Kebijakan Luar Negeri AS Pasca- Tragedi 911

BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT

Sebagai satu-satunya negara super power saat ini, Amerika Serikat tentunya memiliki kebijakan luar negeri yang dirancang untuk mencapai tujuan nasionalnya baik dalam bidang ekonomi, politik maupun pertahanan dan keamanan. Jika pada masa Perang Dingin kebijakan luar negeri AS lebih ditujukan untuk membendung ancaman pengaruh komunisme, maka hal yang berbeda terjadi pada masa setelah Perang Dingin terlebih dengan terjadinya Tragedi 911 yang tentunya membuat AS harus menata ulang kembali kebijakan luar negerinya. Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan mengenai perubahan kebijakan luar negeri AS pasca-Tragedi 911. Selain itu, bab ini pun akan membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, khususnya Irak.

A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca- Tragedi 911

Serangan gerakan teroris internasional pada 11 September 2001 atau yang terkenal dengan sebutan Tragedi 911 dijadikan momentum awal diterapkannya strategi dan kebijakan baru AS untuk memulihkan kembali perannya sebagai polisi dunia yang tangguh. Serangan terorisme tersebut, terlepas dari kontroversi yang muncul, menjadi bukti bahwa betapa negara yang sangat kuat itu masih dapat diserang. Betapa negara yang diproteksi oleh perlengkapan senjata tercanggih di dunia masih mempunyai celah untuk diserang. Momen ini direspon oleh pemerintahan Presiden George W. Bush untuk mengubah haluan politik luar negerinya yang telah ditetapkan oleh presiden pendahulunya, yakni Presiden Bill Clinton. Pada era Presiden Clinton, kebijakan luar negeri AS lebih bersifat akomodatif terhadap keinginan dunia internasional yang mendambakan demokratisasi. Presiden Clinton membawa AS tunduk pada aturan atau rezim internasional. Presiden Clinton sangat mengedepankan masalah- masalah humanistis dalam kebijakan luar negerinya, termasuk menghukum rezim- rezim yang dinilai melanggar hak asasi manusia. 68 Dalam masa pemerintahannya, kepemimpinan AS diraih melalui penggunaan soft power dengan tetap memperhatikan aspirasi negara-negara lain, terutama negara-negara sahabat. 69 Walaupun AS merupakan satu-satunya negara adidaya, AS tidak dapat seenaknya memaksakan kehendaknya pada negara lain. Politik luar negeri AS mengalami perubahan fundamental ketika Presiden George W. Bush terpilih pada tahun 2001 menggantikan Presiden Clinton. Meskipun Jenderal Collin Powell yang dianggap tokoh moderat dan pendukung multilateralisme ditunjuk menjadi menteri luar negeri, Presiden Bush sendiri cenderung berpendirian unilateralis. Di samping itu, anggota kabinet Presiden Bush dalam bidang luar negeri dan pertahanan didominasi oleh tokoh-tokoh konservatif yang berpandangan unilateralis. 70 Mereka ini antara lain, Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Kepala Dewan 68 Sugeng Riyanto, “Imperium Amerika: Krisis Legitimasi dan Implikasi,” Jurnal Hubungan Internasional, vol. II, no. 1 Mei 2005, h. 245. 69 Soft power diartikan dengan menerapkan hegemoni melalui upaya-upaya persuasi dan pengaruh daripada melalui tekanan dan ancaman semata. Ibid., h. 12. 70 Dalam pandangan kelompok konservatif yang memiliki perspektif realis garis keras ini prioritas AS adalah melindungi kepentingan nasional AS sendiri, terutama keamanan nasional, tanpa perlu mempertimbangkan komitmen-komitmen internasional yang selama ini mengikat Washington. Sebagai negara adidaya, AS harus berani bertindak sendiri untuk melindungi kepentingan nasionalnya serta tidak perlu ragu menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan, karena militer dianggap sebagai instrumen yang sah dalam politik internasional. Kebijakan Pertahanan Richard Perle, Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz, Asisten Menteri Luar Negeri Bidang Kontrol Senjata John Bolton, dan Kepala Staf Kantor Wakil Presiden Lewis Libby. 71 Presiden Bush menemukan alasan bagi AS untuk menggunakan kekuatan yang selama ini masih belum dimaksimalkan. Tragedi 911 memberikan legitimasi kepada Bush utuk kembali membawa AS memimpin dunia melenyapkan apapun yang dianggap membahayakan dunia. Ancaman keamanan nontradisional yang dihadapi AS, seperti terorisme internasional, telah membawa konsekuensi pada persepsi dan tingkat ancaman yang dihadapi AS ketika kekuatan militer semata tidak memadai untuk melindungi kepentingan keamanan AS. Tabel berikut menggambarkan kepentingan nasional AS dan persepsi ancaman yang dimilikinya. Tabel 3.1 Kepentingan nasional Amerika Serikat dan beberapa ancaman utamanya: Interest Prime Threats Status of Threats Defense of homeland Grand terror attacks and spread of WMD to hard-to- deter state leaders and fanatical terrorists Partially present Deep peace among the Eurasian great powers Aggressive great powers and hegemons Not present Secure access to Persian Gulf oil at stable, reasonable price A hegemonic Iran and Iraq Not present International economic opennes Great power security competitions, great power wars, economic nationalism Not present Consolidation of democracy and spread and observance of human rights Ruthless leaders, civil wars, and the thwarting of economic growth Partially present 71 Dewi Fortuna Anwar, “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat,” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 