Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia
F. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia
Selain mengatur siapa WNI dan cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, UU No. 122006 juga mengatur kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Pasal 23 UU No. 122006 menyebutkan
Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri
b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari
Presiden;
e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan
dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia;
f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia
kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang
bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau
i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan
Dalam kondisi tertentu, ketentuan-ketentuan di atas tidak berlaku. Dalam Pasal 24 disebutkan ‟Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan di negara lain yang mengharuskan mengikuti wajib militer‟. Aturan di atas sangat rasional karena sangat dimungkinkan seorang WNI mengikuti wajib militer karena keharusan di suatu negara tetapi bukan atas kemauannya sendiri. Selain itu, pengecualian dimungkinkan karena Indonesia tidak dapat melakukan intervensi atas ketentuan hukum negara lain.
Selain pengecualian di atas, ada beberapa pengecualian dalam hal kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Dalam Pasal 25 ayat (1) disebutkan bahwa, kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin (ayat (2)). Kehilangan kewarganegaraan
kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak
Pasal 25 UU No. 122006 memberikan perlindungan yang berarti bagi anak yang ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Tidak dijelaskan lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) sampai (3) dalam hal anak telah berusia lebih dari 18 tahun atau sudah kawin, apakah dapat kehilangan kewarganegaraan dengan sendirinya atau tidak. Akan tetapi, jika ditafsirkan lebih lanjut, anak yang telah berusia lebih dari 18 tahun atau sudah kawin, sudah dianggap sebagai orang dewasa karena usia 18 tahun juga merupakan batas usia bagi WNA untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan (lihat Pasal 9). Dengan demikian, status kewarganegaraan anak berusia 18 tahun atau sudah kawin tidak lagi ditentukan oleh status kewarganegaraan ayah atau ibunya. Khusus, bagi ketentuan Pasal 25 ayat (4) tampak konsistensi pembentuk UU ini pada asas kewarganegaraan ganda terbatas.
Pengaturan kehilangan kewarganegaraan Indonesia juga terdapat dalam UU No. 621958. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang mendasar mengenai masalah tersebut dalam kedua UU tersebut. Jika dalam UU No. 122006, kehilangan kewarganegaraan bagi seorang ayah atau ibu (yang anaknya tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya) tidak dengan sendirinya mengakibatkan kehilangan kewarganegaraan bagi anak. UU No. 621958 justru mengatur sebaliknya dalam arti kehilangan kewarganegaraan bagi ayah atau ibu (yang anaknya tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya) juga berakibat kehilangan kewarganegaraan bagi anak tetapi tidak berlaku jika anak tersebut akan menjadi apatride (Pasal 15 ayat (1) dan (2)). Dalam hal ini, walaupun kehilangan kewarganegaraan pada orang tua menyebabkan kehilangan pula bagi anak, namun UU No. 621958 pun tetap melindungi kepentingan si anak agar tidak menjadi apatride.
Selanjutnya dalam Pasal 26 UU No. 122006 juga disebutkan bahwa ‘Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai aki bat perkawinan tersebut‟. Begitu pula bagi laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan Selanjutnya dalam Pasal 26 UU No. 122006 juga disebutkan bahwa ‘Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai aki bat perkawinan tersebut‟. Begitu pula bagi laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan
Dari rumusan Pasal 26 di atas, pembentuk UU tampaknya berpikir antisipatif dengan sistem kewarganegaraan negara lain. Padahal tanpa menentukan demikian, sistem kewarganegaraan Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal yang menentukan setiap WNI (baik laki- laki atau perempuan kecuali anak yang belum berumur 18 tahun atau belum kawin) tidak memiliki status kewarganegaraan negara lain sehingga pengaturan pada Pasal 26 tidak diperlukan. Dengan demikian, jika negara lain menentukan WNI yang kawin dengan warga negaranya menjadi warga negara dari negara tersebut, maka otomatis status WNI-nya akan Dari rumusan Pasal 26 di atas, pembentuk UU tampaknya berpikir antisipatif dengan sistem kewarganegaraan negara lain. Padahal tanpa menentukan demikian, sistem kewarganegaraan Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal yang menentukan setiap WNI (baik laki- laki atau perempuan kecuali anak yang belum berumur 18 tahun atau belum kawin) tidak memiliki status kewarganegaraan negara lain sehingga pengaturan pada Pasal 26 tidak diperlukan. Dengan demikian, jika negara lain menentukan WNI yang kawin dengan warga negaranya menjadi warga negara dari negara tersebut, maka otomatis status WNI-nya akan
Ketentuan dalam Pasal 26 tersebut juga pernah diatur dalam UU No.
