Hasil dan Pengamatan Wawancara

75 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil dan Pengamatan Wawancara

Peneliti melakukan penelitian terhadap mahasiswa asal Malaysia di USU dengan menggunakan teknik snowball sampling. Peneliti berhenti pada informan yang kesebelas karena data yang diperoleh sudah jenuh. Hal ini disebabkan karena peneliti tidak memperoleh data baru karena jawaban yang diberikan informan rata-rata sama. Dengan demikian informan dalam penelitian ini sebanyak 11 orang mahasiswa asal Malaysia. Adapun pelaksanaan dan pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara yang berlangsung dari bulan November hingga Desember 2010. Setelah mendapatkan persetujuan tentang judul skripsi ini, peneliti kemudian mengurus surat permohonan izin penelitian untuk diserahkan ke Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU. Beberapa hari kemudian, peneliti mendapatkan surat balasan yang menyatakan persetujuan 76 melakukan penelitian di dua fakultas itu, kemudian peneliti meminta data tentang jumlah mahasiswa asing di masing-masing fakultas. Setelah itu, peneliti memulai serangkaian pelaksanaan penyusunan skripsi. Sebelum melakukan proses wawancara, peneliti melakukan pengamatan langsung ke dua fakultas. Peneliti memasuki lorong kampus FK, terlihat banyak sekali mahasiswa asal Malaysia yang berkelompok, tetapi ada juga yang berbaur dengan mahasiswa lain. Sedangkan di FKG, peneliti duduk dan mengamati di sekitar kantin, kelompok mahasiswa asal Malaysia lebih sedikit dan lebih berbaur dengan mahasiswa Indonesia. Setelah meminta bantuan dari beberapa teman di FK dan FKG, kemudian peneliti dikenalkan dengan seorang mahasiswa asal Malaysia di FK dan seorang mahasiswa asal Malaysia di FKG, selanjutnya dari masing-masing informan inilah peneliti dikenalkan dengan beberapa mahasiswa asal Malaysia lainnya. Pencarian informan memang agak sulit dilakukan karena jadwal mereka yang sangat padat. Apalagi pada bulan November dan Desember, mereka disibukan pada persiapan UAS Ujian Akhir Semester dan harus mengurus kepulangan mereka di akhir Desember ke pihak imigrasi. Proses wawancara dilakukan di berbagai tempat sesuai dengan keinginan dan jadwal dari informan sendiri. Lokasi wawancara dilakukan di kampus, di kantin, di tempat makan dan juga di rumah kost. Di setiap lokasi, peneliti juga selalu melakukan observasi, khususnya di rumah kost. Melalui wawancara, peneliti mendapatkan pengakuan tentang culture shock yang mereka alami ketika pertama kali sampai di Medan. Kemudian peneliti mendapatkan penguatan dan 77 informasi tambahan melalui observasi langsung. Proses wawancara berlangsung sesuai dengan pedoman wawancara, yaitu dengan membiarkan informan bercerita untuk memperoleh informasi yang lebih banyak. Ketika melakukan wawancara, peneliti tidak hanya mendapatkan informasi tentang culture shock dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya, tetapi juga dalam hal makanan, cuaca, lalu lintas dan sebagainya. Hal ini peneliti jadikan sebagai pelengkap informasi. Tujuan pembuatan karakteristik informan usia, jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap adalah untuk membantu peneliti menemukan sejumlah kemungkinan terkait hubungan karakteristik informan dengan culture shock yang dialami dan upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Untuk itu, peneliti harus menemukan temuan yang dapat dijadikan kesimpulan nantinya apa sebenarnya yang berpengaruh pada culture shock yang mereka alami. 78 Tabel 2 Data Mahasiswa Asal Malaysia yang Menjadi Informan No. Nama Jenis Kelamin LP Fakultas Angkatan Lama Menetap Alamat 1. Hasslinda Binti Hassan P Kedokteran 2008 2,5 tahun Jalan Tridarma No.26 2. Harvinder pal Singh L Kedokteran Gigi 2007 4 tahun Kompleks Tasbi I 3. Govin Raj Perumal L Kedokteran Gigi 2008 3 tahun Kompleks Tasbi II 4. Amirah Fahirmah Binti Ahmad Tarmizi P Kedokteran Gigi 2007 3.5 tahun Jalan Dr. Mansur 5. Lavanyah Rajagopal P Kedokteran Gigi 2007 3,5 tahun Jalan Jamin Ginting No.46 6. Amir Hakimi L Kedokteran 2006 4.5 tahun Jalan Dr. Mansur 7. Jonathan Lin Chee Hang L Kedokteran Gigi 2006 4,5 tahun Jalan Dr. Mansur 8. Asfahana Asyiqin P Kedokteran 2008 2,5 tahun Jalan Tridarma No.26 79 9. Girtheekad evy Lim Rui Lang P Kedokteran 2008 2,5 tahun Jalan Tridarma No.26 10. Kaartini Arjunam P Kedokteran 2008 2,5 tahun Jalan Tridarma No.26 11. Lim Rui Liang L Kedokteran Gigi 2006 4,5 tahun Jalan Dr. Mansur Dan berikut hasil wawancara dan pengamatan terhadap 11 informan: Informan 1 Nama : Hasslinda Binti Hassan Usia : 21 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Kedokteran Angkatan : 2008 Lama Menetap : 2,5 tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Tridarma No. 26, Pintu 4 USU Tanggal Wawancara : Sabtu, 27 November 2010 Hasslinda adalah informan yang pertama kali peneliti temui dan wawancarai. Melalui salah satu adik teman peneliti yang juga kuliah di Fakultas Kedokteran USU, akhirnya peneliti berkenalan dengan Hasslinda, seorang mahasiswi suku Melayu asal Malaysia. Kesan pertama yang peneliti lihat, secara penampilan, seperti kebanyakan mahasiswi Melayu asal Malaysia, Linda memakai baju kurung panjang dan jilbabnya. Linda adalah orang yang sangat ramah, suka tersenyum, cukup terbuka dan suka berbaur. Keramahannya terlihat ketika menyambut peneliti. Linda menawarkan untuk dipanggil dengan sebutan Linda. 80 ”saya panggil akak lah ya, stambuk 2007 kan? panggil Linda saja lah kak.” Setelah berkenalan lebih dalam, peneliti pun mulai mewawancara Linda tentang pengalamannya selama di Medan, lengkap dengan suka dukanya. Sebelumnya, Linda beranggapan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah negara dengan budaya yang hampir sama, kemudian peneliti mulai menanyakan tentang bagaimana pendapatnya tentang orang-orang Medan dan bagaimana interaksinya dengan teman-teman orang Medan di fakultasnya. “orang-orang sini ramahlah kak, tidak pendiam, meriah, gak rasa sepi lah..cukup baik lah.” Linda juga merasakan perbedaan yang sangat signifikan mengenai masalah berpakaian. Perbedaan jelas dirasakannya dalam hal penampilan berpakaian. “Dari pakaian jelas beda lah. orang-orang sini kebanyakan pakaian bebas, pakai jeans, tak ada la macam saya ini pakai baju kurung. Jadi pasti orang yang tengok pun langsung tau lah saya ini orang Malaysia. Tapi macam tuh pun saya tak mau la perSoalan, sebab saya pun bukan fashionable punya orang.” Di tahun pertamanya kuliah di FK USU, kesulitan dan kesalahpahaman bahasa sering dialami, tapi tidak sampai menimbulkan konflik. Begitu juga dengan kebiasaan-kebiasaan orang Medan yang dipandang berbeda oleh mahasiswa Malaysia, seperti kebiasaan berjabat tangan. “ada beberapa kata disini yang saya tak paham, lepas tu kan, orang sini tuh semua nak salam, tak masalah la tu laki atau perempuan, mula- mula saya shock, heran la saya. Kenapa bebas kali macem ni? Kenapa macam ni? Saya pun bingung, takut juga la kalau tolak, tapi cemana mau buat, saya pun tolak jabat tangannya, tapi sedapat mungkin secara elok la.” Itu pendapat dan pengalaman Linda tentang interaksinya dengan orang-orang Medan. Di tahun pertama, di awal-awal kedatangannya sebagai mahasiswi di FK 81 USU, ia sangat tidak terbiasa dan terkejut dengan kebiasaan orang Medan yang tidak terlalu mempermasalahkan jabatan tangan antara berbeda jenis kelamin. “mungkin awal-awal orang sini pun merasa apa la ni orang, salam aja tak mau. Tapi lama-lama mereka pun paham la kak, tak pernah la marah atau macam mana kan, sebab Indonesia pun ada juga orang macam tu, tapi tak banyak la.” Linda juga merasa sedih ketika merasa dipandang sebagai orang asing. Ia mengatakan mungkin penampilannya yang membuat orang-orang melihat dia, Linda terkadang merasa risih dan kecewa. Penampilannya yang menggunakan baju kurung membuat orang mudah mengenali bahwa ia adalah orang Malaysia dan bukan orang Medan. Perasaan sangat merindukan keluarga, teman-teman terdekat, lingkungan familiar yang Linda miliki di negara asalnya pasti selalu muncul, bahkan sampai saat ini, di tahun ketiganya tinggal di Medan. “kalo homesick sampai sekarang saya masi rasalah, rindu sama famili. Terkadang kan kak, saya tu nangis seorang di kamar, namanya di negara orang, kan, sedih la kak. Saya butuh motivasi, sebab di sini tuh kurang. Kurang perhatian la. Orang-orang sini tu, student apa-apa sendiri- sendiri, saya jenis orang yang suka ramai-ramai lah, jadi mereka kurang la memotivasi kawan, mau belajar pun seorang-seorang, jadi saya butuh support dari famili la kak, mereka saja yang boleh beri dukungan, tapi namanya saya yang datang ke negara orang, saya pulak la yang harus adaptasi kan? Tak maulah saya betingkah.” Linda merasa orang-orang Medan, tepatnya teman-temannya di kampus yang bukan orang Malaysia, terlalu individualis, sangat jarang mau memotivasi dan memberi dukungan dengan orang lain, termasuk dalam hal belajar. Jadi, dukungan dan semangat dari keluarga sangat dibutuhkannya, sehingga rasa rindu dan ingin pulang ke kampung halaman selalu Linda rasakan. Tapi semuanya itu secara bertahap mampu diatasi, meskipun belum secara utuh. Kesadaran Linda 82 sebagai pendatang di negeri orang membantu dia untuk mulai beradaptasi. Misalnya dari segi bahasa ketika berkomunikasi dengan teman-temannya orang Indonesia di kampus, Linda mengaku, ketika ada kata-kata yang tidak ia mengerti, ia langsung menanyakan artinya saat itu juga, tidak mau menyimpannya di dalam hati, akhirnya pemahaman pun bisa mereka capai. “tahun-tahun pertama, tak paham sama yang kawan cakap tu pasti la. Cuman saya selalu biasakan kalau tak tau saat tu juga saya rujuk teman, yang dicakap tadi apa artinya? Tak mau pendam-pendam, jadi tak pernah la konflik. Sebab kalau konflik tu kita yang rugi kan.” Pertemuan pertama, peneliti lakukan di FK USU. Hal ini sangat membatasi Linda untuk menceritakan semua pengalamannya, karena Linda juga terburu-buru untuk masuk kelas mata kuliah selanjutnya. Beberapa hari kemudian, peneliti membuat janji untuk melakukan wawancara berikutnya di kost, dan di kost itu pula Linda mengenalkan Asfahana kepada peneliti, teman kost Linda yang juga mahasiswa asal Malaysia di FK USU. Akhirnya, di pertemuan kedua itu banyak hal lain yang terungkap ketika mereka berdua bercerita. Hal baru yang terungkap adalah interaksi Linda dengan sesama penghuni kostnya yang tidak baik. Awalnya, ketika pertama kali tinggal di kost itu, seluruh penghuninya adalah mahasiswa asal Malaysia, dan mereka tidak pernah mengalami masalah. Tetapi sejak dua orang pindah dan digantikan dengan dua orang mahasiswa Indonesia, ia merasa tidak nyaman dan selalu berkeluh kesah. Interaksi mereka dengan dua mahasiswa Indonesia itu tidak baik, mereka bahkan sangat jarang bertegur sapa, bisa dihitung dengan jari. Peneliti bisa melihatnya, tepat ketika peneliti mewawancarai Asfahana dan Linda, salah seorang mahasiswa 83 Indonesia yang dimaksud keluar dari kamar, dan memang mereka tidak saling menyapa. “sebelum ni pembantu rumah yang duduk. Pertama kali isinya malaysia semua la, lepas tu pembantu pindah dua orang ni masuk la. jadi disini tinggal 4 lagi la orang malaysia, 3 orang indonesia. cemana la kak, hmm..tak taulah macam mana mau cakap. Kakak tengok tadi la, cara pakaian itu orang cemana kan, trus cakapnya pun kasar, macam tadi pergi pun tak ada cakap kan, jadi kami agak macam tercabar, kadang-kadang kami pun macam apa ya, tak respect gitu la dengan kami. Tetap saya juga yang buka mulut, nak tanya mau kemana? Sebab best la kalau ber- greetings kepada sesama kan? Tapi dua orang tu gak macam tu la.” Linda dan Asfahana merasakan kekesalan yang besar. Dan itu terlihat oleh peneliti dari bahasa verbal dan non verbal mereka ketika bercerita kepada peneliti. Mereka merasa tidak ada kerja sama dan rasa saling menghormati dari pihak mahasiswa Indonesia itu. Hobi Linda memasak tidak pernah lagi dilakukannya karena sudah kehilangan mood melihat dapur yang selalu kotor dan berantakan. Kebiasaan seperti pulang larut malam, ribut sampai tengah malam, apalagi membawa teman pria ke kost membuat mereka sangat terkejut dan merasa terganggu, terutama Linda, sebab sifatnya yang lebih sensitif. “macam ini habis makan tak pernah basuh, jorok macam tu. Dulu saya suka masak kak, tiap minggu tu saya belanja lepas tu masak, tapi ini gak la, gak ada mood buat masak kak, sebab kotor macam tu kan, sebab kami gak suka semak-semak macam tu kak. Mereka pun buat bising- bising, mungkin satu la, cara percakapan tu orang macam kuat sikit. Mungkin tu orang tak niat la, tapi kami macam terganggu, terkadang kami tengah tidurpun jadi terjaga, sebab hentakan kaki aja. Kadang sabar aja la, buat bodoh aja, endah tak endah aja.” Waktu yang paling lama itu adalah ketika Linda dan Asfahana menceritakan hubungan yang tidak baik antara mereka dan dua mahasiswa Indonesia di kostnya. Mereka merasa seperti tidak ada keinginan untuk bersahabat, berbeda dengan satu mahasiswa Indonesia lainnya yang juga tinggal 84 di lantai 2 itu. Mereka lebih sering bertegur sapa. Menurut Linda, mahasiswa Indonesia yang satu ini lebih ramah dan rendah hati. “Bukan saya cakap semua, tapi sebahagian. Macam ada seorang, dia tu memang humble la, memang rendah diri, kalo yang dua orang ini macam lain sikit la, jadi kami kadang tegur kadang-kadang gak tegur. Gak tau la pandangan dia orang kan, tapi kami OK aja, tapi ada la yang kami tak suka macam cara tu orang, lepas tu gak ada kerja sama.” Linda terkesan seperti benar-benar mencurahkan isi hatinya saat itu kepada peneliti. Linda telah berusaha untuk mendatangi mereka dahulu, memberikan nasihat secara baik, tetapi Linda merasa tidak mendapatkan respon positif, sehingga ia memilih diam. Tetapi, ketika ia merasa sudah keterlaluan, seperti membawa teman pria ke dalam kost, ia memilih melaporkannya kepada ibu kost. Di tengah kekesalannya, Linda berusaha untuk tetap baik, ia menjaga hubungan yang sudah tidak baik agar tidak menjadi parah dan menimbulkan konflik karena ia sadar posisinya sebagai pendatang. “kami uda bagi tau kak, bagi tau secara elok la, kalo udah masak basuh la, macam lembut la kami cakap, tak ada la macam marah gitu kan, kalo kami dua orang bole la, tapi mereka gak la, sebab orang lain kan? Tapi gak paham-paham juga, jadi kami makan dalam juga la, gak elok macam tu kan. Mungkin gak tau la apa salah, sebab selama ini Ok aja. tapi kita coba profesional la, buat tak endah aja, buat apa yang jadi kerja kita aja, asalkan mereka betol-betol tak menggangu kita la, kalo menggangu gitu berol-betol, ah memang susah la ah, kami gak mau berantam la, sebab nanti kami lagi yang susah. Sabar aja la, nanti buat masalah kami la yang kena, sebab ni bukan la negara kami kan.” Selain itu, mereka juga menyadari mereka masih harus tinggal di kota Medan selama kurang lebih 2 tahun lagi untuk melanjutkan coass, sehingga mereka tidak ingin mencari masalah yang dapat merugikan diri mereka sendiri. Mereka memilih untuk acuh tak acuh dengan masalah ini selama tidak benar- benar mengganggu mereka. 