Mei-September 2003, h. 16. No severe climate change Unconstrained carbon emmisions Partially present Sumber: Anak Agung Banyu Perwita, “Perubahan Lingkungan Keamanan Global dan Politik Luar Negeri Amerika Serikat,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 1, no. 2 Mei 2005, h. 90. Tabel di atas menunjukkan ancaman terbesar bagi keamanan global AS adalah serangan-serangan besar yang dilancarkan aktor nonnegara atau kelompok terorisme internasional dan penyebaran senjata nuklir, biologi, dan kimia. Tabel di atas sekaligus pula memperlihatkan berbagai bentuk ancaman baik yang bersifat tradisional maupun nontradisional terhadap kepentingan nasional AS. Lebih jauh, tabel di atas juga menekankan bahwa empat ancaman pertama tradisional dan nontradisional terhadap AS dapat berupa militer yang tentunya akan mengharuskan AS untuk mempersiapkan respon yang bersifat militer pula. Dalam salah satu pidatonya, Presiden George W. Bush mengatakan bahwa: “Pertahanan dalam negeri dan pertahanan peluru kendali adalah bagian dari keamanan yang lebih kuat, dan mereka adalah prioritas penting bagi Amerika. Kita menggempur musuh, merusak rencananya dan menghadapi ancaman terburuk sebelum mereka muncul. Di dunia yang telah kita masuki, satu-satunya jalan menuju keselamatan adalah tindakan, dan negara ini akan bertindak.” 72 Pernyataan Bush dalam pidatonya tersebut kemudian dikenal dengan istilah pre emptive strike. 73 Inti dari doktrin ini adalah bahwa pertahanan yang paling baik adalah menyerang. Artinya AS harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa dan negara mana pun yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS. Selain itu, AS secara hitam 72 George W. Bush, “Pidato di West Point”, lihat A. Zaim Rofiqi, Amerika dan Dunia Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 427. 73 Riza Sihbud i, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 36. putih membagi dunia menjadi dua yaitu kami atau mereka yang kadangkala dikenal dengan prinsip either or either you are with us or with our enemy, dan yang dimaksud dengan our enemy oleh AS adalah kelompok teroris internasional. 74 Dengan kebijakan ini, AS secara leluasa menggerakkan semua elemen militernya ke berbagai wilayah dunia sebagai penanggung jawab keamanan global. 75 Siapa berani menghalangi pasti kena sanksi. Presiden Bush menyatakan tidak akan membedakan antara teroris dan mereka yang memberi tempat atau melindungi teroris, seperti yang ia katakan dalam pidatonya pada 11 September 2001, petang harinya setelah Tragedi 911. Dalam pidato ntersebu, Bush mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan antara teroris yang melakukan tindakan teror itu 11 September 2001 dan mereka yang melindungi. 76 Jadi, siapa pun yang tidak mau memerangi atau membantu AS dalam memerangi kelompok teroris, apalagi yang dicurigai atau dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional, maka mereka dapat dianggap sebagai musuh AS, dan dengan sendirinya bebas untuk diperangi. Namun sayangnya, AS bebas menerjemahkan siapa saja yang berhak dikategorikan sebagai teroris. Tragedi 911 telah memperkuat pembenaran AS untuk mencapai tujuan hegemoniknya, yaitu dominasi geopolitik dan ekonomi di dunia. 77 Presiden Bush ingin menegaskan kehadiran AS sebagai pemimpin dunia, apapun caranya. Presiden Bush telah berupaya agar dunia yang mengikutinya, bukan AS yang tunduk kepadanya. 74 Ibid. 75 Hendrajit, dkk, Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia Jakarta: Global Future Institute, 2010, h. 114. 76 Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, h. 96. 77 Istilah hegemoni diturunkan dari sebuah kata Yunani yang sederhananya berarti kepemimpinan, lihat Nur Rahmat Yuliantoro, “Hegemoni Amerika Pasca 119: Menuju Sebuah „Imperium Amerika Baru‟?,” vol. 9, no. 1 Juli 2005, h. 96. Upaya menangani terorisme ini juga dilakukan dengan mengedepankan aspek militer. Sangat nyata bahwa Tragedi 911 terjadi di AS, tetapi reaksi Presiden George W. Bush paling menonjol adalah invasi militer ke Afganistan dan Irak. Ini menunjukkan bahwa Presiden Bush lebih mengedepankan penggunaan hard power, yakni kekuasaan yang ditegakkan dengan paksaan. 78 Presiden George W. Bush telah mendapatkan situasi yang kondusif untuk melancarkan penggunaan hard power dalam melangsungkan kebijakan luar negerinya. Terorisme telah dijadikan alasan untuk itu, dan dunia cukup mempercayainya, setidaknya para sekutu AS. Presiden Bush yakin AS berada dalam posisi yang benar dan merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan kebenaran serta melawan kekuatan jahat evil secara unilateral di seluruh penjuru dunia dengan menggunakan kekuatan militer AS yang tidak tertandingi dan tidak boleh ditandingi. 79 AS di bawah Presiden Bush merupakan misionaris bersenjata yang percaya bahwa AS ditakdirkan untuk memimpin dunia untuk kebaikan itu sendiri. Di samping itu, AS pun akan secara aktif mendukung freedom atau kebebasan di seluruh dunia. 80 Penggulingan rezim Taliban di Afganistan dan rezim Saddam Hussein di Irak yang bertujuan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis merupakan wujud dari dukungan AS terhadap freedom atau kebebasan itu sendiri.

B. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah