Warga Negara Indonesia

D. Warga Negara Indonesia

  Identifikasi siapakah warga negara Indonesia (WNI) merupakan satu hal yang penting untuk diatur guna menentukan siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai WNI. Identifikasi ini akan menentukan pula asas- asas kewarganegaraan mana yang lebih dominan, baik dari segi kelahiran maupun segi perkawinan.

  108 Memori Penjelasan Umum UU No. 62158 bagian e. 109 Memori Penjelasan Umum UU No. 621958. 110 Memori penjelasan Umum UU No. 621958.

  UU No. 122006 mengatur siapakah WNI dalam beberapa pasal antara lain: Pasal 2, 4, 5, dan 6. Pasal 2 menyebutkan bahwa „Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara‟. Isi dari pasal tersebut merupakan duplikasi secara utuh dari Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 (baik UUD 1945 lama maupun UUD 1945 perubahan). Tidak terdapat kejelasan alasan, pertimbangan maupun maksud pembentuk UU mencantumkan kembali sebuah ketentuan yang telah terdapat dan diatur dalam UUD 1945. Menurut Atma Suganda, istilah „orang-orang bangsa Indonesia asli‟ dan „orang-orang bangsa lain‟ mencerminkan „kategori sumber asal mula kelompok orang yang menjadi wa 111 rga negara Indonesia‟.

  Terdapat dua pertanyaan yang muncul dari rumusan ketentuan di atas. Pertama , siapa yang dimaksud „bangsa Indonesia asli‟?. Kedua, apakah yang dimaksud „orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang sebagai warga negara ‟?

  Berkaitan dengan pertanyaan pertama, Penjelasan Pasal 2 menyebutkan bahwa „Yang dimaksud dengan bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehe ndak sendiri‟. Dari

  111 Atma Suganda, Kewarganegaraan Indonesia...,op.cit, hlm 5.

  bunyi Penjelasan ini dapat ditarik kriteria „bangsa Indonesia asli‟, yakni: (1) orang Indonesia yang menjadi WNI sejak kelahirannya, dan (2) tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Terlepas bahwa Penjelasan ini tidak bernuansa diskriminatif terhadap WNI keturunan, namun kriteria yang disodorkan oleh UU No. 122006 tetap mengandung persoalan, misalnya: orang yang sejak lahir adalah WNI, kemudian berpindah kewarganegaraan asing, dan kembali lagi menjadi WNI tidak dapat dikatakan sebagai bangsa Indonesia asli. Selain itu, dapat pula dipertanyakan apakah anak hasil perkawinan campuran dapat dikatakan sebagai orang Indonesia asli, mengingat UU No. 122006 memberikan status dua kewarganegaraan. Terhadap persoalan terakhir, dapat diberikan penjelasan bahwa anak-anak yang memiliki dua kewarganegaraan masih dapat dikategorikan sebagai orang Indonesia asli karena mereka memperoleh kewarganegaraan lain bukan atas kehendak sendiri melalui naturalisasi, melainkan memperoleh kewarganegaraan lain melalui penentuan undang-undang (by the operation of law).

  Terhadap persoalan pertama, pembentuk UU sama sekali tidak memberikan penjelasan lengkap. Apakah orang-orang yang pernah berpindah kewarganegaraan dianggap tidak lagi memenuhi syarat perpetual allegiance sehingga mereka tidak dapat dikatakan sebagai orang Indonesia asli?. Ataukah pembentuk UU beranggapan bahwa orang-orang yang pernah memiliki kewarganegaraan lain dianggap telah Terhadap persoalan pertama, pembentuk UU sama sekali tidak memberikan penjelasan lengkap. Apakah orang-orang yang pernah berpindah kewarganegaraan dianggap tidak lagi memenuhi syarat perpetual allegiance sehingga mereka tidak dapat dikatakan sebagai orang Indonesia asli?. Ataukah pembentuk UU beranggapan bahwa orang-orang yang pernah memiliki kewarganegaraan lain dianggap telah

  Persoalan kedua berkaitan dengan frasa „orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang sebagai warga negara‟. Terhadap frasa „orang-orang bangsa lain‟ tidak terdapat kesulitan untuk memahami karena pengertian orang-orang bangsa lain merupakan kebalikan dari bangsa Indonesia asli, yakni mereka yang memperoleh kewarganegaraan melalui proses naturalisasi ataupun perkawinan.

