

  berinisiatif membuat

  menyebabkan rendahnya

  aturan. Pemimpin

  kepemimpinan dan kurangnya

  yang berani untuk

  caracter

  mengambil risiko.

  building yang membuat

  Sekarang kebanyakan

  kepentingan rakyat kepentingan rakyat

  terlupakan.

  negarawan

  7. Kesuksesan dalam

  Kredibilitas dan

  Rekrutmen yang didominasi

  karir bisa dibangun

  profesionalitas

  senior, regenerasi tidak

  dengan pematangan dibutuhkan untuk

  berjalan ilmiah, sistem

  secara alami

  membangun karir

  belum terkelola baik

  dan berorganisasi.

  8. Transparansi

  dan Transparansi dan Keuangan organisasi berasal dari

  akuntabilitas

  akuntabilitas organisasi sumber yang belum

  organisasi

  membangun keteladanan dipertanggungjawbkan secara dan kekuatan tawar jelas. Sehingga kerapkali ormas organisasi

  tidak terkecuali NU menjadi sasaran tempat pencucian uang

  Konteks persoalan diatas tentu tidak bisa kita pisahkan begitu saja dari konflik elit NU ditingkatan lokal yang selama ini terjadi. Sehingga merupakan dampak peningkatan konflik elit ditingkatan lokal yang tepatnya berada di pesantren sebagai pusat gerakan NU. Konflik elit dibeberapa pesantren sebagai basis masa NU telah menyebabkan labelisasi sehingga menyebabkan adanya peristilahan merah, kuning, biru dan lain sebagainya sebagai pencerminan kecenderungan tersebut kepada suatu partai politik. Belum lagi jika labelisasi itu berlaku pada beberapa keluarga yang merupakan pendiri pesantren, seringkali menjadikan konflik urat saraf yang diantara anggota keluarga atas dasar ketidaksamaan aliran politik yang dipilih. Belum lagi persoalan betapa mudahnya pesantren menerima dana dari pemerintah atau partai politik dengan kompensasi tertentu. Merupakan tolok ukur betapa rendahnya integritas dan kedewasaan politik para elit politik NU ditingkatan lokal, seiring dengan perilaku koruptif dan manipulatif yang mulai menjangkiti generasi mudanya.

  Aspek integritas dan kedewasaan berpolitik adalah hal dasar mengapa politik kontra produktif terhadap NU secara keorganisasian. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa orang luar pesantren menganggap ada perbedaan mendasar antara kiai dulu dengan sekarang. Dalam kultur NU, para kiai selama ini dipandang dan ditempatkan sebagai sosok yang suci, pewaris ajaran nabi dan segala tindak tanduknya harus diikuti. Selama ini, kiai telah ditahbiskan sebagai pemegang otoritas moral, pembawa “pesan langit” dan label-label Aspek integritas dan kedewasaan berpolitik adalah hal dasar mengapa politik kontra produktif terhadap NU secara keorganisasian. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa orang luar pesantren menganggap ada perbedaan mendasar antara kiai dulu dengan sekarang. Dalam kultur NU, para kiai selama ini dipandang dan ditempatkan sebagai sosok yang suci, pewaris ajaran nabi dan segala tindak tanduknya harus diikuti. Selama ini, kiai telah ditahbiskan sebagai pemegang otoritas moral, pembawa “pesan langit” dan label-label

  