621958 dalam Pasal 7 ayat (2) 124 dan Pasal 8 ayat (1) . Perbedaannya, pasal-pasal tersebut juga tidak mengatur bahwa kehilangan
kewarganegaraan dari laki-laki atau perempuan WNI tersebut disebabkan karena negara asal suami atau istrinya yang WNA memberikan status kewarganegaraan seperti halnya diatur dalam UU No.122006, tetapi karena keinginan pribadi untuk melepaskan kewarganegaraan. Akan tetapi, secara implisit ketentuan Pasal 8 ayat (1) tersebut sama saja dengan Pasal 26 ayat (1) UU No. 122006 yang mengatur kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA dalam kondisi tertentu.
122 Hak seseorang untuk menolak tawaran kewarganegaraan suatu negara tertentu. Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro, op.cit, hlm 4.
123 Pasal 7 ayat (2) UU No. 621958 menyebutkan bahwa „dengan kekecualian tersebut
dalam ayat 1 perempuan asing yang kawin dengan seorang warga-negara Republik Indonesia juga memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia satu tahun sesudah perkawinannya berlangsung, apabila dalam satu tahun itu suaminya tidak menyatakan keterangan untuk melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia. Keterangan itu hanya boleh dinyatakan dan hanya mengakibatkan hilangnya kewarga-negaraan Republik Indonesia, apabila degan kehilangan itu suami tersebut tidak menjadi tanpa kewarganegaraan‟.
Pasal 8 ayat (1) UU No. 621958 menyebutkan „Seorang perempuan warga negara Republik Indonesia yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarga-negaraan Republik Indonesianya, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarga-negaraan Republik Indonesia itu menjadi tanpa kewarga-negar aan‟.
UU No. 122006 dalam Pasal 27, juga menegaskan bahwa kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dari istri atau suami. Pasal tersebut mencerminkan asas persamaan derajat yang seperti telah disinggung sebelumnya, asas tersebut tidak ditegaskan dalam UU ini. UU No. 621958, justru mengatur sebaliknya. Dalam Pasal 9
ayat (2) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 621958 125 , diatur bahwa kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri juga menyebabkan
kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri. Dengan demikian, ketentuan dalam UU No. 621958, mencerminkan penggunaan asas kesatuan hukum.
Selanjutnya, dalam Pasal 28 UU No. 122006 ditentukan bahwa „Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya‟. Ketentuan ini pada intinya sama dengan ketentuan dalam Pasal 19 UU No. 621958. Ketentuan pembatalan kewarganegaraan seperti di atas
Rumusan pasal-pasal tersebut sebagai berikut. Pasal 9 ayat (2) menyatakan „Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang suami dengan sendirinya berlaku terhadap isterinya, kecuali apabila suami itu akan menjadi tanpa kewarganegaraan ‟. Pasal 10 ayat (2) menentukan „Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang isteri dengan sendirinya berlaku terhadap suaminya, kecuali apabila suami itu aka n menjadi tanpa kewarganegaraan‟.
sudah sewajarnya diatur, karena yang bersangkutan baik disengaja atau tidak memenuhi syarat-syarat pewarganegaraan. Bahkan dalam UU No. 122006, tindakan-tindakan pemalsuan dan penggunaan dokumen palsu di atas diancam dengan hukuman pidana dan denda (lihat Pasal 37 UU No. 122006)
Sama halnya dengan ketentuan dalam UU No. 621958 (Pasal VI Peraturan Penutup), Pasal 29 UU No. 122006 juga mengatur bahwa nama-nama orang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pada dasarnya, pengaturan mengenai kehilangan kewarganegaraan Indonesia dalam UU No. 122006 bersifat umum. Seperti disebutkan dalam Pasal 30 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara kehilangan dan pembatalan kewarganegaraan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sayangnya, hingga penelitian ini dilakukannya, PP tersebut belum ditetapkan, sehingga prosedur rinci mengenai kehilangan kewarganegaraan tidak dapat disampaikan lebih lanjut dalam penelitian ini.