Peran NU Sebagai Opinion Leader Dalam Me

DALAM MEMBANGUN POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA

  (Sebuah kajian teoritik)

  Hafis Muaddab

  Disusun dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Peringatan 3 Tahun Wafatnya KH. Abdurrahman Wahid yang diadakan oleh Pesantren Tebuireng Jombang Tahun 2012

KATA PENGANTAR

  Segala puji bagi Allah SWT sebab pada akhirnya, karya tulis berjudul “Peran Nahdhatul Ulama’ Sebagai Opinion Leader Dalam membangun Politik Demokrasi di Indonesia” telah mampu penulis selesaikan. Tentu bukan sebuah hal yang mudah pastinya mengingat ketiga tema seperti tantangan kerukunan umat beragama di Indonesia dan pemecahannya, Mencari titik temu Islam dan HAM universal di Indonesia, dan bentuk ideal peran organisasi NU dibidang politik bukan merupakan tema yang ringan. Dan dari ketiga tema tersebut peran organisasi NU dibidang politik sengaja dipilih penulis, melihat demikian besarnya pengaruh politik terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan yang menjadi salah satu medan juang NU.

  Apresiasi yang demikian besar penulis berikan kepada keluarga besar Pesantren Tebuireng yang memberikan perspektif baru dalam peringatan 3 tahun wafatnya KH. Abdurahman Wahid. Padahal seperti yang kita ketahui bersama dalam beberapa peringatan wafatnya tokoh NU (haul) selalu saja bertema perayaan atau pengajian. Dalam persperktif baru ini kita tidak hanya memperingati kepergian seorang Guru Bangsa dan Tokoh Besar NU, tetapi juga kebangkitan budaya intelektual nahdliyin. Sebuah gerakan moral yang juga ingin diwujudkan oleh KH. Abdurrahman Wahid dan tokoh-tokoh besar NU lainnya. Sebagai kontribusi besar organisasi ini bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Besar harapan karya tulis ini dapat bermanfaat sekaligus mendapatkan masukan dari banyak kalangan. Mengingat, karya tulis ini dibuat hanya berdasarkan kajian teoritik belaka dan belum dilengkapi dengan data-data empiris dilapangan. Sehingga pada akhirnya NU dapat menemukan bentuk peran idealnya dibidang politik seperti yang kita inginkan bersama.

  Jombang, Januari 2013

  Hafis Muaddab

DAFTAR TABEL

  19

  Tabel 3.1

  Peran NU dalam Politik Demokrasi Indonesia .....................................

  27

  Tabel 3.2

  Periodesasi Peran NU di Bidang Politik ...............................................

DAFTAR GAMBAR

  16

  Gambar 2.1 Kerangka Terintegrasi Bagi Studi Keterwakilan Popular Demokratis ......

  17

  Gambar 2.2 Kerangka Terintegrasi Peran NU Sebagai Opinion Leader ......................

  19

  Gambar 3.1 Bagan Peran NU dalam Politik Demokrasi Indonesia ...............................

  27

  Gambar 3.2 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader ...............................

  Gambar 3.3 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader

  42

  dan Khittah 1926 .......................................................................................

  PERAN NAHDHATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER DALAM MEMBANGUN POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA

  (Sebuah kajian teoritik)

  Hafis Muaddab

  Disusun dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Peringatan 3 Tahun Wafatnya KH. Abdurrahman Wahid yang diadakan oleh Pesantren Tebuireng Jombang Tahun 2012

KATA PENGANTAR

  Segala puji bagi Allah SWT sebab pada akhirnya, karya tulis berjudul “Peran Nahdhatul Ulama’ Sebagai Opinion Leader Dalam membangun Politik Demokrasi di Indonesia” telah mampu penulis selesaikan. Tentu bukan sebuah hal yang mudah pastinya mengingat ketiga tema seperti tantangan kerukunan umat beragama di Indonesia dan pemecahannya, Mencari titik temu Islam dan HAM universal di Indonesia, dan bentuk ideal peran organisasi NU dibidang politik bukan merupakan tema yang ringan. Dan dari ketiga tema tersebut peran organisasi NU dibidang politik sengaja dipilih penulis, melihat demikian besarnya pengaruh politik terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan yang menjadi salah satu medan juang NU.

  Apresiasi yang demikian besar penulis berikan kepada keluarga besar Pesantren Tebuireng yang memberikan perspektif baru dalam peringatan 3 tahun wafatnya KH. Abdurahman Wahid. Padahal seperti yang kita ketahui bersama dalam beberapa peringatan wafatnya tokoh NU (haul) selalu saja bertema perayaan atau pengajian. Dalam persperktif baru ini kita tidak hanya memperingati kepergian seorang Guru Bangsa dan Tokoh Besar NU, tetapi juga kebangkitan budaya intelektual nahdliyin. Sebuah gerakan moral yang juga ingin diwujudkan oleh KH. Abdurrahman Wahid dan tokoh-tokoh besar NU lainnya. Sebagai kontribusi besar organisasi ini bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Besar harapan karya tulis ini dapat bermanfaat sekaligus mendapatkan masukan dari banyak kalangan. Mengingat, karya tulis ini dibuat hanya berdasarkan kajian teoritik belaka dan belum dilengkapi dengan data-data empiris dilapangan. Sehingga pada akhirnya NU dapat menemukan bentuk peran idealnya dibidang politik seperti yang kita inginkan bersama.

  Jombang, Januari 2013

  Hafis Muaddab

DAFTAR TABEL

  19

  Tabel 3.1

  Peran NU dalam Politik Demokrasi Indonesia .....................................

  27

  Tabel 3.2

  Periodesasi Peran NU di Bidang Politik ...............................................

DAFTAR GAMBAR

  16

  Gambar 2.1 Kerangka Terintegrasi Bagi Studi Keterwakilan Popular Demokratis ......

  17

  Gambar 2.2 Kerangka Terintegrasi Peran NU Sebagai Opinion Leader ......................

  19

  Gambar 3.1 Bagan Peran NU dalam Politik Demokrasi Indonesia ...............................

  27

  Gambar 3.2 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader ...............................

  Gambar 3.3 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader

  42

  dan Khittah 1926 .......................................................................................

PERAN NAHDHATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER 1 DALAM MEMBANGUN POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA

  (Sebuah kajian teoritik)

  Hafis Muaddab 2

  1 Disusun dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Peringatan 3 Tahun Wafatnya KH. Abdurrahman Wahid yang diadakan oleh Pesantren Tebuireng Jombang

  2 Alumnus Pendidikan Ekonomi Akuntansi Universitas Negeri Surabaya yang sekarang berprofesi sebagai pengajar akuntansi dan perbankan syariah di SMKN 1 Jombang

  Contact person : HP. 081359155887 Facebook.comhafismuaddab, Twitter: hafismuaddab Address

  : Desa Pesantren 141 RT 04 RW 01 Tembelang Jombang 61452

  Email

  : hafis.muaddabgmail.com

  Website

  : http:hafismuaddab.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  Dengan karyanya Reinventing Government (1992) David Osborne dan Ted Gaebler telah memberikan inspirasi, bahwa administrasi publik harus dapat beroperasi layaknya organisasi bisnis, efisien, efektif, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Dalam konsep good governance, “accountability is a key requirement of good governance” (UN, Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, 2004). Richard C. Box, (1998) memberikan ruang yang lebih besar terhadap peran masyarakat sebagai warga negara. Dalam bingkai pemerintahan di Indonesia hal ini dapat ditelusuri dalam koridor UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Secara formal, undang-undang tersebut memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis terhadap partisipasi masyarakat di setiap daerah.

  Disisi lain terjadi penguatan media sebagai ekses dari globalisasi, dalam mempengaruhi hingga mampu menghegemoni dan membentuk kehendak umum dalam mengatasi persoalan sektoral. Apa yang terjadi di Mesir, Libya dan beberapa kawasan di Timur Tengah membuktikan hal tersebut. Kita menyaksikan betapa mobilisasi massa melalui opini media sosial yang dilakukan secara sistematis mampu melakukan perubahan kepemimpinan nasional. Di dalam negeri sendiri kita menyaksikan betapa media mampu menggerakkan kepedulian publik dalam kasus Prita atau Cicak Vs Buaya. Dalam hal ini, Gramsci berpendapat bahwa media memiliki peran sebagai alat hegemoni terhadap pembentukan kehendak umum. Persoalannya, hegemoni yang berlangsung saat ini apakah dilakukan melalui integritas ideologis.

  Perkembangan selanjutnya, trend globalisasi sangat mempengaruhi proses-proses politik di seluruh negara di dunia, termasuk berpengaruh terhadap demokratisasi di Indonesia. Globalisasi bukan saja ditandai oleh ketergantungan antar negara dan terintegrasinya sistem- sistem ekonomi dan sosial, tetapi juga, dan lebih penting lagi, menimbulkan gejala-gejala baru berupa de-statisation dan de-nationalisation. Gejala-gejala itu ditandai oleh berkurangnya peran negara sebagai akibat liberalisasi pasar dan terbentuknya konfigurasi baru hubungan pemerintah pusat dan lokal. Lebih lanjut, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu dengan bercampur-baurnya kepentingan Perkembangan selanjutnya, trend globalisasi sangat mempengaruhi proses-proses politik di seluruh negara di dunia, termasuk berpengaruh terhadap demokratisasi di Indonesia. Globalisasi bukan saja ditandai oleh ketergantungan antar negara dan terintegrasinya sistem- sistem ekonomi dan sosial, tetapi juga, dan lebih penting lagi, menimbulkan gejala-gejala baru berupa de-statisation dan de-nationalisation. Gejala-gejala itu ditandai oleh berkurangnya peran negara sebagai akibat liberalisasi pasar dan terbentuknya konfigurasi baru hubungan pemerintah pusat dan lokal. Lebih lanjut, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu dengan bercampur-baurnya kepentingan

  Di Indonesia, studi yang dilakukan Demos pada 20032004 dan 2007 serta paparan Robison dan Vedi Hadiz (2004), misalnya, memperlihatkan demokratisasi politik yang cenderung oligarkis. Terjadi dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan akar rumput (grass root). Dalam konteks Nahdhatul Ulama (NU), perkembangan politik demokratis tidak bisa dipisahkan dari pesantren sebagai entitas politik selain sebagai lembaga pendidikan yang merupakan basis gerakan NU. Persaingan para elit NU dalam memperebutkan kekuasaan baik pusat ataupun daerah, menunjukkan bahwa NU telah jauh masuk dalam pusaran liberalisasi politik. Elit NU yang memilih terjun dalam politik pragmatis ini membuat mereka terfragmentasi di partai politik. Perebutan akses politik ini jelas sarat kepentingan ekonomi pribadi ataupun golongan. Figur kiai yang biasanya disegani masyarakat NU juga masuk dalam pusaran politik pragmatis, terutama didaerah basis suara NU. Implikasinya terjadi delegitimasi peran kiai sebagai culture broker atau agent of change.