  Sebaliknya, frasa „disahkan dengan undang-undang‟ menimbulkan ketidakjelasan. Artinya, apakah setiap pewarganegaraan dilakukan dengan

  sebuah penetapan undang-undang?.

  Dalam sejarah

  kewarganegaraan Indonesia, UU No. 31946 menganut pandangan bahwa kewarganegaraan yang diperoleh melalui cara naturalisasi ditetapkan

  dengan undang-undang. 112 Jadi, bagi setiap orang yang akan memperoleh kewarganegaraan Indonesia harus diajukan suatu rancangan

  undang-undang guna memperoleh persetujuan DPR. Ketentuan semacam ini menunjukkan dua hal, yakni (1) ketentuan naturalisasi bersifat kaku, dan (2) tidak mudah memperoleh kewarganegaraan Indonesia, karena

  112 Pasal 5 ayat (1) UU No. 31946 menyebutkan „Kewarganegaraan Indonesia dengan cara naturalisasi diperoleh dengan berlakunya undang-undang yang memberikan

  naturalisasi itu‟. Sudargo Gautama mencontohkan pelaksanaan ketentuan itu yakni naturalisasi Frans Mathias Hesse yang dituangkan dalam UU No. 9 Tahun 1947. Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, op. cit, hlm 187.

  peralihan kewarganegaraan tidak hanya didasarkan syarat formal melainkan syarat-syarat lain seperti politik, ekonomi, dan lain-lain. 113

  Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 memuat ketentuan yang lebih fleksibel, dalam arti bahwa naturalisasi dilakukan oleh atau dengan kuasa undang-undang. UU No. 621958 mengatur bahwa pewarganegaraan dapat diberikan dengan alasan kepentingan Negara atau telah berjasa kepada Negara dengan persetujuan DPR. Tetapi persetujuan dimaksud tidak dalam bentuk undang-undang karena terhadap orang-orang tersebut dinyatakan tetap berlaku ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan:

  Kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarganegaraan diperoleh dengan berlakunya keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan itu.

  Dengan demikian menurut UU No. 621958 pewarganegaraan dilakukan berdasarkan atas kuasa undang-undang.

  UU No. 122006 menunjukkan kerancuan dalam bentuk hukum pewarganegaraan. Jika pada Pasal 2 dinyatakan b ahwa „orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara‟, Pasal 13 ayat (1) UU No. 122006 menyatakan bahwa Presiden mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan, dan dalam ayat (2) diatur bahwa pengabulan permohonan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 20 UU yang sama menentukan bahwa

  113 Bagir Manan, Pembaharuan Hukum ...,op.cit, hlm 10-11.

  Presiden dapat memberikan kewarganegaraan Indonesia setelah memperoleh pertimbangan DPR. Ketentuan ini juga tidak mengatur lebih lanjut apakah yang dimaksudkan dengan „pertimbangan DPR‟. Selain itu, jelas terlihat bahwa „pertimbangan‟ tersebut tidak dalam bentuk undang- undang. Apabila „pertimbangan‟ tidak ditafsirkan sebagai „persetujuan‟, maka jelas terlihat bahwa Presiden memegang peran dominan dalam pewarganegaraan „luar biasa‟ ini.

  Ketentuan yang mengatur siapa yang dikatakan sebagai WNI sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU No. 122006 mempunyai kemiripan dengan ketentuan yang mengatur hal serupa dalam UU No. 621958. Perbedaan umumnya terletak pada bahasa. Pasal 4 UU No. 122006 menentukan bahwa WNI adalah:

  a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan

  danatau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia;

  b. anak yang lahir dari perkawinan sah dari seorang ayah dan ibu

  Warga Negara Indonesia;

  c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah

  Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;

  d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah

  warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;

  e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu

  Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;

  f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari

  setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia;

  g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu

  Warga Negara Indonesia; Warga Negara Indonesia;

