Cara Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia

E. Cara Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia

  Pasal 8 UU No. 12 2006 menegaskan bahwa „Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga di peroleh melalui pewarganegaraan‟. Jadi selain karena kelahiran dan aturan lain yang terdapat pada pasal-pasal yang telah disebutkan sebelumnya, kewarganegaraan RI dapat diperoleh dengan cara pewarganegaraan (naturalisasi). UU No. 122006 mengatur proses pewarganegaraan dalam beberapa pasal yang akan diuraikan berikut ini.

  1. Persyaratan Pewarganegaraan Pasal 9 mengatur beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang akan mengajukan permohonan menjadi WNI. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

  a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;

  b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di

  wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun

  c. sehat jasmani dan rohani;

  d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;

  f. jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;

  g. mempunyai pekerjaan danatau berpenghasilan tetap; dan

  h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

  Syarat-syarat di atas pada umumnya hampir sama dengan ketentuan UU No. 621958 . Akan tetapi, terdapat beberapa perbedaan antara kedua undang-undang tersebut. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:  Dalam Pasal 9 huruf a UU No. 122006, usia minimal bagi seseorang

  untuk mengajukan pewarganegaraan adalah 18 tahun sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a UU No. 621958, usia minimal tersebut adalah

  21 tahun.  Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, selain orang yang telah bertempat

  tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, orang yang lahir di Indonesia (artinya, dapat juga berlaku bagi WNA yang lahir di Indonesia) dapat juga mengajukan permohonan pewarganegaraan. Berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 9 huruf b yang tidak menjadikan kelahiran seseorang di Indonesia sebagai syarat untuk mengajukan pewarganegaraan. Dalam UU No. 621958, orang yang lahir di Indonesia kalau pun tidak bertempat tinggal di Indonesia tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, orang yang lahir di Indonesia (artinya, dapat juga berlaku bagi WNA yang lahir di Indonesia) dapat juga mengajukan permohonan pewarganegaraan. Berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 9 huruf b yang tidak menjadikan kelahiran seseorang di Indonesia sebagai syarat untuk mengajukan pewarganegaraan. Dalam UU No. 621958, orang yang lahir di Indonesia kalau pun tidak bertempat tinggal di Indonesia

   Pasal 5 ayat (2) huruf c UU No. 621958 disebutkan bahw a :‟apabila ia

  seorang laki-laki yang kawin mendapat persetujuan isteri (isteri- isteri)nya‟ sedangkan syarat tersebut tidak ada dalam UU No. 122006.

   Pasal 9 huruf d, pemohon pewarganegaraan disyaratkan ‟dapat

  berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945‟ sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c UU No. 621958 tidak ada syarat pengakuan terhadap Pancasila dan UUD 1945 dan dalam ketentuan itu pula, selain syarat ‟cukup dapat berbahasa Indonesia‟, pemohon juga disyaratkan ‟mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia‟. Syarat yang disebut terakhir, tidak ada dalam UU No. 122006.

   Walaupun kedua UU tersebut mensyaratkan pembayaran uang

  pewarganegaran ke Kas Negara tetapi Pasal 5 ayat (2) huruf f UU No. 621958 langsung menyebutkan jumlah nominal uang yang harus dibayarkan, yaitu ‟antara Rp. 500,- sampai Rp. 10.000,- yang ditentukan besarnya oleh Jawatan Pajak tempat tinggalnya (tempat tinggal pemohon) berdasarkan penghasilannya, tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh mel ebihi penghasilan nyata sebulan‟ sedangkan Pasal 9 huruf h UU No. 122006 tidak menyebutkan jumlah nominal uang pewarganegaraan tersebut. UU No. 122006 melalui Pasal 12 ayat

  (2) mengatur jumlah biaya pewarganegaraan tersebut dalam suatu peraturan pemerintah 115 .

