18
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian,
stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316. Masalah-masalah tersebut yang
sering sekali membuat aktivitas komunikasi antarbudaya tidak berjalan efektif. Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus
memperhatikan empat syarat, yaitu: 1.
Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia 2.
Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki
3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari
cara kita bertindak 4.
Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain Liliweri, 2001: 171
Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: 1 keterbukaan; 2 empati; 3 merasa
positif; 4 memberi dukungan, dan 5 merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau antaretnik Liliweri, 2001: 172.
I.6.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan dipahami suatu
komunitas. Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan
pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan.
19
Menurut Ray L. Birdwhistell, 65 dari komunikasi tatap muka adalah nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting dalam suatu
aktivitas komunikasi. Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh
proses-proses nonverbal. Fungsi-fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi, Komplemen, Substitusi, Regulasi dan Kontradiksi Mulyana, 2005: 316.
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan
dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam.
Bahasa verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks budaya. Penggunaan dan gaya bahasa mencerminkan kepribadian budaya
seseorang, demikian juga dengan komunikasi nonverbal sering kali menunjukkan ciri-ciri budaya dasar Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168 dan 201.
I.6.3 Akulturasi
Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan
percampuran unsur-unsur tersebut, namun perbedaan di antara unsur-unsur asing
dengan yang asli masih tampak. Akulturasi merupakan suatu proses dimana
imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran.
Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139.
20
Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang
imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan penting dalam proses akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi,
antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, persepsi individu,
pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi antarpersonal verbal dan nonverbal; serta lingkungan komunikasi Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 140. Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur
tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya culture shock. Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul
dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335.
Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara sojourners dan seseorang yang
memutuskan untuk tinggal secara permanen settlers. Ada perbedaan antara pengunjung sementara sojourners dengan orang yang mengambil tempat tinggal
tetap, misalnya di suatu negara settler. Seperti yang dikatakan oleh Bochner dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334, perhatian mereka terhadap
pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.
21
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang
mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis memusuhi terhadap lingkungan baru.
2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick rindu pada rumah lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka Samovar,
Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan
bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve
dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336.
1. Fase Optimistik Optimistic Phase, fase ini berisi kegembiraan, rasa
penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Fase Masalah Kultural Cultural Problems, fase kedua di mana masalah
dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam
culture shock. 3.
Fase Kesembuhan Recovery Phase, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya.
22
4. Fase Penyesuaian Adjustment Phase, fase terakhir dimana orang telah
mengerti elemen kunci dari budaya barunya nilai-nilai, khusus, keyakinan dan pola komunikasi.
I.6.4 Teori Interaksionisme Simbolik