  

  negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;

  i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang

  pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;

  j. anak yang baru lahir dan ditemukan di wilayah Republik

  Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila

  ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;

  l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia

  dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan

  kewarganegaraan

  kepada

  anak yang

  bersangkutan; m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan

  permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

  Pasal 1 huruf e UU No. 122006 memiliki rumusan yang hampir sama dengan Pasal 1 huruf e UU No. 621958 karena kedua ketentuan tersebut mengatur status WNI bagi anak yang lahir dari ibu WNI jika ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan. Perbedaan hanya terletak pada penambahan kualifikasi dalam UU No. 122006, yakni anak yang lahir dari ibu WNI yang „hukum negara asal ayahnya tidak memberikan status kewarganegaraan bagi anak tersebut‟ juga dikatakan sebagai WNI. Dalam Pasal 1 huruf e UU No. 621958, selain karena ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan, pemberian status WNI bagi anak yang lahir dari ibu WNI juga dapat disebabkan „tidak diketahuinya kewarganegaraan orang tua‟.

  Selanjutnya, Pasal 1 huruf f UU No. 122006 memiliki kemiripan dengan Pasal 1 huruf c UU No. 621958. Kedua ketentuan itu pada intinya mengakui anak yang lahir dalam batas waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dan ayahnya tersebut berstatus WNI pada waktu meninggal. Penjelasan Pasal 1 huruf f UU No. 122006 disebutkan bahwa ditentukannya „tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari‟ dengan pertimbangan bahwa tenggang waktu tersebut merupakan tenggang waktu yang dianggap cukup untuk meyakini bahwa anak tersebut benar-benar ayah dari ayah yang meninggal dunia. Perbedaannya, ketentuan dalam UU No. 122006 menegaskan bahwa anak tersebut lahir dari perkawinan yang sah, sedangkan ketentuan UU No. 621958 tidak menegaskan sama sekali status pernikahan. Tim peneliti berpendapat bahwa ketentuan dalam UU No. 621958 juga hanya berlaku dari perkawinan yang sah karena jika anak tersebut lahir di luar perkawinan sah, maka anak yang bersangkutan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya.

  Pasal 1 huruf g UU No. 122006 sama dengan Pasal 1 huruf d UU No. 621958 dengan perumusan yang agak berbeda, namun pada intinya memberikan status WNI bagi anak luar kawin dari ibu WNI.

  Pasal 1 huruf j UU No. 122006 memiliki kemiripan rumusan dengan Pasal

  1 huruf g UU No. 621958 yang mengakui anak yang diketemukan di Indonesia dan orang tuanya tidak diketahui sebagai WNI. Pasal 1 huruf j

  UU No. 122006 memberikan pene kanan pada „baru lahir‟ meskipun tidak dijumpai apa makna baru lahir tersebut. Sebaliknya, ketentuan UU Kewarganegaraan lama tidak memberikan penekanan pada usia anak, apakah „baru lahir‟ atau sudah lama lahir. Yang pasti masing-masing pasal dari UU Kewarganegaraan yang lama dan baru tidak menekankan bahwa anak tersebut „harus lahir‟ dalam wilayah Indonesia, melainkan anak tersebut ditemukan di Indonesia.

  Selanjutnya, rumusan Pasal 1 huruf k UU No. 122006 hampir sama rumusan Pasal 1 huruf f dan h UU No. 621958. Lebih tepatnya, ketentuan Pasal 1 huruf k UU No. 122006 mencakup ketentuan dalam dua pasal dari UU No. 621958 di atas. Seperti disebutkan di atas, Pasal 1 huruf k UU No. 122006 mengakui anak yang lahir di wilayah Indonesia karena dua sebab, pertama, kedua orang tua anak tersebut tidak memiliki kewarganegaraan (apatride), kedua, kedua orang tua tersebut tidak diketahui keberadaannya. Pasal 1 huruf h UU No. 621958 mengakui anak yang lahir di wilayah Indonesia sebagai WNI karena sebab yang pertama (kedua orang tuanya tidak memiliki kewarganegaraan) sedangkan Pasal 1 huruf f UU No. 621958, mengakui anak yang lahir di wilayah Indonesia sebagai WNI karena sebab yang kedua di atas (kedua orang tuanya tidak diketahui (keberadaannya)). Akan tetapi, Pasal 1 huruf

  h UU No. 621958 tidak hanya memberikan kewarganegaraan RI terhadap anak yang lahir di wilayah Indonesia karena kedua orang tuanya tidak h UU No. 621958 tidak hanya memberikan kewarganegaraan RI terhadap anak yang lahir di wilayah Indonesia karena kedua orang tuanya tidak

  seseorang berarti

  kewarganegaraannya tidak jelas. Kewarganegaraan yang tidak jelas, tidak selalui identik dengan apatride. Kewarganegaraan yang tidak jelas juga dapat ditafsirkan bahwa seseorang memiliki dua atau lebih kewarganegaraan (bipatridemultipatride). Dalam UU No. 122006 pengakuan sebagai WNI terhadap anak yang dilahirkan di wilayah Indonesia yang kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak jelas diatur dalam Pasal 1 huruf i. Jadi ketentuan dalam Pasal 1 huruf h UU No. 62 1958 juga memiliki kemiripan rumusan Pasal 1 huruf i UU No. 122006.

  Persamaan lainnya dari UU No. 122006 dan UU No. 621958 adalah mengenai pengakuan sebagai WNI terhadap anak asing yang diangkat oleh WNI berdasarkan penetapan pengadilan secara sah (Pasal 21 ayat (2) UU No. 122006 dan Pasal 2 ayat (2) UU No. 621958)

  Selain beberapa kesamaan ketentuan dalam hal identifikasi WNI, ada beberapa perbedaan pengaturan dalam kedua UU tersebut, antara lain ketentuan dalam Pasal 1 huruf b, c, d, e,h, l, m dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 122006 tidak diatur dalam UU No. 621958. Ketentuan dalam Pasal 1 huruf b UU No. 122006 yang menegaskan bahwa anak yang lahir Selain beberapa kesamaan ketentuan dalam hal identifikasi WNI, ada beberapa perbedaan pengaturan dalam kedua UU tersebut, antara lain ketentuan dalam Pasal 1 huruf b, c, d, e,h, l, m dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 122006 tidak diatur dalam UU No. 621958. Ketentuan dalam Pasal 1 huruf b UU No. 122006 yang menegaskan bahwa anak yang lahir

  

  Penjelasan 114 .

  Selanjutnya, Pasal 1 huruf c dan d UU No. 122006 mengakui anak dari perkawinan campuran dari ibu atau bapak (salah satunya ) WNA sebagai WNI. Ketentuan tersebut pada prakteknya sangat mungkin menimbulkan kewarganegaraan ganda bagi anak, misalnya ketika negara asal ayah atau ibu yang berstatus WNA memberikan status kewarganegaraan bagi anak. Jadi, ketentuan di atas mencerminkan penggunaan asas kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak. Selain Pasal 1 huruf c dan d di atas, ketentuan lain yang mencerminkan penggunaan asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah Pasal 1 huruf h yang memberikan status WNI bagi anak di luar perkawinan dari seorang ibu WNA yang diakui ayahnya yang pengakuan tersebut dilakukan sebelum anak berusia dari 18 tahun atau belum kawin. Jika negara dari ibu WNA tersebut memberikan status kewarganegaraan bagi anak, maka anak tersebut akan memiliki dua kewarganegaraan.

  Ketentuan-ketentuan lainnya yang mencerminkan asas kewarganegaraan ganda dapat ditemukan dalam Pasal 1 huruf l dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2006. Pasal 1 huruf l UU No. 12 Tahun 2006 mengatur

  114

  Dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal Pasal 1 Huruf b, c, d, e UU No. 621958 di sebutkan bahwa “Sudah sewajarnya keturunan seorang warga negara Indonesia adalah warga negara Indonesia.“

  bahwa anak yang lahir di luar wilayah Indonesia dari ibu dan ayah WNI yang ketentuan dari negara tempat lahir anak tersebut memberikan kewarganegaraan, tetap diakui sebagai WNI. Ketentuan tersebut jelas menimbulkan kewarganegeraan ganda, pertama dari negara tempat anak tersebut dilahirkan, kedua, dari negara Republik Indonesia. Pasal 5 ayat (1) mengatur “Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Ind onesia” sedangkan Pasal 5 ayat (2) mengakui „Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia ‟. Kedua ketentuan di atas pasti akan menimbulkan kewarganegaraan ganda bagi anak karena anak diakui oleh ayahnya yang WNA atau diangkat oleh WNA.