  Di sisi lain, sebagian besar pesantren masih bergulat dengan manajemen pengelolaan pesantren secara tradisional dan sangat kental dengan nuansa kekerabatan. Status kepemilikan pesantren rata-rata dimonopoli keluarga kiai yang menjadi episentrum dalam pesantren itu. Hubungan yang terjadi antara kiai dan santri dibangun dalam pola patron klien dan bersifat irasional. Kesetiaan dibangun atas dasar ikatan emosional, psikologis dan kadangkala imbas hutang budi yang bersifat ekonomis dari santri pada kiai. Salah satu karakter pesantren adalah adanya otonomi diantara masing-masing pesantren. Tidak ada satu ikatan struktural organisatoris antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Bahkan ada kecenderungan munculnya ego yang kuat diantara masing-masing kiai pemilik pesantren. Jika ada hubungan yang mengarah pada patron klien antara satu pesantren dengan pesantren lainnya, biasanya terpengaruh dari hubungan antara kiai pemilik pesantren tersebut. Hal yang sering terjadi, satu pesantren menjadi patron dari pesantren lainnya karena pemilik atau pengasuh pesantren yang dijadikan patron itu merupakan bekas guru dari kiai yang kemudian mendirikan pesantren baru. Pada saat terjadi perbedaan pendapat, khususnya dalam orientasi politik para santri cenderung mengeyampingkan pilihan pribadinya. Santri akan tunduk dan patuh pada apa yang menjadi pilihan politik kiainya meskipun para santri tidak pernah mengetahui hal-hal yang mendasari sikap politik kiainya. Sikap itu dimaknai sebagai bagian dari “taqlid” (kepatuhan tanpa reserve pada kiai). Perbedaan orientasi politik itu antara santri dan kiai akan muncul pada saat santri sudah lepas dari . Selama masih mengenyam pendidikan di pesantren, santri akan sangat sulit untuk dapat mengekspresikan sikap politiknya secara mandiri.

  Setidaknya NU telah mengeluarkan pedoman yang disebut sebagai Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU, yaitu: (1) Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. (2) Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yakni terwujudnya masyarakat adil makmur lahir batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat. (3) Berpolitik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan

  yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. (4) Berpolitik bagi NU dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (5) Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani, moral agama, konstitusional sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. (6) Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah wal jama’ah. (7) Berpolitik bagi NU dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama memecah belah persatuan. (8) Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’dan saling menghargai satu sama lain sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU. (9) Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

  Sembilan pokok pedoman itu secara tekstual sangat normatif namun jika diikuti secara nyata dalam tataran praktik politik, perilaku politik warga NU akan menjadi sangat elegan. Tidak hanya dalam relasi di antara sesama politisi NU namun dengan komunitas politik non NU. Namun jika melihat realitas politik, pedoman itu hanya bermakna dalam tataran tekstual. Praktik politik dari warga NU justru terkesan mengabaikan dan bertolakbelakang dengan pedoman itu. Artinya, akar konflik dan awal mula permasalahan tidak terletak pada sistem nilai namun pada praktik dan perilaku politik. Dengan menggunakan teori elit dan hegemoni gramsci, perilaku politik elit NU ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk mempertahankan status. Sehingga “taqlid” (kepatuhan tanpa reserve pada kiai) sering dikaitkan dengan hal tidak rasional seperti “keberkahan ilmu” sehingga memperkuat hegemoni kiai terhadap santri. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap para sahabatnya baik dalam konteks dakwah, politik dan kenegaraan. Mengajarkan kesetaraan dan tanggungjawab sosial, kemandirian berfikir, dan memiliki beragam perspektif adalah esensi dasar perilaku yang diajarkan oleh Islam. Musyawarah menjadi mekanisme kesejajaran para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW Sembilan pokok pedoman itu secara tekstual sangat normatif namun jika diikuti secara nyata dalam tataran praktik politik, perilaku politik warga NU akan menjadi sangat elegan. Tidak hanya dalam relasi di antara sesama politisi NU namun dengan komunitas politik non NU. Namun jika melihat realitas politik, pedoman itu hanya bermakna dalam tataran tekstual. Praktik politik dari warga NU justru terkesan mengabaikan dan bertolakbelakang dengan pedoman itu. Artinya, akar konflik dan awal mula permasalahan tidak terletak pada sistem nilai namun pada praktik dan perilaku politik. Dengan menggunakan teori elit dan hegemoni gramsci, perilaku politik elit NU ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk mempertahankan status. Sehingga “taqlid” (kepatuhan tanpa reserve pada kiai) sering dikaitkan dengan hal tidak rasional seperti “keberkahan ilmu” sehingga memperkuat hegemoni kiai terhadap santri. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap para sahabatnya baik dalam konteks dakwah, politik dan kenegaraan. Mengajarkan kesetaraan dan tanggungjawab sosial, kemandirian berfikir, dan memiliki beragam perspektif adalah esensi dasar perilaku yang diajarkan oleh Islam. Musyawarah menjadi mekanisme kesejajaran para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW

  