  Menurunnya jumlah santri dibeberapa pesantren yang kiainya berpolitik memberi bukti terjadinya delegitimasi tersebut. Saidin Ernas (2011) dalam studinya menyebutkan bahwa, banyak pesantren yang mengalami penurunan kualitas karena kiai atau pimpinan pesantrennya lebih sibuk berpolitik. Pesantren yang terlampau aktif dalam peran politiknya (political oriented) sangat mungkin akan ditinggal oleh santrinya. Sebab orang tua santri yang kritis akan lebih memilih pesantren yang lebih menjaga independensinya terhadap politik praktis. Pada titik ini, dapat disimak bahwa masyarakat yang sebelumnya sangat menghormati pesantren dan selalu mengikuti anjuran dan arahan pesantren mempunyai dasar untuk menentang legitimasi fatwa pesantren, khususnya dalam isu-isu sosial dan politik, terutama dalam kasus pemilu.

  Lemahnya penegakan hukum, rendahnya komitmen pemerintah terhadap perlindungan kaum minoritas, persoalan kesejahteraan masyarakat, perilaku koruptif para birokrat hingga rendahnya empati sosial para wakil rakyat di senayan. Kondisi politik ini menurut Prof. Azumardi Azra telah menyebabkan terjadinya kelelahan politik (political fatique) yang berujung pada apatisme politik. Padahal baik di negara yang sudah mapan Lemahnya penegakan hukum, rendahnya komitmen pemerintah terhadap perlindungan kaum minoritas, persoalan kesejahteraan masyarakat, perilaku koruptif para birokrat hingga rendahnya empati sosial para wakil rakyat di senayan. Kondisi politik ini menurut Prof. Azumardi Azra telah menyebabkan terjadinya kelelahan politik (political fatique) yang berujung pada apatisme politik. Padahal baik di negara yang sudah mapan

  Apatisme masyarakat terhadap politik secara struktural merupakan bagian dari alienasi politik. Alienasi politik seperti dijelaskan oleh Lane dalam bukunya, Political Ideology, memiliki definisi umum sebagai keterasingan orang terhadap pemerintah dan politik dalam masyarakatnya sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik (Lane,1962). Masyarakat yang acuh tak acuh pada setiap agenda politik nasional maupun daerah dapat ditempatkan sebagai floating mass yang hanya diaktifkan dimasa pemilihan. Fakta ini terjadi manakala NU hanya dimanfaatkan menjadi pengumpul suara (vote gather) bukan sebagai mitra strategis pemerintah dalam membangun demokrasi yang lebih baik.

  Pada sisi lain, di tengah wabah apatisme politik, bakal selalu ada orang yang sampai pada puncak frustrasinya dan akhirnya mengambil jalannya sendiri. Contoh paling akhir dari sikap ini adalah aksi aktor senior Pong Hardjatmo menaiki atap gedung DPR untuk menuliskan tiga kata, ”jujur, adil, tegas”, yang mengungkapkan kegusarannya pada situasi politik dan kepemimpinan yang tidak menentu. Hal yang sama terjadi dalam kasus konflik sosial, pertikaian antar sukuagama hingga tindak kekerasan ormas dan terorisme yang berkedok agama. Semua kondisi diatas membuktikan adanya kemacetan komunikasi politik seiring tidak terwakilinya aspirasi masyarakat oleh elit politik, meski sesuai mekanisme politik demokrasi masyarakat telah memilih para wakilnya melalui pemilu.

  Agar komunikasi politik berjalan dengan baik maka keberadaan ormas menjadi penting sebagai perantara komunikasi politik. Sehingga sesuai khittah 1926 yang digariskan para pendirinya, NU perlu berperan sebagai perantara komunikasi politik, sebuah peran yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai peran “opinion leader”. Untuk melaksanakan peran tersebut NU perlu mendayagunakan tiga elemen dasar. Pertama, pembenahan fungsi kultur sosial (moralitas politik) pesantren yang terdegradasi oleh perilaku para elitnya. Kedua mendayagunakan kelembagaan media sebagai ruang publik alternatif yang dapat menjadi Agar komunikasi politik berjalan dengan baik maka keberadaan ormas menjadi penting sebagai perantara komunikasi politik. Sehingga sesuai khittah 1926 yang digariskan para pendirinya, NU perlu berperan sebagai perantara komunikasi politik, sebuah peran yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai peran “opinion leader”. Untuk melaksanakan peran tersebut NU perlu mendayagunakan tiga elemen dasar. Pertama, pembenahan fungsi kultur sosial (moralitas politik) pesantren yang terdegradasi oleh perilaku para elitnya. Kedua mendayagunakan kelembagaan media sebagai ruang publik alternatif yang dapat menjadi

  Dengan segenap potensi yang dimilikinya Gus Dur mampu memaksimalkan jejaring kelembagaan strategis sebagai sarana membangun komunikasi politik, baik secara kultural, naskah akademik dan pernyataannya yang berani dan konsisten pada nilai perjuangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Tetapi karena hanya KH. Abdurrahman Wahid sendiri yang mampu menjalankan fungsi sebagai “opinion leader”, pada saat yang sama terjadi sakralisasi terhadap figur KH. Abdurrahman Wahid sebagai hierokrasi (hierocratic authority). Dalam kasus ini pada akhirnya mendorong tumbuhnya pengkultusan terhadap figur kharismatik dan sektarianisme politik berlebihan di tubuh NU. Belajar dari pengalaman tersebut maka diera globalisasi saat ini perlu dibangun peran NU sebagai opinion leader dibidang politik yang bersifat kelembagaan (kolektif) bukan bersifat individu (privat). Peran yang dimaksud merupakan upaya ntuk membangun budaya politik yang sehat dalam politik demokrasi Indonesia, pemerintahan yang benar-benar bertanggung jawab terhadap rakyat.