  Lalu bagaimana penerapan asas kewarganegaraan ganda yang tersirat dalam beberapa ketentuan di atas? Pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) menyebutkan bahwa :

  (1) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap

  anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.

  (2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana

  dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan

  (3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana

  dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

  Dari ketentuan di atas, sangat tepat bahwa asas kewarganegaraan ganda yang dianut dalam UU ini bersifat terbatas yaitu berlaku bagi anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin karena setelah itu mereka harus memilih kewarganegaraan Indonesia atau kewarganegaraan yang lain. Penggunaan asas kewarganegaraan ganda terbatas dalam UU No. 122006 merupakan hal yang paling berbeda dengan ketentuan UU No. 621958.

  Ketentuan lain dalam UU No. 122006 yang tidak terdapat dalam UU No. 621958 antara lain: ketentuan Pasal 1 huruf m yang memberikan status WNI bagi anak dari ayah atau ibu yang dikabulkan permohonan pewarganegaraannya kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia; Pasal 21 ayat (1) yang mengakui „anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan

  berkewarganegaraan Republik Indonesia‟. Ketentuan di atas memberikan status kewarganegaraan bagi anak dari ayah atau ibu yang memperoleh berkewarganegaraan Republik Indonesia‟. Ketentuan di atas memberikan status kewarganegaraan bagi anak dari ayah atau ibu yang memperoleh

  Selanjutnya, ketentuan Pasal 21 ayat (1) tersebut sekilas tampak hampir sama dengan Pasal 13 UU No. 621958 yang rumusannya sebagai berikut:

  (1) Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang

  mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarganegaraan.

  (2) Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh seorang

  ibu berlaku juga terhadap anak-anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin setelah mereka bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Apabila kewarganegaraan Republik Indonesia itu diperoleh dengan pewarganegaraan oleh seorang ibu yang telah menjadi janda karena suaminya meninggal maka anak-anak yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, yang belum berumur 18 tahun ibu berlaku juga terhadap anak-anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin setelah mereka bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Apabila kewarganegaraan Republik Indonesia itu diperoleh dengan pewarganegaraan oleh seorang ibu yang telah menjadi janda karena suaminya meninggal maka anak-anak yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, yang belum berumur 18 tahun

  Pasal 13 ayat (1) menentukan anak yang memiliki hubungan hukum dengan ayahnya (baik melalui perkawinan yang sah maupun karena pengakuan) sebelum ayahnya memperoleh kewarganegaraan Indonesia, turut menjadi WNI (ketika ayahnya sudah menjadi WNI) setelah berada dan bertempat tinggal di Indonesia. Pasal 13 ayat (2) mengakui anak dari ibu yang memperoleh status WNI yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sebagai WNI setelah berada dan bertempat tinggal di Indonesia. Ketentuan ini juga berlaku bagi anak dari ibu yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia setelah suaminya meninggal (janda) yang berarti anak tersebut memiliki hubungan hukum dengan ayahnya (tetapi ayahnya sudah meninggal) karena mengikuti kewarganegaraan ibunya.

  Jika dilihat lebih lanjut maka ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan (2) tersebut berbeda dengan Pasal 21 ayat (1) UU No. 122006. Perbedaan itu antara lain: Pasal 21 ayat (1) UU No. 122006 tidak mempermasalahkan ada tidaknya hubungan hukum dengan ayah jika seorang anak turut kewarganegaraan ibu yang berstatus WNI asalkan anak tersebut berada dan bertempat tinggal di Indonesia. Pasal 13 ayat (2) mengharuskan tidak adanya hubungan hukum antara ayah dan anak jika anak tersebut akan turut kewarganegaraan ibu yang memperoleh status WNI melalui Jika dilihat lebih lanjut maka ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan (2) tersebut berbeda dengan Pasal 21 ayat (1) UU No. 122006. Perbedaan itu antara lain: Pasal 21 ayat (1) UU No. 122006 tidak mempermasalahkan ada tidaknya hubungan hukum dengan ayah jika seorang anak turut kewarganegaraan ibu yang berstatus WNI asalkan anak tersebut berada dan bertempat tinggal di Indonesia. Pasal 13 ayat (2) mengharuskan tidak adanya hubungan hukum antara ayah dan anak jika anak tersebut akan turut kewarganegaraan ibu yang memperoleh status WNI melalui

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157