85 “tapi asal gak totally ganggu tak apa la kak, sebab saya pun masi lama di sini, belum coass lagi kan? Banyak benda yang perlu saya pikir daripada pikir dua orang ini kan. Bukan mau musuh, cuman memang udah macam itu adanya kan, mau buat cemana lagi kan.” Kejadian itu memang membuat keduanya sangat terkejut, terutama Linda. Ia terlihat sangat kesal. Ia memang sangat sensitif seperti yang diakuinya, sehingga sedikit saja ada sesuatu yang tidak sesuai dan bertentangan dengan prinsip hidup yang dipegangnya, ia sulit untuk menerima. Linda sangat menjunjung tinggi prinsip hidup saling kerja sama dan hormat-menghormati, sebab menurutnya dengan adanya kedua hal itu kebahagiaan hidup antar sesama dapat dicapai. “ambil ini nya aja la, sebab belajar di negara orang, mana ada yang perfect kan? cumannya respect la sikit kan, sebab saya pun mana ada kutuk-kutuk kan. respect, hormat-menghormati, saya berpegang tegas kepada benda tu, sebab cuman benda tu aja yang menyebabkan kita gembira. Jadi memang satu aja la, respect, kalau respect each other, best la, happiness bole dapat la. if buat suka hati, buat macam rumah sendiri kan, tak elok la.” Menurut mereka orang Indonesia terkenal dengan ramah tamahnya, sehingga ketika berhadapan dengan kedua mahasiswa Indonesia itu membuat mereka sangat terkejut. Mereka memberikan pengecualian untuk kedua mahasiswa ini. “sebab orang indonesia ramah kan? Yang ini agak lain sikit la, udah nasib la dapat kostmate macam ni.” Linda juga menceritakan di kota asalnya, Kuala lumpur, ia menemui banyak sekali orang Indonesia dan ia sudah dapat menerima mereka. Tetapi ketika tiba di Medan, ia merasa bahwa ada pembedaan yang dibuat antara Indonesia dan Malaysia, ia merasa tidak adil. Menurut mereka, konflik antara Indonesia dengan 86 Malaysia tidak perlu mempengaruhi interaksi antarmasyarakatnya. Tetapi mereka merasakan hal yang berbeda. Linda dan Asfahana merasa rakyat terlalu menggembar-gemborkan masalah dua negara ini. “kami ini biasa aja dengan orang indonesia, sebab di malaysia banyak kak, lagi-lagi di kampung saya, di kuala lumpur banyak. Jadi saya uda macam ok, uda dapat terima, tapi kenapa macam saya yang datang sini mereka macam unfair la rasa. apalagi macam ada gosip, isu indonesia malaysia tu kan, aduh saya benci la, tak suka, sebab tak ada faedah.” Linda juga sempat menceritakan bahwa ia berusaha memposisikan dirinya sebagai orang Indonesia, tetapi tetap saja itu membuatnya heran dan masih bertanya-tanya, mengapa harus ada pembedaan antara dua negara, bukan kah semuanya sama-sama manusia ciptaan Tuhan. “Saya coba duduk kak posisi orang indonesia cemana rasanya, tapi tetap tak bisa pikir la, pelik juga la.” Secara keseluruhan, meskipun Linda mengatakan ia sudah bisa menerima keadaan di Kota Medan, sesungguhnya banyak pertanyaan yang masih dipendamnya terkait dengan perbedaan-perbedaan yang ia temukan antara Medan Indonesia dan Malaysia. Hal ini sangat terlihat ketika proses wawancara, banyak keheranan yang ia rasakan, bahkan ia beberapa kali mengucapkan kalimat yang menunjukkan keheranannya akan siapa yang harus disalahkan atas masalah pembedaan dan interaksi yang tidak baik. “jadi siapa nak salahkan ini kak, orangnya kah? Emak bapak kah? Tetangga kah? Atau siapa?” Selain itu, banyak perbedaan yang membuat keduanya terkejut. Merokok dan mencontek adalah dua hal yang membuat mereka heran. Terutama Linda, Ia sangat terganggu dengan asap rokok. Mereka membandingkan dengan negaranya, 87 di Malaysia, merokok dan mencontek sangat dilarang di lingkungan kampus. Apabila dilanggar akan dikenakan sanksi tegas. “ahh, rokok Itu culture shock sangat bagi saya kak, sebab di FK, FAKULTAS KEDOKTERAN, saya lihat student merokok tu kan, aduh rasa pelik betol la. harusnya gak bisa kan, di kuliah mana-mana pun harusnya tak bisa la ada rokok kan, tak elok la. di malaysia tak bisa macam itu kak, di dalam U tak bisa merokok, kalau merokok perlu didenda. Rasa sesak kak, kadang-kadang saya sampai mau beli yang macam penutup mulut tu kak, sebab tak tahan la. Lepas tu kalau contek memang denda berat kali, berpanjangan dendanya, ada yang kena buang dari U kak. Tapi itu pun saya buat bodoh aja la, sebab saya takut saya jadi terjebak la, takut jadi ikut macam tu kan.” Selain dalam hal interaksi dan kebiasaan yang berbeda, Linda juga terkejut dan tidak bisa menerima program acara yang ditayangkan di media TV Indonesia. Menurutnya, tayangan yang didominasi dengan acara infotainment sangat tidak baik. Kembali ia membandingkan dengan negaranya, Malaysia juga memiliki program acara seperti itu, tetapi tidak mendominasi, sedangkan di Indonesia menurutnya terlalu berlebihan. Itu lah yang menyebabkan TV yang ada di ruang kumpul di depan kamar kostnya jarang sekali ia hidupkan, sesekali ia menonoton TV, itu pun ia memilih program acara memasak dan adat budaya. “ah, itu tv memang media yang cemana mau bilang ya. Tv ini letak disini aja kak, sebab kalo tengok tak elok kak, cerita gosip semua kan. Saya tak minat la, cuma tengok acara masak, berita, cerita tentang adat- adat macam tu aja la, lainnya macam gosip tu tak dapat terima la. di malaysia bukan gak ada, cuman di sini lebih mengaibkan la, So annoying, macam menjengkelkan la. tapi tak apa la, kita nak salahkan orang media pun tak bisa la kan, cuman ya itu la perbedaannnya, di malaysia pun ada cuman tak macam ini la. rasa dosa aja saya nonton ini.” Banyak perbedaan yang dirasakan Linda selama menjalani kehidupan sebagai perantau di Kota Medan, meskipun demikian banyak hal pula yang membantunya menerima dan belajar untuk menyesuaikan diri. Keberadaan Asfahana yang selalu ada bersamanya sangat membantu meredam amarah dan 88 kekesalannya. Asfahana lah yang selalu menyuruhnya untuk tetap bersabar dan bertahan hidup di negeri orang. Dukungan dan rasa senasib sepenanggungan di antara mereka berdua sedikit banyaknya membantu mereka menjalani hidup di lingkungan yang berbeda dengan negara asalnya. “dia la yang selalu bagi saya semangat, lebih sabar dia kak, cemana ya, macam gembira-gembira aja la. kalau saya lebih sensitif, sebab saya pikir kalau saya gak buat orang kenapa orang buat macam itu sama saya kan, jadi saya sensitif bila orang buat saya.” Sebagai pelengkap, tidak hanya culture shock dalam hal interaksi, Linda juga berbagi tentang pengalamannya tentang hal lain seputar Medan, seperti lalu lintas dan cita rasa makanannya. Ia masuk ke FK USU melalui jalur mandiri dengan biaya sendiri. Tahun 2008, ia datang ke Medan dan itu adalah pengalaman pertamanya. Ketika ditanya, apa yang dirasakan sesampainya di Medan, Linda pun menyampaikan keterkejutannya melihat jalanan Kota Medan. “Setibanya di Medan, saya terkejut lah kak, traffic tuh padat sangat, busy betol” Kalo Soal cuaca gak lah pala cemana, Soalnya tak pala jauh beda iklim Indonesia sama Malaysia kan, cuman jalan raya aja yang berisik.” Linda juga memberikan komentar dan pengalamannya seputar masakan Medan. Untuk yang satu ini ia cukup mudah beradaptasi. “wah, di sini kan akak, nasi tuh dibungkus besar-besar, kalo di Malay tuh kan tak ada yang macem tuh, sikit aja. Jadi kalo disini makan sekali aja saya kenyang betol. Udah tiga tahun di sini udah dapat lah, perut saya bisa adaptasi.” Kesimpulan Kasus Linda mengalami culture shock terhadap karakteristik orang Medan. Meskipun tidak menggeneralisasikan seluruhnya, tetapi menurutnya orang Medan 89 identik dengan suara yang kuat dan kasar. Selain itu, Linda juga tidak terbiasa dengan perbedaan dalam hal nilai-nilai mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Linda juga mengalami kendala dalam bahasa di awal kedatangannya ke Medan. Linda memiliki masalah interaksi dengan mahasiswa Indonesia yang adalah teman satu kostnya. Ia tidak bisa menerima kebiasaan seperti suara yang terlalu kuat, pulang sampai tengah malam, membawa teman pria ke kost dan juga sikap yang membeda-bedakan seperti terkesan memusuhi yang dialaminya dengan dua mahasiswa Indonesia di kostnya. Pribadinya yang sangat sensitif membuatnya peka dan cepat tersinggung dengan kondisi yang berbeda dan bertentangan dengan apa yang ia yakini. Ini juga mempengaruhi proses adaptasinya, sebab baginya tidak mudah menerima suatu perbedaan. Reaksi culture shock yang dirasakannya antara lain homesick, merasa diasingkan dan ditolak dan menganggap tuan rumah tidak peka. Di luar itu, adanya mahasiswa dan dosen yang merokok di lingkungan kampus, makanan dalam porsi besar dan “gaya” khas tukang becak juga sempat membuatnya terkejut. Saat ini, Linda mengaku sudah mampu beradaptasi, tetapi perasaan dibeda-bedakan masih ia rasakan. Informan 2 Nama : Harvinderpal Singh Usia : 23 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Fakultas : Kedokteran Gigi Angkatan : 2007 Lama Menetap : 4 tahun Alamat Tempat Tinggal : Kompleks Tasbi I Tanggal Wawancara : Rabu, 1 Desember 2010 90 Harvin merupakan informan yang pertama kali peneliti wawancara di FKG. Harry, seperti itu biasa ia dipanggil. Peneliti mengenalnya dari teman peneliti yang juga berkuliah di tempat yang sama. Peneliti menghampiri Harry, kemudian saling berkenalan. Saat itu ia sedang menikmati segelas teh manis dingin. Kesan pertama yang peneliti dapatkan tentang Harry adalah friendly dan humoris. Selama wawancara berlangsung, ia sering sekali mengeluarkan lelucon- lelucon lucu. Itu pertemuan pertama peneliti dengan Harry, tetapi keakraban dapat dengan cepat terjalin. Dari segi penampilan ia sangat modis. Saat wawancara pertama, ia menggunakan kaos bola berwarna merah dan jeans serta sepatu kets. Kulit putih, rambutnya pirang bergelombang dan agak gondrong. Ia pria berkacamata dan menggunakan pesawat gigi. Ia berdarah campuran, ayahnya orang Amerika dan ibunya India Punjabi. Ini tahun kelima Harry berada di Indonesia, tepatnya Medan. Dalam pengamatan peneliti, Harry berbeda dengan informan-informan sebelumnya. Jiwa ingin belajar, sangat suka bergaul dan humoris menggambarkan kepribadiannya. Bahkan, ketika peneliti meminta bantuan untuk dikenalkan dengan mahasiswa asal Malaysia di FKG, beberapa orang langsung merekomendasikan Harry. Ia mempunyai banyak teman, baik itu sesama Malaysia maupun Indonesia dan uniknya, seluruh teman akrabnya di kampus adalah mahasiswa Indonesia. Ini yang menarik peneliti untuk terus mewawancarai dan mengamati Harry. Harry memilih FKG USU karena jarak yang dekat dengan Malaysia dan kualitas pendidikan yang baik. Ia mengaku akreditasi FKG USU sama dengan Malaysia, tetapi ia bisa mendapatkannya dengan biaya yang cukup murah di USU. Sebelum memasuki kampus sebagai mahasiswa Kedokteran Gigi USU, ia pernah 91 mengecap pengalaman di Medan selama 6 bulan dalam rangka pertukaran pelajar di SMA Raksana. Setibanya Harry di Medan yang paling menjadi kendala baginya dalam berinteraksi adalah masalah bahasa. Dalam pengakuannya, beberapa kata, dialek dan intonasi dalam bahasa Indonesia terasa aneh baginya, demikian sebaliknya dengan orang-orang Indonesia sendiri, merasa bahasa yang digunakan mahasiswa asal Malaysia itu aneh. Harry merasa ia menjadi bahan bercanda karena keanehan bahasanya dan itu menjadi persoalan bagi Harry di awal kedatangannya ke Medan. “dari bahasanya lah. Kan ada banyak bahasa di Indonesia. Kalo ngomong dengan mereka, mereka rasa bahasa saya yang aneh, tapi padahal bahasa yang saya guna itu bahasa malaysia. Tapi untuk saya gak aneh. Bila kalian yang cakap bahasa kalian, untuk saya aneh “eh kok, apa yang kamu ngomong itu ya?” gak ngerti saya. Gitu lah, pertama kali datang itu lah yang jadi persoalan, becanda, orang mengejek-ejek.” Berkaitan dengan bahasa, pertama kali setibanya ia di Medan, Harry tinggal di rumah kost bersama 14 orang Malaysia lainnya di Simpang Pos Padang Bulan. Karena itu adalah daerah yang mayoritas penduduknya adalah suku Batak, awalnya Harry terkejut dan kewalahan. Mereka sering sekali menggunakan bahasa daerah, belum lagi Harry mempunyai persepsi orang Batak makan orang. Selama di Malaysia, ia sering mendengar dari orang-orang cerita bahwa orang Batak itu mengerikan, ini sempat membuatnya takut keluar rumah untuk beberapa waktu. Tapi itu hanya sebentar saja, sebab setibanya di sini teman-temannya menjelaskan bahwa itu hanyalah dongeng lama. “pertama, waktu di malaysia kan, persepsi saya tentang orang- orang Indonesia mengerikan. Kayak orang Batak, pernah saya dengar dari orang-orang. Dulu kan saya tinggalnya di Padang Bulan, simpang pos... pertama kali ya liat orang batak lah, dengar mereka cakap tu kan, bahasa apa ya mereka? Mereka semua banyak orang Batak, kami anak Malaysia itu 14 orang aja. Jadi waktu di situ kan, saya takut keluar sendiri. Sebab 92 dengar dongeng dari orang, kalo kita gak senyum sama mereka, mereka simpan di hati, satu hari nanti mereka potong kamu. Jadi saya bila jumpa orang Batak, yah menunjukkan senyuman..lepas itu, lewat tahun-tahun, dari teman-teman bilang, itu cerita lama, sekarang gak ada kek gitu lagi, sekarang udah modern... Cuman, bila kita lihat orang mukanya ngeri- ngeri, itu memang Batak asli lah ya.” Harry adalah tipe orang yang sangat suka belajar sesuatu yang baru dan tidak takut untuk bergaul. Pengalamannya selama 6 bulan di SMA Raksana mengajarinya banyak hal. Permasalahan interaksi karena pertama kali tiba ia rasakan di sana, tetapi di sana pula Harry belajar bahasa dan pergaulan. Semasa dalam pertukaran pelajar itu, ia kursus bahasa dengan guru bahasa Indonesia, tidak hanya sekadar kursus, ia juga senantiasa rajin mempraktikkan dengan teman-temannya orang Indonesia, dengan berbagai cara, salah satunya melalui salah seorang wanita Indonesia sesama pelajar di Raksana yang menyukainya, bersama perempuan itu Harry terus mempelajari bahasa Indonesia. “saya punya masalah interaksi itu waktu di sekolah, waktu di Raksana. Gak ngerti sama bahasa, gak ngerti dengan apa yang diajar oleh dosen, kan di sini beda dengan sistem pembelajaran di Malaysia. Saya ambil waktu untuk kursus bahasa dengan guru bahasa indonesia, habis belajar, les lah bahasa indonesia. Kan saya cepat gaul, jadi saya cakap- cakap indonesia, lepas itu waktu tu ada cewek indonesia yang suka saya, saya belajar dengan dia, dia bantu saya belajar cakap lah.” Prinsipnya untuk selalu memulai membantunya beradaptasi. Ia yang memulai untuk mengajak berkenalan, ia yang memulai membuka diri, ia yang memulai untuk berbaur. Ketika pemahaman tidak ia dapatkan dalam berkomunikasi, Harry tak sungkan menanyakan maknanya saat itu juga. Tidak butuh waktu yang lama baginya untuk menyesuaikan diri. Perbedaan, keheranan dan keterkejutan pasti dirasakan dalam rangka memasuki Indonesia, Medan tepatnya yang merupakan lingkungan baru baginya, meskipun serumpun, tetapi perbedaan tidak terelakkan. Kesalahpahaman, masalah interaksi dengan orang luar 93 sseperti tukang becak dan supir angkot juga mewarnai pengalamannya, tetapi kemudian ia mampu mengatasinya. “orang Indonesia kayaknya semua baik lah. Semua ramah, mereka approach dengan kita, ada Sopannya. Mereka mesra lah pokoknya. Cuman orang becak aja yang gak mesra. Mau kasi harga lain pun gak bisalah, mereka yang benar lah, inilah, itulah. Angkot pun gitulah, sama aja.” “waktu di sekolah itu saya belajar dengan orang di situ kan, saya tanya “eh, apa maksud itu, gitu”. Jadi dalam sebulan itu saya udah tangkap bahasanya. Cuman sebulan aja, saya cepat tangkap bahasa, Soalnya saya emang suka belajar. Saya bisa bahasa cina, bahasa India, bisa bahasa perancis, jadi saya tangkap bahasa cepat.” Harry memandang bahwa sebagai pendatang ia harus sadar diri, ia juga harus segera belajar semua hal tentang lingkungan barunya, meskipun bertahap. Karena menurutnya, jika sesuatu hal ditunda-tunda karena tidak siap untuk suatu hal yang baru, maka tidak akan pernah bisa beradaptasi. Ia juga beda dengan mahasiswa asal Malaysia kebanyakan, seperti yang sudah peneliti sebutkan, teman baik Harry adalah mahasiswa asal Indonesia. Selama pengamatan, peneliti melihat, begitu selesai kuliah, keluar dari ruang belajar menuju kantin, Harry tidak bergabung dengan sesama mahasiswa Malaysia seperti yang kebanyakan mahasiswa lainnya lakukan, ia memilih mendatangi kumpulan 5 orang mahasiswa Indonesia yang ternyata adalah teman baiknya. Selain itu, selama beberapa kali melakukan wawancara, di sela-sela Harry bertegur sapa dan berbicara dengan kebanyakan mahasiswa Indonesia. Ia benar-benar sudah menyesuaikan diri dengan dunia barunya ini. “mula saya sampai sini, saya langsung cari teman. Kalo gak ngerti tanya temannya, apa ini maksudnya. Saya langsung cepat belajar. Soalnya kita mau belajar di sini, kalo dari awal aja kita udah rasa sifat seperti gak maulah, nanti aja, saya mau nanti aja belajarnya, ditunda-tunda, nanti sampai kapan ada mau belajar? Jadi saya gak mau buang waktu, saya langsung tangkap.” 