  Sebagai ormas keagamaan NU memiliki mandat yang sama sebagai penerus misi kenabian sehingga NU pun harus mampu memfungsikan peran yang dimaksud. Peran opinion leader adalah peran untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam prinsip melestarikan tradisi yang baik dimasa lalu dan mengambil tradisi yang baik dimasa sekarang sebagai upaya membangun tatanan masyarakat dan penyelenggaraan negara sesuai kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menterjemahkan peran tersebut dalam konteks kelembagaan dan politik, NU membutuhkan kader-kader yang memiliki semangat dan tekad yang satu dan sama, serta diharapkan dapat memiliki kriteria yang menyangkut 4 (empat) hal pokok, yang meliputi; Pertama, memiliki kesadaran ideologis yang tinggi Setiap kader NU harus memiliki pengertian dan kesadaran ideologi yang tinggi, yaitu ideologi yang hsrus diperjuangkan oleh NU. Tidak pernaha ada partai yang survive tanpa ideologi; tidak pernah ada bangsa yang bertahan tanpa ideologi, karena ideologilah yang memberikan cita-cita, memberikan arah, memberikan harapan-harapan kehidupan masa depan bangsa. Lebih penting lagi bagi kita, ideologi adalah pondasi organisasi dan negara. Memberikan landasan, alasan tindakan dan perjuangan bangsa, dan bagi NU adalah final untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar perjuangan. Kedua, memiliki kesadaran politik yang tinggi Setiap kader harus betul-betul mempunyai kesadaran dan pemahaman politik yang tinggi sebab akan dihadapinya setiap saat dan setiap hari. Dalam keseharian, politik adalah sebuah seni tentang kemungkinan-kemungkinan, seni dalam mengelola kemajemukan cita-cita, harapan, perbedaan dan kepentingan. Ia adalah seni dalam mengalokasikan sumber-sumber daya politik secara otoritatif (mandiri). Sehingga kader-kader NU tidak mudah untuk terprovokasi atau sekedar dimobilisasi untuk kepentingan elit politik. Dan terpenting adalah politik harus dapat dipakai sebagai wahana perjuangan merealisasikan nilai-nilai ideologi dalam komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Ketiga, memiliki kesadaran berorganisasi yang tinggi Untuk mewujudkan kesadaran berorganisasi yang tinggi dibutuhkan pemahaman dan kesepakatan diri pada aturan main, kepatuhan, disiplin organisasi, militansi dalam perjuangan cita-cita organisasi, dan taat pula pada asas organisasi. Maksudnya, begitu kita menjadi kader NU, semua cita-cita pribadi harus tunduk pada cita-cita yang diperjuangkan NU. Bukan berarti perbedaan pendapat dan metode tidak diperbolehkan tetapi justru merupakan berkah dalam proses mengambil kebijakan dan keputusan. Keputusan yang diambil menjadi kewajiban kader NU untuk melaksanakan dan mengamankannya. Keempat, memiliki kesadaran lingkungan dan sosial yang tinggi Kader NU harus memiliki kepekaan dan kesadaran lingkungan. Menghindari kesenjangan antara cita-cita NU dan tingkah laku sosial kader-kadernya dimasyarakat. Hal ini tidak hanya akan memperburuk citra NU dan membuat masyarakat menjauh dari NU tetapi juga pengingkaran terhadap prinsip dasar Islam. Kesalehan spiritual harus senada dengan kesalehan sosial, seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang sebelum misi kenabiannya telah memiliki legitimasi sosial atas perilaku sosialnya dalam masyarakat.

  Disini pendidikan nilai terhadap kader NU menjadi hal yang sangat penting. Pertama, nilai tentang kepercayaan diri kader NU. Sebagai kaum tradisional NU tidak boleh seketika antipati dengan modernitas, tetapi yang harus dilakukan adalah membangun modernitas tersebut dalam nilai-nilai baik tradisonalisme. Sebab kenyataan hidup telah membelajarkan kita bahwa sesuatu yang paling mahal dalam modernitas adalah tradisionalisme itu sendiri. Jepang dan Korea Selatan adalah bukti bahwa tradisionalisme dapat bersanding dengan arus modernitas. Modernitas yang dibangun tanpa kesetiaan terhadap tradisonalisme hanya akan membuat suatu bangsa kehilangan akar budayanya yang merupakan identitasnya sendiri sebagai bangsa. Kedua, nilai kebersamaan sebagai bagian dari institusi NU. Institusi ormas keagamaan seperti NU, seharusnya dibangun diatas keteraturan sistem yang disepakati bersama dengan konstitusi dan ideologi sebagai bingkai nilai yang menyatukannya. Menjadi orang NU berarti menjadi bagian dari keteraturan sistem yang ada. Tetapi dalam perjalanannya hubungan individu dan organisasi NU lebih cenderung bersifat individual dan subyektif sehingga sering fluktuatif dan rawan konflik. Ketiga, nilai sebagai pengikut. Selain kader NU dididik dan mendidik dirinya untuk menjadi pemimpin yang baik, maka penting baginya untuk belajar menjadi pengikut yang baik. Sebab salah satu syarat paling penting untuk bisa menjadi pemimpin yang baik adalah mampu menjadi pengikut yang baik. Tidak akan ada pemimpin yang baik tanpa pernah menjadi pengikut yang baik. Sejarah telah membuktikannya. Keempat, nilai dari sebuah disiplin. Tidak ada bangsa Disini pendidikan nilai terhadap kader NU menjadi hal yang sangat penting. Pertama, nilai tentang kepercayaan diri kader NU. Sebagai kaum tradisional NU tidak boleh seketika antipati dengan modernitas, tetapi yang harus dilakukan adalah membangun modernitas tersebut dalam nilai-nilai baik tradisonalisme. Sebab kenyataan hidup telah membelajarkan kita bahwa sesuatu yang paling mahal dalam modernitas adalah tradisionalisme itu sendiri. Jepang dan Korea Selatan adalah bukti bahwa tradisionalisme dapat bersanding dengan arus modernitas. Modernitas yang dibangun tanpa kesetiaan terhadap tradisonalisme hanya akan membuat suatu bangsa kehilangan akar budayanya yang merupakan identitasnya sendiri sebagai bangsa. Kedua, nilai kebersamaan sebagai bagian dari institusi NU. Institusi ormas keagamaan seperti NU, seharusnya dibangun diatas keteraturan sistem yang disepakati bersama dengan konstitusi dan ideologi sebagai bingkai nilai yang menyatukannya. Menjadi orang NU berarti menjadi bagian dari keteraturan sistem yang ada. Tetapi dalam perjalanannya hubungan individu dan organisasi NU lebih cenderung bersifat individual dan subyektif sehingga sering fluktuatif dan rawan konflik. Ketiga, nilai sebagai pengikut. Selain kader NU dididik dan mendidik dirinya untuk menjadi pemimpin yang baik, maka penting baginya untuk belajar menjadi pengikut yang baik. Sebab salah satu syarat paling penting untuk bisa menjadi pemimpin yang baik adalah mampu menjadi pengikut yang baik. Tidak akan ada pemimpin yang baik tanpa pernah menjadi pengikut yang baik. Sejarah telah membuktikannya. Keempat, nilai dari sebuah disiplin. Tidak ada bangsa

  Setelah kriteria kader dan pendidikan nilai tersebut, maka untuk melaksanakan peran politiknya sebagai opinion leader, NU harus mampu memaksimalkan 3 (tiga) fungsi dasar; fungsi kultur sosial (social culture), fungsi advokasi dan literasi politik (advocacy and politic literacy) dan fungsi jejaring sosial (social networking). Ketiga fungsi ini bukanlah hal yang baru bagi NU tetapi lebih merupakan revitalisasi terhadap fungsionalitas kelembagaan NU yang sudah ada. Sehingga ketiga fungsi ini harus ditopang oleh pilar-pilar keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan. Disini bukan berarti NU melembagakan dirinya sebagai lembaga politik, tetapi lebih menegaskan kembali fungsinya sebagai ormas keagamaan yang berfungsi sebagai penegak nilai dalam masyarakat. Tetapi dengan kesadaran bahwa perjuangan nilai- nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah harus dibangun dalam dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Membangun tatanan masyarakat sebagai pondasi, sekaligus membangun penyelenggaraan pemerintahan sesuai nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

  Fungsi yang dibangun dalam tiga fungsi (1) fungsi kultur sosial (2) fungsi advokasi dan literasi politik, (3) fungsi jejaring sosial yang kemudian diterjemahkan sebagai peran politik NU merupakan kesatuan yang utuh. Fungsi-fungsi tersebut merupakan suatu rangkaian yang saling terkait satu dengan yang lain. Bekerjanya salah satu fungsi perlu didukung oleh fungsi lain sehingga peran politik nyata terjadi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini ;

  Revitalisasi Peran

  Apresiasi prestasi kader

  Kemandirian

  Pesantren

  Gerakan Moral NU

  Pesantren

  Diversifikasi Tema

  Kultur Organisasi yang Terbuka

  FUNGSI Diskursus Ilmiah

  FUNGSI KULTUR

  Periodeisasi dan sistem

  ADVOKASI DAN

  kaderisasi yang ketat

  SOSIAL

  LITERASI POLITIK Peningkatan

  Capacity Building Kader

  Transparansi Organisasi

  Mekanisme

  Membangun Media Belajar

  Kontrol Organisasi

  Kader NU

  FUNGSI JEJARING

  Simpul Komunikasi

  SOSIAL Membangun Lembaga

  Kader NU

  Survey Kebijakan Publik

  Ruang public Alternatif

  Kemitraan dan Kerjasama Strategis

  Standarisasi Mutu

  Kekuatan Basis

  Pesantren

  Ekonomi

  Gambar 3.2 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader

  Penjelasan; Fungsi kultur sosial. Merupakan peran untuk membangun kepercayaan diri kader NU, persamaan wacana dan komitmen kebangsaan dalam rangka memperkuat kelembagaan representrasi demokrasi di Indonesia. Fungsi ini merupakan bagian dari upaya membentuk perilaku politik NU sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sekaligus sebagai bentuk perlawanan (counter culture) terhadap pragmatisme dan materialisme yang kini merebak dimasyarakat. Maka bagi organisasi non-politis, seperti NU, pendekatan kultural selanjutnya lebih didasarkan pada alternatif-alternatif yang mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Persoalan tentang bagaimana membangun moralitas, integritas dan kredibilitas baik pada kepekaan sosial, struktur dan organisasi serta lembaga pesantren, menjadi fokus utama untuk dimunculkan dalam peran kultur sosial NU.

  Bentuk-bentuk kegiatan dalam membangun kultur sosial dibidang politik antara lain;

  - Membangun kemandirian pesantren dalam menjalankan fungsi kulturisasi, sehingga

  tidak dapat terkooptasi oleh kepentingan politik sesaat, sebuah asketisme yang bernama akhlaqul karimah

  - Membangun mekanisme kontrol NU terhadap kadernya yang menyalahi ADART

  organisasi disemua tingkatan - Membangun kultur organisasi NU yang terbuka, yang memungkinkan peran kader

  NU diluar struktur untuk dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan program kerja - Membentuk periodeisasi dan sistem kaderisasi yang ketat dan berjenjang untuk

  menghilangkan rangkap jabatan dan dominasi individu dalam keorganisasian NU

  - Memberikan apresiasi atau penghargaan terhadap peran prestasi kader NU

  dibidang politik, ekonomi, pendidikan, militer, teknologi dan sosial budaya serta bidang- bidang yang lain

  - Melakukan transparansi laporan keuangan organisasi dan kekayaan pribadi jajaran

  pengurus NU dalam membangun komitmen anti money politic dan pencucian uang

  - Mendorong keterlibatan kader-kader NU dalam kegiatan social kemasyarakatan

  dan pemberdayaan masyarakat serta partisipasi yang tinggi terhadap proses perencanaan pembangunan

  Fungsi Advokasi dan Literasi Politik (Advocacy and Politic Literacy). Peran untuk mengawal proses politik demokrasi dan membangun literasi politik anggota masyarakat. Kesadaran ini bagi NU harus ditampilkan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia NU untuk kredibel dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Hasil akhir dari pelaksanaan fungsi ini salah satunya adalah meningkatnya partisipasi warga NU dalam perumusan kebijakan ditingkatan lokal. Setiap kader NU harus sangat menyadari pengaruh dari ide-ide dan gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan, apalagi jika itu dibangun dalam kolektivitas kelembagaan, di mata warga nahdliyyin dan publik Indonesia lainnya. Hasil akhir dari kesemuanya adalah sikap kader NU untuk dapat membedakan kehidupan negara dari kehidupan perkumpulan (NU) yang seperti ini, adalah sikap yang sehat kalau kita ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari sikap ini adalah keyakinan bahwa, rakyat banyak sudah tahu apa yang harus dilakukan, walaupun mayoritas mereka tidak berpendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase yang buta huruf.

  Beberapa bentuk kegiatan yang perlu dibangun adalah;

  - Revitalisasi peran pesantren sebagai lumbung aspirasi rakyat dan sentral pengaduan

  problematika kemasyarakatan - Gerakan moral kepedulian NU berupa petisi, pernyataan sikap, aksi nyata dalam

  peringatan hari besar Islam, momen nasional dan internasional serta peristiwa besar dan kegiatan advokasi atau pembelaan atas nasib rakyat yang dirugikan sebagai akibat proses pembangunan yang tidak memihak rakyat banyak

  - Diversifikasi tema diskusi publik dan diskursus ilmiah tentang kebijakan pemerintah

  dan tantangannya dimasa depan, tidak hanya seputar kerukunan umat beragama dan sosial budaya tetapi juga terhadap tema-tema seperti ekonomi, pendidikan dan ketahanan nasional (militer)

  - Peningkatan capacity building kader NU dibidang kebijakan publik dan politik

  demokrasi. Misalnya; mengagendakan sekolah demokrasi, pendidikan gender, sekolah parlemen untuk pemilih pemula, pelatihan anggaran bagi kader NU ataupun pesantren NU disemua tingkatan

  - Membangun media belajar kader NU, tentang sejarah perjuangan dan pemikiran

  tokoh-tokoh NU dalam media massa, baik cetak ataupun elektronik dan bentuk-bentuk lain dalam membangun kepercayaan diri kader NU

  Fungsi Jejaring Sosial (Social Networking). Memperkuat modal ekonomi, modal kultural dan modal sosial NU untuk membangun fungsi kontrol demokrasi dan penyalur aspirasi masyarakat. Jejaring sosial berorientasi pada penguatan jaringan NU dengan kelembagaan politik, kelembagaan profesi, kelembagaan militer, kelembagaan media massa dan kelembagaan ekonomi. Pada kelembagaan politik, profesi dan militer kesinambungan jaringan ditujukan dalam penguatan daya dukung kelembagaan tersebut terhadap agenda- agenda NU dalam membangun politik demokrasi. Dalam membangun jaringan kelembagaan ekonomi, orientasi ekonomi haruslah memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kesejahteraan rakyat banyak, yang dalam teori ushul fiqh dinamakan al maslahah al ammah dan bukan pada kapitalisasi syariat Islam. Sedangkan jejaring kelembagaan media massa dibutuhkan NU untuk membaca secara jernih politik media, agar warga NU tidak mudah terprovokasi.

  Hal ini perlu dibangun dengan beberapa hal sebagai berikut;

  - Membangun simpul komunikasi kader NU disemua tingkatan, baik yang berada

  dalam kelembagaan politik, ekonomi, profesi, militer dan media massa dana kelembagaan strategis lain

  - Membangun ruang publik alternatif dengan memaksimalkan fungsi media social

  sebagai fungsi kontrol terhadap pemerintah - Standarisasi mutu pesantren dalam memperkuat kualitas sumber daya manusia yang

  dihasilkannya - Membangun kekuatan basis ekonomi NU melalui koperasi, pemberdayaan usaha kecil

  dan kewirausahaan - Membangun kemitraan dan kerjasama strategis, dalam organisasi internasional,

  forum lintas agama dan organisasi lainnya atau dengan pemerintah, NU dan TNIPOLRI, dan komponen strategis lain dalam rangka membangun masyarakat Indonesia yang toleran, plural dan demokratis

  - Membangun lembaga survei kebijakan publik untuk kebutuhan pembenahan internal

  NU dan pengambilan kebijakan NU secara eksternal