B. Rumusan Masalah

  Adapun yang menjadi pokok bahasan dalam karya tulis ilmiah ini adalah tentang:

  1. Bagaimana perkembangan Nahdhatul Ulama dan gerakan politik Islam dalam konteks politik demokrasi ?

  2. Bagaimana peran Nahdhatul Ulama sebagai opinion leader untuk mewujudkan konsep partisipasi dan keterwakilan dalam politik demokrasi di Indonesia ?

  3. Bagaimana keterkaitan peran Nahdhatul Ulama sebagai opinion leader dengan khittah NU 1926 ?

C. Tujuan

  Adapun yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah tentang:

  1. Mengetahui perkembangan Nahdhatul Ulama dan perkembangan gerakan politik Islam dalam konteks politik demokrasi

  2. Menformulasi peran Nahdhatul Ulama sebagai opinion leader untuk mewujudkan konsep partisipasi dan keterwakilan dalam politik demokrasi di Indonesia

  3. Menemukan keterkaitan peran politik NU dengan khittah NU 1926 untuk mewujudkan konsep partisipasi dan keterwakilan dalam politik demokrasi di Indonesia

D. Manfaat

  Adapun manfaat yang diharapkan melalui penulisan karya tulis ilmiah ini adalah tentang:

  1. Memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan Nahdhatul Ulama dan gerakan politik Islam dalam konteks politik demokrasi

  2. Memberikan alternatif peran Nahdhatul Ulama dibidang politik untuk mewujudkan konsep partisipasi dan keterwakilan dalam politik demokrasi di Indonesia

BAB II KERANGKA TEORITIK

A. Konsep Opinion Leader

1. Sejarah Opininon Leader

  Istilah opinion leader menjadi perbincangan dalam literatur komunikasi sekitar tahun 1950-1960an. Sebelumnya dalam istilah komunikasi sering digunakan istilah influentials, influence atau tastemakers untuk menyebut opinion leader. Kata opinion leader kemudian menjadi lebih lekat dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena tingkat media exposure-nya dan tingkat pendidikannya yang masih rendah. Akses dari media lebih memungkinkan dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Melalui seorang opinion leader-lah informasi yang datangnya dari media diketahui oleh masyarakat awam.

  Secara tidak langsung, opinion leader merupakan perantara berbagai informasi yang diterima dan diteruskan kepada masyarakat setempat. Pihak yang sering menjadi media exposure di masyarakat desa kadang diperankan oleh seorang opinion leader. Mereka ini sangat dipercaya dan dijadikan panutan serta menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat dalam segala hal.

2. Karakteristik Opinion Leader

  Opinion leader dalam kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menyampaikan pesannya kepada komunikan untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi tertentu pula. Kesesuaian maksud dari opinion leader ini tergantung dari isi pesan dan feedback yang diharapkan dari komunikan. Selain itu faktor psikologis masing-masing opinion leader juga menentukan gaya dan caranya dalam mengelola penyampaian pesan.

  Dalam sebuah komunikasi, umpan balik merupakan bentuk khas dari sebuah pesan. Komunikasi disebut efektif jika umpan balik yang didapatkan sesuai dengan harapan komunikator. Oleh karena itu perlu seorang komunikator yang berkemampuan untuk mendapatkan kategori komunikasi efektif. Untuk itu karakteristik opinion leader dapat dibagi menjadi 6 (enam), yaitu:

  1) The Controlling Style

  Dalam karakter opinion leader yang pertama adalah bersifat mengendalikan. Gaya mengendalikan ini ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur baik perilaku, pikiran dan tanggapan komunikan. Gaya ini dapat dikategorikan sebagai one step flow. Oleh karena itu opinion leader tidak berusaha untuk membicarakan gagasannya, namun lebih pada usaha agar gagasannya ini dilaksanakan seperti apa yang dikatakan dan diharapkan tanpa mendengarkan pikiran dari komunikan.

  2) The Equalitarian Style

  Gaya ini lebih megutamakan kesamaan pikiran antara opinion leader dan komunikan. Dalam gaya ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota dapat mengkomunikasikan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan komunikasi akan mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. Opinion leader yang menggunakan pola two step flow ini merupakan orang-orang yang memiliki sikap kepedulian tinggi serta kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain dalam lingkup hubungan pribadi maupun hubungan kerja. Oleh karena itu akan terbina empati dan kerjasama dalam setiap pengambilan keputusan terlebih dalam masalah yang kompleks.

  3) The Structuring Style

  Poin dalam gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstuktur. Seorang opinion leader yang menganut gaya ini lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal secara lisan maupun tulisan agar memantapkan instruksi yang harus dilaksanakan oleh semua anggota komunikasi. Seorang opinion leader yang mampu membuat instruksi terstuktur adalah orang-orang yang mampu merencanakan pesan-pesan verbal untuk memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul.

  4) The Relinquising Style

  Gaya ini lebih dikenal dengan gaya komunikasi agresif, artinya pengirim pesan atau komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada tindakan (action oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai untuk mempengaruhi orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa. Tujuan utama komunikasi dinamis ini adalah untuk menstimuli atau merangsang orang lain berbuat lebih baik dan lebih cepat dari saat itu. Untuk penggunaan gaya ini lebih cocok digunakan untuk mengatasi persoalan yang bersifat kritis namun tetap memperhatikan kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama.