94 “kan ada orang yang sifatnya, kalo saya cina, saya mau sama cina aja, saya India sama orang India aja, tapi saya ini beda, saya mix dengan semua. Saya bisa gaul sama semua, di sini saya ada banyak teman orang Indonesia, yang paling akrab itu teman saya orang Indonesia.” Reaksi seperti merindukan Malaysia juga ia rasakan. Sama halnya dengan orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk memasuki dan menetap di lingkungan baru dalam kurun waktu beberapa tahun, Harry juga merindukan keluarga dan teman-temannya di Malaysia. Itupun tidak sampai mempengaruhi kehidupannya. Ia tidak menarik diri atau gejala depresi lainnya. Tetapi akhir tahun ini ia tidak bisa pulang karena harus menyelesaikan sidang komprehensifnya. Setelah itu, Harry akan mencari waktu yang bisa digunakan untuk pulang dan melepas rindu dengan keluarga. Konflik Indonesia-Malaysia yang coba peneliti tanyakan, langsung dijawab dengan tegas oleh Harry. Baginya itu tidak menjadi alasan untuk takut berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang Indonesia. Menurutnya, ini ulah media yang terlalu memperbesar masalah. Ini hanya masalah pemerintah yang tidak perlu melibatkan masyarakat. Harry juga menyampaikan kekecewaannya terhadap beberapa dosen yang membahas masalah konflik dua negara ini di kelas. Biarlah pemerintah yang selesaikan. “itu kan, masalah konflik itu kan sebab media, media yang memprogandakan lagi. Mereka tambahkan api gitu kan, semua gara-gara media. Misalnya, ada dosen juga yang mengungkitkan hal itu. Saya pikir sih, dosen itu tak sepatutnya mengungkitkan hal macam ini, itu hal negara, bukan urusan kita. Itu antara government Indonesia dengan government Malaysia, bukan masyarakat. Media yang mencetuskan itu lebih banyak, biar masyarakat yang naik, panas. Jadi saya kalo ada orang yang bilang saya perSoalan ini, saya akan bilang itu urusan negara saya, bukan saya.” 95 Selama wawancara Harry juga berbagi pengalamannya yang kerapkali sakit selama sebulan pertama ia tinggal di Medan. Itu karena tidak cocok dengan makanan dan air di Medan. Tetapi untuk hal ini pun ia mudah beradaptasi. “makanannya gak cocoklah, makan nasi padang enak. Pertama waktu saya datang itu kan kita gak cocok dengan makanannya, Soalnya disini kan pake santan banyak, di malaysia gak, santannya kurang. Di sana kari banyak, jadi makan santan itu, seminggu dapat sakit perut. Kita jujur aja kan, mencret. Bulan pertama saya di sini, kerap kali saya sakit.” Kesimpulan Kasus Culture shock yang Harry alami tidak tergolong berat ketika memasuki kampus USU. Gegar budaya yang paling terasa ketika ia mengikuti pertukaran pelajar dalam rangka persiapan studi di Indonesia, yakni di SMA Raksana. Kendala yang paling terasa ketika itu adalah bahasa. Meskipun bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu kurang lebih hampir sama, tetapi tetap saja untuk pertama kali hal ini aneh baginya. Pribadinya yang mau belajar dan suka bergaul membantu proses adaptasi. Selama di SMA Raksana itu, ia kursus bahasa Indonesia dengan salah satu guru. Selain itu, ia juga sangat suka bergaul dengan siapa saja tanpa perbedaan. Ia sering mempraktikkan bahasa yang sudah dipelajarinya sehingga semakin mudah dipahami. Sebelum ke Medan, ia sering mendengar cerita tentang orang Batak yang suka makan orang. Pernyataan ini sempat membuatnya takut, apalagi tempat tinggalnya pertama kali adalah daerah Simpang Pos Padang Bulan yang mayoritas penduduknya adalah orang Batak. Tetapi, seiring waktu dan juga cerita dari teman-temannya, ia pun mengerti dan tidak merasa takut lagi. Ketika memasuki Kota Medan untuk kuliah di FKG USU, 96 bukan sesuatu yang terlalu sulit baginya, namun meskipun begitu jenis-jenis orang baru ia hadapi di kampusnya. Ia selalu membuka diri untuk perkenalan dan persahabatan. Ia cukup sepat dalam beradaptasi dengan lingkungan kota Medan dan orang-orang di dalamnya. Ia bahkan sudah menggunakan bahasa Medan, seperti “kali, kau, dong, jorok”. Ia sudah mampu beradaptasi, bahkan intensitasnya berkomunikasi dengan orang Indonesia di kampusnya lebih sering dibanding teman sesama Malaysia. Informan 3 Nama : Govin Raj Perumal Usia : 21 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Fakultas : Kedokteran Gigi Angkatan : 2008 Lama Menetap : 3 tahun Alamat Tempat Tinggal : Kompleks Tasbi II Tanggal Wawancara : Rabu, 1 Desember 2010 Govin adalah salah satu mahasiswa FKG yang bersedia menjadi informan dalam penelitian ini. Peneliti mengenalnya dari Harry yang merupakan senior Govin. Ia adalah President atau Ketua DSC Dental Student Community tahun 20102011, sebuah organisasi perkumpulan mahasiswai asal Malaysia di FKG USU. Organisasi ini berada di bawah organisasi induk PKPMI Persatuan Kebangsaan Pelajar-Pelajar Malaysia di Indonesia. Pertemuan pertama peneliti dengan Govin di kantin FKG sangat menyenangkan. Awalnya peneliti tidak bermaksud untuk mewawancarai Govin, karena ia sedang sibuk berdiskusi dengan beberapa mahasiswa Malaysia lainnya. Kemudian Harry mencoba membantu 97 memanggilnya dan mengenalkan Govin kepada peneliti. Ia pun bersedia meluangkan waktu untuk wawancara. Secara penampilan, tidak terlalu mencolok, Govin berpakaian sama seperti mahasiswa Indonesia kebanyakan, kemeja lengan panjang dan celana bahan warna hitam. Saat itu ia membawa kotak warna biru berukuran agak besar, tempat alat-alat praktiknya sebagai mahasiswa Kedokteran Gigi. Selama wawancara berlangsung kotak itu dipangku di pahanya dengan memandang lurus ke depan dan sesekali melihat peneliti ketika peneliti bertanya. Tidak ada penampilan khusus yang menunjukkan ia mahasiswa asal Malaysia, hanya saja wajahnya sebagai orang India Tamil memungkinkan ia berasal dari Malaysia. Ia orang yang sangat ramah, mudah tersenyum, enak diajak berbicara dan sangat terbuka. Hal itu sangat terlihat dari semua informasi dan cerita yang Govin berikan kepada peneliti lengkap dengan keterkejutan, keheranan dan kekecewaannya dengan orang-orang Medan di sekitarnya dalam rangka memasuki dunia baru untuk melanjutkan pendidikan di FKG USU. Sebelum datang ke Medan, sebagaimana seseorang yang akan memasuki lingkungan baru, Govin juga memiliki perasaan tertentu. Ketika peneliti menanyakan itu, Govin mengungkapkan bahwa benar ia mempunyai banyak pertanyaan di benaknya tentang seperti apa sebenarnya Kota Medan, bagaimana kondisi kota yang akan ditinggalinya selama bertahun-tahun. Ia sempat memikirkan tentang bagaimana kehidupannya kelak dengan lingkungan baru, budaya baru dan orang-orang yang baru. “sebelum saya berangkat ke sini, ehm..Medan pasti beda lah kayak Malaysia ya. Saya pikirkan tentang gimana ya makanannya, gimana tempat penginapannya, gimana orang-orangnya”. 98 Setibanya di Medan, Govin menemukan perbedaan-perbedaan. Govin bersedia menceritakan semua yang ia alami selama berada di Medan, bahkan Govin juga bersedia berbagi cerita tentang pengalaman pertamanya menginjakkan kaki ke Indonesia, tetapi bukan di Medan, melainkan di Bandung. Kemudian ia menceritakan pengalaman yang berbeda yang ia rasakan antara dua tempat yang berbeda di wilayah Indonesia itu. Ia membandingkan apa yang dia alami selama di Bandung dan kemudian beralih ke Medan, tempat yang saat ini ia tempati dan masih akan ia tempati selama beberapa tahun ke depan. “sebelumnya saya pernah kuliah di Bandung setahun, buat kayak pertukaran pelajar SMA di situ, jadi kalo bandingkan Bandung dengan sini, saya rasa orang Bandung lebih lembut, lebih sopan gitu. Di sini bukan mau kata tidak Sopan, tapi bahasanya kasar kali, suaranya besar, jadi gimana ya. Orang-orangnya kayak tidak mementingkan Sosialisasi gitu. Kalo mereka liat kita, mereka tidak mau menegur gitu, walaupun teman sekuliah, ada yang tidak mau ngomong-ngomong sama kita. Mereka buat kayak gak tahu, Sosialisasinya gak adalah di sini. Jadi saya rasa mereka perlu lebih berSosial, lebih ramah. Lebih baik lah berbicaranya gitu.” Govin menemukan perbedaan pada kerasnya suara orang-orang Medan. Ia mengatakan orang Medan itu kasar dan cenderung tidak mementingkan sopan santun. Menurut Govin, orang-orang Medan tidak mau bersosialisasi dengan mereka. Itu ia simpulkan dari pengalaman yang ia alami. Meskipun sudah satu kelas, mereka tidak dekat, Govin mengatakan bahwa teman-temannya mahasiswa Indonesia tidak ramah, tidak mau melemparkan senyum, tidak mau menyapa. Ia merasa seperti tidak ada iktikad baik untuk membuka diri berkenalan dengan mereka. Ketika ingin menyampaikan hal ini Govin sempat berhenti sebentar, ia mencari kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan pendapatnya. Peneliti juga melihat ia seperti takut menyinggung perasaan peneliti sebagai orang Medan. Karena ia terlihat bingung menyampaikannya, Harry ingin membantu. Dengan 99 menggunakan bahasa Inggris, bahasa yang mereka gunakan jika berbicara dengan sesama mahasiswa Malaysia, Harry menanyakan apa yang ingin Govin sampaikan. Govin tersenyum, tampak segan, tetapi peneliti mencoba meyakinkannya kalau ia boleh menyampaikan apa saja yang jadi pendapatnya, apa yang ia rasakan. Akhirnya Govin menceritakannya tanpa bantuan Harry, karena sebenarnya ia bukan tidak tahu menyampaikannya, tetapi segan. Govin juga menceritakan bahwa kebanyakan teman-temannya itu orang Indonesia yang berasal dari kota lain yang juga merantau untuk kuliah di FKG USU, bukan mahasiswa asli Medan. Ini membuatnya terkejut, mengapa keadaannya seperti ini? Itu pertanyaan yang muncul di benaknya. “tapi waktu di Bandung sana saya shock liat orangnya karena terlalu lembut, terlalu Sopan gitu. Kayak seumpamanya kita duduk di sini, ada orang lalu, kita gak tau sapa itu, tapi mereka bilang permisi ya pak, punten ya pak, gitu. Mereka ngomong, kita rasa, kenapa ya mereka harus bilang kek gitu? Terlalu Sopan, jadi terasa pelik. Tapi di sini, ada orang lewat aja, gak ada bilang permisi, kita berdiri pun langgar aja, gitu. Jadi culture shock itu saya merasakan apabila orang-orang itu kek gini. Cara bicara mereka, baru saya tau, mereka ini kasar kali ya. Mereka itu gak friendly gitu ya. Jadi saya rasa bedanya di situ.” Sejauh pengalamannya, Govin melihat bahwa mahasiswa Indonesia di FKG yang berasal dari luar kota Medan lebih ramah dan lebih mau berbaur dibandingkan dengan orang asli Medan. “kalo saya rasa ya, kalo orang dari luar kayak Palembang, Surabaya datang ke sini mereka lebih ramah, mereka lebih rapat, tapi orang asli Medan gak gitu, gak ramah, gak rapat. Gak tau kenapa. Memang dari 2008 sampai sekarang, teman-teman yang ada itu bukan asli dari Medan, dari Palembang, Surabaya, ada yang dari Bandung juga kuliah di sini. Mereka yang lebih mau berbicara, lebih dekat.” Setelah mendengarkan cerita Govin, berkaitan dengan itu peneliti langsung menanyakan apakah dengan keadaan yang seperti itu ia cenderung 100 mendekatkan diri dan berkumpul dengan sesama mahasiswa asal Malaysia lainnya. Mendengar pertanyaan itu, dengan cepat Govin langsung membela diri. Ia seperti ingin memberikan penjelasan bahwa itu bukan keinginannya. Ia adalah tipe orang yang friendly, sangat ingin berbaur dan bergaul dengan siapa saja. Govin ingin bisa bergaul dan berteman baik dengan semua mahasiswa Indonesia tanpa terkecuali, tidak memandang apakah ia dari luar kota atau asli Medan. Govin menyadari keberadaannya sebagai pendatang, ia yang harus mendekatkan diri dengan lingkungan baru yang ia datangi, tetapi kondisi yang “menolak” menurutnya, membuat ia pasrah dan menerima keadaan ini sebagai sebuah tradisi. Govin memilih untuk mengikuti keadaan dengan tetap membuka diri untuk berkenalan dengan mahasiswa Indonesia, siapapun itu. Sifatnya yang ingin bergaul itu terlihat ketika peneliti datang ke FKG pada kesempatan berikutnya. Dari kejauhan, peneliti mengamati gerak-gerik Govin. Ia suka berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia. Meskipun ia menyampaikan kekecewaannya mengenai Sosialisasi yang menurutnya kurang, sesungguhnya Govin tetap membuka hati untuk suatu persahabatan dengan mahasiswa Indonesia. “saya bukan orang yang mau kan kayak gitu, saya mau lebih rapat dengan orang Medan di sini, cuman kerna Sosialisasinya kurang, saya pun gak tau gimana mau diperbaiki lagi. Jadi saya biasa ajalah, siapa yang mau ngobrol dengan saya, saya ngobrol. Kadang-kadang ada juga teman orang Indonesia yang mau ngobrol, mau senyum, yang kayak gitu seronok lah. Itupun yang spesifik aja yang mau ngobrol sama kita. Tapi ini gak saya anggap sebagai masalah, ini saya anggap sebagai, apa ya, ini lah hakikat nya, udah jadi tradisi di sini lah gitu.” Govin juga mencurahkan isi hatinya bahwa teman-teman satu angkatannya di kelas mandiri kurang mau bergaul dengannya, kebanyakan ia memperoleh teman mahasiswa Indonesia dari kelas reguler. Govin juga tidak tahu mengapa hal itu terjadi, ia hanya merasakan bahwa mahasiswa Indonesia di kelasnya tidak mau 101 menegurnya, terkesan Sombong. Sedangkan dari kelas reguler Govin sudah mempunyai beberapa teman baik, ia bahkan dengan cepat menyebutkan nama mereka satu persatu kepada peneliti. Govin bersemangat menceritakan pertemanannya dengan mereka. Mereka tidak hanya akrab di kampus saja, selepas semua aktivitas di kampus diselesaikan, sore hari mereka melepas penat bersama, berolahraga Sore dengan bermain futsal bersama. Ketika ditanya mengapa dan bagaimana ia bisa mendapatkan teman dari kelas reguler, Govin menjawab bahwa ia menangkap iktikad baik dari mereka untuk berkenalan dengannya. Menurutnya, mahasiswa di kelas reguler lebih ramah, mau menyapanya, memberikan senyuman dan diajak berkenalan. Sesungguhnya, Govin ingin sekali bisa diterima di tengah-tengah teman-teman mahasiswa Indonesia, terutama mahasiswa asli Medan baik di kelasnya, di kelas reguler, atau dimana saja. Govin tidak menginginkan adanya perbedaan. “tapi itu semua bukan dari kelas saya, kami kan ada 2 kelas, ada mandiri dengan reguler, mereka itu yang reguler. Kalo yang mandiri kuranglah, kurang mau bergaul. apa ya, senang lah gitu kak, sewaktu aku lalu kelas mereka, mereka mau liat aku, mau senyum gitu. Lalu sapa lah, hai, kenalan gitu. Itu waktu semester pertama, kami belajar bersama, praktikum bersama, jadi bisalah, udah rapat gitu. Lepas tu di luar maen futsal bareng-bareng. Itu semua anak reguler, tak ada yang mandiri.” Pengalamannya selama satu tahun di Bandung tahun 2006-2007, memberikan pengetahuan bahasa Indonesia yang baik. Sehingga ketika tiba di Medan dan harus berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia, ia tidak terlalu kesulitan. Itu jelas peneliti rasakan, selama proses wawancara, semua pertanyaan peneliti dapat ditangkap dan dijawab dengan baik oleh Govin. Menurutnya, karena bahasa Indonesia dan Malaysia tidak terlalu banyak perbedaan. Selain itu baginya, bahasa Medan itu tidak terlalu rumit, tidak terlalu asli. Masih banyak 102 kata-kata yang juga sering digunakan di Malaysia, sehingga mudah dimengerti. Govin juga membandingkan pengalamannya tentang masalah bahasa ini selama di Bandung. Menurutnya, bahasa Sunda yang digunakan di kota itu terlalu asli daerah, terlalu rumit untuk dipelajari, bahkan dialek, intonasi dan pergerakan bibir orang-orang Bandung sangat asli daerah. Ketika ia tiba di Medan dan mendapati bahasa yang kurang lebih sama dengan bahasa yang digunakannya di Malaysia, ia tidak mengalami kesulitan. “jadi mula di sini kan saya bisa bahasa Indonesia karena pengalaman di Bandung tahun 2006 2007, jadi datang di sini, saya rasa gampang untuk berbicara, lagipun di sini bahasanya gak asli betol. Jadi campur-campur gitu.... saya rasa orang Medan, mereka gak gunakan bahasa yang terlalu asli. Mereka masih gunakan kata macam boleh, tak ada. Lebih kurang sama dengan di Malaysia, jadi saya gak rasa payah untuk ngomong. Kalo dulu disana, di Bandung mereka terlalu asli bahasanya. Contohnya kayak perkataan gimana ya, banget, sih, dong. Terlalu apa ya, terlalu asli gitu. Terlalu pekat, kayak intonasi suara, pergerakan bibir semua terlalu pekat gitu. Memang sebulan di sana tu kayak shock, kayak di planet lain gitu. Lagian mereka pake bahasa Sunda, jadi saya rasa kayak di planet gitu.” Selain interaksi dengan mahasiswa Indonesia di kampus, Govin juga berinteraksi dengan orang-orang luar seperti tukang becak dan supir angkot. Ia tidak memiliki kendaraan pribadi, sehingga setiap kali ia harus berinteraksi dengan orang-orang itu, meskipun sesekali Govin menumpang dengan teman yang membawa kendaraan pribadi. Govin menyampaikan kekesalannya dengan tukang becak dan supir angkot. Ia punya beberapa pengalaman tidak baik dengan mereka, terutama masalah harga yang terlalu tinggi. “kadang-kadang orang becak ni lah masalahnya. Satu hari satu harga gitu. Kalo hari ini mereka bilang sepuluh, eSok mereka bilang 20. Ada yang mengeluarkan kata-kata yang gak perlu dikeluarkan, kayak “ahh kamu orang Malaysia bayar ajalah lebih?” kadang saya pikir, kenapa ya mereka bilang kek gitu? “konflik yang besar itu selalu dengan tukang 103 becak, kami pun malas melayani mereka. Kadang naek angkot, sama teman yang ada kereta. Kadang becak kalo terpaksa naek becak.” Merindukan lingkungan asalnya akibat tinggal di negeri orang, jauh dari keluarga dan orang-orang terdekat juga dirasakan Govin, terutama ketika menjelang libur akhir semester, tetapi ia mampu mengatasinya dengan melakukan banyak kegiatan dengan teman-teman Malaysia maupun Indonesia, seperti mengerjakan tugas kuliah bahkan olahraga seperti futsal. Selama wawancara, Govin juga berbagi pendapatnya tentang makanan Medan. Ini juga termasuk masalah yang agak sulit baginya. Seminggu pertama, Ia sering sekali mengalami sakit perut, tetapi lambat laun Govin bisa beradaptasi. Bahkan, ia punya menu favorit, yaitu ayam penyet. “makanannya saya rasa susah dikit, karena terlalu pedas. Pertama minggu kadang mencret lah gitu. Jadi, sekarang uda adaptasi, makanannya udah OK.” Mengenai konflik Indonesia dan Malaysia, Govin berpendapat bahwa hal itu adalah urusan pemerintah Indonesia dan Kerajaan Malaysia, jadi masyarakat tidak perlu ikut campur dan terpengaruh. Menurutnya, masing-masing negara memiliki kepentingan, keduanya saling membutuhkan, jadi tidak perlu membesar- besarkan masalah yang ada, karena keduanya akan rugi. Bagi Govin, konflik dua negara itu tidak mempengaruhi interaksinya dengan orang-orang Indonesia, terutama mahasiswa Medan di kampusnya. “sebenarnya kalo pandangan saya, konflik itu sebenarnya antara pemerintah dengan pemerintah. Biar mereka yang lunasi semua masalahnya. Kita sebagai masyarakat di sini gak perlu menunjuk perasaan