   Bagian akhir Pasal 5 ayat (2) UU No. 621958 mensyaratkan bahwa

  ‟Seorang perempuan selama dalam perkawinan tidak boleh mengajukan permohonan pewarganegaraan‟ sedangkan dalam UU No. 122006 syarat tersebut tidak diatur. Penjelasan Umum maupun Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU No. 621958 tidak menjelaskan lebih lanjut syarat tersebut. Syarat ini tampaknya dipengaruhi asas kesatuan hukum yang mengikuti kewarganegaraan suami. Asas ini sebenarnya tidak sepenuhnya dianut dalam UU No. 621958 karena dalam hal perempuan WNA menikah dengan laki-laki WNI, tidak otomatis merubah kewargenegaraan perempuan tersebut menjadi berstatus WNI, tetapi

  harus melalui pernyataan keterangan setelah 1 tahun menikah 116 . UU No. 122006 jelas tidak melarang seorang perempuan asing yang masih

  dalam ikatan perkawinan untuk mengajukan pewargenegaraan. Pelarangan tersebut merupakan sebuah bentuk diskriminasi terhadap

  perempuan yang jelas ditolak oleh UU No. 122006 117 .

  Hingga saat ini, peraturan pemerintah (PP) yang dimaksud belum dibentuk. Seandainya PP itu sudah dibentuk, dapat dipastikan bahwa jumlah nominal uangbiaya pewarganegaraan yang ditentukan lebih dari jumlah yang ditentukan dalam UU No. 621958. Perkiraan ini didasari pada pemikiran bahwa jumlah nominal uang yang ditentukan dalam UU No. 621958 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi nilai tukar mata uang rupiah, harga barang dan jasa serta upah minimum yang telah berubah.

  116 Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 621958

  117 Dalam Penjelasan Umum paragraf 5 UU No. 12 2006 disebutkan bahwa, “Secara filosofis, Undang-Undang tersebut (maksudnya UU No. 621958-pen) masih mengandung

  ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak- anak”

   Pasal 9 huruf e UU No. 122006 mensyaratkan pemohon yang

  mengajukan pewargenagaraan ‟tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebi h‟ tanpa menegaskan lebih lanjut apakah tindak pidana tersebut dilakukan di wilayah Indonesia atau di negara lain. Berbeda dengan ketentuan tersebut, Pasal 5 ayat (2) UU No. 621958 mensyaratkan bahwa pemohon ‟tidak pernah dihukum karena melakukan kejahatan ya ng merugikan Republik Indonesia‟. Walaupun ketentuan dalam UU No. 621958 tersebut juga tidak menjelaskan apakah tindak pidana yang dimaksud dilakukan di Indonesia atau termasuk tindak pidana yang dilakukan di negara lain, tetapi ketentuan tersebut membatasi pada jenis tindak pidana yang ‟merugikan Republik Indonesia‟. Namun UU juga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria ‟merugikan Indonesia‟.

  2. Tata Cara Pewarganegaraan Setelah memenuhi syarat-syarat pewarganegaraan, seseorang harus mengikuti prosedur tertentu untuk memperoleh kewarganegaraa Indonesia. UU No. 122006 mengatur tata cara pewarganegaraan dalam Pasal 10 sampai Pasal 18. Pasal 10 ayat (1) mengatur ‟Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri‟. Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa berkas permohonan 2. Tata Cara Pewarganegaraan Setelah memenuhi syarat-syarat pewarganegaraan, seseorang harus mengikuti prosedur tertentu untuk memperoleh kewarganegaraa Indonesia. UU No. 122006 mengatur tata cara pewarganegaraan dalam Pasal 10 sampai Pasal 18. Pasal 10 ayat (1) mengatur ‟Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri‟. Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa berkas permohonan

  Selanjutnya, Menteri meneruskan permohonan disertai dengan pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima (Pasal 11). Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Presiden mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan. Apabila dikabulkan, pengabulan tersebut dituangkan dalam keputusan presiden. UU memberikan batas waktu penetapan keputusan presiden yakni paling lambat tiga bulan sejak permohonan diterima Menteri dan keputusan tersebut harus sudah ditetapkan diterima oleh pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan presiden ditetapkan. Jika permohonan ditolak, Pasal 13 ayat (4) UU No.122006

  menyatakan

  ‟Penolakan

  permohonan

  pewarganegaraan...harus disertai alasan dan diberitahukan oIeh Menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri‟. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa keputusan presiden tersebut mulai berlaku efektif terhitung sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 huruf m, keputusan presiden tersebut dapat berlaku efektif sebelum pengucapan sumpah atau pewarganegaraan...harus disertai alasan dan diberitahukan oIeh Menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri‟. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa keputusan presiden tersebut mulai berlaku efektif terhitung sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 huruf m, keputusan presiden tersebut dapat berlaku efektif sebelum pengucapan sumpah atau

  Selanjutnya, masih dalam pasal yang sama diatur ‟Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan Presiden dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia‟. Dalam hal setelah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alasan yang sah, keputusan presiden tersebut batal demi hukum. Akan tetapi, ada kekecualian yang diatur dalam ayat (4), yaitu ‟Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai akibat kelalaian Pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia di hadapan Pejabat lain yang ditunjuk Menteri‟.

  Selanjutnya, Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa ‟Pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia...dilakukan di hadapan Pejabat‟, lalu dibuat berita acara pelaksanaan dan berita acara tersebut harus diserahkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia.

  Dari ketentuan-ketentuan di atas, pengucapan sumpah atau janji setia merupakan alternatif. Artinya, pemohon dapat mengucapkan sumpah saja atau mengucapkan pernyataan janji setia. Akan tetapi, UU ini tidak memberikan penjelasan apa saja kriteria yang menentukan pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Tidak diketahui alasan pembentuk UU membedakan dua jenis pernyataan kesetiaan ini.

  Sumpah atau janji setia di atas merupakan suatu bagian yang esensial

  pada acara naturalisasi 118 dan juga berarti ‟pelepasan terhadap

  kekuasaan asing‟. Oleh karena itu, setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia, pemohon wajib menyerahkan dokumen atau surat- surat keimigrasian atas namanya kepada kantor imigrasi dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia (Pasal 17). Hal ini juga berkaitan dengan asas kewarganegaraan tunggal yang dianut UU ini sehingga pemohon pewarganegaraan yang telah menjadi WNI tidak diperbolehkan lagi memiliki dokumen-dokumen keimigrasian yang mencerminkan status kewarganegaraan selain Indonesia.

  Pasal 18 menegaskan bahwa ‟Salinan Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia dari Pejabat

  Gouw Giok Siong, Tafsiran Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Keng Po, Djakarta, 1960, hlm 116.

  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) menjadi bukti sah Kewarganegaraan Republik Indonesia seseorang yang memperoleh kewarganegaraan‟ (ayat 1). Kemudian, Menteri mengumumkan nama orang yang telah memperoleh kewarganegaraan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

  Tata cara pengajuan permohonan pewarganegaraan di atas memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan dengan ketentuan dalam UU No. 621958.

  kewarganegaraan ditujukan kepada presiden melalui menteri yang berkas permohonan tersebut diserahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri (lihat Pasal 10 ayat (1) dan (2)). Pasal 5 ayat (3) UU No. 621958 mengatur agak berbeda, permohonan tersebut diajukan kepada Menteri Kehakiman melalui pengadilan negeri atau perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal pemohon. Perbedaan tersebut pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan sistem pemerintahan yang dianut. UU No. 621958 dibentuk dengan dasar hukum UUDS 1950 yang sistem pemerintahannya

  pemerintahan adalah perdana menteri dan dewan menteri (yang terdiri dari menteri-menteri), sehingga bukan presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan, melainkan menteri-menteri. Dalam hal ini, menteri yang memegang kekuasaan di bidang kewarganegaraan adalah menteri kehakiman. Sementara itu, UU No. 122006 dibentuk berdasarkan

  UUD 1945 setelah perubahan yang bersistem pemerintahan presidensial, sehingga kekuasaan pemerintahan berada di tangan presiden. Perbedaan itu berimplikasi pada perbedaan produk hukum yang ditetapkan dalam mengabulkan permohonan pewarganegaraan. Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 122006 menegaskan bahwa pengabulan kewarganegaraan dilakukan oleh presiden dengan keputusan presiden sedangkan dalam Pasal 5 ayat (4) dan (1) UU No. 621958, pengabulan pewarganegaraan dilakukan oleh menteri kehakiman dengan persetujuan dewan menteri melalui keputusan menteri kehakiman.

  Selain disebutkan bahwa permohonan ditulis dengan bahasa Indonesia, dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 621958 juga ditambahkan

  ... dan bersama dengan permohonan itu harus disampaikan bukti- bukti tentang hal-hal tersebut dalam ayat 2 kecuali yang tersebut dalam huruf d (cukup dapat berbahasa Indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta tidak pernah dihukum karena melakukan kejahatan yang merugikan Republik Indonesia); Pengadilan Negeri atau perwakilan Republik Indonesia memeriksa bukti-bukti itu akan kebenarannya dan menguji pemohon akan kecakapannya berbahasa Indonesia dan akan pengetahuannya tentang sejarah Indonesia.

  Jadi, Pasal 5 ayat (3) UU No. 621958 mengatur lebih detail pengajuan permohonan. Perbedaan juga terlihat dalam hal penilaian terhadap pengajuan permohonan. Menurut UU No. 621958 penilaian dilakukan oleh Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia (untuk membuktikan kebenaran syarat-syarat) sedangkan dalam UU No. 122006, setelah permohonan diajukan, menteri meneruskan permohonan Jadi, Pasal 5 ayat (3) UU No. 621958 mengatur lebih detail pengajuan permohonan. Perbedaan juga terlihat dalam hal penilaian terhadap pengajuan permohonan. Menurut UU No. 621958 penilaian dilakukan oleh Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia (untuk membuktikan kebenaran syarat-syarat) sedangkan dalam UU No. 122006, setelah permohonan diajukan, menteri meneruskan permohonan

  Perbedaan lainnya, dalam Pasal 5 ayat (9) UU No. 621958, ditegaskan bahwa ‟jika permohonan pewarganegaraan ditolak, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kemba li‟. Hal tersebut tidak ditegaskan dalam UU No. 122006. Akan tetapi, dalam UU No. 621958 tidak dijelaskan apakah ada pemberitahuan tertulis dari menteri atau pejabat lainnya kepada si pemohon sedangkan dalam Pasal 13 ayat (4) UU No. 122006 hal tersebut ditegaskan, bahkan pemberitahuan yang sampaikan oleh menteri kepada pemohon harus disertai alasan. Tampaknya, proses penolakan pewargenegaraan dalam UU No. 122006 lebih transparan dibandingkan dengan UU No. 621958.

  Ketentuan lain yang sedikit berbeda adalah mengenai batas waktu pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia. Agak sedikit berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 122006, dalam Pasal 5 ayat (7) UU No. 621958 disebut kan bahwa „Apabila sumpah atau janji setia tidak Ketentuan lain yang sedikit berbeda adalah mengenai batas waktu pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia. Agak sedikit berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 122006, dalam Pasal 5 ayat (7) UU No. 621958 disebut kan bahwa „Apabila sumpah atau janji setia tidak

  3. Pewarganegaraan karena perkawinan, jasa dan kepentingan negara

  Selain pewarganegaraan yang bersifat umum bagi orang asing yang tidak memiliki keterkaitan dengan Indonesia, UU No. 122006 juga mengatur pewarganegaraan karena jasa atau kepentingan negara dan pewarganegaraan kerena perkawinan.

  Pewarganegaraan karena perkawinan menurut Pasal 19 dapat dilakukan oleh WNA yang kawin secara sah dengan WNI dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat. Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa pernyataan tersebut dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat

  10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda. Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan

  Republik Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap.

  Ketentuan memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena perkawinan dalam UU No. 122006 juga dikenal dalam UU No. 621958. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan yang cukup mendasar dalam hal tersebut pada kedua UU yang dimaksud. Dalam UU No. 621958, hanya perempuan WNA yang kawin dengan lak-laki WNI saja yang dapat mengajukan permohonan

  memperoleh

  kewarganegaraan

  Indonesia karena

  perkawinan, sepanjang tidak menjadi berkewarganegaraan ganda (lihat Pasal 7 ayat (1)). Selanjutnya, keterangan tersebut tidak berlaku jika suaminya yang WNI melepaskan status WNI, sepanjang tidak mengakibatkan tanpa kewarganegaraan (lihat Pasal 7 ayat (2)). Artinya, perempuan WNA yang kawin dengan laki-laki WNI jika suaminya melepaskan kewarganegaraan Indonesia, tidak dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dan tidak bisa mengajukan permohonan pewarganegaraaan karena masih dalam ikatan perkawinan (lihat Pasal 5 ayat (2) UU No. 621958). UU No. 621958 juga tidak memberikan peluang bagi laki-laki WNA yang kawin dengan perempuan WNI untuk mengajukan permohonan

  memperoleh

  kewarganegaraan

  Indonesia karena

  perkawinan. Dengan demikian, berdasarkan UU No. 621958, laki-laki WNA yang kawin dengan perempuan WNI harus melalui perkawinan. Dengan demikian, berdasarkan UU No. 621958, laki-laki WNA yang kawin dengan perempuan WNI harus melalui

  UU No. 122006 mendelegasikan pembentukan peraturan menteri untuk mengatur lebih lanjut tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Permenhukham-RI) Nomor M.02-Hl.05.06 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia. Secara spesifik, tata cara tersebut diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 9.

  Pasal 3 Permenhukham tersebut menyebutkan bahwa :

  (1) Pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disampaikan oleh Pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pemohon. (2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya memuat :

  a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat tempat tinggal dan kewarganegaraan Pemohon;

  b. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta

  kewarganegaraan suami atau isteri Pemohon.

  (3) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan :

  a. fotokopi kutipan akte kelahiran Pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

  b. fotokopi kartu tanda penduduk atau surat keterangan

  tempat tinggal Pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

  c. fotokopi kutipan akte kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk

  Warga Negara Indonesia suami atau isteri Pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

  d. fotokopi kutipan akte perkawinanbuku nikah Pemohon dan

  suami atau isteri yang disahkan oleh pejabat yang berwenang; suami atau isteri yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

  Pemohon yang menerangkan bahwa Pemohon telah bertempat tinggal di Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;

  f. surat keterangan catatan kepolisian dari kepolisian di

  tempat tinggal Pemohon;

  g. surat keterangan dari perwakilan negara Pemohon yang menerangkan bahwa setelah Pemohon memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, ia kehilangan kewarganegaraan negara yang bersangkutan;

  h. pernyataan tertulis bahwa Pemohon akan setia kepada

  Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas; dan

  i.

  pasfoto Pemohon terbaru berwarna ukuran 4X6 cm

  sebanyak 6 (enam) lembar.

  Peraturan tersebut juga mengatur pemeriksaan kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 sebagai berikut:

  (1) Pejabat (pejabat yang dimaksud adalah Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) memeriksa kelengkapan pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pernyataan diterima. (2) Dalam hal pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

  3 belum lengkap, Pejabat mengembalikannya kepada Pemohon dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pernyataan diterima untuk dilengkapi. (3) Dalam hal pernyataan telah dinyatakan lengkap Pejabat menyampaikan pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Menteri dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pernyataan diterima. (4) Pengembalian pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penyampaian pernyataan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan bentuk formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran III dan lampiran IV Peraturan Menteri ini.

  Pasal 5

  Menteri memeriksa

  kelengkapan

  pernyataan

  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pernyataan diterima dari Pejabat. (2)

  Dalam hal pernyataan sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 4 belum lengkap, Menteri mengembalikan pernyataan kepada Pejabat yang menyampaikan pernyataan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pernyataan diterima untuk dilengkapi. (3) Dalam hal pernyataan telah dinyatakan lengkap, Menteri menetapkan keputusan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak pernyataan diterima dari Pejabat.

  Pasal 6

  (1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dibuat dalam rangkap 4 (empat), dengan ketentuan :

  a. rangkap pertama diberikan kepada Pemohon melalui Pejabat;

  b. rangkap kedua dikirimkan kepada Pejabat sebagai arsip;

  c. rangkap ketiga dikirimkan kepada perwakilan negara

  Pemohon; dan

  d. rangkap keempat disimpan sebagai arsip Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Pejabat dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan. (3) Pejabat menyampaikan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Pemohon paling lambat

  14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Keputusan Menteri diterima. (4) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan oleh Menteri kepada perwakilan negara Pemohon dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan.

  Pasal 7

  Pemohon wajib mengembalikan dokumen yang berkaitan dengan statusnya sebagai warga negara asing kepada instansi yang berwenang dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

  Pasal 8

  (1) Dalam hal pernyataan Pemohon ditolak karena mengakibatkan Pemohon berkewarganegaraan ganda Menteri memberitahukan kepada Pemohon melalui Pejabat dalam waktu paling lambat 14 (hari) terhitung sejak tanggal penolakan pernyataan.

  (2) Pejabat menyampaikan pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak pemberitahuan penolakan diterima.

  (3) Bagi Pemohon pemegang ijin tinggal terbatas yang pernyataan permohonannya ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi ijin tinggal tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Pasal 9

  Menteri mengumumkan nama orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dalam Berita Negara Republik Indonesia.

  Secara umum, tata cara memperoleh kewarganegaraan karena perkawinan di atas hampir sama dengan tata cara memperoleh kewarganegaraan melalui pewarganegaraan biasa. Perbedaannya, jika dalam pewarganegaraan biasa, seorang WNA harus mengajukan „permohonan pewarganegaraan‟ kepada presiden melalui menteri sedangkan dalam pewarganegaraan karena perkawinan, seorang WNA yang kawin dengan seorang WNI, cukup memberikan „pernyataan untuk menjadi WNI‟ dihadapan pejabat untuk disampaikan kepada menteri. Sebagai sebuah permohonan, sangat mungkin sekali pemohon mendapat penolakan karena alasan di luar syarat-syarat formal sehubungan dengan

  penerapan asas kebenaran substantif yang dianut UU No. 122006 119 tetapi dalam hal „pernyataan memperoleh kewarganegaraan Indonesia‟

  119 Lihat Penjelasan Umum UU No. 122006 119 Lihat Penjelasan Umum UU No. 122006

  Perbedaan lainnya, terlihat dari persyaratan dokumen yang juga mensyaratkan dokumen perkawinan sebagai bukti sah dilakukannya perkawinan. Dan perbedaan yang paling signifikan adalah pengabulan pewarganegaraan dalam pewarganegaraan karena perkawinan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sedangkan pewarganegaraan biasa ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, tata cara pewarganegaraan karena perkawinan tampak lebih ringan dibandingkan dengan tata cara pewarganegaraan biasa.

  Pewarganegaraan karena seorang WNA telah berjasa atau demi kepentingan negara disebut sebagai pewarganegaraan atau naturalisasi

  luar biasa 120 . Dapat dikatakan bahwa pewarganegaraan luar biasa memiliki

  berbeda dengan

  pewarganegaraan biasa. Mengenai pewarganegaraan karena jasa atau kepentingan negara, UU No. 122006 mengaturnya dalam Pasal 20. Dalam Pasal tersebut disebutkan „Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah

  120 Sudargo Gautama menyebutnya „naturalisasi luar biasa‟. Gouw Giok Siong, Tafsiran...., op.cit, hlm 120. Sedangkan Koerniatmanto Soetoprawiro menyebutnya

  „pewarganegaraan luar biasa‟. Koerniatmanto Sooetoprawiro, op.cit, hlm 61.

  memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersan gkutan berkewarganegaraan ganda‟.

  Dari

  rumusan pasal tersebut,

  perbedaan signifikan

  antara

  pewarganegaraan biasa dalam Pasal 10 sampai Pasal 18 dan pewarganegaraan menurut Pasal 20 adalah adanya „pertimbangan DPR‟. Adanya pertimbangan DPR ini menjadi hal yang penting karena alasan dari pewarganegaraan ini berbeda dan tidak memiliki ukuran objektif seperti pada syarat-syarat pewarganegaraan biasa. Alasan-alasan pewarganegaraan luar biasa diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 20 sebagai berikut :

  Yang dimaksud dengan orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia adalah orang asing yang karena prestasinya yang luar biasa di bidang kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, lingkungan hidup, serta keolahragaan telah memberikan kemajuan dan keharuman nama bangsa Indonesia. Yang dimaksud dengan orang asing yang diberi kewarganegaraan karena alasan kepentingan negara adalah orang asing yang dinilai oleh negara telah dan dapat memberikan sumbangan yang luar biasa untuk kepentingan memantapkan kedaulatan negara dan untuk meningkatkan kemajuan, khususnya di bidang perekonomian Indonesia.

  Jadi penekanan arti „orang asing yang telah berjasa‟ ini pada prestasi pada bidang-bidang tertentu di atas yang telah mengharumkan nama Indonesia sedangkan arti „kepentingan negara‟ lebih ditekankan pada „sumbangan yang luar biasa....khususnya di bidang perekonomian Indonesia ‟. Untuk alasan „kepentingan negara‟, WNA yang memberikan Jadi penekanan arti „orang asing yang telah berjasa‟ ini pada prestasi pada bidang-bidang tertentu di atas yang telah mengharumkan nama Indonesia sedangkan arti „kepentingan negara‟ lebih ditekankan pada „sumbangan yang luar biasa....khususnya di bidang perekonomian Indonesia ‟. Untuk alasan „kepentingan negara‟, WNA yang memberikan

  Alasan pewarganegaraan luar biasa diatas, khususnya alasan „karena kepentingan negara‟, sangat multi tafsir walaupun telah diuraikan dalam penjelasan pasal tersebut karena tidak memiliki ukuran-ukuran objektif seperti pada syarat-syarat pewarganegaraan biasa. Oleh karena itu, pertimbangan dari DPR menjadi sangat penting agar pemberian pewarganegaraan tersebut benar-benar atas dasar kepentingan bangsa ini. Walaupun, pewarganegaraan luar biasa ini hanya diatur dalam satu pasal, ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah.

  Ketentuan serupa juga ditemukan dalam UU No. 621958 melalui Pasal 6 yang menyebutkan „Pewarganegaraan juga dapat diberikan dengan alasan kepentingan negara atau telah berjasa terhadap negara oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 5 hanya berlaku ketentuan- ketentuan ayat 1, ayat 5, ayat 6 dan ayat 7 ‟. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pasal tersebut. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 PP No. 671958 yang menentukan bahwa Menteri Kehakiman merupakan instansi yang berwenang menerima usul-usul mengenai memperoleh kewarganegaraan RI secara luar biasa ini juga

  Menteri Kehakimanlah yang ditunjuk sebagai pejabat yang harus menyelesaikan masalah pewarganegaraan istimewa ini. 121

  Dari tata cara pewarganegaraan menurut UU No. 122006 di atas, tampaknya bermaksud untuk menutupi kekurangan yang ada dalam UU No. 621958. Dalam beberapa hal, UU No. 621958 lebih detail mengatur mengenai tata cara pewarganegaraan seperti pemohon yang ditolak pewarganegaraannya

  dapat

  mengajukan kembali

  permohonan

  kewarganegaraan, biaya pewarganegaraan dikembalikan kembali jika permohonan pewarganegaraan ditolak. Akan tetapi, dalam beberapa hal juga, UU No. 122006 juga mengatur hal yang lebih detail, seperti: penolakan kewarganegaraan harus diberitahukan kepada pemohon disertai dengan alasan; pengucapan sumpah atau janji setia dilakukan maksimal tiga bulan setelah keputusan presiden dikirim dan melalui mekanisme pemanggilan dan jika hal tersebut tidak terlaksan akibat kelalaian pejabat, tidak menyebabkan keputusan presiden tersebut batal demi hukum. Beberapa aturan pewarganegaraan yang belum detail dalam UU No.122006 akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah tentang tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia yang akan dibentuk kemudian.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157