  5) The Dynamic Style

  Dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama antara seluruh anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi jenis ini. Komunikator tidak hanya membicarakan permasalahan tetapi juga meminta pendapat dari seluruh anggota komunikasi. Komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran, pendapat atau gagasan orang lain. Komunikator tidak memberi perintah meskipun ia memiliki hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Untuk itu diperlukan komunikan yang berpengatahuan luas, teliti serta bersedia bertanggung jawab atas tugas yang dibebankan.

  6) The Withdrawal Style

  Deskripsi konkret dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan menghindari komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang Deskripsi konkret dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan menghindari komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang

3. Opinion Leader dalam Kelompok

  Sebuah kelompok adalah kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan sama untuk membangun sebuah perubahan. Kelompok merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari. Ia tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Kelompok adalah wadah untuk mewujudkan harapan dan keinginan barbagai informasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Melihat betapa pentingnya kelompok bagi individu, kelompok dikatakan sebagai media pengungkapan persoalan-persoalan baik yang bersifat pribadi (keluarga sebagai kelompok primer) maupun yang bersifat umum (kebutuhan pengetahuan semua anggota kelompok). Setiap individu memilih kelompoknya masing- masing berdasarkan ketertarikannya (interest) masing-masing. Orang yang memisahkan atau mengisolasi diri dari orang lain adalah orang yang penyendiri, benci kepada orang lain atau dapat dikatakan sebagai orang antisosial.

  Semua anggota di dalam kelompok memiliki tujuan yang sama sehingga mereka bersatu dan membangun sebuah sinergi untuk mewujudkannya. Di dalam teori kepribadian kelompok, sinergi dikatakan memiliki peran penting dalam sebuah pencapaian cita-cita. Namun sinergi tidak hanya dihabiskan untuk mencapai tujuan saja tetapi juga termasuk untuk menjaga hubungan antar anggota, baik pribadi maupun umum. Dalam sebuah kelompok terdapat opinion leader (komunikator) dan anggota (komunikan). Fungsi seorang komunikator dapat dijabarkan dalam 8 (delapan) aspek menurut Burgoon, Heston dan Mc. Croskey. Kedelapan fungsi tersebut adalah:

  1) Fungsi Inisiasi Dalam fungsi ini, seorang pemimpin harus dapat mengambil inisiatif (prakarsa) untuk gagasan atau ide baru. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman terhadap gagasan yang kurang layak. Seorang opinion leader mempunyai tanggung jawab atas masyarakat, oleh karena itu mereka harus berani mengambil keputusan untuk mengambil atau menolak gagasan baik yang berasal dari dirinya sendiri mapun orang lain.

  2) Fungsi Keanggotaan Seseorang layak memberi sumbangsih terhadap sebuah kelompok jika ia benar- benar merupakan anggota kelompok tersebut. Oleh karena itu seorang opinion leader harus dapat melebur ke dalam kelompok agar dapat diterima oleh anggota yang lain. Peleburan ini dapat dilakukan dengan banyak cara, misalnya mengikuti 2) Fungsi Keanggotaan Seseorang layak memberi sumbangsih terhadap sebuah kelompok jika ia benar- benar merupakan anggota kelompok tersebut. Oleh karena itu seorang opinion leader harus dapat melebur ke dalam kelompok agar dapat diterima oleh anggota yang lain. Peleburan ini dapat dilakukan dengan banyak cara, misalnya mengikuti

  3) Fungsi Perwakilan Sebuah kelompok seringkali mendapat ancaman dari luar. Di sinilah fungsi seorang opinion leader untuk dapat menyelesaikan masalah agar anggota kelompok menjadi tenang kembali dan melanjutkan aktivitasnya seperti sedia kala. Opinion leader bertugas sebagai penengah jika anggota kelompoknya bermasalah dengan kelompok yang lain.

  4) Fungsi Organisasi Tanggung jawab terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan persoalan organisasional, kelancaran roda organisasi dalam masyarakat dan deskripsi pembagian tugas ada di tangan seorang opinion leader, sehingga ia perlu memiliki keahlian dalam bidang mengelola organisasi dan kelompok.

  5) Fungsi Integrasi Dalam fungsi ini seorang opinion leader perlu memiliki kemampuan untuk memecahkan ataupun mengelola dengan baik konflik yang ada dan muncul di kelompoknya. Dengan kemampuan ini diharapkan seorang opinion leader dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk tercapainya penyelesaian konflik dan dapat memberi kepuasan untuk semua pihak.

  6) Fungsi Manajemen Informasi Internal Seorang opinion leader harus dapat menjadi penghubung atau sarana berlangsungnya komunikasi di dalam kelompok. Bagaimana perencanaan, pelaksanaan serta pengevaluasian sebuah kegiatan harus dibicarakan dengan keterbukaan. Untuk itulah diperlukan seorang pemimpin untuk menjadi penghubung serta penengah jika ada kritik serta solusi untuk kegiatan tersebut.

  7) Fungsi Penyaring Informasi Untuk kemajuan dan perkembangan sebuah kelompok, diperlukan banyak informasi serta wawasan baru dari luar. Namun tidak semua informasi dapat diterima dan diadopsi oleh suatu kelompok. Di sinilah seorang opinion leader bertindak sebagai penyaring informasi baik yang masuk ataupun yang keluar. Hal ini bertujuan untuk mengurangi konflik yang dapat timbul di dalam kelompok.

  8) Fungsi Imbalan Opinion leader melakukan fungsi evaluasi dan menyatakan setuju atau tidak terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh para anggotanya. Hal ini dilakukan melalui imbalan-imbalan materi seperti pemberian hadiah atau pujian ataupun sebuah penghargaan. Kekuatan reward ini terbukti sangat efektif untuk meningkatkan mutu masyarakat.

  Dalam konteks politik peran opinion leader lebih dikaitkan pada kemampuan atau otoritas yang tinggi untuk menentukan sikap dan perilaku kelompok. Bukan dari kedudukan politik tetapi karena kewibawaan, ketundukan, kharisma, mitos yang melekat padanya atau karena pengetahuan serta pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, kondisi kultural NU yang merupakan representasi pesantren yang memiliki solidaritas primordial memungkinkan untuk menampilkan peran politik sebagai sebagai opinion leader secara kelembagaan. Membangun NU sebagai kekuatan ekstra parlementer dalam paradigma Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Teori Elit

  Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. Secara struktural ada disebutkan tentang administratur- administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik.

  Elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis.

  Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller (dalam Nas, 2007: 22) mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

  Berdasarkan pandangan berbagai ahli, Robert D. Putnam (dalam Nas, 2007: 33) menyatakan bahwa secara umum ilmuwan sosial membagi dalam tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yang berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang menyebabkan mereka akan memegang peranan penting dalam aktivitas masyarakat. Kedudukan tersebut dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yang melekat, misalnya keturunan atau kasta. Kedua, sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini didasarkan pada suatu lembaga yang dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya dalam masyarakat. C. Wright Mills (dalam Nas, 2007:39) menyatakan bahwa untuk bisa memiliki kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga besar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya menentukan sebagian besar kesempatan- Berdasarkan pandangan berbagai ahli, Robert D. Putnam (dalam Nas, 2007: 33) menyatakan bahwa secara umum ilmuwan sosial membagi dalam tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yang berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang menyebabkan mereka akan memegang peranan penting dalam aktivitas masyarakat. Kedudukan tersebut dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yang melekat, misalnya keturunan atau kasta. Kedua, sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini didasarkan pada suatu lembaga yang dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya dalam masyarakat. C. Wright Mills (dalam Nas, 2007:39) menyatakan bahwa untuk bisa memiliki kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga besar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya menentukan sebagian besar kesempatan-

  Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam arti pengaruh atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang memilikibersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo (2008), sumber-sumber kekuasaan itu bisa berupa kedudukan, status kekayaan, kepercayaan, agama, kekerabatan, kepandaian dan keterampilan.

C. Teori Hegemoni Gramsci

  Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’. Sebagaimana yang dikemukakan Encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara individual misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap negara- negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73).

  Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci (2001) adalah: “Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah

  konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip- prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”

  Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

  Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya.

  Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi, jika direfleksikan ke dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia. Bagi Gramci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

  Pendapat di atas makin memperjelas keberadaan wacana dominan sebagai kata kunci dari ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik, juga peran media sebagai saluran yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas. Lebih jauh lagi, berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

  Pada akhirnya, pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan. Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, begitu adanya, logis, dan bernalar (common sense), serta semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan. Kesimpulannya, poin-poin teori hegemoni meliputi:

  1) Dominasi kelompok dominan (minoritas) atas kelompok lain (mayoritas) agar mengikuti

  ideologi kelompok dominan tersebut.

  2) Melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar hingga ditafsirkan sebagai

  kenyataan.

  3) Kebudayaan, masyarakat, dan politik, yang menjadi medan perluasan dan pelestarian

  “kepatuhan aktif” bagi kelompok minoritas ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik.

  4) Peran media sebagai saluran yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak

  atau kelompok minoritas.

  5) Berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan

  menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan,

  6) Pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai

  kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan.

D. Konsep Keterwakilan Dalam Politik Demokrasi

  Unsur mendasar demokrasi seperti disinggung sebelumnya dalam latar belakang setidaknya melibatkan tiga unsur pokok, yaitu warga negara yang setara (demos), urusan publik (public matters), dan kontrol publik (popular control). Maka, pertanyaan-pertanyaan terpenting untuk mendiagnosa situasi dan kondisi demokrasi adalah: (1) siapa demos?; (2) bagaimana urusan publik dirumuskan?; dan (3) bagaimana kontrol publik dijalankan?. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan persoalan keterwakilan dan partisipasi. Keterwakilan berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Sedangkan partisipasi berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk ikut serta secara aktif di dalam proses-proses politik yang menentukan pengambilan, pelaksanaan dan kontrol atas kebijakan-kebijakan publik.Institusi keterwakilan dan partisipasi yang demokratis harus menjamin hak dan kepentingan setiap warga negara. Abai terhadap kedua aspek itu, maka demokrasi hanyalah sebatas serangkaian prosedur demokrasi, dan karena itu jauh dari demokrasi yang substansial.

  Partisipasi dan keterwakilan merupakan dua konsep penting yang senantiasa muncul dalam topik diskusi demokrasi. Kendati begitu, masing-masing konsep merupakan buah dari dua gagasan yang berbeda. Partisipasi tumbuh dalam tradisi pemikiran republikanisme, sedangkan keterwakilan lebih dekat dengan gagasan liberalisme. Partisipasi merupakan prinsip keterbukaan bagi semua individu untuk mengontrol semua urusan publik, sedangkan keterwakilan berkaitan dengan pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak (kepentingan) setiap individu. Dalam wacana demokrasi, karena itu, muncul istilah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).

  Pada perkembangannya hingga kini, baik partisipasi maupun keterwakilan kerap menjadi tolok ukur kualitas demokrasi. Semakin luas partisipasi publik dan semakin banyak kepentingan publik yang terwakili, dikatakan kualitas demokrasi semakin baik. Sebaliknya, keterbatasan akses partisipasi dan ketimpangan muatan kepentingan dalam proses dan produk-produk kebijakan publik merupakan indikasi bagi buruknya kualitas demokrasi. Itu sebabnya demokrasi – entah langsung ataupun perwakilan – dikatakan menjadi semakin baik Pada perkembangannya hingga kini, baik partisipasi maupun keterwakilan kerap menjadi tolok ukur kualitas demokrasi. Semakin luas partisipasi publik dan semakin banyak kepentingan publik yang terwakili, dikatakan kualitas demokrasi semakin baik. Sebaliknya, keterbatasan akses partisipasi dan ketimpangan muatan kepentingan dalam proses dan produk-produk kebijakan publik merupakan indikasi bagi buruknya kualitas demokrasi. Itu sebabnya demokrasi – entah langsung ataupun perwakilan – dikatakan menjadi semakin baik

  Institusi-institusi demokrasi yang lain, seperti rule of law, supremasi dan penegakan hukum, kesetaraan di depan hukum, pemerintahan yang bersih dan antikorupsi, pemilihan umum yang bebas, adil, dan terbuka, merupakan instrumen-instrumen operasional yang hanya bisa bekerja baik jika ditopang oleh keterbukaan bagi partisipasi publik yang luas dan keterwakilan publik yang akuntabel. Tanpa ditopang partisipasi publik yang luas dan keterwakilan yang transparan dan akuntabel, operasionalisasi instrumen-instrumen dapat tergelincir ke arah praktik-praktik yang elitis dan eksklusif.

  Dalam kaitan itu, identifikasi mengenai siapa demos merupakan hal yang sangat mendasar. Dari rumusan mengenai demos itulah aspek-aspek perbaikan partisipasi dapat ditentukan dan agregasi kepentingan publik melalui mekanisme perwakilan demokratis bisa berlangsung lebih baik. Semakin terbatas demos maka akan semakin terbatas kepentingan publik yang bisa dirumuskan. Dan semakin terbatas kepentingan publik, prosedur-prosedur demokrasi hanya akan menguntungkan sebagian anggota masyarakat.

  Bagaimanapun, prosedur-prosedur demokratis tentu saja bukan hal yang tak penting. Atas nama demokrasi, pemenuhan kepentingan-kepentingan publik tetap harus dijalankan melalui cara-cara dan mekanisme yang demokratis. Meskipun begitu, ketika demokrasi mengalami stagnasi, ketika banyak orang merasakan demokrasi justru menjauhkan mereka dari proses-proses perumusan kepentingan publik (karena pengelolaan pemerintahan yang teknokratis) dan tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan yang demokratis (karena urusan publik diserap menjadi mekanisme pasar dan menguntungkan hanya segelintir pemilik modal), dan ketika konflik demi konflik komunal mengisi hari-hari pelaksanaan demokrasi (karena ada begitu banyak pengkotak-kotakan demos di tengah- tengah menguatnya gejala komunalisme), hal paling utama yang harus diwaspadai adalah datangnya godaan-godaan baru untuk meninggalkan demokrasi dan menyerah pada pilihan- pilihan politik lain yang bisa saja berupa otoritarianisme. Survei Demos 2007 antara lain juga menengarai indikasi adanya upaya-upaya menciptakan “politik keteraturan” untuk mengatasi kekacauan-kekacauan sosial-politik yang terjadi di dalam proses demokratisasi di Indonesia.

  Sebagai sebuah tema kajian, keterwakilan sudah banyak menyedot perhatian para akademisi. Salah satu yang paling dikenal adalah karya Hanna Fenichel Pitkin yang berjudul The Concept of Representation. Pitkin memberikan definisi yang jelas terhadap keterwakilan, yaitu “to make present again.” On this definition, political representation is the activity of Sebagai sebuah tema kajian, keterwakilan sudah banyak menyedot perhatian para akademisi. Salah satu yang paling dikenal adalah karya Hanna Fenichel Pitkin yang berjudul The Concept of Representation. Pitkin memberikan definisi yang jelas terhadap keterwakilan, yaitu “to make present again.” On this definition, political representation is the activity of

  “.. .bahwa keterwakilan mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang diwakili, sesuatu yang diwakili dan sebuah konteks politiknya. Dinamika keterwakilan terutama menyangkut dengan otorisasi dan akuntabilitas, yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya tanggap. Apa yang diketerwakilankan dapat bersifat substantif, deskriptif atau simbolik. Keterwakilan substantif adalah ketika wakil ‘bertindak untuk’ (acts for) mereka yang diwakili, seperti misalnya seorang pemimpin memperjuangkan kepentingan buruh. Keterwakilan deskriptif adalah ketika wakil ‘berdiri untuk’ (stands for) orang-orang yang secara objektif serupa. Misalnya, seorang perempuan mewakili perempuan dan seorang penduduk desa mewakili keseluruhan penduduk desanya. Jenis terakhir adalah keterwakilan simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga, ‘berdiri untuk’ (stands for) mereka, tetapi kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan identitas. Namun demikian keterwakilan simbolik bisa juga dipahami secara lebih luas, sebagaimana ditulis Bourdieu (Wacquant, 2005; Stokke, 2002) dan Anderson (1983), sebagai sesuatu yang mengonstruksi demos, kelompok-kelompok dan berbagai kepentingan yang diwakili dan menyatakan diri sebagai otoritas yang absah sebagai seorang wakil.”

  Berangkat dari kategorisasi keterwakilan Pitkin itu, Törnquist menawarkan sebuah pendekatan baru untuk memahami keterwakilan. Keterwakilan harus mencakup pula model- model partisipasi alternatif berupa partisipasi langsung warga yang melibatkan kelompok- kelompok kewargaan dan organisasi-organisasi masyarakat. Dalam kerangka yang ditawarkan Törnquist ini, model-model partisipasi alternatif dalam politik demokrasi bekerja atas dasar kesepakatan-kesepakatan dan cara-cara informal, misalnya perantaraan melalui tokoh-tokoh informal, kelompok lobi, dan LSM. Tetapi nampaknya konsep ini mengesampingkan globalisasi yang memiliki dampak yang signifikan.

  Di Indonesia, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu dengan bercampur-baurnya kepentingan dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat sipil di tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis, baik untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, hingga fungsi kontrol media dalam survei publik didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi- pasar yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik. Sehingga demokratisasi politik di Indonesia berkembang menjadi cenderung oligarkis. Terjadi dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan akar rumput (grass root).Padahal prosedur- Di Indonesia, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu dengan bercampur-baurnya kepentingan dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat sipil di tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis, baik untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, hingga fungsi kontrol media dalam survei publik didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi- pasar yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik. Sehingga demokratisasi politik di Indonesia berkembang menjadi cenderung oligarkis. Terjadi dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan akar rumput (grass root).Padahal prosedur-

  Untuk memahami konsep keterwakilan yang ditawarkan oleh Pitkin dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini:

  Gambar 2.1 Kerangka Terintegrasi Bagi Studi Keterwakilan Popular Demokratis

  (Sumber: Törnquist, Webster, Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation (New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 11).

  Setelah Orde Baru jatuh dan reformasi bergulir, keterbukaan dan kebebasan politik memang meningkat pesat.Organisasi-organisasi masyarakat sipil dan serikat-serikat buruh sekonyong-konyong aktif bergerak di ranah politik. Gerakan go politics seolah menjadi trend baru di kalangan masyarakat sipil yang selama puluhan tahun sebelumnya menjauhkan diri dari kegiatan-kegiatan politik formal. Sebuah studi lain yang dilakukan Törnquist, menunjukkan ada lima pilihan strategi go politics yang telah dan sedang ditempuh berbagai gerakan sosial di Indonesia, yaitu (1) tetap dalam peranan sebagai kelompok penekan, (2) masuk parlemen, (3) memanfaatkan partai politik, (4) mendirikan partai alternatif, dan (5) menerobos jaring-jaring kekuasaan pemerintahan. Sedangkan jalur-jalur politisasi yang digunakan adalah (1) politik berbasis kepentingan masyarakat sipil dan kerakyatan (civil society and popular interest politics), (2) politik komunitas kaum tertindas (dissident community politics), (3) partisipasi politik langsung, (4) politik wacana publik, dan (5) kontrak politik. Lima jalur lainnya adalah politisasi melalui sistem kepartaian, yaitu dengan Setelah Orde Baru jatuh dan reformasi bergulir, keterbukaan dan kebebasan politik memang meningkat pesat.Organisasi-organisasi masyarakat sipil dan serikat-serikat buruh sekonyong-konyong aktif bergerak di ranah politik. Gerakan go politics seolah menjadi trend baru di kalangan masyarakat sipil yang selama puluhan tahun sebelumnya menjauhkan diri dari kegiatan-kegiatan politik formal. Sebuah studi lain yang dilakukan Törnquist, menunjukkan ada lima pilihan strategi go politics yang telah dan sedang ditempuh berbagai gerakan sosial di Indonesia, yaitu (1) tetap dalam peranan sebagai kelompok penekan, (2) masuk parlemen, (3) memanfaatkan partai politik, (4) mendirikan partai alternatif, dan (5) menerobos jaring-jaring kekuasaan pemerintahan. Sedangkan jalur-jalur politisasi yang digunakan adalah (1) politik berbasis kepentingan masyarakat sipil dan kerakyatan (civil society and popular interest politics), (2) politik komunitas kaum tertindas (dissident community politics), (3) partisipasi politik langsung, (4) politik wacana publik, dan (5) kontrak politik. Lima jalur lainnya adalah politisasi melalui sistem kepartaian, yaitu dengan

  Dalam kajian ini bagi Nahdhatul Ulama (NU) pilihan strategi tersebut tentu dapat dilakukan semua mengingat modal ekonomi, sosial dan kultural yang dimiliki sebagai ormas keagamaan di Indonesia. Akan tetapi tentu bukan pilihan strategi tentunya berangkat dari sebuah peran yang dimiliki oleh NU dibidang politik demokrasi, peran tersebut adalah peran lembaga NU sebagai opinion leader. Lembaga keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili oleh ketiga lembaga aspirasi seperti; civil society, politic society dan informal leaders. Keterwakilan ini mencakup peran politik NU sebagai;

  a) Fungsi Kultur Sosial (Social Culture). Untuk membangun kepercayaan diri kader NU,

  persamaan wacana dan komitmen kebangsaan dalam rangka memperkuat kelembagaan representrasi demokrasi

  b) Fungsi Advokasi dan Literasi Politik (Advocacy and Politic Literacy). Untuk

  mengawal proses politik demokrasi dan membangun literasi politik anggota masyarakat