gitu, karena kita saling membutuh satu sama lain. Maksud saya, kami kuliah di sini, haa..kebanyakan pekerja di sini bekerjanya di sana, jadi semua ada kepentingan faktor sendiri yang harus dijaga gitu, jadi kalo mereka besarkan masalah ini, dua ini harus balik ke negara masing- 104 masing. Jadi biar kerajaan, biar pemerintah yang selesaikan. Jadi masyarakat tenang-tenang ajalah.” Pertemuan selanjutnya peneliti dengan Govin tetap berlokasi di FKG, ia baru selesai melalukan kegiatan praktikum, masih dengan menggunakan baju praktik, ia duduk di kantin. Peneliti kemudian mendatanginya, kembali bertegur sapa, menanyakan kegiatannya sehari ini, kemudian kembali membuka topik tentang culture shock yang ia rasakan dan pengalaman-pengalaman lain selama di Medan. Dari keseluruhan interaksi yang Govin lakukan dengan orang-orang Medan, ia sangat mengalami kesulitan dan kekecewaan ketika harus berurusan dengan pihak imigrasi. Seluruh mahasiswa asal Malaysia harus mengurus kedatangan dan kepulangan mereka dengan pihak imigrasi. Biasanya menjelang akhir semester seperti ini, mereka berbondong-bondong pergi untuk mengurus kepulangan mereka selama liburan. Setiap kali datang, menurut pendapat Govin, mereka tidak disambut dengan baik. Pihak imigrasi seperti tidak menghendaki kedatangan mereka. Mereka merasa dipersulit untuk urusan yang satu ini. Untuk mendapatkan izin surat balik, mereka harus benar-benar bersikap baik, menjaga hati para pegawai imigrasi, tidak boleh sedikitpun membuat mereka tersinggung. Govin juga menceritakan bahwa ia sungguh tidak mengerti apa yang mereka inginkan. Hal ini membuat Govin sangat heran dan sekaligus kecewa, Ia menanyakan mengapa mereka seperti itu. Dengan terang-terangan Govin menceritakan kepada peneliti bahwa ia sangat kesulitan berkomunikasi dengan pihak imigrasi. Selain itu, terkadang Govin juga mengalami masalah ketika berinteraksi dengan dosen. Ada beberapa dosen yang tidak terlalu mempermasalahkan hubungan antara dosen dan mahasiswa, tetapi ada juga 105 sebagian dosen yang ingin para mahasiswanya hormat, penggunaan bahasa ketika presentasi dan menulis juga harus baik, tidak boleh ada kesalahan. “kita kan harus berhubungan dengan imigrasi kan. Jadi kalo kita kesana kan mereka itu terlalu..kayak mana ya..terlalu..terlalu...gak menghendakkan gitu,.mereka itu gak..”ahh,kamu apa”, gitu..jadi kalo mau berurusan dengan imigrasi itu, harus betol-betol menjaga hati mereka, gitu. Kalo menjadi normal kek gitu gak bisa, harus menjadi lebih kayak berbaik, gitu. Kalo kita bilang,”ibu, saya mau..” mereka gak mau, harus yang baik bilang “ibu...” gak tau apa yang mereka harapkan dari kita. Berbicara dengan mereka itu sulit kali lah. Terpaksa jaga semua. Lagipun mood nya kadang-kadang gak baik.” “trus kayak dosen-dosen di sini, kadang ada dosen yang gak terlalu pentingkan antara mahasiswa dan dosen, tapi ada juga yang pentingkan itu, mahasiswa dengan dosen itu harus hormat, bahasanya harus benar, tak boleh ada sedikit kesalahan gitu.” Sejauh ini Govin sudah mampu berinteraksi dengan baik, terutama dengan mahasiswa Indonesia di kampusnya. Ia juga sempat mengomentari beberapa mahasiswa asal Malaysia yang memilih untuk lebih sering berkelompok dengan sesamanya. Mereka tidak menemui bentrok interaksi dengan orang-orang Indonesia karena mereka memilih untuk tidak berbaur. Menurutnya itu tidak terlalu baik. Prinsip Govin adalah bahwa setiap melakukan sesuatu yang baru, pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Tapi jika kita takut dengan kekurangan, sehingga memilih tidak melakukan apa-apa, maka tidak akan pernah maju. Sebagai orang yang sangat suka bergaul, Govin kerap kali menemukan kesalahan dan kesulitan komunikasi, tetapi seiring waktu, komunikasi yang terus dilakukan dan keinginan untuk terus belajar, Govin mampu beradaptasi. “itulah tadi, kekmana kubilang..di sini ada dua kelompok, ada yang sama anak malaysia aja. jadi mereka tak mungkin bermasalah kan, mereka dengan sesama mereka aja. Sebab mereka kan gak pernah berinteraksi. Kalo saya, saya suka bergaul, suka berinteraksi jadi di situ lah munculnya masalah. Gini kak, perkara yang logikal ya, ketika kita membuat sesuatu yang baru pasti ada kebaikan dan keburukannya. Kalo kita gak mau 106 membuat sesuatu yang baru, kita tetap aja dengan apa yang kita ada, kita kan gak kemana-mana.” “gini lah kak, aku sampe usu, memang teman aku teman aku, teman malaysia teman malaysia, tapi kalo aku mau tanya, aku tanya dua pihak. Gak ada pilih kasih lebih ke malaysia atau kekmana.” Kesimpulan Kasus Govin terkejut memperoleh suatu keadaan bahwa seperti inilah kota Medan dan orang-orang di dalamnya. Di tahun pertamanya, Govin mengalami kekecewaan dan kesedihan ketika memperoleh perlakuan seperti ditolak oleh teman-teman mahasiswa Indonesia sekelasnya. Menurutnya, sosialisasi orang Medan, terkhusus di kampusnya sangat rendah dan itulah yang menjadi pertanyaan baginya. Pengalamannya selama enam bulan di Bandung sedikit banyaknya membantu adaptasinya, namun hal itu pula yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan gegar budaya yang Govin alami. Keadaan kota Bandung, khususnya dalam hal karakteristik orang-orangnya yang berbeda dengan apa yang ia alami di Medan memberikan keterkejutan tersendiri. Contohnya, orang Bandung yang sangat sopan dalam bertutur dan bertingkah laku, sedangkan orang Medan berbicara dengan suara yang kuat dan terkesan kasar. Selain itu dalam hal bahasa. Bahasa Sunda yang bagi Govin terlalu asli sehingga rumit untuk dipelajari, sedangkan bahasa Medan cenderung hampir sama dengan bahasa Melayu yang biasa digunakannya, sehingga tidak terlalu sulit untuk dipelajari. Meskipun merasa ditolak, itu tidak membuatnya menyerah dan putus asa. Keadaan itu tidak membuatnya menyerah hidup sebagai perantau di 107 negara orang. Govin pribadi yang berani mencoba hal baru dan membuka diri untuk suatu perubahan. Saat ini Ia mempunyai banyak teman mahasiswa Indonesia dan mereka bergaul akrab, tidak hanya untuk urusan perkuliahan. Govin juga mempunyai keluhan terhadap fasilitas dan birokrasi kampus yang menurutnya perlu ditingkatkan. Selain itu, kendala juga dihadapinya ketika berurusan dengan pihak imigrasi. Sedangkan di luar interaksi komunikasi antarbudaya, makanan Medan juga menjadikesulitan baginya. Gangguan fisik seperti sakit perut selama seminggu pertama kerapkali ia alami. Informan 4 Nama : Amirah Fahimah Binti Ahmad Tarmizi Usia : 22 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Kedokteran Gigi Angkatan : 2007 Lama Menetap : 3,5 tahun Alamat Tempat Tinggal : Kompleks Tasbi I Tanggal Wawancara : Kamis, 2 Desember 2010 Peneliti mengenal Amirah dari informan sebelumnya. Waktu itu peneliti dibawa menghampiri sekelompok mahasiswa asal Malaysia yang sedang berbincang-bincang dan menunggu pesanan makan siang mereka. Amirah adalah salah satu dari mereka. Kulitnya putih, rambutnya panjang, berpenampilan modern dengan kemeja dari bahan jeans dan juga celana jeans. Peneliti berkenalan selama beberapa saat, kemudian menanyakan pengalamannya selama di Medan. 108 Amirah melanjutkan kuliah di FKG USU karena diberikan beasiswa oleh pemerintah Malaysia. Selama kurang lebih 3 tahun Amirah tinggal di Medan, bahasa adalah masalah yang paling besar baginya. Ketika berbicara dengan peneliti saja, ia banyak sekali diam dan memikirkan pilihan kata yang tepat. Tata bahasa Indonesianya juga belum baik, masih berantakan. PerSoalan yang Amirah alami ini membuatnya lebih banyak berdiam diri dan memilih mendengar. Untuk itulah Amirah cenderung bergabung dengan sesama mahasiswa asal Malaysia, setidaknya itu yang peneliti dapatkan selama observasi. Kesulitan komunikasi dikarenakan perbedaan bahasa membuat intensitas interaksi dalam hal komunikasi antarbudaya dengan mahasiswa Indonesia kecil. Amirah hanya berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia selama berada di lingkungan kampus untuk hal yang berhubungan dengan perkuliahan saja, untuk ranah pribadi dan berbincang panjang lebar sangat jarang Amirah lakukan. Teman sesama Malaysia yang sering bersamanya juga mayoritas yang satu suku dengannya, yaitu Melayu. Hal itu juga semakin diperkuat ketika Amirah sendiri yang mengakuinya kepada peneliti ketika wawancara. Amirah merasa lebih nyaman dengan teman sesama Malaysia karena tidak perlu mengalami masalah dalam bahasa, sehingga sampai sekarang pun ia hanya sekedar kenal saja dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya, tetapi tidak ada yang dikenal baik dan dijadikan sahabat. Bahasa Indonesia yang tidak fasih juga mempersulit Amirah selama proses belajar-mengajar, seperti ketika harus presentasi, banyak kata yang tidak dipahami 109 sehingga sulit untuk menjelaskannya. Selain itu, Amirah tidak hanya mengalami kesulitan dalam bahasa lisan, bahasa tulisan juga menjadi hambatannya, bahkan lebih besar dibandingkan dengan bahasa lisan. Ia mengeluh karena sangat sering mendapat teguran dan dimarahi oleh dosen karena ketidakmampuan menulis. Itu menjadi lebih terasa di saat Amirah menyusun tugas akhir-nya, yaitu skripsi. Sebagaimana sebuah tulisan karya ilmiah yang harus memenuhi aturan penulisan dan tata bahasa baku, menjadi perSoalan besar bagi Amirah, sehingga perbaikan berulang-ulang harus ia alami. Untuk mengatasinya, ia meminta bantuan kepada mahasiswa Indonesia untuk memeriksa skripsinya terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada dosen pembimbingnya. Culture shock dalam komunikasi antarbudaya tidak terlalu terasa bagi Amirah, hal ini karena ia memilih bergabung dengan sesamanya mahasiswa asal Malaysia. Kenyamanan karena persamaan budaya diperolehnya ketika bergabung dengan kelompoknya, sehingga bentrok komunikasi antarbudaya jarang ia alami. Sesungguhnya, berdasarkan pengakuannya tersebut dan juga pengamatan yang peneliti lakukan, Amirah tidak mampu menerima perbedaan-perbedaan yang ada sehingga ia menghindar dari interaksi yang terlalu sering dengan mahasiswa Indonesia. Amirah juga merasakan perbedaan dengan makanan Medan, terlalu pedas dan porsinya banyak, tetapi itu tidak terlalu bermasalah baginya. Pengalamannya selama kurang lebih 3 tahun tentu dipenuhi keterkejutan diakibatkan perbedaan. Tetapi masalah bahasa inilah yang paling mencolok dan menghambatnya. Keterkejutan juga ia rasakan ketika melihat dan mendengar perempuan Medan yang berbicara dengan suara keras dan suka menjerit, itu pengalamannya terhadap 110 mahasiswi Indonesia di FKG. Selebihnya, ia merasa biasa saja, tidak ada perbedaan dan kesulitan lain yang terlalu besar. “suara orang perempuan tu kan keras kan, jerit-jerit. Kalo komunikasi itu mula-mula ada masalah lah kan, kayak kami cakap lain, orang Indonesia pahamnya lain. Jadi mula-mula datang sini tak banyak cakap lah, jadi lebih banyak mendiamkan diri, lebih banyak mendengar.” “bahasa lagi lah memang masalah yang besar. Kalau ngomong udah sikit bisa lah, kalau penulisan lah, susah. Jadi kami selalu kena marah dosen. Macam waktu skripsi ini kan, jadi perbaikan, perbaikan, perbaikan aja. Minta teman dari indonesia baca dulu baru kasi dosen.” Kesimpulan Kasus Amirah mengalami culture shock dengan karakteristik orang Medan yang berbicara dengan suara kuat, khusunya perempuan. Baginya, perempuan yang berbicara dengan suara yang kuat adalah sesuatu yang aneh dan tidak wajar. Kendala yang paling utama baginya adalah bahasa. Ia mengalami kesulitan besar dalam hal bahasa, baik lisan maupun tulisan. Hal ini terasa ketika perkuliahan dan menyusun skripsi sebagai tugas akhir-nya. Ia bahkan sempat takut karena sering dimarahi oleh dosen. Kendala ini ia atasi dengan meminta bantuan mahasiswa Indonesia untuk memeriksa skripsinya terlebih dahulu sebelum menyerahkan kepada dosen pembimbing. Ketidakmampuannya akan bahasa ini yang membuat Amirah cenderung berkumpul dengan sesama mahasiswa Malaysia. Ia merasa lebih nyaman dan tidak perlu takut mengalami kesulitan dalam interaksi. Hal ini juga yang menutupi culture shock yang ia rasakan. 111 Informan 5 Nama : Lavanyah Rajagopal Usia : 24 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Kedokteran Gigi Angkatan : 2007 Lama Menetap : 3,5 tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting No. 46 Tanggal Wawancara : Jumat, 3 Desember 2010 Lavanyah adalah wanita yang sangat ramah, heboh, ceria dan ekspresif. Ketika sedang mewawancarai Hery, Lavanyah menghampiri Hery, mereka berbincang masalah perkuliahan dan persiapan UAS. Sebelumnya peneliti juga sudah pernah bertegur sapa dengan Lavanyah, tetapi pada pertemuan pertama itu Lavanyah menolak untuk diwawancarai karena ia sangat sibuk. Selesai berbincang, Lavanyah memilih salah satu tempat duduk di kantin FKG. Dikarenakan peneliti juga sudah selesai melakukan wawancara dengan Hery, peneliti menghampiri Lavanyah. Ia menyambut baik peneliti dengan senyuman ceria di balik wajahnya yang terlihat sangat lelah. Ia baru saja mengurus penelitian untuk penyelesaian skripsinya. Ketika sedang menunggu pesanan makan siangnya, peneliti menyapanya dan menanyakan apakah kali ini ia bersedia untuk diwawancara, akhirnya Lavanyah pun menyetujuinya, bahkan ia menyambut 112 peneliti dengan sangat ramah, mengambil tasnya yang semula diletakkan di kursi sebelah kanannya agar peneliti bisa duduk. Selama wawancara, peneliti berusaha untuk mengenal pribadi Lavanyah dari cara ia berbicara dan menerangkan pengalamannya. Sejauh pengamatan peneliti, secara fisik Lavanyah adalah wanita India dengan kulit gelap, wajahnya manis, ada bindi di dahinya, tidak terlalu tinggi dan agak gemuk. Ia merupakan mahasiswi yang supel, sederhana secara penampilan, saat wawancara ia mengenakan kemeja hitam garis-garis vertikal putih dan celana bahan berwarna hitam dengan rambut dikuncir. Lavanyah tipe orang yang cerewet, suka berbicara, setiap kali menjelaskan sesuatu lengkap dengan ekspresinya. Peneliti menanyakan perasaannya ketika pertama kali tiba di Medan, Lavanyah menjelaskannya secara kronologis mulai dari proses pertimbangan pemilihan universitas sampai kehidupannya selama tiga tahun di Medan. Lavanyah memulainya dengan cerita bahwa ia memilih USU karena telah mendapat informasi bahwa Medan dekat dengan Malaysia dan secara garis besar hampir sama dengan Penang. Hal itu membuat Lavanyah juga setuju untuk melanjutkan kuliah ke FKG USU, ditambah dengan dukungan sang ayah yang semakin memperkuat tekadnya. “Actually mula-mula kan, kita ke education fair, nanti mereka bilang “ok kamu mau yang mana?”, tapi mereka bilang yang usu, di medan seperti di penang juga. Mereka bilang yang kalau pilih usu lebih gampang karena seperti penang juga. So, mereka bilang lebih baik lah ke usu yang di medan aja. Ayah saya pun kata ok lah ke usu aja, sebab kan dekat aja. So, saya langsung ke medan.” Setibanya di Medan, tepatnya di bandara Polonia, Lavanyah masih belum merasakan kesepian atau kehilangan lingkungan familiarnya, karena Lavanyah 113 berangkat dengan 40 mahasiswa asal Malaysia lainnya. Begitu juga ketika tiba di penginapan sementara mereka, Lavanyah dan yang lainnya justru disibukkan dengan kegiatan berbelanja peralatan hidup sehari-hari, karena mereka tidak membawa perlengkapan apapun ketika berangkat dari Malaysia. Lavanyah menceritakannya dengan sangat antusias dan berulang kali tertawa. “ooh, sebenarnya gak tau. Semua bahan, semuanya like..hmm, all things that i never bring. Gak bawa semuanya, semua barangnya gak bawa, kayaknya pergi mau vacation, holiday. Lepas itu waktu tiba di bandara, oke tooth brush, apa-apa, semua tak ada bawa.” Setelah mengurus semua berkas dan persyaratan, hari pertama Lavanyah ketemu dan berinteraksi dengan orang Indonesia adalah ketika OSPEK di FKG USU. Kejadian OSPEK adalah hal pertama yang membuat Lavanyah terkejut dan merasakan perbedaan antara negaranya dan Indonesia. Menurut Lavanyah, masa orientasi seperti yang FKG lakukan sangat keterlaluan. Sedangkan di Malaysia, kegiatan semacam itu ada, tetapi hanya sebatas perkenalan kuliah saja, tidak ada pelonco seperti yang FKG USU lakukan. Seperti yang sudah peneliti sebutkan sebelumnya bahwa Lavanyah adalah pribadi yang sangat ekspresif, menceritakan bagian ini pun ia sangat antusias, Lavanyah berulang kali membuat peneliti tertawa karena tingkah lakunya, karena selama bercerita ia mengucapkan beberapa kata yang salah, misalnya ketika Lavanyah bermaksud menyebutkan “jengkol”, ia mengucapkan kata “jempol”. Dari ekspresi dan mimik wajahnya serta bahasa nonverbal lainnya, Lavanyah benar-benar menunjukkan keterkejutannya melihat OSPEK ala kampus FKG USU, bahkan ia hanya mengikuti kegiatan itu satu hari saja, dua hari berikutnya ia memilih diam di kost. “pas itu masih belum jumpa indonesians, lepas tu baru hari pertama kita ke FKG, pas itu masuk ospek. Masuk ospek, like aduh, seram 114 kali. Udah masuk aja mereka jerit-jerit, semua disuru pake-pake apa. Di malaysia, actually ada, tapi macam perkenal-perkenal aja, tak bisa macam ini, yang kasar kali, So, terrible lah yang ospeknya. Itu 3 hari, tapi satu hari aja kita pergi, lepas tu gak pergi lagi. Berapa jam aja, sebab seram kali. Senior-senior tu jerit-jerit. Disuruh makan jempol lagi, eh, jengkol, semua muntah-muntah, sebab i never eat before. Esoknya disuru bawa barang-barang itu kan, tapi kami tak ngerti apa yang mereka suruh.” Tetapi itu hanya dialami selama OSPEK saja, setelah itu semuanya kembali normal. Lavanyah mencoba menjalin hubungan yang baik dengan para senior. Mereka saling berbagi cerita, pengalaman dan buku selama perkuliahan. “sekarang dengan senior udah ok. Lepas ospek aja, semua ok lah, mereka bagi note, everything lah.” Hubungan Lavanyah dengan mahasiswa Indonesia di kampusnya juga terjalin dengan cukup baik. Selama wawancara beberapa kali temannya yang orang Indonesia menghampirinya untuk menanyakan seputar perkuliahan. Lavanyah juga memiliki dua teman Indonesia yang menjadi partner-nya dalam melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi. Bersama dua temannya itu, Ayu dan Ulipeh, Lavanyah semakin belajar tentang Indonesia, terutama Medan. Bersama mereka juga ia belajar menghargai dan menerima segala perbedaan yang ada. Mereka melewati suka duka penelitian bersama, bahkan sudah merencanakan liburan untuk melepas penat selama pengerjaan Tugas Akhir. Lavanyah dan kedua temannya saling membantu ketika ia mengalami kesulitan, khususnya dalam hal bahasa ketika berkomunikasi dengan orang Indonesia lainnya. Bahasa adalah hal yang sampai sekarang masih sulit bagi Lavanyah. Peneliti juga merasakannya, karena dari sekian informan yang peneliti wawancara, Lavanyah adalah satu-satunya informan yang paling sering menggunakan campuran bahasa inggris, bahkan hampir seluruhnya. Bersama 115 Ulipeh dan Ayu, ia saling bertoleransi, ketika keduanya saling tidak memahami, mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai penengah. Meskipun demikian, dalam keseharian, Lavanyah mengaku ia selalu berusaha belajar mengucapkan bahasa Indonesia, terutama karena penelitian yang dilakukannya menuntut Lavanyah untuk menguasai bahasa Indonesia dengan baik. “saya buat skripsi juga dengan yang Indonesian, ulipeh sama ayu. Okelah kita buat penelitian, kita bagi sama-sama sebab topiknya sama cuman expect nya beda, So, kita buat sama-sama.” “ooh, masalah bahasa ada banyak, yang komunikasinya memang Sometimes ulipeh kan understand what i’m try to say, nanti pun dia bilang yang saya tak erti, lepas tu like kita paham kan sendiri. Kalau tak erti saya tanya, nanti dia coba translate dalam bahasa inggrisnya lah. Saya kan belum tau betol bahasa indonesia tu kan, So,nanti saya bilang sama ulipeh “ulipeh ini apa? Ininya apa?”, nanti ulipeh bilang, “oh ini kek gini”, macam tu lah.” Gejala culture shock seperti homesick yang berlebihan di awal kedatangannya juga dialami oleh Lavanyah. Ia juga merasakan kehilangan suasana yang biasa ia temukan di negaranya, apalagi ini pertama kalinya ia tinggal sendiri dalam waktu yang lama tanpa orang tua. Lavanyah merindukan keluarga, setiap malam tiba, di kamar kost nya ia menangis. Tetapi itu lambat laun mampu ia atasi kerena Lavanyah mengaku banyak hal yang harus ia lakukan sebagai seorang perantau yang menuntut ilmu di negeri orang. Selain itu, teman-teman yang selalu bersamanya dan mendukungnya membuat Lavanyah semakin kuat. Ditambah lagi ia mempunyai banyak teman sesama mahasiswa asal Malaysia di kampus dan di kost, sebagai teman senasib sepenanggungan. “ini kali pertamanya lepas dari emak bapak. lepas tingkatan enam juga sama emak dan ayah, tak pernah tinggal dimana-mana, rumah nenek juga tak pernah tinggal. Slalunya di rumah sendiri, So, macam like, mereka bilang harus pergi. Sebab ini pertama kali keluar negara, tak 116 pernah berpisah dari emak dan ayah, pertama kali itu. So, rasanya macam...” “homesick pasti lahh, apalagi pertama kali. 2 minggu awal-awal tu kan asik menangis aja. Sebab itu belom bisa call, sebab sim card-nya pun belom tau kodenya, belum tau apa-apanya lah.” Secara keseluruhan, itulah yang membuatnya terkejut ketika menjalani kehidupan di kota Medan. Selain itu, Lavanyah tidak terlalu mengalami kesulitan dalam hal makanan, sebab ia seorang vegetarian, jika di kampus Lavanyah lebih sering memesan mie instan yang digoreng atau direbus dengan sayur dan potongan tahu. Lavanyah sangat menyukai tempe, ini pertama kalinya ia makan tempe dan langsung menyukainya. Bagi Lavanyah budaya Indonesia dan Malaysia kurang lebih hampir sama, banyak hal yang sama antara kedua negara. Lavanyah memberikan contoh penggunaan tangan kiri yang kurang baik dalam budaya Indonesia yang juga sama di Malaysia. Menurutnya, orang-orang Indonesia juga cukup baik dan ramah. Itu ia rasakan selama di kampus dan ketika menjalani praktik JCS di Rumah Sakit Adam Malik. “culture shock not really lah, similar, the culture is similar lah, kurang lebih sama. Kan yang macam tangan kirinya di indonesian is bad, right? Even malaysian, especially Indian yang left hand is alSo bad. Sama, kayaknya up and down lah, ada yang sedikit beda lah.” “kami ada JCS di hospital adam malik kan, So, di situ juga banyak indonesian, pokoknya they are very friendly lah, kalau kita tanya apa pun, they try to share. And then they don’t like, kalau ada isu-isu politik macam tu kan between indonesia and malaysia. They say “ah, itu kan masalah politik, don’t involve mahasiswa.” Interaksi dengan penghuni kost lainnya juga terjalin baik. Pribadinya yang ceria dan ceplas-ceplos membuat orang senang berbicara dengannya. Selain itu, Ia juga tidak malu jika salah mengucapkan kata dan selalu ingin belajar. Lavanyah 117 tinggal di Jalan Jamin Ginting dengan empat orang mahasiswa Malaysia dari FK dan FKG dan dua orang mahasiswa Indonesia. Tidak ada konflik yang terjadi di rumah kost, Lavanyah menyadari dirinya sebagai pendatang dan berusaha membangun hubungan yang baik. “saya kost sama malaysian, indonesian dulu ada, tapi sekarang udah pindah, sekarang udah 2 orang aja. Hubungan sama mereka baiklah, sebab mereka junior kan, So mereka macam kalau ada apa-apa yang mereka mau, they come to my room lah.” Lavanyah sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan Medan. Ia bahkan tergabung sebagai anggota di salah satu pusat olahraga, seperti tempat fitness dan sauna. Ia berinteraksi dengan anggota lain yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga. Kelihatan sekali ia sangat menikmati harinya di tempat ini, karena ia menceritakannya dengan antusias, tangan Lavanyah tidak berhenti bergerak kesana kemari memperagakan setiap halnya. “kalo di luar saya di cleopatra fitness lah. Nanti ibu-ibu itu semua very lucu lah. Mereka bicara trus, i’m not really understand what they say but i try to understand. Saya juga cerita lah, ibu-ibu tu tanya-tanya. Kesimpulan Kasus Lavanyah adalah pribadi yang suka bergaul dan mudah beradaptasi. Culture shock yang ia alami pertama kali tiba di Medan adalah OSPEK ala FKG USU. Menurutnya kegiatan itu terlalu berlebihan. Di Malaysia kegiatan seperti ini juga ada di kalangan mahasiswa baru, tetapi hanya sebatas pengenalan singkat tentang garis-garis besar kampus saja. Hal ini benar-benar membuatnya terkejut. Ini merupakan pengalaman pertamanya meninggalkan negara dan hidup sendiri tanpa orang tua. Di awal kedatangannya, homesick selalu dirasakan. Selain itu, 118 bahasa juga menjadi kendala besar baginya. Kesulitan dalam berkomunikasi sering ia rasakan. Meskipun demikian, Lavanyah merupakan pribadi yang suka bergaul. Kesulitan bahasa yang dialaminya tidak membuat Lavanyah berhenti mencoba untuk berkomunikasi. Penelitian yang sedang ia lakukan bersama dua mahasiswa Indonesia membuat mereka semakin akrab. Ia belajar tentang bahasa dan lainnya bersama kedua temannya tersebut. Saat ini, Lavanyah sudah mampu beradaptasi, bahkan di luar kampus ia sudah memasuki komunitas lain, yakni kelompok fitness bersama anggota lainnya yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga. Informan 6 Nama : Amir Hakimi Usia : 23 Tahun Jenis Kelamin : laki-laki Fakultas : Kedokteran Angkatan : 2006 Lama Menetap : 4,5 tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Darat No. 64A Tanggal Wawancara : Kamis, 16 Desember 2010 Pertemuan peneliti dengan Amir berlokasi di RSUP Haji Adam Malik Medan. Peneliti mengenalnya dari salah seorang kenalan peneliti. Saat itu Amir sedang istirahat, peneliti menghampirinya dan mulai mewawancarainya. Pertama kali peneliti dikenalkan dengan Amir, peneliti sempat tidak percaya ia mahasiswa asal Malaysia, sebab secara fisik ia sama dengan orang Indonesia. Kulitnya putih, menggunakan kacamata dan saat itu ia menggunakan kemeja yang dibalut dengan jas putih yang merupakan seragam praktik co-assnya. 119 Bagi Amir kedatangannya ke Kota Medan juga hal baru, sebab ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kota ini. Perbedaan pertama yang ia temukan setibanya di Medan adalah keadaan jalanan yang lebih ramai, padat dan tidak teratur dibandingkan dengan Malaysia. Tetapi untuk yang satu ini, keheranan hanya terjadi awal saja, sekarang Amir justru ikut dalam ketidakteraturan itu. Sambil tertawa Amir mengakui kebiasaan menekan klakson ketika berhadapan dengan kemacetan lalu lintas juga dilakukannya. “pertama kali sampai medan, memang ada rasa agak beda la dengan malaysia. Kotanya agak padat, jalan gak teratur kali, bising sebab sering tekan horn. Tapi sekarang biasa aja la, malah saya pun ikut tekan horn juga la.” Pengetahuannya tentang Medan sebelumnya juga sama dengan yang lainnya. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara dalam satu rumpun, sehingga budayanya juga kurang lebih hampir sama, termasuk bahasa. Ketika memasuki Kota Medan, Amir mulai berinteraksi dengan orang-orang Medan. Interaksi dimulai dengan teman-teman kampusnya. Perbedaan yang paling menyolok dirasakan Amir adalah cara bicara orang Medan yang agak kasar dengan intonasi dan volume suara yang kuat. “kalau orang Medan ngomongnya memang agak kasar, bahasanya gak begitu jauh, Medan dengan Malaysia itu hampir sama la.” FK USU memang lingkungan baru baginya, tetapi ia memilih untuk langsung berbaur dan bergabung dengan mahasiswa Indonesia. Berbeda dengan FKG USU yang program co-ass-nya di akukan di klinik yang juga berlokasi di kampus, Amir menjalani coassnya di rumah sakit. Kondisi lingkungan yang dihadapi tentu berbeda. Lingkungan yang lebih ramai, dengan orang yang berlalu lalang, banyak tambahan orang-orang baru yang ditemuinya, seperti dokter, suster 120 perawat dan tentunya pasien di rumah sakit tersebut. Masalah komunikasi juga sempat Amir alami dengan beberapa pasien yang berbicara dengannya dengan menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Batak. “saya langsung berbaur la, di FK dulu pun gitu juga. Waktu kuliah dengan coass hampir sama aja, cuman tambah pengaruh lingkungan dari suster perawat gitu la. kalau sama pasien kadang ada masalah bahasa sikit, sebab mereka kadang pakai bahasa batak, jadi tak paham.” Amir mengaku ketika ia berhadapan dengan pasien yang menggunakan bahasa Batak, ia meminta bantuan teman Indonesia yang juga sedang coass bersamanya. Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena temannya membantu mengatakan kepada pasien untuk menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa sekiranya tidak menjadi kendala bagi Amir, mulai dari kehidupan kampus di FK USU sampai ketika co-ass di rumah sakit. Kondisi rumah sakit yang menuntut serba cepat dan harus saling kerja sama membuat Amir selalu berkomunikasi dengan teman Indonesia. Hal ini membantu melatih kemampuan berbahasanya dan hubungan yang semakin baik. Dari pengamatan peneliti dan pengakuan Amir sendiri, ia adalah orang yang tidak suka membeda-bedakan antara orang Indonesia dan Malaysia. Amir bergaul dengan siapa saja. Peneliti juga mengamati kegiatannya selama di rumah sakit, bersama teman-teman sesama coass yang mayoritas orang Indonesia, Amir sudah bergaul akrab bahkan di sela waktu istirahat, mereka berkumpul di sebuah ruangan yang memang disediakan untuk para mahasiswa co-ass. Mereka ngobrol santai dan bersenda gurau. Kemampuannya menyesuaikan diri juga disebabkan prinsip hidup orang Malaysia kebanyakan. Menurut pengakuan Amir, mereka sudah terbiasa dengan kehidupan mandiri yang jauh dari keluarga. Perasaan homesick memang 121 dirasakannya, tetapi itu hanya sebentar saja. Secara keseluruhan beradaptasi dengan lingkungan kota Medan dan orang-orangnya tidak terlalu sulit bagi Amir. Ia mengaku hanya membutuhkan waktu kurang lebih 4 bulan. “homesick ada la, sebab pasti lebih enak di tempat sendiri kan. Tapi itupun biasa-biasa aja la, sebab kami orang malaysia udah dibiasa hidup mandiri, dari umur 12 tahun. Jadi ya bisa la adaptasi. saya dari masuk tahun 2006, tiga atau empat bulan aja udah bisa adaptasi la.” Kesimpulan Kasus Amir adalah pribadi yang cepat dalam beradaptasi. Ia juga mengalami culture shock, tetapi tidak terlalu sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, yakni Kota Medan. Setibanya di Medan, ia merasa orang-orang Medan itu kasar karena kebiasaan berbicara dengan suara yang kuat. Ia juga merasakan perbedaan akan jalanan Medan yang tidak teratur dan sesuka hati membunyikan klakson. Tetapi, sekarang hal ini sudah menjadi sesuatu hal yang biasa baginya. Ia bahkan ikut menjadi pengguna jalan raya yang seringkali membunyikan klakson. Ia sedang menjalani co-ass di rumah sakit. Lingkungan rumah sakit semakin menuntutnya untuk berbaur dan harus mampu berkomunikasi. Ia saling bekerja sama dengan mahasiswa co-ass lainnya, khususnya mahasiswa Indonesia, karena orang-orang yang ada dalam rumah sakit itu hampir semua adalah orang Indonesia. Ia sudah hampir 5 tahun menetap di Kota Medan. Ia sudah mampu beradaptasi saat ini. 122 Informan 7 Nama : Jonathan Lin Chee Hang Usia : 24 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Fakultas : Kedokteran Gigi Angkatan : 2006 Lama Menetap : 4.5 tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Dr. Mansyur Tanggal Wawancara : Senin, 20 Desember 2010 Peneliti menemui Jonathan ketika sedang beristirahat dari kegiatannya sebagai mahasiswa coass di FKG USU. Ia berdarah campuran, ibunya orang Filipina dan ayahnya Chinese. Secara fisik, campuran Filipina dan Cinanya jelas terlihat, kulit putih, mata sipit dan juga dialek bahasanya. Ia sering berpindah- pindah kota bahkan negara untuk beberapa kepentingan, seperti untuk merencanakan bersekolah dalam bidang kesehatan Filipina, tetapi melihat populasi penduduk Filipina yang terlalu padat, Jonathan membatalkan niatnya. Seperti kebanyakan, ia pun memilih FKG USU karena dekat dengan Malaysia, kualitas yang baik dengan biaya yang cukup murah bila dibandingkan dengan universitas di negara asalnya. Baginya ini memang pengalaman pertama datang ke Medan, sehingga tidak ada bayangan yang terlalu besar tentang Kota Medan, tetapi sebelumnya ia sudah pernah mengunjungi beberapa kota lain di Indonesia, seperti Kalimantan dan Palembang. “ini pertama kali ke medan, jadi gak ada bayangan la. tapi saya memang pernah ke tempat-tempat lain seperti filipina, jadi bagi saya sama aja. selain itu gak terlalu bermasalah la, sebab saya sering pindah-pindah, filipina, jerman, di indonesia itu di medan, palembang, kalimantan juga. 123 sebab sebelumnya saya pernah ke filipina untuk studi, tapi gak jadi sebab di sana populasi lebih negeri.” Komunikasi antarbudaya yang tidak efektif karena kendala bahasa juga turut Jonathan alami. Ia mengaku di tahun pertamanya tinggal di Medan, masalah bahasa sempat menjadi persoalan. Apalagi ia baru mengetahui bahwa orang Tionghoa di Medan tidak menggunakan bahasa Mandarin ketika berkomunikasi dengan sesamanya, tetapi dengan bahasa Hokkien, sedangkan di Malaysia orang Tionghoa berkomunikasi dengan bahasa Mandarin. Ini sempat membuatnya bingung karena Jonathan sama sekali tidak bisa berbahasa Hokkien. Tetapi itu tidak terlalu mempengaruhi keinginannya untuk berinteraksi, dengan sesama etnis Tionghoa ia menggunakan campuran bahasa Indonesia atau kadang-kadang bahasa Inggris. Jonathan juga bergaul dengan mahasiswa Indonesia lainnya di kampus FKG USU, bahkan di luar kampus. “kalau pertama kali, tahun pertama memang ribet la bahasanya. Apalagi kan saya mix Chinesse, orang Tionghoa di sini kan beda bahasanya. Kalau orang Tionghoa di sana pakai bahasa Mandarin, kalau disini pakai bahasa Hokkien, jadi saya gak bisa Hokkien, jadi terpaksa guna bahasa Inggris aja.” Menurut Jonathan, Indonesia dan Malaysia secara budaya tidak jauh berbeda. Bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu yang biasa ia gunakan di negaranya hampir sama, sehingga tidak terlalu sulit untuk berkomunikasi. Kondisi yang berlawanan dirasakannya ketika berada di Filipina. Keterkejutan budaya dan kesulitan komunikasi jelas dialaminya. Karena wajahnya yang mirip dengan orang Filipina, ketika berada di sana, orang-orang langsung berbicara dengannya dengan Bahasa Tagalog dan itu benar-benar membuatnya shock. Jadi, ketika masuk ke lingkungan Medan dengan budaya yang hampir sama, termasuk bahasa, tidak terlalu sulit bagi Jonathan untuk berkomunikasi dan menyesuaikan diri. 124 “maksudnya kalau saya kan, mamak orang Filipina, jadi saya pernah ke Filipina, jadi gak begitu shock dibanding Filipina, kalau di sini, culture shock, berat kali gak, sedang aja. Kalau yang berat di Filipina, di situ berat la. bahasa juga, karena mereka pikir saya kayak orang Filipin, mereka langsung cakap bahasa mereka, jadi saya sempat diam, sebab terkejut. Jadi di sana dulu saya takut untuk berkomunikasi la, sebab tak paham bahasa mereka. Kalau di Indonesia, sebenarnya bahasa melayu hampir mirip dengan bahasa Indonesia kan, jadi saya agak ngerti.” Selain perbedaan keadaan dalam hal komunikasi, di Filipina juga Jonathan mengalami keterkejutan terhadap kemacetan lalu lintas dan kepadatan populasi penduduk Filipina, karena ia tidak bisa berada dalam keramaian kota. Jika seluruh kondisi ini dibandingkan dengan apa yang ia temukan di Medan, tingkatan culture shock di Filipina lebih besar. “sebab saya kan di pusat kota, di Manila. Di situ lebih ribet la, lebih banyak, gak bisa saya terima, kayak traffic jam, sebab saya gak bisa ke tempat yang terlalu banyak orang.” Interaksi dengan orang-orang di kampus, baik dengan sesama mahasiswa asal Malaysia, mahasiswa Indonesia dan pasien-pasien yang sekarang menjadi bagian hari-hari sejak menjalani co-ass berjalan dengan baik, meskipun dengan beberapa pasien Jonathan mengaku terkadang mengalami kesulitan. Dari pengamatan peneliti, selama di kampus, Jonathan memang terlihat sangat berbaur. Kondisi lingkungan co-ass yang akan selalu berganti siklusnya, mempertemukan Jonathan banyak mahasiswa Indonesia yang berbeda, dengan suku yang berbeda dan dari angkatan yang berbeda pula. Dengan demikian, kondisi lingkungan yang seperti ini semakin membuatnya harus mampu berkomunikasi dengan baik dan berupaya untuk terus menyesuaikan diri. Jonathan tinggal di sebuah rumah kost bersama mahasiswa asal Malaysia lainnya, tetapi teman-temannya mahasiswa Indonesia juga sering datang ke 125 kostnya untuk urusan kuliah atau sekedar bermain-main. Jonathan juga memiliki sebuah komunitas pecinta hewan reptil dan amphibi, yakni MERCY Medan Reptilies And Amphibian Community. Ia bersama 25 member lainnya, yang seluruhnya adalah orang Indonesia sering melakukan program kegiatan dan menghabiskan waktu bersama. “saya ada komunitas di sini, jadi maksudnya kalau mereka ajak ya saya mau ikut la dengan orang Medan. Kalau teman kost memang Malaysia semua, tapi banyak juga teman orang Indonesia, sering datang ke kost saya juga, main-main. saya sering kumpul-kumpul sama teman orang Indonesia juga. Kami ada komunitas peliharaan gitu, namanya MERCY Medan Reptilies and Amphibians Community, yang aktif itu sekitar 25 orang, yang dari malaysia saya aja, lainnya Indonesia.” Mengenai makanan Medan, ketika baru datang, ia juga mengalami masalah sakit perut karena tidak terbiasa dengan menunya. Tetapi seperti pepatah “ala bisa karena biasa”, makanan tidak lagi menjadi masalah baginya. Kesimpulan Kasus Jonathan sudah beberapa kali datang ke Indonesia, tetapi di Kota yang berbeda-beda. Culture shock tidak terlalu ia rasakan. Pengalamannya tinggal di Filipina lebih mengejutkan bila dibandingkan dengan Kota Medan. Kota Manila lebih padat, sehingga kepadatan kota Medan tidak terlalu mengejutkan baginya. Di awal kedatangan kesulitan bahasa memang sempat dirasakan, apalagi karena orang Tionghoa di Medan tidak menguasai bahasa Mandarin. Mereka menggunakan bahasa Hokkien dalam berkomunikasi, sedangkan ia tidak menguasai bahasa Hokkien. Tetapi, pergaulannya dengan banyak orang Indonesia membantu adaptasinya. Ia bahkan tergabung dalam sebuah komunitas yang 126 seluruh anggotanya adalah orang Indonesia. Hal ini menjadi bukti yang kuat bahwa ia sudah menyesuaikan diri dengan Kota Medan. Informan 8 Nama : Asfahana Usia : 23 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Kedokteran Angkatan : 2008 Lama Menetap : 2,5 tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Tridarma No. 26, Pintu 4 USU Tanggal Wawancara : Selasa, 21 Desember 2010 Peneliti mengenal Asfahana dari Linda. Ketika membuat janji pertemuan berikutnya dengan Linda di kostnya, peneliti menanyakan apakah Linda tinggal bersama mahasiswa asal Malaysia lainnya, kemudian Linda mengenalkan dua orang temannya, Asfahana dan Tini, yang sama-sama mahasiswa FK USU angkatan 2008. Peneliti pun mewawancarai Asfahana di kost ditemani Linda karena Ia tidak ingin diwawancara seorang diri. Asfahana orang yang cukup sederhana secara penampilan. Dijumpai di kost, ia mengenakan kaos lengan ¾ dan celana panjang yang longgar. Ia wanita suku Melayu yang juga mengenakan baju kurung ketika kuliah ataupun pergi. Asfahana tinggal di lantai 2 sebuah rumah yang terletak di Jalan Tridarma No.26. Di lantai 2 ini ia tinggal bersama tiga mahasiswa asal Malaysia dan tiga mahasiswa Indonesia. Kamarnya bersebelahan dengan kamar Linda dan memang mereka berdua adalah teman akrab, sangat dekat. Mereka menjalani hari-hari sebagai pendatang di Kota Medan berdua, kemana pun berdua, mulai dari tiba di Medan, tinggal di kost yang sama, pergi dan pulang kampus bersama, jalan-jalan 127 bersama, sampai pulang ke Malaysia setiap liburan juga bersama. Asfahana dan Linda sangat akrab. Ia ditemani Linda selama wawancara, jadi itu membuatnya tidak canggung bahkan berani mengeluarkan setiap hal yang ia rasakan tentang pengalamannya tinggal di negeri asing. Awalnya memang ia sedikit sungkan, seperti malu dan takut menjawab setiap pertanyaan yang peneliti ajukan, tetapi ketika Linda memberikan sedikit pendapat terhadap pertanyaan yang diberikan, Asfahana langsung menyatakan semuanya. Ini bukan pertama kalinya Asfahana menginjakkan kaki ke Indonesia. Sebelumnya Asfahana pernah berlibur ke Danau Toba bersama keluarga. Tetapi itu sudah sangat lama, ketika ia masih kecil. Untuk hidup mandiri tanpa orang tua dalam waktu bertahun-tahun, ini adalah pengalaman pertamanya. Ia memilih FK USU karena FK USU sudah memiliki nama di Malaysia. Selain itu biaya pendidikan di USU juga murah dan dekat secara jarak dari Malaysia. Awalnya, ketika peneliti menanyakan persepsi Asfahana sebelumnya tentang Medan, ia hanya mengatakan orang Indonesia sama dengan orang Malaysia, hanya berbeda secara bahasa saja. Ia juga sempat takut dengan lingkungan baru yang akan ia hadapi. Bahkan, ketika sudah tiba di Medan, Ia menemukan berbagai macam perbedaan. Pertama kali tiba di Medan, Ia terkejut melihat jalan raya dan lalu lintas kota Medan yang sangat padat dan jalan yang sempit. “begitu sampai saya tekejut dengan laluan jalan rayanya yang bising, jalannya agak sempit.” 128 Asfahana mengalami kesulitan ketika pertama kali ingin berkomunikasi dengan orang-orang Medan, khususnya mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kampusnya. Ia mengaku sulit untuk berkenalan dan beradaptasi karena masalah bahasa. Ia juga mencontohkan beberapa kata yang berbeda makna antara Indonesia dan Malaysia. Awalnya Ia memilih untuk lebih banyak mendengar dan meminta bantuan teman. “orang-orangnya juga, macam mana mau cakap ya, agak susah mau beradaptasi, macam mau kenal dia dengan teman-teman satu USU pun macam susah la mau berkenalan sebab dari bahasanya kan tak bisa lancar. Macam kalo disana, kita maknanya kita semua, macam sini kita artinya saya kan? Di sana kita macam kelompok yang ramai.” Kebiasaan bersalaman dengan lawan jenis juga membuat Asfahana terkejut. Baginya itu terlalu bebas, berbeda dengan budaya di negara asalnya, tetapi lambat laun ia sudah tidak merasa heran lagi. Teman-temannya juga sudah memahaminya, untuk yang laki-laki sudah tahu dan tidak bersalaman dengan Asfahana. Keterbatasan kemampuan berbahasa Indonesia yang ia punya membuat Asfahana lebih sering bergabung dengan teman sesama Malaysia, terutama dengan teman akrabnya, Linda. Itulah alasannya ketika peneliti menanyakan mengapa ia lebih sering bersama teman sesama asal Malaysia. Ia juga memiliki kenalan teman mahasiswa Indonesia, tetapi tidak akrab, hanya sebatas tahu saja. Asfahana juga hanya mengenal teman satu grupnya saja, yaitu grup B di kampus. Apabila mahasiswa dari grup lain apalagi junior, ia mengaku tidak mengenal mereka. Asfahana juga menceritakan bahwa lingkungan kampusnya, yaitu FK USU cenderung berkelompok. 129 “lebih sering sama malaysia, tapi ada juga la teman daripada indonesia, tapi gak rapat la. mungkin mereka pun gak mau berkawan dengan kita, sebab mereka pun tak paham dengan apa yang kami cakap dan kami pun gak paham yang dia cakap. ia la, nampak macam berkelompok-kelompok. Kalau yang pandai satu kelompok, yang biasa- biasa satu kelompok.” Asfahana tidak terlalu sering berinteraksi terlalu lama dengan orang lain. Setelah selesai semua urusan perkuliahan di kampus ia bersama Linda langsug pulang ke kost. Baginya, kamar kost lebih nyaman dan aman, ia bisa melakukan apa saja di kamar itu. Ketika peneliti menanyakan hubungannya dengan sesama penghuni kost itu, ia dan Linda serentak menyampaikan semua unek-unek nya. Rumah kost tersebut terdiri dari dua lantai, lantai bawah dihuni oleh empat mahasiswa asal Malaysia yang suku India, sedangkan lantai atas dihuni oleh empat orang mahasiswa asal Malaysia yang suku Melayu, tiga orang kuliah di FK USU, termasuk Asfahana dan satu orang kuliah di FKG USU, selain itu di lantai dua juga tinggal dua orang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Politeknik USU. Hubungan Asfahana dengan sesama Malaysia cukup baik, mereka sering bertegur sapa dan sesekali bercerita, tetapi dengan dua mahasiswa Indonesia, hubungan mereka memang tidak baik, seperti yang sudah peneliti jabarkan pada hasil wawancara Linda. Menurut Asfahana, tidak perlu ada pembedaan antara Indonesia dan Malaysia, sebab tidak ada manfaat yang dapat diambil dari hal itu. Ia mengharapkan adanya rasa saling menghormati sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan. “sebab kita kan manusia dilahirkan Tuhan sama aja kan? Cuman bahasa, budayanya aja yang berbeda. Apa la faedahnya buat begadoh dua negarakan? Tak ada la.” 130 Selain interaksi di kampus dan di kost, Asfahana juga berinteraksi dengan supir angkot dan tukang becak, karena mau tidak mau ia harus berurusan dengan mereka, sebab Asfahana tidak memiliki kendaraan pribadi. Cerita dari teman- teman tentang maraknya kasus penculikan dan hipnotis di angkutan umum membuat Asfahana dan Linda sangat takut, belum lagi kebiasaan teriak dan makian dari tukang becak yang pernah mereka alami. Untuk hal ini pun membuat mereka terkejut. Karena berusaha menawar tarif ongkos yang terlalu mahal, mereka sering dimarahi. Mereka tidak terbiasa dengan suara yang kuat dan terdengar kasar. Itu lah sebabnya mereka takut ketika harus berhadapan dengan tukang becak dan supir angkot. “naik angkot la masalah. Dengar daripada teman-teman ada kena culik handphone, baik duit, hipnotis, jadi macam gak berani, cuma lama- lama bisa la. Kalo macam sama-sama, tapi kalo seorang-seorang gak berani la, naik becak aja. Tapi becak pun takut, sebab suka teriak-teriak kan.” Selain interaksi, Asfahana juga terkejut dan tidak cocok dengan makanan di Medan, terlalu berat dan pedas. Ia tidak terbiasa sarapan dengan makanan berat, seperti nasi. Di Malaysia, ia biasa hanya makan beberapa kue sebagai sarapan. Tetapi, akhirnya ia pun bisa beradaptasi, tetapi tetap tidak mengkonsumsi makanan dengan cita rasa yang pedas. “makanan pun satu, sebab makanan di sini pedas. Lepas tu di sini makanannya macam sarapan pagi udah nasi terus, kalo di malaysia ada kue-kue.” Semua perbedaan dan hal yang baru yang ia temui di Medan membuatnya merindukan lingkungannya, Malaysia. Selama kurang lebih dua bulan Asfahana sering sekali menangis karena sangat merindukan keluarga dan semua familiaritas 131 di negara Malaysia. Tetapi akhirnya setelah menjalani proses selama 1 tahun lebih Asfahana sudah mampu menerima keadaan. “masa mula datang homesick lah, sebulan dua bulan tu nangis la, pikirkan keluarga, kalo sakit macam mana mau pulang, macam tu la, tapi lama-lama uda biasa la. tapi sekarang udah bisa, dalam 1 tahun la.” Impiannya menjadi perantau yang sukses dan pulang ke negara asal, Malaysia dengan gelar dokter memotivasi Asfahana untuk tetap bertahan hidup, diperkuat dengan dukungan teman-teman senasib dan sepenanggungan, terutama teman akrabnya, Linda. “sebab bayar mahalkan, jadi kami harus ada kesanggupan la, tapi kami bangga la kak, sebab kami berdikari di sini, tak ada family kan, nanti nak pulang ke Malaysia pun bangga la.” Kesimpulan Kasus Asfahana memiliki pengalaman yang hampir sama dengan Linda. Ia mengalami culture shock terhadap perbedaan nilai-nilai dan juga bahasa. Selain dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya, lingkungan Kota Medan yang terlalu padat, jalan raya yang macet dan tidak teratur, makanan yang terlalu pedas dan juga mengejutkan baginya. Pertama kali tiba di Medan, ia mengalami kecemasan dalam berkomunikasi. Ia merasa sulit untuk berkomunikasi karena masalah bahasa yang belum dipahami. Ia juga mempunyai masalah interaksi dengan dua mahasiswa Indonesia di kostnya. Ia merasa diperlakukan berbeda dengan tuan rumah, yakni orang-orang Medan. Asfahana juga mengalami homesick berat selama dua bulan pertama kedatangannya. Semua perbedaan dan kecemasan yang 132 dirasakannya membuat Asfahana cenderung berkumpul dengan sesamanya mahasiswa Malaysia, terkhusus dengan sahabat karibnya, Linda. Ia mengaku bersama sesamanya ia merasa lebih nyaman dan tidak perlu mengalami kesalahpahaman komunikasi. Asfahana sudah tinggal selama kurang lebih 2,5 tahun di Medan. Ia mengaku sekiranya tidak ada yang menjadi masalah lagi, tetapi perasaan diperlakukan berbeda masih menjadi pertanyaan baginya. Informan 9 Nama : Girtheekaadevy Usia : 22 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Kedokteran Angkatan : 2008 Lama Menetap : 2,5 tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Tridarma No. 26, Pintu 4 USU Tanggal Wawancara : Selasa, 21 Desember 2010 Girtheekaadevy, ia akrab dipanggil Girthee. Ia juga tinggal di rumah kost yang sama dengan Asfahana dan Linda. Ia tinggal bersama tiga mahasiswa suku Tamil asal Malaysia lainnya di lantai satu. Sejauh pengamatan peneliti, Girthee adalah tipe orang yang ramah dan humoris. Setelah memperkenalkan diri secara singkat, peneliti kemudian menanyakan pengalamannya ketika pertama kali tiba di Medan. Ini juga adalah pertama kalinya Girthee ke Indonesia, tepatnya Medan. Sesampainya di Medan, Girthee terkejut dan terganggu dengan udara di Medan yang penuh polusi, belum lagi cita rasa makanan yang tidak biasa baginya. Dalam hal makanan, sampai sekarang pun Girthee tidak bisa beradaptasi. Di semester pertama, sebelum ada dapur ia hanya makan mie instan saja, kemudian di 133 semester kedua setelah ada dapur di kostnya, setiap harinya Girthee memilih memasak sendiri. “mungkin udaranya yang banyak abu. Minggu pertama tu memang saya sakit, sebab tak biasa dengan udara dan makanannya, sampai sekarang pun makanannya gak bisa la. makan di warung-warung gitu gak bisa, semester 2 baru bisa masak sendiri, sebab dulu belum ada dapur, sekarang udah bisa masak la.” Berkomunikasi dengan orang-orang Indonesia adalah kesulitan terbesarnya, sebab ia tidak menguasai bahasa Indonesia. Girthee harus mengulang mata pelajaran bahasa Indonesia karena tidak lulus, bahkan ada mata kuliah yang ia harus mengulang sebanyak lima kali karena kelemahan bahasa. Hal ini juga sangat terasa ketika harus melakukan presentasi di kelas. Girthee sangat sering menggunakan campuran bahasa Melayu dan Inggris. Ia mengaku hal ini menyebabkannya kerapkali ditegur oleh dosen. Teman-teman mahasiswa Indonesia yang sekelasnya juga memberikan pendapat bahwa bahasa Indonesianya masih belum baik dan sulit dipahami. “kalau bahasanya sampai sekarang gak fasih lagi, sebab masih banyak teman yang bilang bahasa saya sukar dipaham gitu. saya ada gagal pelajaran sebab gak bisa bahasanya, sampai gagal 4 sampai 5 sesion. kadang kalau presentasi di tutorial itu kan kadang gak sadar campur bahasa dengan bahasa malaysia kan, kena marah dosen la macam tu, mereka bilang kenapa kamu campur-campur, kadang campur lagi dengan bahasa Inggris, macam-macam la.” Ia tetap berusaha menjalin hubungan yang baik dengan mahasiswa Indonesia di kampusnya. Ia juga memiliki beberapa teman baik yang dari mahasiswa Indonesia karena sering bertemu di kelas lab praktikum. Terkadang untuk memahami perkataan orang lain Girthee menggunakan bahasa signal, sebab menurutnya itu lebih mudah dipahami. 134 “interaksinya bole la, komunikasi juga perlahan-lahan bole, saya pun ada teman akrab indonesia, sebab satu lab kan, So ada la yang akrab. interaksi bole la, bagus juga, cuman bahasa tu la, kadang gak bisa dipahami. Jadi kadang saya guna bahasa signal, sebab bahasa signal lebih mudah kak, lebih mudah pahami.” Hubungan dengan sesama penghuni rumah kost juga baik. Ia bergaul sangat akrab dengan sesama mahasiswa asal Malaysia di kost itu, apalagi dengan penghuni lantai satu yang sama-sama suku India. Masalah hubungan dengan sesama penghuni kost seperti yang dialami Asfahana, Linda dan Tini tidak terlalu dirasakannya, sebab ia berada di lantai bawah, sehingga tidak terlalu berpengaruh baginya. Interaksi dengan orang lain di luar kampus dan kost sama seperti yang diungkapkan informan-informan sebelumnya, ia shock dengan gaya tukang becak, dengan harga yang tinggi dan suara teriakan mereka jika harganya tidak sesuai. “suara yang kuat. kadang kala mereka tanya mau pergi mana kan, bila kami kata mau pergi mana-mana kan, bayarnya mahal, nanti mereka jerit sama kami, mereka bilang kan “oh kamu orang malaysia, kamu udah kaya, gak mau bayar lagi. Macam tu la. tapi kami langsung jalan aja, sebab udah biasa la.” Gejala culture shock seperti homesick yang berlebihan juga ia rasakan di awal kedatangannya. Tetapi kehadiran teman sesama Malaysia di kost dan kampus membuatnya mampu menghadapi perbedaan lingkungan. Secara keseluruhan, menurutnya Medan tidak jauh berbeda dengan Kuala Lumpur, kota asalnya. Tetapi, dari semua perbedaan yang Girthee hadapi, bahasa adalah kendala terberatnya. Dalam wawancara, peneliti menangkap Girthee berulang kali menyebutkan kelemahannya itu, bahkan ia mengaku takut berkomunikasi apalagi ketika memasuki dunia coass tahun depan, ia harus bertemu dengan lingkungan baru dan orang-orang baru lagi, seperti suster perawat dan pasien. Tetapi karena 135 Girthee belum berada pada situasi yang sebenarnya, ia masih biasa dan belum banyak yang dapat ia ceritakan “pokoknya komunikasi la yang kami paling takut kak, apalagi nanti mau coass kan, sama suster, pasien lagi kan. Itulah yang rasa paling sukar, takut la.” Kesimpulan Kasus Girthee merupakan informan yang juga sudah mampu beradaptasi. Kecemasan yang paling besar ia rasakan adalah bahasa. Hal ini membuatnya takut dalam berkomunikasi. Ia bahkan sering mendapat teguran oleh dosen karena kemampuan bahasa yang sangat lemah. Ia juga mengulang mata kuliah sampai lima kali juga karena masalah bahasa. Interaksinya dengan sesama penghuni kost sejauh ini baik-baik saja, tetapi masalah seperti yang Linda dan Asfahana alami tidak terlalu ia rasakan karena ia tinggal di lantai yang berbeda. Di luar masalah interaksi, udara dan makanan di Medan sampai sekarang tidak cocok baginya. Ia memilih masak sendiri di kost. Reaksi culture shock seperti homesick juga ia rasakan. 136 Informan 10 Nama : Kaarthini Arjunam Usia : 21 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Kedokteran Angkatan : 2008 Lama Menetap : 2,5 tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Tridarma No. 26, Pintu 4 USU Tanggal Wawancara : Selasa, 21 Desember 2010 Tini adalah mahasiswi Melayu asal Malaysia yang mengecap pendidikan di FK USU. Peneliti mengenalnya dari Linda. Secara penampilan, Tini juga mengenakan jilbab dan baju kurung. Berbeda dengan Linda dan Asfahana yang peneliti wawancarai di ruang TV, proses wawancara dilakukan di kamar Tini, sehingga peneliti dapat mengamati kehidupan dan kepribadiannya melalui isi kamarnya. Peneliti mengamati setiap sudut kamar Tini, terlihat Ia adalah muslimah yang taat. Tini menempel kertas-kertas yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an dan penggalan doa. Masih dari pengamatan peneliti, Tini tergolong mahasiswi yang rajin belajar. Ia juga sangat senang memotivasi diri, tulisan semangat tertempel di dinding kamarnya. Ia melepas lelah sebentar, kemudian peneliti mulai menanyakan pengalamannya. Sama seperti kebanyakan informan, ini adalah pengalaman pertama Tini datang ke Medan. Persepsi dan pendapat tentang Indonesia, tepatnya Medan juga ada. Di Malaysia, Ia sering mendengar negatif tentang Indonesia, akibat konflik yang sering terjadi antara kedua negara ini. Apalagi cerita tentang “orang Batak, makan orang” juga sampai ke telinganya. Tini juga mendapat nasihat untuk selalu berhati-hati selama tinggal di negeri orang. 137 “persepsi mungkin orang ramai pun bilang macam hati-hati la, takut nanti banyak orang jahat kan. Karena di Indonesia ini kan banyak konflik antar indonesia dengan malaysia kan, jadi harus hati-hati. Lepas tu ke medan lagi, di sana kan banyak orang batak, mereka bilang gitu jadi hati-hati nanti ada yang makan orang, macam tu la orang ramai bilang.” Persepsi awalnya tentang Indonesia adalah budaya yang sama dengan Malaysia, jadi Tini tidak terlalu mengkhawatirkan kehidupannya nanti di Kota Medan. Tetapi setelah tiba di Medan, di kampusnya dan melihat orang-orang Medan dengan segala kebiasaan dalam berinteraksi, Tini juga terkejut. Ia memberikan contoh tentang perbedaan dalam hal hubungan antara perempuan dan laki-laki di Indonesia dan di negaranya. Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terlalu dipermasalahkan di Indonesia, baginya tidak biasa dan terlalu bebas. Tini pernah mengalaminya sendiri, ketika salah seorang teman prianya ingin menjabat tangannya untuk mengucapkan selamat ulang tahun dengan cara yang tetap sopan Tini menolak. “awalnya tini kira budaya tu semua sama aja kan, malaysia indonesia pun budayanya sama la, tapi bila datang sini beda la. dia bedanya kalau di sini kan sosialnya lebih tinggi la, maksudnya lebih tinggi tu, contohnya macam pergaulan antar perempuan dan laki kan, lebih bebas dibandingkan malaysia. Kita pun bebas juga, tapi terkadang kalau di depan umum tertutup gitu, ada batas la, itu kalau di umum, agak malu macam tu la, kalau di belakang kita pun gak tau kan. kalau di medan, yang berjilbab aja pun kadang pegang-pegang gitu, rangkul, macam udah biasa gitu kan, disana, di malaysia gak biasa macam tu.” Beberapa bulan pertama Tini juga mengalami kesulitan bahasa. Ia bahkan selalu meminta salah satu mahasiswa Indonesia untuk duduk di sebelahnya selama perkuliahan berlangsung untuk membantunya memahami materi kuliah dan juga interaksi dengan mahasiswa Indonesia lainnya. “interaksi gak terlalu macam mana, cuman bahasanya aja yang sukar dipahami. Dulu mulanya tu selalu di sebelah saya tu harus ada orang indonesia, sebab mau tanya apa maksud ini itu kan, karena memang jauh 138 kali la beda bahasa, hampir sama memang kak, tapi tetap aja sukar. Kadang ada satu kata yang sama ucap tapi maknanya beda, lepas tu ada kata yang asing, memang tak paham sama sekali la.” Tini juga mengaku lingkungan FK USU masih cenderung berkelompok, tidak hanya mahasiswa Indonesia tetapi juga mahasiswa Malaysia. Meskipun demikian, Tini lebih memilih untuk berbaur dengan keduanya. “FK masi ada kelompok-kelompok la, kurang berbaur, bukan indonesia aja, malaysia pun berkelompok-kelompok juga. Tapi tini ada teman akrab indonesia juga la, kiranya macam pernah tidur sama di rumahnya gitu kan.” Bahasa yang tidak terlalu fasih tidak membatasi Tini berinteraksi dengan orang-orang Indonesia. Ia selalu ingin belajar. Bersama teman-teman mahasiswa Indonesia, Tini terus berupaya mempelajari bahasa Indonesia. Ia suka membuka diri dan pandai bergaul. Tini memiliki banyak teman yang merupakan mahasiswa Indonesia, bahkan ia mengaku ia lebih sering melewati waktu dengan mereka. Tini memiliki sepuluh orang teman mahasiswa Indonesia yang sering bersamanya. Mereka memiliki program belajar bahasa Arab bersama, bahkan sesekali ia menginap di rumah temannya yang mahasiswa Indonesia tersebut. Keseringannya berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia, lambat laun bahasa tidak lagi menjadi masalah. “sebenarnya kalau ikutkan, tini lebih sering sama yang orang indonesia. Sebab kami ada kayak belajar bahasa arab bersama gitu kan, jadi terkadang tidur rumah mereka, macam ada program gitu la. teman- teman tini yang indonesia itu memang baik-baik la, saya suka kali teman dengan mereka. Banyak juga la, ada 10 orang la kami.” Hubungan dengan teman sesama penghuni kost cukup baik. Pribadinya yang berusaha untuk menerima, sabar dan tidak terlalu ambil pusing membuatnya tetap mampu menerima keadaan, berbeda dengan Linda yang lebih sensitif. Sesungguhnya ia juga merasa terganggu tetapi Tini memilih untuk tidak 139 memperdulikan karena banyak hal lain yang lebih penting untuk ia pikirkan dan kerjakan. Tini berupaya menjaga hubungan tetap baik sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. “kalau di kost biasa-biasa aja la, sama yang di atas dekat juga. Kalau di bawah malaysia juga, cuman india, tegur-tegur gitu aja la, biasa aja. ada rasa macam tu juga kadang-kadang, sebab mereka kan udah biasa macam tu, jadi kami pun lain, tapi memang lain la, kami memang lain sama mereka. Jadi ya sabar aja la, diam-diam aja, cuman tegur gitu aja.” Perbedaan seperti keadaan jalanan kota Medan juga dirasakan Tini. Ia bahkan terkejut dengan keadaan lalu lintas yang tidak teratur, pengendara yang sering menekan klakson dan melanggar lalu lintas. Di Malaysia, macet juga ada, tetapi lebih teratur dan seluruh kendaraan tersusun. Selain itu, pengendara yang menekan klakson menandakan bahwa ia sudah sangat marah. Jadi, keadaan ini sempat membuat Tini shock. “kalau lingkungannya itu memang beda dengan malaysia, kalau di sini kan gak teratur, disana pun macet juga, tapi tersusun, disini kan tekan horn yang berkali-kali kan, kalau disini horn tu biasa kan, kalau di sana tekan horn itu udah macam marah gitu la. lepas tu main jalan aja kalau lampu merah.” Masalah ketika berhadapan dengan supir angkot dan tukang becak seperti yang kebanyakan informan sampaikan tidak terlalu dirasakan Tini, sebab Ia memiliki kendaraan pribadi, setiap harinya Tini menggunakan sepeda motor kemana pun ia pergi. Homesick juga dialami Tini sebagai perantau di negeri orang, bahkan sampai sekarang. Tetapi untuk yang berlebihan sampai menangis hanya di awal kedatangannya saja. “homesick memang selalu la, banyak kali nangis, sering la, tapi mula-mula aja, sekarang ada rindu juga tapi tak pala la.” 140 Secara keseluruhan, sudah tiga tahun ia menjalani kehidupan di Kota Medan dan Tini sudah mampu menyesuaikan diri. Motivasi dari diri sendiri untuk tetap berjuang hidup di negara orang untuk membawa cerita kesuksesan kepada keluarga di Malaysia memberikan semangat bagi Tini. Selain itu, seperti yang sudah peneliti jelaskan sebelumnya, Tini adalah pribadi yang sangat suka memotivasi diri sendiri, dari hal-hal kecil, seperti menempelkan kata-kata semangat di setiap sudut dinding kamar kostnya, salah satu contoh kalimat yang ditempel adalah “Kau harus semangat belajar, survive Nanti kau menyesal” Kesimpulan kasus Tini mengalami culture shock karena perbedaan nilai-nilai dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan. Hal ini yang paling mencolok baginya. Awalnya ia sangat terkejut, karena baginya itu sangat tidak wajar. Kesulitan bahasa juga sempat ia alami di awal kedatangannya. Meskipun bahasa Indonesia dan Melayu yang biasa digunakannya hampir sama, tetapi tetap saja terasa sukar. Pribadinya sangat ramah dan suka bergaul. Ia mempunyai banyak teman mahasiswa Indonesia, bahkan ia mengaku ia lebih sering berkumpul dengan mahasiswa Indonesia dibandingkan dengan sesama mahasiswa Malaysia. Ia belajar tentang Medan lebih banyak lagi bersama teman-temannya itu. 141 Informan 11 Nama : Lim Rui Liang Usia : 24 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Fakultas : Kedokteran Gigi Angkatan : 2006 Lama Menetap : 4,5 tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Dr. Mansyur Tanggal Wawancara : Rabu, 22 Desember 2010 Lim merupakan mahasiswa co-ass di FKG USU. Sejak tahun 2006 tiba di Medan, berarti sudah kurang lebih 4,5 tahun ia melalui hidup di Kota Medan. Ia suku Tionghoa. Dari pengamalatan peneliti, ia tergolong pribadi yang ramah dan suka bergaul. Merantau ke Medan juga hal perdana baginya. Lim datang ke Medan untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi USU. Lim ingin menjadi seorang dokter gigi, itu yang menjadi alasannya memilih USU. Seperti informan kebanyakan, Lim memilih USU karena biaya yang murah, jarak yang dekat dan besar kesempatan untuk diterima. Dan yang terpenting, sesuai dengan impiannya, Lim memilih USU karena ada program studi Kedokteran Gigi, sebab FKG USU memiliki nama baik di negaranya. “Sebab awalnya mau sekolah di university di malaysia, cuman karena sukar masuk, lepas itu mahal juga, jadi pilih usu aja, sebab ada dentistry, murah juga gitu, dan terkenal juga di Malaysia”. Perbedaan yang dirasakan Lim secara keseluruhan hampir sama dengan informan lainnya, seperti makanan Medan yang terlalu pedas dan masalah perbedaan bahasa. Lim juga mengalami kesulitan ketika berkomunikasi karena kemampuan bahasa Indonesia yang kurang baik, itu sangat terasa di awal 142 kedatangannya. Lim bingung dan tidak paham dengan beberapa kata yang sering digunakan di Kota Medan. “pertama kali memang sukar la, apalagi bahasa, nanti ada bahasa yang sama tapi artinya berbeda. Misalnya bisa gitu kan, disini bisa berarti boleh, tapi di sana bisa cuman berarti racun aja. Tapi udah beberapa bulan perlahan-lahan la udah bisa mengerti.” Pada masa awal kepindahannya, sebagai pendatang yang baru memasuki lingkungan yang berbeda dan orang-orang yang juga berbeda, Lim kurang berbaur dengan mahasiswa Indonesia yang ada di kampusnya. Tetapi karena ditempatkan pada kelas yang sama, laboratorium praktikum yang sama dan juga harus terlibat dalam pengerjaan kelompok dengan beberapa mahasiswa Indonesia, menuntutnya untuk berbaur dan berinteraksi dengan mereka. “pertama kali memang belum berbaur la, tapi udah setengah tahun gitu ada la, berbaur, karena ada tugas bersama juga, atau lab praktikum gitu kan, jadi mulai bergaul-gaul.” Merindukan lingkungan asal yang familiar baginya juga dirasakan pada awal kepindahannya, tetapi perasaan itu tidak mendominasi. Lim pribadi yang supel dan mudah beradaptasi. Ia tidak terlalu membatasi diri untuk bergaul dengan orang lain, baik itu mahasiswa Malaysia maupun Indonesia. Untuk saat ini, Lim sedang menjalani co-ass di FKG USU. Orang-orang dengan karakter berbeda juga Ia jumpai, seperti pasien-pasien yang harus ia tangani. Masalah komunikasi juga ia rasakan, tetapi Lim mengaku itu tidak terlalu menjadi perSoalan besar untuk saat ini, sebab pengalaman 4,5 tahun dengan orang-orang Indonesia membuatnya sudah terbiasa. Lim juga memiliki banyak teman mahasiswa Indonesia, dan ikut juga banyak membantu proses adaptasinya. “saya orangnya ok ok aja, bergaul aja sama semau, kalau diajak ikut la. homesick mula-mula ada la. kalau waktu coass sekarang masih ada 143 sedikit komunikasi yang sulit la, tapi masih ok juga, banyak teman bantu juga kan.” Kesimpulan Kasus Lim mengalami culture shock terhadap perbedaan bahasa. Di luar maslah komunikasi, ia tidak terbiasa dengan makanan Medan yang pedas, tetapi itu dirasakan di awal kedatangannya. Ia merasa aneh untuk istilah-istilah tertentu yang digunakan di Medan. Kondisinya yang sedang menjalani co-ass di FKG USU menuntutnya untuk mampu berkomunikasi dan bergaul dengan orang-orang Indonesia, sebab ia mendapatkan orang-orang tambahan, yakni pasien-pasien yang ditanganinya adalah orang Indonesia. Seiring berjalannya waktu sembari belajar dari pengalaman praktik komunikasi bersama orang-orang Indonesia, Lim sudah mampu beradaptasi dan menikmati setiap kegiatannya di Kota Medan, khususnya kampus. IV.2 PEMBAHASAN Dari pengamatan peneliti, maka dapat dibuat pembahasan sebagai berikut: Peneliti hanya mengambil 11 informan dengan metode penarikan sampel bola salju snowball sampling. Peneliti mendapatkan jawaban yang rata-rata sama mengenai culture shock yang dialami dan tidak mendapatkan data baru, sehingga peneliti menghentikan pencarian informan. Dari 11 informan tersebut maka peneliti membuat pembahasan yang dikaitkan dengan tujuan dari penelitian ini sendiri, yakni untuk mengetahui proses culture shock, reaksi culture shock dan 144 upaya mengatasi culture shock pada Mahasiswa Malaysia di USU, sebagai berikut: 1. Proses culture shock Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam uraian teoritis bahwa culture shock adalah kecemasan yang timbul dan disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan Sosial dalam rangka perpindahan dari lingkungan familiar ke lingkungan baru Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174, demikian pula yang dialami oleh informan, yakni mahasiswa Malaysia yang menempuh pendidikan di USU. Sebagai individu yang berasal dari negara yang berbeda dengan membawa segala bentuk budaya yang sudah tertanam dan melekat dalam diri individu tersebut, maka ketika memasuki kota Medan pada umumnya dan USU pada khususnya merupakan suatu pengalaman baru dan mereka pun turut mengalami gegar budaya culture shock. Dikaitkan dengan tingkat-tingkat culture shock yang dikemukakan dalam Intercultural Communication Between Cultures Samovar, 2007: 335-336, maka dalam penelitian ini dibuat pembahasan sebagai berikut: a. Fase Optimistik Optimistic Phase Dari hasil wawancara dan pengamatan, kebanyakan informan melalui fase ini dimana mereka merasakan euforia dan semangat dalam menyambut suatu kehidupan yang baru. Kebanyakan informan memilih FK dan FKG USU selain karena biaya yang lebih murah, salah satu alasan utama mereka adalah kerena kedua fakultas ini memiliki mutu dan akreditasi yang sama dengan universitas 145 terkenal di Malaysia. Dengan melewati proses seleksi melalui ujian akhirnya mereka lulus dan tercatat sebagai mahasiswa di FK dan FKG USU. Ini merupakan suatu kebanggaan yang memotivasi semangat mereka menempuh pendidikan di negara orang. Harapan untuk menjadi seorang perantau yang sukses dengan membawa gelar sebagai dokter tertanam dalam diri informan, seperti yang dikemukakan secara terang-terangan oleh Linda, Asfahana dan Kartini. Gambaran dan informasi yang diperoleh bahwa USU kota Medan adalah tempat yang secara umum tidak jauh berbeda dengan Malaysia juga mengiringi keberangkatan mereka, setidaknya menjadi harapan akan sesuatu yang akan baik. Penjabaran ini sesuai dengan definisinya bahwa fase optimistik ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. b. Fase Masalah Kultural Cultural Problems Phasei Fase ini adalah fase kritis dalam culture shock. Informan merasakan berbagai perbedaan yang menimbulkan keterkejutan dan kecemasan dalam berinteraksi dan kontak langsung dengan lingkungan barunya. Rata-rata informan merasakan perbedaan akan hal yang sama, seperti ketika berkomunikasi, kendala bahasa, perbedaan nilai-nilai dan pola perilaku kultural Rahardjo, 2005. Seperti yang dialami Linda dan Asfahana, mereka melalui masa dimana mereka dianggap asing, tertolak dan dimusuhi. Mereka juga merasa bingung dan sangat tidak 146 terbiasa dengan perbedaan-perbedaan yang ada, seperti bahasa, yakni pengalaman Amirah yang mengalami kesulitan dalam bahasa, baik lisan maupun tulisan. Ia bahkan takut karena harus dimarahi dosen setiap kali melakukan kesalahan bahasa, misalnya ketika presentasi materi di kelas apalagi ketika saat ini Amirah sedang menyusun skripsi sebagai suatu karya ilmiah. Kemudian perbedaan lain akan cara pengucapan yang kuat dan terdengar kasar, perbedaan nilai seperti kapan dan dengan siapa boleh berjabat tangan, misalnya jabat tangan antara laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang tidak biasa bagi orang Melayu Malaysia khususnya. Mereka juga menemukan perbedaan yang mencengangkan seperti merokok dan mencontek di lingkungan kampus. Govin dan Harry terus terang dengan fasilitas dan birokrasi kampus yang kurang memuaskan dan terkesan menyulitkan mahasiswa. Pengalaman culture shock informan bukan hanya dengan orang-orang dan lingkungan kampus, tetapi juga di luar itu, misalnya ketika berurusan dengan tukang becak dan supir angkot. Rata-rata bahkan hampir semua informan mengeluh dan mengaku shock dengan kasarnya mereka bicara dan tarif yang dibuat sesuka hati. Peneliti mendapatkan data gegar budaya culture shock tidak hanya ketika berkomunikasi, tetapi terhadap lingkungan kota Medan yang terlalu padat, sempit dan traffic jam di lalu lintas Medan, juga cita rasa makanan Medan. 147 c. Fase Kesembuhan Recovery Phase Setelah melewati beberapa tahun di Kota Medan, akhirnya informan mulai mengenali lingkungan barunya. Rata-rata informan mengaku tidak lagi mengalami sesuatu yang terlalu dicemaskan, hanya saja mereka masih terus belajar tentang budaya baru tersebut, terutama mengenai bahasa. Perlahan-lahan informan menemukan kenyamanan dan menghargai segala perbedaan sebagai bentuk budaya yang lain yang patut dihormati. Merasa dibeda-bedakan dalam berinteraksi sedikit banyak juga masih dirasakan, seperti Linda dan Asfahana. Tetapi, kebanyakan informan mengaku sudah mulai menganggap itu biasa dan mampu beradaptasi. d. Fase Penyesuaian Adjustment Phase Dalam fase ini pendatang sudah mengetahui elemen kunci budaya barunya, termasuk pola komunikasi dan sebagainya. Pada fase ini pula ada rasa puas dan menikmati kondisi yang dihadapi. Para informan rata-rata mengaku sudah mampu beradaptasi. Meskipun demikian masih terus berada dalam proses belajar akan budaya itu, khususnya bahasa. Informan juga melakukan hal-hal baru yang membuat mereka menikmati hidup di lingkungan yang berbeda dengan mereka. 148 2. Reaksi terhadap culture shock Perbedaan dan gegar budaya yang dirasakan menimbulkan kecemasan dan gangguan secara fisik dan psikis seperti dikemukakan dalam Samovar, 2007: 335 mengenai beberapa reaksi terhadap culture shock. Dari penelitian ini ditemukan bahwa berbagai reaksi yang dirasakan informan adalah merasa ditolak, merindukan lingkungan lama dan keluarga homesick yang mengakibatkan kesedihan yang mendalam selama beberapa waktu, menganggap tuan rumah tidak peka, gangguan fisik karena makanan dan udara yang tidak cocok. Tetapi secara keseluruhan, kebanyakan informan mengalami reaksi homesick. 3. Upaya mengatasi culture shock Dari penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil bahwa informan mengatasi culture shock yang timbul karena perbedaan-perbedaan yang dirasakan dengan belajar dari si pemilik budaya, yakni tuan rumah, orang Medan itu sendiri. Informan membuka diri untuk berbaur dan bergabung dengan mahasiswa Medan Indonesia di kampus atau bahkan di luar kampus. Ini juga dimotivasi dengan kesadaran sebagai pendatang yang harus berinteraksi dan juga kebutuhan akan hal itu demi kelangsungan hidup. Seperti yang dilakukan Harry, Govin, Lavanyah, Tini dan Jonatan. Mereka bergaul dengan orang Medan Indonesia tidak hanya untuk urusan kampus saja, tetapi juga hang-out seperti belajar kelompok bersama, futsal, main billyard, bahkan menghilangkan stress skripsi dengan rencana berlibur ke luar kota seperti yang akan dilakukan 149 Lavanyah dengan teman-temannya, serta Jonathan yang memiliki komunitas pencinta reptil dan amphibi. Di tengah-tengah itu semua, ternyata Linda, Asfahana dan Amirah memilih mengatasi culture shock mereka dengan cara bergabung dengan sesamanya mahasiswa Malaysia. Linda dan Asfahana mengaku untuk semua hal, pergi kemana saja dan melakukan apapun mereka selalu bersama. Begitu pula dengan Amirah yang selalu berkelompok dengan teman-teman sesama mahasiswa Malaysia untuk sebuah kenyamanan dan menghindari masalah interaksi dalam hal apapun. Mengenai karakteristik informan, dari penelitian ini juga ditemukan bahwa culture shock pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perempuan lebih sensitif dan lebih lambat beradaptasi dengan lingkungan baru. Perbedaan yang ada sedikit banyaknya mempengaruhi perasaan dan kondisi mereka. Reaksi culture shock juga lebih terasa oleh perempuan, seperti homesick yang berbulan-bulan, menangis karena merindukan lingkungan asalnya, merasa ditolak, cepat tersinggung dan menganggap tuan rumah tidak peka. Proses penyesuaian diri juga lebih lambat. Sedangkan laki-laki, perbedaan yang ada tidak terlalu ditanggapi serius, dan hanya membutuhkan waktu yang cukup singkat untuk menerimanya dan beradaptasi. Selain itu, laki-laki juga lebih cepat berbaur dan menguasai lingkungan. Asal fakultas informan juga berpengaruh dalam proses penyesuaian diri. Mahasiswa FK USU cenderung berkelompok dibanding mahasiswa FKG USU, 150 sehingga ini mempengaruhi intensitas interaksi mereka dengan mahasiswa Indonesia. Kedekatan dan keakraban dengan mahasiswa Indonesia lebih terasa dan terbangun di FKG USU. Lingkungan FKG USU yang lebih sempit dibanding FK juga membantu kedekatan mereka. Adanya kerja sama antara mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Malaysia juga lebih terjalin di FKG USU. Jadi, dikarenakan intensitas kontak dengan mahasiswa Indonesia lebih tinggi di FKG, maka proses penyesuaian diri juga lebih cepat. Dalam penelitian ini, mahasiswa FKG lah yang lebih dekat dengan mahasiswa Indonesia, memiliki komunitas dengan orang Indonesia, sering bergabung baik di kampus maupun di luar kampus. Kegiatan santai dan hang-out dengan orang Indonesia juga lebih sering dilakukan oleh mahasiswa asal Malaysia di FKG USU. Sedangkan mahasiswa asal Malaysia di FK USU hanya berinteraksi untuk urusan kuliah saja, sangat jarang yang bergaul dengan orang Indonesia di luar kampus. Lama menetap juga menjadi faktor yang mempengaruhi pemulihan keterkejutan budaya dan mencapai tahap penyesuaian. Terbukti dalam penelitian ini, informan yang sudah tinggal lebih lama di Medan, sudah lebih menerima dan beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Perbedaan yang ada di Medan diterima sebagai sesuatu budaya baru dan berupaya untuk menyesuaikan diri. Lavanyah, Harry, Lim, Jonathan dan Amir yang sudah menetap selama lebih dari tiga tahun mengaku seiring berjalannya waktu mereka sudah mampu beradaptasi dengan orang-orang Medan. Adaptasi mereka juga sudah lebih menyeluruh dibandingkan dengan Linda, Asfahana, Tini, Girthee dan Govin yang tinggal selama kurang dari tiga tahun. Perbedaan yang dirasakan dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya juga lambat laun diterima dan dihargai sebagai suatu budaya lain. 151 Sedangkan faktor usia tidak berpengaruh, seseorang yang lebih tua tidak menjamin proses penyesuaian yang lebih cepat, demikian sebaliknya, mahasiswa yang berusia lebih muda juga tidak menjamin ia lebih cepat beradaptasi. Asfahana yang berusia 23 tahun lebih lambat beradaptasi dibanding Tini yang berusia 21 tahun. Begitu pula sebaiknya, Harry yang berusia 23 tahun merasakan culture shock yang lebih ringan dan juga lebih cepat beradaptasi dibanding dengan Govin yang berusia 21 tahun. Selain faktor-faktor yang tertera dalam karakteristik informan, sesuai dengan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi dalam Mulyana dan Rakhmat, 1993: 142, faktor komunikasi perSonal, komunikasi Sosial dan lingkungan juga turut mempengaruhi. Komunikasi perSonal seperti struktur kognitif, meliputi pengetahuan tentang budaya yang dimasuki, self image si informan sebagai individu dan juga motivasi yang mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang dan berpartisipasi dalam lingkungan budaya baru. Kemudian, komunikasi Sosial yang meliputi komunikasi interpersonal dengan orang-orang Medan Indonesia dan juga lingkungan kota Medan, dalam hal ini kampus FK dan FKG. Dalam penelitian ini, ketiga faktor itu turut mempengaruhi dalam mengatasi culture shock dan penyesuaian diri. Pengetahuan Harry, Govin dan Jonathan yang lebih luas tentang Indonesia melalui pengalaman mereka yang pernah berkunjung ke Indonesia sebelumnya sedikit banyaknya membantu penguasaan budaya dan interaksi dengan orang-orang Medan Indonesia. Selain itu, watakkepribadian sebagai seorang individu juga berpengaruh. Linda yang sangat sensitif merasakan terpaan culture shock yang lebih berat dibandingkan 152 dengan Tini yang lebih cuek, padahal mereka tinggal dalam fakultas yang sama dan juga rumah kost yang sama. Motivasi diri untuk bergabung dengan orang- orang Medan Indonesia juga mempengaruhi. Informan yang sadar bahwa dirinya adalah pendatang sehingga sewajibnya mereka harus beradaptasi dan termotivasi untuk belajar tentang bahasa Indonesia dan segala sesuatu tentang Medan, juga termotivasi untuk lebih membuka diri, bergaul dan bergabung dengan tuan rumah akan lebih cepat beradaptasi dan keterkejutan budaya yang dirasakan pun sembuh. Harry dan Govin mengungkap hal ini secara terang-terangan. Motivasinya untuk bergabung dan bergaul dengan orang-orang Medan Indonesia, khususnya mahasiswa Indonesia di kampus mereka membantu penyesuaian diri mereka. Mereka berpegang pada kesadaran akan adanya perbedaan dan kebutuhan akan interaksi. Sekiranya, dari penelitian ini benar apa yang dikemukakan oleh Schramm dalam Liliweri, 2001: 171 bahwa dalam membantu suatu komunikasi antarbudaya yang efektif, partisipan komunikasi harus memperhatikan empat syarat, yakni 1 menghormati anggota budaya lain sebagai manusia; 2 menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki; 3 menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak; dan 4 komunikator antarbudaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain. Apa yang dikemukakan Schramm jelas terbukti dalam penelitian ini. Informan yang menyadari kondisinya sebagai pendatang berupaya untuk menerima perbedaan yang ada dan menghargai itu sebagai suatu budaya lain yang juga harus dihormati akan lebih cepat beradaptasi dan berinteraksi dengan lebih baik. Demikian pula 153 sebaliknya, pihak tuan rumah, yakni mahasiswa Indonesia di FK dan FKG pada khususnya berupaya untuk menerima mereka dengan perbedaan yang ada, seperti kebiasaan untuk tidak berjabat tangan antara perempuan dan laki-laki yang diterima dan dipahami oleh orang Indonesia. Dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik, maka dapat disimpulkan bahwa memang benar individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, serta menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Meskipun secara umum, hampir seluruhnya informan yang merupakan mahasiswa asal Malaysia di FKG USU lebih cepat berdaptasi dan memiliki intensitas komunikasi antarbudaya yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa asal Malaysia di FK USU, tetapi ada informan yang tetap berkelompok dengan sesamanya, bahkan dengan yang satu etnis dengannya, seperti Amirah yang mengaku tidak mengalami culture shock yang terlalu berat selain kendala bahasa. Amirah dalam kesehariannya hidup berkelompok dengan sesama mahasiswa Melayu Malaysia. Peneliti menyakini perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif yang menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Artinya, bisa jadi informan yang lebih cepat beradaptasi seperti Harry, Govin, Amir, Kartini, Lavanyah, Lim dan Jonathan memiliki ekspektasi mahasiswa Medan Indonesia yang positif yang akhirnya mendorong mereka untuk mau berinteraksi, melakukan komunikasi antarbudaya, meskipun dengan 154 berbagai kendala dan perbedaan yang dirasakan tetapi memperoleh pembelajaran tentang budaya Medan Indonesia. Mereka memberikan definisi yang lebih baik tentang orang Medan Indonesia dan menghargai perbedaan yang ada dibandingkan informan yang memilih berkelompok dan hanya berinteraksi untuk urusan kuliah saja. Sedangkan informan yang memberikan definisi yang cenderung negatif tentang lingkungan Medan dan orang-orang di dalamnya seperti Linda dan Asfahana yang memaknai situasi dan perilaku orang Indonesia yang tidak ingin berteman dengan orang Malaysia, maka Linda dan Asfahana cenderung berkelompok dengan sesama mahasiswa Malaysia dengan segala bentuk kenyamanannya. Tidak hanya memberikan definisi terhadap orang lain, definisi yang mereka berikan terhadap diri mereka sendiri juga mempengaruhi perilaku mereka. Informan yang lebih cepat dalam beradaptasi dan mengatasi culture shock yang dialami, mendefinisikan dirinya sebagai pendatang yang seharusnya belajar budaya tempat yang Ia datangi dan berkomunikasi dengan orang-orang yang didalamnya, bukan seorang yang berada di suatu tempat asing dengan segala sesuatu yang terasa asing sehingga memilih menarik diri dan tidak melakukan komunikasi antarbudaya. Jadi, perilaku individu berdasarkan maknadefinisipenafsiran itu. Selain itu, terdapat hal-hal yang memotivasi diri untuk berkomunikasi dengan orang-orang Medan Indonesia, tetapi untuk informan yang mendefinisikan dirinya sebagai pendatang yang diasingkan, ditolak dan berbeda, maka perilaku mereka cenderung lebih sering berkelompok dan hanya berkomunikasi seadanya untuk urusan perkuliahan. Hal ini dijadikan sebagai perlindungan bagi culture shock yang mereka alami. Memang benar bahwa menurut Deddy Mulyana dalam Mulyana, 2005: 144, lingkungan yang 155 berisi sesama pendatang dengan asal yang sama membantu proses penyesuaian dan penerimaan terhadap budaya lingkungan baru, tetapi alangkah baiknya upaya menanggulangi culture shock dengan belajar dan berkomunikasi dengan tuan rumah langsung demi penyesuaian diri. 156 BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan